"AKU TIDAK GILA! AKU TIDAK GILA! LEPASKAN AKU! KAK ARKAN, TOLONG AKU. AKU TIDAK GILA!"
Suara teriakan itu menggema di seluruh ruang sidang sesaat setelah hakim memutuskan hukuman untuk Kiana atas kejahatannya. Dia tidak dipenjara, melainkan dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan selama kurang lebih satu tahun. Semua itu tidak lain karena pihak pengadilan menemukan kejanggalan pada saat pernyataan Kiana di sidang pertama. Wanita itu sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah dan dengan lantang mengiyakan semua perbuatannya tanpa ragu. Bahkan mengaku puas setelah membunuh ibunya sendiri. Tertawa seperti orang gila. Hingga membuat mereka lantas memanggil seorang ahli kejiwaan untuk memeriksa kesehatan mental Kiana. Sampai tiba saatnya, ketika sebuah vonis yang menyatakan bahwa Kiana memiliki riwayat sakit mental, membuat hakim memberi sebuah keputusan pembebasan wanita itu. Namun tentu, Arkan menolaknya mentah-mentah dan menginginkan sidang kembali digelar untuk mengadili Kiana. Membebaskan Kiana sama saja dengan memberi wanita itu kesempatan untuk membalas atau paling menakutkan, membunuh istrinya. Kiana terlalu berbahaya, dan sampailah pada keputusan untuk memasukkan Kiana ke dalam rumah sakit jiwa, sekaligus melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kesehatan mentalnya. Kiana yang sama sekali tidak memiliki satu orang pun yang mau berpihak padanya, mau tak mau menuruti semua keputusan. Sekeras apa pun dia menolak dan menentangnya. "BERENGSEK! LEPASKAN AKU! AKU TIDAK AKAN MEMAAFKAN KALIAN SEMUA!" Kiana terus berontak saat dia dibawa paksa menuju jemputan mobil para perawat dari rumah sakit jiwa. Bahkan dengan sangat agresif, dia menggigit lengan salah seorang wanita yang memegangnya kuat. Menatap seorang laki-laki yang terlihat seperti dokter, tengah menatapnya sambil tersenyum. Ya, itu adalah orang yang mengatakan bahwa dia gila. Kemarahan Kiana semakin menjadi melihat senyum laki-laki itu. Bisa-bisanya orang itu tersenyum saat dia berada dalam masalah. Pernyataannya di sidang tadi, membuat Kiana harus mengalami hal mengerikan seperti ini. Mereka semua hanya menatapnya tanpa mau membantu. "AKKHHH, SIALAN! AKU AKAN MEMBALAS PERBUATAN KALIAN! LIHAT NANTI, AKU AKAN MEMBALASNYA!" teriak Kiana semakin tak terkendali. Air matanya bercucuran. Hatinya sesak melihat laki-laki yang dia cintai selama belasan tahun, hanya diam tanpa mau membantunya. Apa salahnya? Kiana hanya mencintai Arkan, tapi dia kini harus mendapatkan apa yang tidak dia mau. Ini semua gara-gara Sashi. Wanita itu merebut Arkan darinya! Harusnya, dia bisa menyingkirkan Sashi dan menjadi istri Arkan, tapi laki-laki itu tidak pernah mencintainya, karena Arkan sangat mencintai istrinya. Air mata Kiana kembali merebak, dia terus memberontak dan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan para perawat. Sampai dengan spontan, kakinya menendang tulang kering kedua perawat itu dan berlari menghampiri Arkan yang berjarak beberapa meter darinya. Dia ingin memeluk laki-laki itu, namun sayang, sebelum sempat terjadi tubuhnya sudah didekap seseorang. Laki-laki yang tadi tersenyum culas ke arahnya. Membisikkan sesuatu ke telinganya, hingga kemudian sebuah benda dingin dan tajam menembus kulitnya. "Aakkhh ...." Kiana meringis kesakitan saat benda itu menancap di kulitnya. Seiring dengan kepalanya yang perlahan mulai berputar hebat. Seketika, Kiana langsung mengerti kalau dia baru saja disuntik bius. Sayangnya, semua terlalu terlambat untuknya memberontak, kesadarannya sudah direnggut paksa. Hanya kegelapan yang bisa dia rasakan saat itu. *** Cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela jendela. Menyeruak membangunkan tubuh yang kini tengah tertidur lelap di atas ranjang kecil dengan kedua tangan dan kaki terikat oleh borgol. Layaknya sebuah hewan