Share

Mulai dari Awal

    "Raf, kau kenapa? Kenapa menutup mulutnya seperti itu?" tanya dokter Ken yang baru saja masuk ke ruangan Rafael. Dia sedang bersantai saat tugasnya sudah selesai. Niatnya datang untuk mengajak Rafael makan.

    

    Memang, mereka berdua cukup dekat dari kuliah. Sudah hal biasa bagi Ken dan Rafael makan bersama. Meski ada beberapa yang menganggap kedekatan mereka seperti ada sesuatu. Mengingat kalau keduanya tidak pernah terlihat memiliki pasangan, tapi tentu saja itu tidak benar.

    

    Tanpa disuruh dan diizinkan sang pemilik ruangan, Ken dengan santainya duduk tepat di hadapan Rafael. Tempat yang tadi Kiana tempati. Menatap rekan kerja sekaligus temannya dengan tatapan seperti sedikit heran.

    

    "Bukan apa-apa. Ada apa ke sini?" tanya Rafael tanpa menurunkan tangannya dari mulut. Dia terus menutupinya seolah tidak mau Ken melihat kondisinya.

    

    "Ckk, aku tidak bisa mendengarmu, turunkan tanganmu," ucap Ken, dia jelas berbohong. Telinganya tentu bisa mendengar perkataan Rafael, tapi dia penasaran dengan sikap temannya.

    

    "Katakan atau pergi." Terlihat Rafael mulai sedikit terganggu, namun karena hal itu pula, Ken malah semakin tidak bisa menahan rasa penasarannya. Hingga dengan jahilnya, dia menarik tangan laki-laki itu hingga terlepas. Memperlihatkan bibir Rafael yang terluka karena ulah Kiana.

    

    Seketika itu juga, Ken dibuat terdiam dengan mata melotot kaget. Membuat Rafael lantas mendelik kesal dan mengomel. Namun dengan tidak tahu dirinya, laki-laki berlesung pipi itu malah tertawa terbahak-bahak melihat bibir Rafael yang berdarah dan bengkak saat bicara. Air mata tampak berderai saking tidak bisa menahan apa yang menurutnya sangat lucu. Pintu ruangan yang memang sedikit terbuka, membuat perawat dan dokter lain sedikit penasaran. Meski mereka tidak mau mengganggu waktu Rafael dan Ken.

    

    "Apa yang kaulakukan? Apa kau baru saja berciuman dengan seseorang? Siapa wanita itu? Lihatlah, bibirmu sampai seperti itu. Sepertinya, ciuman itu sangat berkesan," ejeknya tanpa menghentikan kekehannya sedikit pun.

    

    Sementara Rafael yang mendengarnya hanya bisa memasang wajah masam tanpa mau menanggapi pertanyaan Ken. Dia benar-benar kesal saat ditertawakan. Apalagi mengingat saat wanita itu menciumnya. Tanpa sadar, tangannya mengepal. Rafael berusaha melupakan kejadian memalukan itu. Meski sebenarnya, kejadian tadi cukup membekas. Mengingat Kiana satu-satunya wanita yang melakukan hal tersebut.

    

    Akibat kelakuan Kiana, bibirnya benar-benar sakit dan perih. Beberapa bagian ada juga yang bengkak meski sudah dikompres. Ya, Rafael tahu, ini juga salahnya karena memancing wanita itu duluan. "Jangan bicarakan itu. Katakan, apa tujuanmu ke sini?"

    

    "Kau terlalu sopan pada orang yang berusia lebih tua darimu, tapi, ya sudahlah, kau memang seperti itu. Aku datang karena mau mengajakmu makan," ujar Ken sambil mengangkat kedua bahunya. Berusaha untuk tidak tertawa.

    

    Ajakan itu, tentu langsung membuat mata Rafael memicing. Dia menatap laki-laki yang duduk di hadapannya dengan malas. "Aku tidak mau. Kau cari saja teman yang lain."

    

    Tidak langsung menanggapi, Ken malah menatap Rafael dengan tatapan dalam, membuat laki-laki itu sedikit risih. "Kau dalam masalah? Apa ini mengenai ibumu lagi atau wanita itu? Siapa namanya? Kiana?"

    

    "Jangan bahas wanita itu di sini. Tugasku sedang banyak, pergilah," usir Rafael dengan nada tidak sukanya.

    

    Spontan perkataannya membuat Ken langsung menaikkan alisnya. Dia tampak heran sekaligus penasaran. "Kenapa? Bukannya tadi wanita itu di sini? Mood-mu berubah buruk hanya karena wanita itu?"

    

    Sebelum masuk, Ken sempat melihat Kiana yang dibawa dalam kondisi tak sadarkan diri dari ruangan Rafael. Wanita itu dibawa oleh dua orang perawat laki-laki. Kalau tidak salah, ini memang waktu Kiana menjalani terapi, tapi kenapa wanita itu malah keluar dalam keadaan pingsan?

    

    Berbagai macam pertanyaan, bermunculan dalam kepalanya. Ken menebak apa yang terjadi, sampai sebuah kesimpulan tiba-tiba membuat mulutnya spontan membulat. Menatap penasaran ke arah bibir Rafael dan merangkai segala macam kebetulan. Jangan bilang, kalau ....

