Share

4. Rajaswala Laksamana

Tubuh Vitaloka menegang kala melihat siapa yang berdiri di depannya sekarang. Dia meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Perasaan dia tidak mengundang laki-laki yang beritanya tengah menghangat di dunia maya. 

"Dari cara kamu menatap saya, sepertinya kamu tahu siapa saya." Suara tegas penuh menuntut itu kembali menyapa di indra pendengaran Vitaloka. 

Vitaloka memberanikan diri menatap laki-laki itu yang juga tengah menatap dirinya dengan alis terangkat satu. Sungguh, Rajaswala tampil berbeda sekarang. Tak ada penampilan yang berantakan lagi. Laki-laki itu memakai kaos distro dipadukan oleh celana jeans hitam dan sneaker hitam. Sangat kontras sekali penampilannya di acara pernikahan Nesya. 

"K--kamu ngapain ke sini?" Vitaloka terbata-bata. Merasa tak nyaman berdiri berduaan dengan Rajaswala. 

"Saya tanya sekali lagi sama kamu. Kamu tahu tentang latar belakang saya?" Vitaloka merasakan tatapan tajam menghunus dadanya. Dia memberanikan diri mendongak, tatapan keduanya saling bertemu. 

Anggukan kepala Vitaloka membuat Rajaswala mengulas senyum. Senyum yang entah ramah atau miring, sungguh Vitaloka sampai tak berkedip sama sekali melihat senyuman itu. 

"Saya tahu, kalo saya ganteng," ujar Rajaswala dengan percaya dirinya. 

Vitaloka membuang tatapan ke arah lain, sedangkan Rajaswala ... laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Mengerutkan dahi saat melihat dua pasangan di pelaminan sana. Bukankah yang akan menikah hari ini ialah Vitaloka? Mengapa menjadi wanita lain. 

"Bukankah hari ini pernikahanmu. Mengapa orang lain yang ada di posisi itu?" 

Mendapatkan pertanyaan itu membuat Vitaloka tak nyaman. Dia menuangkan jus jeruk yang tersedia di prasmanan. Lalu meneguk hingga tersisa setengah guna membasahi tenggorokan yang terasa kering. 

"Kamu ngapain ke sini?" Vitaloka mengalihkan pembicaraan. Enggan menjawab pertanyaan yang berujung pada rasa sakit hati saja. 

"Jaket. Itu jaket kesayangan saya. Saya ke sini buat ngambil," ucap Rajaswala dengan santainya mengambil gelas di tangan Vitaloka. Lalu meneguk jus yang hanya tersisa setengah sampai tandas tak tersisa. 

Vitaloka membulatkan matanya. Itu gelasnya, masih ada jejak air liurnya dalam gelas itu. Dia mendelik tajam pada Rajaswala. Namun, laki-laki itu tampak santai menuangkan kembali jus jeruk, sampai meneguknya kembali. 

"Apa lihat-lihat?" Rajaswala sadar bahwa sedari tadi Vitaloka memelotot ke arahnya. Dia menatap Vitaloka dengan penuh tanya. 

"Itu gelas bekas aku," ujar Vitaloka. 

Rajaswala menatap gelas tersebut, lalu memberikannya pada Vitaloka. Sementara Vitaloka, malah menaruh di meja prasmanan. 

"Kamu tunggu di sini. Aku ke atas dulu buat ambil jaketmu," kata Vitaloka bersiap hendak pergi. 

Namun, Rajaswala malah mencekal lengannya. Membuat Vitaloka mengerutkan dahi menatap laki-laki itu. Rajaswala mendekat, memcondongkan tubuh ke depan Vitaloka. 

"Sepertinya pengantin pria di pelaminan sana tidak menyukai interaksi kita. Apakah dia calon suamimu?" Setelah mengatakan kalimat itu. Rajaswala menarik kembali tubuhnya, mengulas senyum kecil sembari menatap wajah ayu perempuan yang ada di hadapannya. 

Vitaloka menatap ke mana arah objek yang sedang ditatap oleh Rajaswala. Di pelaminan sana, Sebastian tengah menatap ke arah mereka dengan kilatan penuh amarah. Kemudian, Vitaloka menoleh ke samping menatap Rajaswala yang tengah tersenyum pada dirinya. 

"Vi, ini siapa?" Suara Diana mengejutkan Vitaloka. 

Bingung harus memperkenalkan Rajaswala sebagai siapa pada keluarga besarnya. Lidahnya kelu. Tenggorokan mendadak kering, padahal tadi dia sudah membasahi dengan jus jeruk. 

"Saya rekan kerja Vitaloka, Tante." Rajaswala menarik tangan Diana, mencium tangan tersebut dengan takzim. Senyum ramah terbingkai begitu manis di bibir laki-laki itu. 

Diana mengulas senyum penuh arti. Tangannya mengusap bahu kekar milik Rajaswala. "Kamu tampan. Vi, sudah saatnya kamu melupakan Sebastian." Diana menatap Vitaloka penuh arti, lalu kembali menatap Rajaswala. 

