Share

Mencurigakan

    Lagi-lagi, Kiana terbangun di tempat yang sama, ranjang yang sama dan suasana yang sama. Meski sudah hampir dua minggu berada di dalam rumah sakit jiwa itu, tapi dia masih belum terbiasa. Semuanya terasa sangat asing, membuatnya begitu merindukan rumah. Tentu saja semua itu hanya angan belaka. Hal yang sulit untuk menjadi nyata. Meski beberapa hari terakhir, seperti ucapannya, Andrew selalu datang untuk menjenguknya. Laki-laki itu selalu bercerita tentang kehidupan yang akan mereka jalani nantinya.

    

    Senang? Entahlah, seperti biasa, Kiana hanya bisa terdiam mendengarnya. Dia juga berharap seperti itu, tapi bahkan untuk keluar dari ruangan ini pun terasa sangat sulit. Dia hanya diizinkan keluar jika dokter memanggilnya. Satu hal yang bisa Kiana lakukan hanya menatap para pasien lain dari balik jendela. Entahlah, itu terasa seperti kebiasaannya untuk saat ini.

    

    Bukan. Bukan Kiana mulai menerima dirinya, dia hanya terlalu bosan dan apakah memang begini cara merawat orang yang terkena gangguan mental? Bukankah, dengan terkurung sendirian di ruang pengap hanya akan menambah rasa stressnya saja? Kenapa mereka tidak kunjung membiarkannya keluar?

    

    Kiana sudah tidak lagi menyerang atau berteriak. Dia tidak membuat kegaduhan yang bisa membuat mereka takut, kecuali ... mungkin kejadian beberapa hari lalu saat dia membuat bibir dokter sialan itu terluka. 

    

    Mengingat kejadian tersebut, bibirnya spontan tersenyum. Itu adalah kejadian yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Dia puas memberi pelajaran untuk dokter itu. Harusnya, Rafael mendapat lebih dari apa yang dilakukannya. Rafael adalah seorang dokter yang sombong dan memiliki mulut berbisa. Kiana juga tidak suka dengan sikap dan tatapan meremehkan Rafael padanya. Laki-laki itu selalu menunjukkan ekspresi jijik atau terkadang menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

    

    Apa salahnya? Apa Kiana melakukan atau mengusik laki-laki itu? Dia rasa, sebaliknya. Rafael sendiri yang memulainya.

    

    Kiana kembali termenung sambil menatap pemandangan luar. Mengetuk-ngetuk jarinya. Di sini, tidak ada sesuatu yang bisa dia mainkan. Ruangan tempatnya dirawat juga terlalu kosong. Lemarinya hanya berisi pakaian yang sama, seolah dia tidak pernah ganti. Ponsel miliknya pun tidak ada, apalagi TV. Alat-alat tulis atau hal lainnya. Warna putih seolah menjadi ciri khas identik yang Kiana lihat di sana. Meski ruangannya yang kebetulan berada di mana arah matahari terbit, membuatnya sedikit hidup tidak terlalu suram dan hangat saat siang.

    

    Hingga di tengah lamunannya itu, sebuah ketukan pintu terdengar, mengalihkan perhatian Kiana yang asyik menonton keadaan luar. Rupanya, dua orang perawat datang membawa makan siang untuknya. Tampak keduanya berjalan takut-takut. Mungkin mereka masih ngeri dengan kejadian dulu, saat Kiana menyerang salah satu perawat. Kalau dia tidak salah dengar, perawat itu sampai mengundurkan diri.

    

    "Apa itu makan siang untukku?" tanya Kiana sembari berjalan mendekat.

    

    "Iya, makanlah. Kami harus segera kembali. Dokter Rafael juga menitipkan obat," jawab salah satu dari mereka saat Kiana berada di depannya.

    

    'Dokter sialan itu?' gumam Kiana, namun pertanyaannya itu tidak dia suarakan.

    

    "Oh, apa tidak ada perintah lain? Kapan aku bisa keluar? Maksudku, aku ingin seperti mereka. Keluar dari ruangan ini!" Kiana melirik ke arah jendela, di mana masih terlihat sekumpulan pasien lain yang bermain.

    

    Tampak setelah mendengar pertanyaan Kiana, kedua perawat itu terdiam beberapa saat, sebelum kemudian saling berpandangan. Mereka seolah mendiskusikan sesuatu. "Kami tidak tahu. Semua itu keputusan atasan kami. Kami permisi."

    

    Kedua orang itu buru-buru keluar dan mengunci pintu Kiana dari luar tanpa Kiana sempat bertanya lebih lanjut. Dia mendengkus kesal. Mengepalkan tangannya sembari mengumpat. Memangnya siapa atasan mereka itu? Apa ada yang salah dengannya hingga dia mendapat diskriminasi seperti ini!

    

    BERENGSEK! Kiana benar-benar dipenjara! Apa bedanya berada di balik jeruji besi dengan berada di kamar dan tidur di atas kasur, jika sama-sama tidak memiliki izin untuk keluar? Apalagi dia diberi obat yang entah apa fungsi dan kegunaannya.

