"Kau akan tinggal selamanya di sini," ucap seorang laki-laki berpakaian dokter pada Kiana, membuat wajah Kiana menjadi pucat pasi. Terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"A-apa? TAPI AKU TIDAK GILA! KAU TAHU AKU TIDAK GILA! Kenapa kau melakukannya! Bukankah aku sudah menjelaskannya padamu!" teriak Kiana dengan marah. Kiana jelas mengingat saat dokter itu melakukan pemeriksaan terhadapnya. Dia menjawab semuanya dengan jujur. Alasan dia membunuh mama dan laki-laki mata keranjang itu hanya agar dirinya lolos. Kiana tidak menyesal melakukannya, karena semua itu dia anggap benar. "Kau gila, karena itulah kau harus berobat di sini," katanya sambil tersenyum miring. Berjalan ke mendekati Kiana dan mengeluarkan sebutir obat dari sakunya. Menuangkan segelas air dan menyodorkannya pada Kiana. Meminta wanita itu untuk membuka mulut. "Sekarang, waktunya minum obat." "TIDAK! AKU TIDAK MAU. AKU TIDAK GILA, AKU TIDAK TUBUH OBAT!" Kiana menggelengkan kepalanya ke sana ke mari. Menolak saat laki-laki itu memberikannya obat, namun sayang, di tengah pemberontakan yang dia lakukan, rahangnya tiba-tiba dicengkeram cukup kuat. Laki-laki itu membuat mulutnya seolah dipaksa untuk terbuka dan menerima obat berbentuk kapsul untuk ditelan. Tersedak. Kiana hampir menyemburkan kembali air yang diminumkan padanya. Tenggorokannya mendadak sakit, sampai suara berat laki-laki itu mengomandonya untuk menelan. "Telan pelan-pelan, jangan panik. Semakin kau panik, kau akan semakin tersiksa." Tidak punya pilihan lain, Kiana hanya menurut meski saat ini tenggorokannya terasa sangat sakit. Menelan paksa obat itu dengan susah payah, hingga napasnya sedikit tak beraturan namun tentu ini lebih baik. Tatapannya terus tertuju pada laki-laki bernetra cokelat terang di depannya. "Bagus, anak baik." Bak orang tua yang bangga terhadap anaknya, laki-laki itu menepuk puncak kepala Kiana beberapa kali. Tersenyum kecil sampai akhirnya dia menjauh. Berjalan ke arah pintu keluar. Meninggalkan Kiana begitu saja yang menatapnya kosong. Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain menatap datar kepergian dokter itu hingga kemudian mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit ruangan dengan perasaan miris. Harapannya sudah pupus. Di sini, tidak ada satu pun orang yang bisa menolongnya. Dia terjebak. Lelehan air mata, tiba-tiba keluar dari sudut matanya. Meratapi nasibnya yang buruk karena harus berakhir sebagai orang gila. Apa ini hukuman atas dosa-dosanya? Inikah ganjaran yang harus dia terima karena perbuatannya merusak kebahagiaan orang lain? Atas kesalahannya pada sang mama, Arkan dan juga Sashi? Hukuman menyakitkan seperti inikah yang harus dia terima? Tidak. Tindakannya tidak salah. Sashilah yang merebut Arkan darinya, jadi, bagaimana mungkin malah dia yang harus terkena hukuman? Ini tidak adil. Bukan dia yang harusnya mendapat hukuman. Harusnya mereka! Harusnya wanita asing itu yang mendapatkannya, karena sampai kapan pun, Arkan tetap miliknya. "AKKHH ... SEMUA INI GARA-GARA KAMU, SASHI! AKU AKAN MEMBUNUHMU. LIHAT SAJA NANTI!" teriak Kiana pada bayangan Sashi yang seolah tengah menatapnya. Tatapan penuh kebencian memenuhi sorot matanya. Kiana kembali berteriak dan memberontak, namun sayangnya, tak ada satu pun perawat atau dokter yang menghiraukan dan memedulikannya. Dokter yang tadi sempat menyambangi ruangannya pun sudah hilang entah ke mana. Meninggalkan Kiana yang merasa frustrasi dengan dirinya yang benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa. Baru satu hari di sana, Kiana sudah sangat menderita. Ini lebih buruk dari pada penjara. Mentalnya sangat tersiksa karena kebebasan tentu adalah hal yang paling dia inginkan. Pulang ke rumah, tapi tentu, hal itu terasa sangat mustahil untuknya saat ini. Semua kebebasannya seolah direnggut paksa, apalagi setelah mendengar perkataan laki-laki itu. TIDAK! Kiana tidak mau tinggal selamanya di rumah sakit jiwa ini! Dia ingin bebas! *** "Ini baru permulaan. Kau tidak akan bisa lari dariku. Kau harus menanggung semuanya, Kiana. Semuanya," ucap seorang laki-laki berjas putih sambil memantau sebuah ruangan melalui CCTV. Melihat seorang wanita yang tampak tak henti