Share

2. Si laki-laki berandal

Vitaloka sampai di rumah setelah salat magrib. Dia mampir ke mushola terdekat terlebih dulu untuk menunaikan ibadah salatnya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang di rumah.

"Sudah pulang, Vi? Gimana pertemuan kamu sama Sebastian?" Seorang wanita paruh baya dengan pakaian gamis serta hijab syar'i menyapa kala Vitaloka sudah sampai di ruang tamu.

Mata Vitaloka membulat terkejut melihat kakak dari sang ibu ada di sana. Bahkan kerabat yang lain pun sudah datang. Segera Vitaloka menghampiri, lalu mencium tangan mereka dengan takzim.

"Uwa, kok, cepet sampainya. Teh Ika enggak ikut?" Vitaloka bertanya pada Diana---kakak kandung dari sang ibu.

"Teteh kamu ke sini pas hari pernikahan kamu sama suaminya," balas Diana mengulas senyum ramah.

"Vi, sudah salat magrib?" Suara lembut sang ibu membuat atensi Vitaloka tertuju padanya.

"Sudah, Ummi. Tadi mampir dulu di mushola terdekat sebelum pulang."

"Syukurlah. Sana mandi, setelah itu makan. Kamu sudah seharian berada di luar, pasti makannya sembarangan."

Vitaloka mengulas senyum kecil. Merasa beruntung mendapatkan perhatian seperti itu dari sang ibu. Padahal dulu perhatian sang ibu selalu tertuju pada adik-adiknya, kadang juga sang ibu sering kali mengabaikannya.

"Jangan lupa istirahat yang cukup. Pernikahanmu tinggal lima hari lagi, lho," goda Diana sembari menyenggol bahu Vitaloka. Membuat pipi Vitaloka terasa memanas saja.

"Sekalian Ummi sama Uwamu sudah berdiskusi mengenai tempat pelaminan dan dekorasi tenda. Kata Julia, mertuamu. Kamu belum memilih, 'kan?"

Vitaloka menggeleng pelan. Masih bingung harus memilih yang mana, sedangkan semuanya tampak bagus dan mewah.

"Semuanya kelihatan bagus, Ummi. Aku bingung. Tapi, kalo Ummi sama Uwa yang memilihkan tidak masalah. Tinggal diskusi tamu undangan saja."

"Bagus! Anak pintar," sahut Diana seraya menjiwit pipi Vitaloka.

"Sudah sana mandi, ingat habis mandi makan."

Vitaloka mengangguk dan melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Saat di tangga terakhir di atas, sorot matanya mengedar ke bawah. Di bawah sana banyak sekali tatamu yang hadir untuk membantu menyiapkan pesta pernikahan. Terutama kerabat dari sang ibu dan ayah.

Tak mau membuang waktu, segera Vitaloka melanjutkan langkah memasuki kamar untuk membersihkan tubuh.

***

Vitaloka memeluk dirinya sendiri. Cuaca kota Cikampek kini terasa dingin. Awan hitam menggepul di langit, sepertinya hujan lebat akan segera turun. Setelah makan malam tadi, dia disuruh untuk membeli label nama undangan.

Karena di rumah tidak ada yang bisa disuruh selain dirinya. Nesya belum pulang, Riandika sang adik bungsu tak bisa diandalkan. Terpaksa Vitaloka sendirilah yang harus membeli ke tukang fotocopi yang sialnya toko tersebut jauh dari rumah.

Vitaloka mengembuskan napas kasar. Gerimis mulai berjatuhan dari langit. Dia menengadah langit, perlahan wajahnya merasakan gerimis tersebut.

Langkahnya membawa ke halte bus guna meneduhkan tubuh. Gerimis kini berubah menjadi hujan deras. Vitaloka merutuki diri yang tak membawa payung ataupun memakai pakaian tebal. Dia hanya memeluk tubuh sendiri dengan mengamankan benda yang tadi dibeli.

Sorot matanya tertuju ke depan jalan. Tak begitu banyak kendaraan yang tampak hilir-mudik di jalanan sana. Namun, bola mata Vitaloka terkunci di salah satu objek di seberang jalan tepat dekat toko roti.

Vitaloka mengenali plat mobil dan mobil pajero putih tersebut. Bahkan dua orang yang baru saja memasuki mobil, dia mengenalinya. Itu Sebastian dan Nesya.

Ada rasa nyeri di ulu hati melihat kedekatan mereka. Apalagi melihat sikap Sebastian yang mengacak rambut Nesya dari dalam mobil. Walaupun lumayan jauh, tetapi Vitaloka bisa melihat dan mengenali keduanya walaupun samar.

Buliran bening terjatuh begitu saja. Padahal dia tidak menginginkan buliran itu terjatuh. Mobil pajero putih milik Sebastian sudah melaju meninggalkan toko roti tersebut.