    

    Kiana segera berjalan dan mengambil beberapa bungkus obat yang dibawakan perawat tadi. Menatap, lalu meremasnya dengan kuat dan langsung menginjaknya. Kiana tidak akan memakannya. Dia tidak perlu obat.

    

    ***

    

    "Hei, kau lihat wanita itu? Dia sexy, Raf. Sepertinya, dia juga menyukaimu," celetuk Ken saat melihat seorang wanita tampak mencuri-curi pandang ke arah mereka. Lebih tepatnya, ke arah di mana Rafael dengan santainya meminum coffee miliknya, namun sang empunya justru tampak acuh. Rafael tak begitu memedulikan perkataan Ken.

    

    Jas putih yang sudah tanggal dari tubuhnya, menyisakan kemeja hitam polos yang tampak membentuk tubuh kekar Rafael. Rambut hitamnya yang tersisir rapi, juga menambah kesan baik pada setiap orang yang melihatnya pertama kali. Garis wajah aristokrat-nya juga membuat Rafael terlihat sangat manly.

    

    "Raf, dia terus melihatmu. Kau tidak ingin mendekatinya?" tanya Ken lagi. Dia terus mengganggu Rafael, sampai terdengar geraman suara penuh kekesalan dari laki-laki itu.

    

    "Berhenti mengoceh dan diamlah!"

    

    Seandainya saja, seandainya kakeknya tidak mendatangi rumah sambil membawa calon istri untuknya, Rafael tidak akan mau pergi ke kafe bersama Ken. Dia akan lebih senang merebahkan tubuhnya setelah rasa lelah merongrongnya seharian ini. Dari pada mendengar perkataan tidak bermutu temannya.

    

    Sayangnya, semua itu hanya bayangan. Si kakek tua itu malah semakin berani mengaturnya dan kembali menjodoh-jodohkan dia. Hal tersebut tentu adalah sesuatu yang paling dia tidak sukai. Rafael sangat tidak suka saat Guzman ikut campur dalam masalah pribadi. Kurang tegas apalagi penolakan yang dia lakukan selama ini?

    

    "Seminggu ini, sepertinya kau sedang dalam masalah. Selalu saja memarahiku."

    

    Rafael langsung memutar bola matanya malas. Dia tidak merasa perlu untuk menanggapi perkataan itu. Rafael malah memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menatap keadaan kafe yang terlihat lebih ramai dari biasanya. Wajar saja, mengingat besok adalah weekend. Banyak pasangan muda-mudi yang menghabiskan waktu bersama.

    

    Namun, di saat Rafael sibuk mengedarkan pandangannya, tanpa sengaja matanya berhenti di satu titik. Di arah di mana seorang pelayan pria tampak berdiri sembari memegang papan menu pada pelanggan. Matanya sontak memicing melihat laki-laki itu. Posisinya yang saat itu tengah menyamping, membuat Rafael hanya bisa menatap punggungnya, tapi sepertinya, dia mengenali laki-laki tersebut. Hingga akhirnya, Rafael bisa melihat wajah pelayan itu dengan jelas saat berbalik.

    

    Itu, adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang sering mendatangi Kiana. Laki-laki yang berniat melakukan hal tak senonoh di ruang rawat, jika dia tidak segera datang dan menghentikan mereka. Rafael tidak sengaja melihatnya saat sedang memeriksa ruang pantau CCTV.

    

    "Lho, itu 'kan Andrew? Sedang apa dia di sini?"

    

    Rafael yang mendengar celetukan Ken, spontan menatap temannya. Rupanya, laki-laki itu juga memerhatikan orang yang dia lihat. "Kau mengenalnya?"

    

    "Tidak, kami hanya pernah berbincang sebentar tentang Kiana. Waktu itu, dia sempat mengancam karena pihak rumah sakit memborgol temannya dan tidak membiarkan dia menemui wanita itu," jawab Ken dengan jujur.

    

    Alis Rafael spontan mengernyit. Dia tertarik dengan penuturan laki-laki itu. Rafael memang tidak begitu mengenal siapa Andrew. Teman katanya? Dia rasa, hubungan mereka lebih dari itu. "Kau tidak mengatakan semuanya, 'kan? Tentang kondisi wanita itu?"

    

    "Tidak, aku hanya menjelaskan kalau pasienmu sempat beberapa kali membuat masalah," ucap Ken dengan wajah berpikir. Mengingat-ingat kejadian waktu itu.

    

    Sementara Rafael terdiam sambil terus memerhatikan Andrew yang tampak berjalan ke sana-kemari, mencatat pesanan. 

    

    "Sebenarnya ada apa? Apa laki-laki itu membuat masalah?"

    

    Rafael tanpa ragu langsung menggeleng. Mereka memang tidak bermasalah, tapi .... 

    

    Ingatan Rafael berputar pada kejadian saat dia melihat Kiana dan Andrew berciuman. Meski Ken mengatakan kalau mereka teman, tapi jelas rasanya terlalu tidak mungkin. Dia merasakan ada berbagai macam kemungkinan.

    

    "Laki-laki itu mencurigakan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status