memberontak. Terus-menerus menjerit dan meminta dibebaskan. Percayalah, tidak ada sama sekali rasa iba dalam hati kecilnya saat melihat Kiana menderita. Kebencian yang mendalam. Kemarahan yang kuat, membuat mata hatinya tertutup rapat. Satu-satunya yang dia inginkan sekarang adalah melihat wanita itu menderita. Melihat wanita itu berada di ambang batas antara ingin hidup namun lebih baik mati. Di tengah fokusnya memerhatikan Kiana yang meraung meminta kebebasan, suara ponselnya tiba-tiba menyadarkan dan membuatnya langsung mengalihkan perhatian. Sebuah nama bertuliskan Guzman tak lain adalah kakeknya sendiri, membuatnya hanya bisa berdecak malas, meski tak ayal dia mengangkatnya. "Ada apa? Cepat katakan, aku tidak punya banyak waktu." Hanya decakan malas yang keluar dari bibirnya begitu panggilan tersambung. Dia terlalu enggan berurusan dengan kakeknya yang suka mengatur, terlebih saat ayahnya meninggal. Akan tetapi, karena ucapan tidak sopannya itu, sang kakek justru malah tersinggung. "Rafael, di mana sopan santunmu! Kakek tidak suka dengan sikapmu. Kau sama saja seperti Ayahmu itu. Tidak tahu diun--" "Kalau kau menelepon hanya untuk mengoceh, lebih baik jangan meneleponku," potong laki-laki yang bernama Rafael. Terdengar nada suaranya yang sedikit mengancam. Kakek tua bangka itu sangat menganggu kesenangannya. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon. "Pulanglah malam ini, ada seseorang yang ingin Kakek kenalkan padamu." Kali ini, giliran Rafael yang terdiam. Menerka apa maksud ucapan kakeknya. Jangan sampai, kakek tua itu mengenalkan seorang wanita padanya. Jika memang itu tujuannya, maka jawabannya adalah tidak. Rafael tidak akan sudi, dia tidak akan mau pulang. "Kita lihat saja nanti," ucap Rafael mengakhiri panggilan telepon secara sepihak. Dia dengan segera beranjak dari kursi dan menatap sekilas monitor yang menunjukkan keadaan Kiana. Sekarang, wanita itu tampak lebih tenang dan hanya diam. Tidak berteriak dan mencaci maki seperti sebelumnya. Meski entah cacian itu ditujukan untuk siapa. "Kau akan benar-benar gila, sekarang," ucap Rafael sambil menyunggingkan senyum sinis. Berlalu keluar dari ruangan. Sepanjang jalan, tampak beberapa perawat dan dokter lain tersenyum menyapa ke arahnya. Tentu, Rafael membalasnya dengan senyum tak kalah manis. Dia tahu semua orang di sini menghormatinya karena dia merupakan cucu dari pemilik rumah sakit jiwa ini dan Rafael mendapat tugas mengawasinya. Selain itu, dia juga merupakan dokter spesialis kejiwaan yang cukup muda, lajang dan tentunya tampan. Semua hal itu dibarengi dengan sikapnya yang baik dan ramah pada semua orang, terkadang juga bisa menakutkan pada orang-orang yang terlibat masalah dengannya, namun sekali lagi, itu hanya pandangan orang-orang tentang Rafael. Tidak menutup kemungkinan, bahwa semua itu salah. Langkah kaki Rafael terus berjalan ke sebuah ruangan khusus. Kamar yang juga merupakan kamar pasien di sana. Hanya berbeda dari kamar pada umumnya, juga letaknya yang berdekatan dengan ruang kerjanya. Beruntung, jadwal pemeriksaan pasien saat ini tidak begitu padat, membuat dia bisa sedikit mengambil napas dan melepas penat dengan menjumpai seseorang. Kesampingkan dulu rasa benci dan amarahnya pada Kiana. Nyatanya, ada hal yang jauh lebih penting dibanding wanita itu, yaitu, seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Clek. Rafael mendorong pintu kamar itu dengan sangat hati-hati. Berusaha untuk tidak mengganggu seseorang di dalam sana. Sampai kehadirannya cukup membuat seorang wanita tua yang tengah duduk di dekat jendela, menoleh untuk sesaat. Hanya sepersekian detik sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke arah luar. Mengabaikan kehadiran Rafael di sana. Melihat reaksi tersebut, mata Rafael memanas. Hatinya bergemuruh marah, namun langkahnya tidak bisa berhenti untuk bejalan semakin mendekat. Mencoba menenangkan dirinya dengan memasang senyum. Hingga ketika dia sudah berada tepat di belakangnya, tanpa basa-basi, Rafael segera memeluknya dengan sangat erat. "Mama."PRANG!!! Suara pecahan kaca terdengar saat sebuah piring melayang ke lantai. Makanannya pun ikut berhamburan. Mengotori keramik putih dan membuatnya tampak