"Mencari dan mengenal kembali rasanya sulit, Wa," ujar Vitaloka dengan embusan napas kasar. 

"Kamu harus ikhlas. Kalau hatimu cocok dengan orang baru ... Insya Allah enggak akan sulit untuk memulai kembali." Diana mengulas senyum hangat untuk Vitaloka. Menangkup wajah cantik itu dengan sayang. Perasaan iba dan kasihan menyelimuti benak. Diana sangat memahami bagaimana berada di posisi Vitaloka. 

"Ya sudah ajak makan rekan kerjamu. Uwa mau sambut tamu yang lain dulu." Setelah mengusap lembut bahu Vitaloka dan Rajaswala, Diana melangkah menjauh meninggalkan keduanya. 

Keheningan menyelimuti. Pandangan rasa kasihan didapatkan oleh Vitaloka dari para tetangga yang mengenalnya. Membuat dia merasa risi saja, hingga muak berada di satu ruangan yang sama. Tanpa sadar Vitaloka menarik tangan Rajaswasla menaiki lantai kedua menuju kamarnya. 

Sesampai di kamar, Vitaloka menutup pintu dengan kasar. Bersandar di pintu dengan berbagai pikiran yang tengah bersarang di kepala. 

"Kamu enggak takut terjadi fitnah membawa laki-laki ke dalam kamarmu?" Rajaswala menggeleng pelan, senyum miring masih terbingkai di wajah. Dia mengedarkan pandangannya ke sudut ruangan, tak menemukan barang mewah. Kamar Vitaloka berinterior sederhana juga nyaman. 

Seakan sadar apa yang dilakulan, Vitaloka mengucapkan istigfar. Menatap takut pada Rajaswala sekaligus malu setengah mati. Mendapat tatapan dan berbagai kalimat buruk dari tetangga membuat dia tidak bisa berpikir jernih. 

"Maaf!" Vitaloka berjalan menuju lemari, sedangkan Rajaswala memilih duduk di tepi ranjang menunggu apa yang sedang diambil oleh perempuan itu. 

Setelah mendapatkan benda yang dicari, Vitaloka berjalan ke arah Rajaswala serta menyodorkan jaket tersebut pada laki-laki itu. 

"Terima kasih atas pinjaman jaketnya," ucap Vitaloka terdengar datar tanpa ekspresi. 

Rajaswala hanya mengangguk, memakai jaket tersebut ke tubuhnya. Dia memandang wajah Vitaloka, cantik dengan riasan tipis di wajah. Sangat disayangkan laki-laki yang tadinya akan menjadi suami Vitaloka malah melepas. 

"Ngapain masih di sini? Sana keluar!" Vitaloka mendelik tajam. Padahal dia sudah memberikan jaket laki-laki itu. Namun, Rajaswala malah tetap duduk tenang di ranjangnya. 

"Saya rasa ucapan Uwamu benar. Cari penggantinya, jika kamu masih sendiri. Saya yakin mantanmu itu masih leluasa buat deketin kamu," simpul Rajaswala dari sudut pandangnya sendiri. 

"Ngaco kamu! Enggak akanlah, ogah banget dideketin sama dia. Toh, sekarang dia udah jadi milik orang lain," sahut Vitaloka yang tak ingin mengalah. 

"Kamu enggak sadar dari cara dia menatap kamu?" Rajaswala menaikkan sebelah alisnya seraya menatap Vitaloka. "Dia masih berharap sama kamu. Dan kamu harus hati-hati." 

Vitaloka berkacak pinggang, menghadap ke arah Rajaswala. Lalu menatap dengan lekat. "Kenapa aku ngerasa, kalo ucapanmu kayak lagi perhatian sama seseorang?" 

Rajaswala terkekeh, berdiri di hadapan Vitaloka hingga keduanya saling berhadapan. Dengan sengaja, Rajaswala menyentil kening Vitaloka. Membuat perempuan itu mengaduh kesakitan. 

"Menurut saya enggak, tuh. Itu perasaan kamu aja kali!" 

"Ish! Sana keluar, pulang!" 

Rajaswala malah mengulas senyum penuh arti dan berjalan ke arah pintu. Tepat di depan pintu dia berhenti tanpa menoleh pada Vitaloka. 

"Saya sarankan, kamu harus berani menghadapi berbagai komentar dari tetanggamu sendiri. Kalo kamu memilih mengurung diri, itu artinya kamu masih belum ikhlas melepas mantanmu. Kamu harus tunjukan pada keluargamu bahwa kamu baik-baik aja." Rajaswala menarik handle pintu dan keluar dari kamar Vitaloka. Tepat keluarnya Rajaswala, Santia berada di depan pintu Vitaloka. 

"Kamu siapa?" tanya Santia mengeryitkan dahi dengan bingung. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status