Share

Tidak Seperti yang Dibayangkan

    Pemandangan taman yang dipenuhi oleh bunga dan rumput hijau, juga pepohonan yang cukup tinggi menjadi satu-satunya pemandangan luar biasa bagi Kiana yang kini masih terjebak di ruangannya. Ruangan yang pertama kali dia tempati. Mereka sudah memindahkannya kembali ke ruangan asalnya.

    

    Semua itu karena beberapa hari ini, kondisi tubuh Kiana sudah jauh lebih baik dan yang paling penting dari semua itu adalah saat dirinya kini tak lagi diborgol. Dia dibebaskan. Tentu apa yang Kiana rasakan sekarang, tak terlepas dari hasil protes Andrew beberapa hari lalu yang meminta untuk jangan memborgol atau laki-laki itu akan melaporkan masalah ini.

    

    Alhasil, mereka pun setuju. Hal itu juga diizinkan saat melihat Kiana tidak lagi menyerang siapa pun beberapa hari terakhir selama dirawat. Menurut dan meminum obat sesuai anjuran dokter. Meski saat ini, mulutnya justru lebih sering terkunci rapat. Tidak lagi berteriak meminta pulang.

    

    Kiana sangat senang. Tentu dia cukup puas saat bisa terbebas dari belenggu rantai besi yang mengekangnya. Dia senang saat masih ada Andrew yang begitu memedulikannya. Teman yang dia peralat untuk mencapai tujuannya. Memanfaatkan Andrew yang begitu tergila-gila padanya untuk melakukan apa yang dia mau.

    

    Dia jahat? Ya, dia jahat. Kiana merasa bagai teman yang buruk. Padahal dia tahu kalau perasaan laki-laki itu begitu tulus padanya. Dari belasan tahun lalu hingga saat ini, Andrew masih sangat mencintainya. Laki-laki yang harusnya mampu Kiana cintai, tapi sialnya, dia malah memilih Arkan sebagai laki-laki idamannya, kakak dari Andrew.

    

    Kiana berusaha merebut hati Arkan yang saat itu sudah beristri. Gilanya lagi, dia tidak masalah jika harus menjadi orang ketiga dalam rumah tangga laki-laki itu. Meski sekarang, Kiana harus mendapatkan buah dari hasil perbuatannya sendiri.

    

    Semua orang pasti mengatainya bodoh. Harusnya, Kiana menerima Andrew, tapi bahkan sampai saat ini sekali pun, dia masih menganggap laki-laki itu sebagai temannya saja, tidak lebih. Walaupun Andrew pernah menjadi laki-laki pertama yang menyentuhnya. Melewati batas pertemanan sesungguhnya, tapi kalau boleh jujur, Kiana merindukan kehangatan tubuh Andrew. Hanya tubuh, bukan hati.

    

    Kiana menatap kembali pemandangan beberapa pasien lain yang bermain di taman itu. Dia yang kebetulan berada di lantai satu dan ditempatkan di ruangan yang sangat strategis, membuatnya bisa melihat aktivitas di luar sana. Ya, dia bisa melihat semuanya lewat jendela, meski Kiana tetap belum diizinkan untuk keluar satu sentimeter pun dari ruangannya.

    

    Dalam pemandangan itu, Kiana merasa sedikit heran dan tak percaya. Pasien di rumah sakit jiwa ini, tidak sepenuhnya menakutkan juga tak beradab atau bahkan berperilaku seperti orang gila yang sering dia lihat di luaran pada umumnya. Ya, walaupun ada beberapa yang bersikap seperti anak kecil yang berlarian dan bermain, tapi ada juga yang terlihat normal, tidak seperti pasien gila lainnya.