buas yang akan menyerang pemiliknya jika lepas. "Ughh ...." Suaranya terdengar. Dia tampaknya sudah mulai terusik. Terlihat dari kelopak matanya yang berkedip beberapa kali. Menyesuaikan cahaya yang tepat menyinari wajahnya. Sampai akhirnya, mata itu benar-benar terbuka namun tentu kesadaran belum sepenuhnya pulih. Dia masih linglung. Kepalanya pun terasa berdenyut, seperti sebuah batu menghantamnya keras. Butuh beberapa menit untuk Kiana bangun sepenuhnya dan menyadari di mana dia berada saat ini. Sebuah kamar berukuran kurang lebih dari 4 x 4 meter, terlihat olehnya. Menyadari, begitu asing ruangan itu baginya. Hingga ketika rasa penasaran membuatnya ingin melihat dan duduk, suara rantai yang bergemerincing spontan mengalihkan perhatian Kiana. "Apa ini?" tanyanya sambil terus menatap kedua tangannya yang terborgol. Lalu beralih melihat dua kakinya, yang juga mengalami hal yang sama. Wajahnya sontak menjadi pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat. Serangan panik seketika kembali menghantui Kiana. Dia menjerit dan berusaha melepaskan diri. Menatap sekitar dengan waswas. Kiana benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Ruangan itu hanya ruangan putih seperti sebuah kamar rawat. Namun hanya ada satu ranjang, yaitu ranjang yang saat ini tengah Kiana tempati. Ventilasi yang hanya berasal dari jendela yang ada di sebelah kirinya. Begitu pun dengan sinar matahari yang memancar dari sana. Di mana? Ingatan Kiana kembali berputar. Memikirkan apa yang terjadi padanya hingga dia berada di tempat asing. Sampai, sebuah ingatan tentang kejadian tadi siang di dalam sidang, kembali muncul dan mengacaukan pikirannya. Membuat Kiana kembali menjerit. Dia mengingat saat dirinya disuntik bius hingga jauh pingsan. Ketika orang-orang itu memutuskan memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa. "TIDAK! INI TIDAK MUNGKIN!" teriaknya. Mata Kiana tertuju ke arah pintu kamar. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan borgol di tangannya. Tidak mungkin, 'kan ini rumah sakit jiwa itu? Kiana tidak gila, dan dia tidak bisa berada di sana. Dia harus keluar untuk menjalani hidupnya seperti dulu. Kiana tidak mau terkurung seperti ini. Sayangnya, borgol itu benar-benar sulit dilepaskan. Dia sama sekali tidak bisa beranjak dari ranjang. Sendiri, di sana. Namun ketika melihat kalau hari sudah pagi, harusnya sudah ada perawat yang datang ke sini. Alhasil, dalam keadaan yang masih panik, Kiana menunggu kedatangan seseorang sambil sesekali, telinganya mendengar suara pasien-pasien lain di luar. Hingga di tengah telinganya yang mendengarkan kegiatan itu, suara langkah kaki seseorang terdengar. Mendekat ke arah tempatnya diborgol. Kiana bersiap untuk menyemburkan sumpah serapahnya pada orang yang masuk itu. Dia hendak memaki, sampai pintu akhirnya terbuka. Memunculkan seorang laki-laki bertubuh besar yang berjalan pelan ke arahnya. Di ambang pintu, laki-laki itu menyeringai hingga Kiana tersentak kaget melihatnya. Laki-laki itu, laki-laki yang sama dengan sosok yang membiusnya kemarin. Dia juga yang mengatakan kalau Kiana gila! "KAU!" "Apa kau tidak bisa tenang?" Kiana menatap benci ke arah laki-laki yang diduga merupakan seorang psikiater di rumah sakit jiwa ini. Sampai dia kemudian kembali memberontak, namun tentunya, semua itu hanya sia-sia. "BEBASKAN AKU! AKU INGIN PULANG!" Laki-laki itu dengan pelan berjalan ke arahnya. Menatap Kiana dari jarak yang cukup dekat, membuat Kiana langsung bisa menatap wajah tampan dan rahang tegasnya. Dia bisa melihat tatapan tajam dan sorot penuh kebencian di ssana. Kiana yakin, dia tidak salah lihat. "Tempatmu sekarang adalah di sini. Kau akan tinggal di sini, selamanya."Cerita ini terdapat adegan dewasa dan hal yang mungkin membuat kalian tidak nyaman membacanya. Bagi yang memiliki mental lemah, sebaiknya mundur.