    

    "Jangan bilang, kalau kalian berciuman? Bibirmu itu, gara-gara dia? Benar, 'kan? Kau berciuman?" Karena terlalu semangat, Ken sampai menggebrak meja Rafael dan membuat laki-laki itu terkejut. "Astaga! Kubilang juga apa! Wanita itu memang cantik. Bahkan kau pun tergoda, tapi kalian tidak sampai melakukannya, 'kan?"

    

    "Kau mau tahu?" Wajah Rafael sudah tampak merah saking kesalnya dengan perkataan Ken, namun dengan polosnya, laki-laki itu malah mengangguk, membuat Rafael seketika itu juga lantas memukul kepalanya. "Pergi, jangan menggangguku!"

    

    "Sialan! Kau tidak ada sopan-sopannya pada kakakmu ini!"

    

    "Aku tidak sudi punya kakak sepertimu."

    

    Ken hanya membalasnya dengan cengiran khas, dia sama sekali tidak tersinggung akan perkataan Rafael. "Tapi aku benar-benar tidak menyangka, kau bisa tertarik pada pasienmu sendiri. Benar-benar diluar dugaan."

    

    "Teruslah bicara, dan kau akan kehilangan kariermu."

    

    ***

    

    "Kak, tolong Kiana. Tolong keluarkan dia dari sana," ucap Andrew sambil memohon di hadapan seorang laki-laki yang duduk di meja kebesarannya. Sementara dia berlutut di sana. Meminta belas kasih dan pengampunan untuk orang yang dia cinta.

    

    Demi Kiana, dia rela merendahkan dirinya di hadapan sang kakak yang tidak pernah dia akui sebelumnya. Orang yang selalu membuat hatinya diliputi rasa iri dan dengki, namun karena sebuah kejadian, pandangan itu berubah. Dia kini paham jika kakaknya sangat menyayanginya, meski dia sudah melakukan kesalahan yang tak termaafkan.

    

    "Tidak. Aku tidak bisa menuruti kemauanmu. Dia bersalah, kau tahu sendiri apa yang dia lakukan pada istriku. Aku harap, kau lupakan saja wanita itu. Dia buruk untukmu, masih banyak wanita baik-baik di luaran sana."

    

    "Tidak. Aku tidak bisa mencintai orang lain selain dia." Bahkan keberadaan Sashi yang kini menjadi kakak iparnya sendiri pun, hanya mampu mengisi hatinya untuk sesaat. Nyatanya, setelah kedatangan Kiana, dia kembali mencintai wanita itu.

    

    "Kalau begitu, jangan meminta hal yang jelas-jelas tidak akan aku kabulkan. Pergilah!"

    

    Kepala Andrew spontan tertunduk. Pada akhirnya, dia juga tetap tidak bisa membujuk Arkan untuk mengeluarkan Kiana. Posisinya yang memang dalam keadaan bersalah, sama sekali tidak bisa meminta lebih dari ini. Orang tuanya pun, pasti akan melakukan hal yang sama. Alhasil, dengan perasaan putus asa, Andrew bangkit dan berjalan keluar dari ruangan Arkan.

    

    Dia berjalan gontai menyusuri koridor kantor. Tampak beberapa karyawan menatapnya penasaran. Melihat penampilan Andrew yang sangat jauh berbeda saat masih bekerja di sana. Beberapa di antaranya ada yang menatap remeh juga. Mereka jelas mengetahui berita tentang dirinya yang pernah masuk penjara karena Arkan, namun tidak lama karena papanya membelanya mati-matian. Kakak dan ayahnya sempat berdebat panjang bahkan bersitegang soal dirinya, tapi pada akhirnya Arkan mengalah dan membiarkan Andrew bebas.

    

    Kali ini, Andrew juga tidak menyalahkan Arkan. Laki-laki itu jelas ingin melindungi harkat martabat Sashi sebagai istrinya dan jelas, tindakannya sudah melewati batas. Dia mendapatkan balasan setimpal.

    

    Andrew berjalan menuju motor bututnya untuk pulang ke rumah. Rumah yang Arkan berikan padanya. Dia tidak bisa lagi tinggal bersama orang tuanya. Perasaan malu itu tetap ada, meski mereka selalu menyuruhnya untuk tinggal bersama. Tidak ada yang bisa Andrew berikan pada orang tuanya, selain masalah-masalah yang semakin memperumit kehidupan mereka, karena itulah, dia belajar untuk hidup mandiri.

    

    Entah apa yang akan diakuinya nanti pada Kiana. Bagaimana Andrew menjelaskan kalau kehidupannya tidak seperti dulu. Dia tidak punya kuasa apa pun untuk membebaskan Kiana. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Andrew hanya bisa menatap bangunan tinggi di depan matanya dengan pandangan lesu, kemudian beralih menatap motornya. Semuanya mulai dari awal.

    

    Andrew mengepalkan tangannya. Dia akan bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk mencari jalan keluar bagi wanitanya, tapi tentunya, Andrew tidak akan lagi menggunakan cara yang salah. Dia tidak mau kehilangan lebih dari apa yang didapatnya saat ini.

    

    "Aku berjanji, aku akan mencari cara untuk membebaskanmu dan kita akan hidup bersama, Kiana."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status