Kebisuan menemani Vitaloka. Otaknya bersikeras berpikir mengenai hubungan antara sang calon suami dengan adiknya sendiri. Berbagai pertanyaan dan pemikiran negatif menyelimuti benak. Foto yang ditemukan dalam ponsel Sebastian membuat dugaan Vitaloka semakin kuat saja.

Hujan semakin deras, membuat Vitaloka semakin memeluk tubuh. Angin berembus dengan kencang. Sungguh, rasanya benar-benar dingin. Sampai dia tidak menyadari kalau ada seorang laki-laki tengah berdiri di samping seraya mencuri pandang.

"Pakai jaket saya, Mbak. Situ kedinginan." Suara berat penuh penegasan membuyarkan lamunan Vitaloka.

Perempuan itu menoleh ke samping. Alisnya mengeryit, dia seperti mengenali laki-laki yang ada di sampingnya, hingga membuat laki-laki itu menatap dengan heran.

"Akang, akang yang enggak sengaja aku tabrak waktu sore tadi itu, 'kan?" Vitaloka menduga. Ingatannya tak pernah salah. Ya, laki-laki yang ada di hadapannya ialah laki-laki yang menggerutu karena tak sengaja menabrak tubuh Vitaloka.

"Mau dipakai atau enggak? Wajahmu pucat itu," sentak laki-laki itu. Membuat Vitaloka menyambar jaket tersebut dan memakainya.

Keheningan menyelimuti mereka. Hujan masih belum mereda, membuat Vitaloka mengembuskan napas kasar. Bahkan dia lupa membawa ponsel untuk menghubungi orang rumah.

Sesekali dia melirik ke samping di mana laki-laki dengan gaya rambut quiff tengah berdiri sambil menatap ke depan. Kaos yang digunakan berwarna putih, hingga menyisikan otot bisepnya. Apalagi kaos tersebut tampak basah tercitrap oleh air hujan. Mata laki-laki itu berwarna abu-abu bening, hidung mancung seperti perosotan anak TK, alis hitam yang pas di kedua matanya.

"Jangan sampe saya khilaf, ya, Mbak. Karena Mbak ngelihatin saya kayak gitu!"

Sontak saja Vitaloka langsung beristigfar membuang tatapan ke arah lain. Sungguh, malu tercyduk tengah menatap lekat laki-laki itu.

"Rumahnya di mana?"

Vitaloka mendongak dengan linglung. Dia menajamkan telinga, takut salah dengar. "Hah, gimana-gimana?"

"Alamat rumah Mbak di mana? Mobil jemputan saya sudah sampai. Mau bareng? Kayaknya hujan kayak gini redanya bakalan lama. Bahkan isya pun sudah lewat."

Vitaloka menengadah langit, benar ucapan laki-laki itu. Awan hitam masih tampak menggumpal, hujan pun tak ingin mereda. Mengenggam erat kantung kresek yang dipegang. Lalu mengucapkan alamat rumah pada laki-laki itu.

"Mari, saya antar." Rajaswala nama laki-laki mengiring Vitaloka memasuki grab yang dipesan.

Lalu mobil tersebut melaju membelah jalanan kota. Sesekali Vitaloka mencuri pandang secara diam-diam pada laki-laki itu yang tampak sedang menyugarkan rambut basahnya.

"Tampangnya kayak berandal," gumam Vitaloka tanpa sadar.

Rajaswala yang mendengar guamam Vitaloka mengulas senyum sinis. Dia sudah menduga, bahwa setiap orang yang ditemuinya pasti akan mengira dirinya berandal. Namun, memang benar faktanya seperti itu.

"Saya memang berandal, Mbak. Bahkan lebih dari kata berandal," desis Rajaswala tepat di telinga Vitaloka. Membuat tubuh perempuan itu membeku seketika.

Selama perjalanan, Vitaloka hanya berdiam diri. Enggan mencuri pandang lagi. Aura laki-laki itu benar-benar berbeda dari berawal menawarkan jaket hingga tersinggung dengan kata 'berandal'. Membuat Vitaloka merasa tak enak hati saja.

"Aku minta maaf kalau kata-kataku yang tadi menyinggung perasaan Akang. Aku juga sangat berterima kasih, karena Akang sudah mau mengantarkan sampai rumah." Hujan di luar sudah mereda, tinggal gerimis kecil saja.

Vitaloka turun dari mobil, lalu berlari memasuki rumah setelah berpamitan pada Rajaswala.

Rajaswala hanya menatap kepergian perempuan itu yang sudah lenyap memasuki rumah berbentuk minimalis dengan lantai dua. Pandangannya mengedar ke dalam, menduga bahwa rumah itu akan mengadakan pernikahan.

"Jalan!" perintah Rajaswala pada sang supir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status