berantakan. Siapa lagi yang melakukannya selain Kiana? Wanita yang kini malah membuang makan siangnya sendiri. "AKU TIDAK MAU MAKAN! AKU MAU BEBAS!" teriak Kiana pada seorang perawat wanita yang membawakan makan siang untuknya. Kedua tangannya yang dilepas sementara, membuatnya mudah memberontak. Menatap perawat itu dengan sengit hingga Kiana tiba-tiba menarik lengannya tanpa sang perawat sempat menghindar. "BEBASKAN AKU! Bawa aku pergi dari sini!" "Awww ...." Cengkeraman tangan Kiana begitu kuat dan sedikit melukai sang perawat hingga terdengar rintih kesakitan. Berusaha melepaskan diri dari Kiana, meski semua itu tent
Tiga hari setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun perawat yang berani mendatangi tempat Kiana berada. Jika bukan karena Kiana ingin buang air, mereka tidak akan datang. Kalaupun datang, mereka hanya mau Kiana tetap diborgol dan tentunya, ditemani oleh satu orang lainnya. Menjaga jarak sejauh mungkin sebelum wanita itu mengamuk. Ketimbang seperti pasien gila, Kiana lebih mirip seperti seorang tahanan. Hanya saja, tempatnya dikurung berbeda dari para penjahat lain. Saat waktu makan pun, Kiana sama sekali tidak dilepas. Dia tetap diborgol. Demi keselamatan, para perawat hanya membiarkan salah satu borgol tangan kanan Kiana yang dibuka, sedangkan tangan lain dan kedua kakinya terus diborgol. Mereka menganggap, jika Kiana adalah pasien yang paling berbahaya. Apalagi saat mengetahui catatan hitam tentang wanita itu juga peristiwa menggemparkan beberapa hari lalu. Ketakutan menyusup ke
Mata yang tadi terpejam itu, perlahan mulai terbuka. Berkedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Suara lenguhan terdengar sangat lirih saat rasa sakit di kepala menghantamnya. Memaksanya untuk bangun seketika, hingga saat matanya terbuka secara penuh, tatapan pertama matanya langsung jatuh pada seorang laki-laki yang berada di sisi kanannya. Dia adalah Rafael. Melihat kehadiran orang tersebut, dahinya sontak berkerut dalam. Masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi? Tak hanya sampai sana, dia juga menyadari sesuatu. Menyadari saat tangannya dipasangi sebuah infus dan dia berada di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Tergugu di tempat, hanya itu yang terjadi padanya. Sampai akhirnya, laki-laki yang dia lihat pertama kali mulai membuka suara. "Percobaan bunuh diri. Apa yang ada dalam pikiran dangkalmu? Kaupikir, semua akan selesai saat kau mati?" Ucapan bernada dingin dan sarkas itu ter
"Rafael, Kakek harap kamu segera keluar dari rumah sakit itu dan bantu Kakek mengurus perusahan. Kau tahu, 'kan, Kakek sudah sangat tua dan tidak ada lagi yang bisa mengurusnya selain kamu," ucap seorang pria paruh baya yang berusia sekitar delapan puluh tahunan. Menatap cucunya yang tampak selalu memasang wajah enggan. Mereka tengah duduk saling berhadapan di ruang tengah, namun tidak ada satu pun makanan atau minuman yang tersaji di meja. Atmosfer yang mengelilingi mereka juga terasa dingin. Tatapan tajam bak sinar laser tampak menyorot pria tua berkemeja rapi dengan dasi di lehernya. Semua rambutnya tampak beruban, tak menyisakan satu pun yang berwarna hitam. Dialah Guzman, kakek kandung dari Rafael sekaligus pemilik dari rumah sakit jiwa yang Rafael urus. "Aku tidak bisa. Suruh saja Om Mario untuk mengurusnya," balas Rafael dengan nada acuh. Bersandar dan melepas jas putih yang selalu m
Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya. "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?" Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan
Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya. Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini. Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi be
"Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?" Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak. "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya." Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengataka
"Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan. Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar. Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran. "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.