"Kau akan tinggal selamanya di sini," ucap seorang laki-laki berpakaian dokter pada Kiana, membuat wajah Kiana menjadi pucat pasi. Terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "A-apa? TAPI AKU TIDAK GILA! KAU TAHU AKU TIDAK GILA! Kenapa kau melakukannya! Bukankah aku sudah menjelaskannya padamu!" teriak Kiana dengan marah. Kiana jelas mengingat saat dokter itu melakukan pemeriksaan terhadapnya. Dia menjawab semuanya dengan jujur. Alasan dia membunuh mama dan laki-laki mata keranjang itu hanya agar dirinya lolos. Kiana tidak menyesal melakukannya, karena semua itu dia anggap benar. "Kau gila, karena itulah kau harus berobat di sini," katanya sambil tersenyum miring. Berjalan ke mendekati Kiana dan mengeluarkan sebutir obat dari sakunya. Menuangkan segelas air dan menyodorkannya pada Kiana. Meminta wanita itu untuk membuka mulut. "Sekarang, waktunya minum obat." "TIDAK! AKU TID
PRANG!!! Suara pecahan kaca terdengar saat sebuah piring melayang ke lantai. Makanannya pun ikut berhamburan. Mengotori keramik putih dan membuatnya tampak berantakan. Siapa lagi yang melakukannya selain Kiana? Wanita yang kini malah membuang makan siangnya sendiri. "AKU TIDAK MAU MAKAN! AKU MAU BEBAS!" teriak Kiana pada seorang perawat wanita yang membawakan makan siang untuknya. Kedua tangannya yang dilepas sementara, membuatnya mudah memberontak. Menatap perawat itu dengan sengit hingga Kiana tiba-tiba menarik lengannya tanpa sang perawat sempat menghindar. "BEBASKAN AKU! Bawa aku pergi dari sini!" "Awww ...." Cengkeraman tangan Kiana begitu kuat dan sedikit melukai sang perawat hingga terdengar rintih kesakitan. Berusaha melepaskan diri dari Kiana, meski semua itu tent
Tiga hari setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun perawat yang berani mendatangi tempat Kiana berada. Jika bukan karena Kiana ingin buang air, mereka tidak akan datang. Kalaupun datang, mereka hanya mau Kiana tetap diborgol dan tentunya, ditemani oleh satu orang lainnya. Menjaga jarak sejauh mungkin sebelum wanita itu mengamuk. Ketimbang seperti pasien gila, Kiana lebih mirip seperti seorang tahanan. Hanya saja, tempatnya dikurung berbeda dari para penjahat lain. Saat waktu makan pun, Kiana sama sekali tidak dilepas. Dia tetap diborgol. Demi keselamatan, para perawat hanya membiarkan salah satu borgol tangan kanan Kiana yang dibuka, sedangkan tangan lain dan kedua kakinya terus diborgol. Mereka menganggap, jika Kiana adalah pasien yang paling berbahaya. Apalagi saat mengetahui catatan hitam tentang wanita itu juga peristiwa menggemparkan beberapa hari lalu. Ketakutan menyusup ke
Mata yang tadi terpejam itu, perlahan mulai terbuka. Berkedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Suara lenguhan terdengar sangat lirih saat rasa sakit di kepala menghantamnya. Memaksanya untuk bangun seketika, hingga saat matanya terbuka secara penuh, tatapan pertama matanya langsung jatuh pada seorang laki-laki yang berada di sisi kanannya. Dia adalah Rafael. Melihat kehadiran orang tersebut, dahinya sontak berkerut dalam. Masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi? Tak hanya sampai sana, dia juga menyadari sesuatu. Menyadari saat tangannya dipasangi sebuah infus dan dia berada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tergugu di tempat, hanya itu yang terjadi padanya. Sampai akhirnya, laki-laki yang dia lihat pertama kali mulai membuka suara. "Percobaan bunuh diri. Apa yang ada dalam pikiran dangkalmu? Kaupikir, semua akan selesai saat kau mati?" Ucapan bernada dingin dan sarkas itu ter
"Rafael, Kakek harap kamu segera keluar dari rumah sakit itu dan bantu Kakek mengurus perusahan. Kau tahu, 'kan, Kakek sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang bisa mengurusnya selain kamu," ucap seorang pria paruh baya yang berusia sekitar delapan puluh tahunan. Menatap cucunya yang tampak selalu memasang wajah enggan. Mereka tengah duduk saling berhadapan di ruang tengah, namun tidak ada satu pun makanan atau minuman yang tersaji di meja. Atmosfer yang mengelilingi mereka juga terasa dingin. Tatapan tajam bak sinar laser tampak menyorot pria tua berkemeja rapi dengan dasi di lehernya. Semua rambutnya tampak beruban, tak menyisakan satu pun yang berwarna hitam. Dialah Guzman, kakek kandung dari Rafael sekaligus pemilik dari rumah sakit jiwa yang Rafael urus. "Aku tidak bisa. Suruh saja Om Mario untuk mengurusnya," balas Rafael dengan nada acuh. Bersandar dan melepas jas putih yang selalu m
Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya. "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka