Share

Sebuah Ciuman

    "Katakan, apa yang kau alami dan rasakan sebelumnya. Apa kau memiliki trauma?"

    

    Rafael menatap Kiana yang duduk di hadapannya dengan tidak nyaman. Semua terlihat dari tatapan Kiana yang seperti enggan melihatnya. Wanita itu berkali-kali menatap pintu keluar dan menatapnya takut. Saat ini, mereka tengah menjalankan sesi psikoterapi untuk Kiana, berdua di ruang kerja Rafael dengan sebuah meja yang menjadi pembatas. Rafael perlu memeriksa kondisi mental wanita itu untuk catatan medis. Apakah Kiana sudah baik-baik saja atau tidak.

    

    "Apa itu penting? Tidak ada yang perlu kejelaskan lagi, kau sudah tahu semuanya."

    

    Meski tatapannya terlihat enggan dan tak nyaman, namun Kiana masih tetap bisa membantah. Dia tidak bisa lagi percaya pada Rafael setelah laki-laki itu mengatakan kalau dia memiliki gangguan mental. Kiana merasa, dia akan dalam masalah jika mengatakan semuanya pada Rafael.

    

    "Maksudmu, tentang masalahmu yang membunuh orang atau tentang kenekatanmu yang menjebak dan membuat masalah untuk laki-laki yang berambisi memenjarakanmu? Siapa namanya? Arkan? Kau melakukan hal gila itu untuk mendapatkannya?" tebak Rafael sambil tersenyum miring. Dia bisa melihat tubuh Kiana yang membeku dan tatapan yang terbelalak kaget.

    

    "K-KAU!!" Kiana mengepalkan tangannya kuat. Wajahnya berubah tegang. Dadanya bergemuruh hebat. Tidak. Jangan Arkan. Dia tidak bisa jika harus kembali membahas laki-laki itu. Kiana tidak bisa menahan rasa sakit karena tidak bisa memiliki apa yang dia mau. Jangan dia.

    

    Sayangnya, Rafael yang menyadari perubahan sikap Kiana saat membahas Arkan, tersenyum tipis. Dia semakin tertarik untuk membuat wanita itu jujur atas semuanya. "Sebenarnya apa alasanmu mengincar laki-laki yang sudah beristri? Kekayaan atau ambisimu? Beberapa tahun lalu, di mana ibumu meninggal, kau juga mengalami kecelakaan dan membuat orang itu merasa bersalah. Kiana, kau wanita yang sangat jahat. Kau depresi karena tidak bisa memiliki apa yang kauinginkan."

    

    "A-apa? Itu t-tidak benar! A-aku tidak s-seperti itu!"

    

    "Mengelak. Kau tahu benar apa yang kaulakukan waktu itu. Kau terlalu serakah sampai membuatmu harus kehilangan segalanya. Bahkan kebebasanmu. Apa itu yang selalu orang tuamu ajarkan? Wanita yang merendahkan harga dirinya hanya untuk menggoda suami orang. Sayangnya, kau harus frustrasi saat tidak bisa memilikinya. Kiana, sebenarnya apa yang membuatmu melakukan itu? Aku yakin, kau tidak benar-benar berpikir ini karena cinta, 'kan?"

    

    Ada nada mengejek terdengar dalam kalimat Rafael. Laki-laki itu dengan lugasnya membeberkan semua kelakuan memalukan bagi Kiana demi memancing wanita itu untuk membuka mulut. Rafael tahu, kata-katanya sedikit kejam dan ini sedikit melenceng dari tujuannya melakukan psikoterapi, tapi untuk Kiana, dia rasa tidak masalah. Wanita itu pantas mendapatkannya. Lagi pula, Rafael tidak benar-benar berniat untuk menyembuhkan Kiana atau membuat wanita itu nyaman.

    

    Sementara Kiana hanya menggeleng. Wajahnya sedikit pucat. Dia tidak bisa mendengar perkataan Rafael yang seperti menyalahkannya. Dia tidak bisa melihat tatapan jijik Rafael padanya. Hal tersebut malah membuat Kiana kembali mengingat kenangan buruknya, saat orang-orang mencemooh dan mengatainya anak haram. Saat tidak ada seorang pun yang mau berteman dengannya, begitu juga dengan Arkan dan orang tua laki-laki itu yang kecewa padanya.

    

    Orang tua? Kiana tidak punya orang tua. Dia tidak tahu siapa mereka. Dia hanya tahu, ibunya yang kejam dan suka menyiksanya yang mungkin lebih cocok dipanggil iblis ketimbang manusia, tapi tentu, jawaban itu tidak bisa Kiana katakan. Dia hanya menatap Rafael sambil menggeleng, Kiana tidak bisa membuka luka lamanya. "Hentikan. Aku tidak mau melakukan ini. Aku ingin kembali."

    

    "Tidak, kau harus melakukannya--"

    

    "TIDAK MAU! JANGAN MEMAKSAKU! KAU DOKTER JAHAT! KAU JAHAT!" Kiana berteriak sambil menggebrak meja. Tubuhnya bergetar hebat karena bayang-bayang menakutkan yang terkubur bertahun-tahun, harus kembali bermunculan saat Rafael mengingatkannya.

    

    Entah dari mana Rafael bisa tahu masalahnya dengan Arkan hingga sedetail itu. Meski mungkin, sebagian didapat dari sidang. Dari pengakuan-pengakuan Arkan saat dia berusaha menjebak laki-laki itu untuk tidur bersamanya atau saat dia mendapat tuduhan berusaha meracuni Sashi dalam minumannya. Padahal, dia tidak melakukan itu. Kiana hanya memasukkan obat tidur, bukan racun. Arkan berbohong untuk membuatnya mendekam di penjara dan hal itu cukup membuat Kiana frustrasi.

    

    "Jadi benar, itu masalahmu. Kau merasa depresi karena tidak bisa meraih apa yang menjadi ambisimu." Rafael menatap Kiana dengan gaya berpikir. Menebak apa yang wanita itu pikirkan. Kadang pikiran Kiana mudah terbaca, kadang juga tidak.

    

    "Apa ucapan seperti itu pantas diucapkan olehmu!"

    

    "Apa yang salah dari ucapanku? Apa itu membuatmu tersinggung? Kau tidak ingin memberitahuku, karena kau tahu, itu adalah hal yang cukup memalukan. Aku semakin yakin, ada yang salah dengan otakmu."

    

    Wajah Kiana berubah merah padam. Kata-kata penuh provokasi Rafael, berhasil membuatnya bangkit dan langsung menerjang Rafael yang tengah duduk di kursinya. Duduk di pangkuannya sembari memegang kerah jas putih kebesarannya. Menatap Rafael dengan tatapan penuh ancaman.

    

    "Kau tahu, aku sangat muak melihat wajahmu. Aku ingin sekali membunuhmu!"

    

    Rasa tak nyaman yang tadi terlihat dalam sorot mata Kiana, kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanya tatapan emosi karena merasa Rafael terlalu turut campur dalam masalahnya. Kiana kesal saat laki-laki itu seolah tahu kehidupan macam apa yang dia jalani selama ini. Meski kenyataannya, Rafael hanya orang asing yang bahkan sama sekali tidak tahu apa yang dia rasakan selama ini.

    

    Akan tetapi, diluar dugaan, Rafael justru terkekeh kecil mendengar ancaman Kiana yang bisa kapan saja membunuhnya. Dia menanggapi itu sebagai lelucon seorang anak kecil yang sedang bertengkar. Tidak berarti apa pun padanya.

    

    "Apa kau menganggap ini lelucon! Kau akan mati ditanganku!" Kiana dengan cepat meraih vas bunga dan berniat untuk melemparkannya di kepala Rafael. Sayangnya, niatnya itu sama sekali tidak berhasil, karena Rafael bisa dengan cepat mencengkeram erat lengannya dan membuang vas bunga itu hingga terdengar suara pecahan keramik.

    

    Hingga tanpa disangka, Rafael langsung mendorong wanita itu ke belakang sampai tubuhnya menabrak meja kerja dan secepat itu pula, Rafael menyingkirkan semua barang-barang di mejanya. Mendesak Kiana yang ingin bangkit, dan membuat posisi wanita itu menjadi tak berkutik.

    

    Kiana terdengar meringis, dia sedikit kesakitan saat dengan dorongan kuat yang Rafael lakukan. Untuk sekadar bangun dari posisinya pun, sangat susah. Tubuh Rafael mendesaknya terlalu dekat. Tubuh mereka bahkan terlihat menempel satu sama salin dengan kedua tangannya yang digenggam oleh laki-laki itu.

    

    "Lepas! Atau aku akan membunuhmu!"

    

    Rafael menatap mata Kiana sebentar, sebelum kemudian menjawab dengan nada dingin, "Harusnya, kau tahu siapa yang berada posisi dalam bahaya."

    

    Kiana tampak menunjukkan ekspresi terkejut, tapi kemudian malah tertawa, "Kau akan membunuhku?"

    

    "Tidak. Aku masih waras untuk melakukan hal itu. Dibandingkan itu, aku lebih tertarik ... dengan tubuhmu," lirih Rafael sambil mendekatkan bibirnya ke arah telinga Kiana. Membuat wanita itu tersentak kaku.

    

    Kiana sama sekali tidak bisa bergerak. Pikirannya mendadak buntu setelah mendengar perkataan Rafael. Dia sulit mempercayai apa yang didengarnya. Akhirnya, laki-laki itu menunjukkan jati diri yang sebenarnya. "Apa kau akan melecehkan pasienmu sendiri? Aku bisa melaporkan tindakanmu sebagai pelecehan seksual!" ancam Kiana dengan sedikit suara bergetar. Dia merasa gugup saat hembusan napas Rafael mengenai lehernya.

    

    "Kau pikir, orang waras macam apa yang mau percaya pada wanita jahat dan gila sepertimu?"

    

    "KAU ... dasar sialan! Aku akan merobek mulutmu." Kiana berusaha memberontak, namun sekuat tenaga, Rafael menahan kedua lengannya. Tak memberikan Kiana ruang sedikit pun untuk bergerak. Seriously? Sesi yang harusnya menjadi waktu bagi Rafael melakukan psikoterapi, malah berubah jadi ajang perdebatan dan tindakan kurang ajar? Rafael bahkan tidak mau beranjak menjauh dari Kiana.

    

    "Katakan, bukankah ini sudah biasa untukmu? Laki-laki itu, kau juga memuaskannya, 'kan? Bagaimana kalau kau melakukan hal yang sama padaku? Mungkin saja, aku akan berubah pikiran dan membantumu keluar dari sini, tapi tidak, aku berubah pikiran. Aku sama sekali tidak tertarik dengan wanita sepertimu."

    

    Wajah Kiana tampah merah mendengar perkataan itu. Dia sangat marah. Kiana tahu, dibanding sebuah negoisasi, itu terdengar seperti penghinaan baginya. Rafael sedang menghinanya. Laki-laki itu ingin merendahkan harga dirinya. Terbukti, beberapa saat kemudian, Rafael kembali menjauhkan diri dan menatapnya jijik. Selalu seperti itu.

    

    Harga dirinya terluka. Kiana sangat tidak suka dengan orang yang meremehkannya. Hingga dia tanpa basa-basi, menarik tangan Rafael dan mencium paksa bibir laki-laki itu saat akan pergi. Bukan ciuman seperti yang sering dilakukannya pada Andrew, tapi Kiana menggigit bibir Rafael yang menyebabkan bibir laki-laki itu terluka dan berdarah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status