    

    Kiana tidak tahu, masalah mental apa yang melatarbelakangi mereka hingga berakhir di rumah sakit jiwa ini. Padahal, sebagian dari mereka terlihat seperti tidak memiliki masalah. Sialnya, Kiana memang tidak tahu menahu tentang kasus kejiwaan dan macam-macamnya. Baginya, yang terlihat baik-baik saja, bukanlah orang yang mengalami gangguan mental, namun tentu semua itu salah. Gangguan mental bukanlah sesuatu yang bisa diprediksi oleh mata. Butuh seorang ahli untuk mendiagnosisnya.

    

    Sepertinya, kali ini Kiana bisa melihat pemandangan seperti apa yang menjadi keseharian di sini. Semua pasien diperlakukan sangat baik. Beberapa perawat bahkan menemani mereka. Apakah ini yang memang kebenarannya? Tapi kenapa, mereka bersikap sangat berbeda padanya? Kenapa orang-orang itu memperlakukannya kasar? Atau mungkin, itu semua karena ulahnya sendiri?

    

    Kembali, Kiana mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menatap salah satu pasien wanita yang cukup berumur tengah duduk di sebuah bangku dengan menghadap ke arahnya. Anehnya, tatapan wanita itu terlihat kosong. Posisi duduknya yang tegap juga begitu aneh, seperti patung. Raga itu seolah tak bernyawa, seperti mayat hidup. Senyum pun sama sekali tidak terlihat.

    

    Benaknya, langsung menerka dan bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada wanita tua itu? Namun sebelum pertanyaan terjawab, seseorang tiba-tiba datang dan duduk di samping wanita tua yang menjadi pusat perhatiannya.

    

    "Dokter sialan itu!" umpat Kiana, sedikit terkejut saat mendapati kalau Rafael lah yang ada duduk di samping wanita tua tersebut. Rafael tampak tersenyum manis dan memegang kedua tangan tua itu, membuat Kiana nyaris tidak bisa mengalihkan perhatiannya sedikit pun. Dia dibuat tertegun melihat sikap ramah dan manis yang Rafael tunjukkan. Jelas, karena Rafael tidak pernah memperlihatkannya ekspresi seperti itu, namun malah bersikap hangat pada pasien lain.

    

    Kiana bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, kalau Rafael terus menebar senyum sambil sesekali menyapa pasien lain, meski fokus laki-laki itu terus tertuju pada wanita tua di sampingnya. Ini benar-benar aneh! Kenapa Kiana merasa, kalau hanya dia yang diperlakukan berbeda?

    

    Fokus Kiana terus tertuju pada dua orang tua itu. Melihat gerak-gerik mereka yang menurutnya sangat berbeda. Sampai entah karena instingnya yang begitu kuat, Rafael mengalihkan pandangannya dan menatap tepat ke arah Kiana yang sedari tadi tak memutus perhatiannya.

    

    Dari jarak yang cukup jauh, laki-laki itu seolah mengetahui Kiana tengah menatapnya. Bahkan, ekspresi wajahnya secara spontan berubah 180 derajat. Senyum manis dan tatapan hangatnya, berganti menjadi tajam menusuk. Matanya seolah memperingati bahwa dia tidak suka dengan Kiana yang memerhatikannya, membuat Kiana spontan menjauh karena terkejut.

    

    "Kenapa?"

    

    Kiana bisa merasakan jantungnya yang berdetak sangat cepat ketika matanya dengan Rafael bertatapan. Kenapa? Ada apa dengannya? Kenapa dengan dokter sialan itu? Kenapa melihatnya dengan tatapan seperti benci?

    

    Sekelumit pertanyaan itu terus bermunculan dalam kepalanya. Kiana tidak tahu apa maksudnya, tapi karena terlanjur ketahuan kalau dia mengintip lewat jendela, Kiana memutuskan untuk kembali ke ranjang kecil yang hanya cukup untuk dirinya saja. Dia terdiam sambil memikirkan sesuatu tentang Rafael.

    

    Sementara di lain sisi, Rafael yang sempat melihat Kiana mengintip dari jendela ruangan, sedikit kaget. Hingga dia kembali mengalihkan pandangannya pada wanita tua yang ada di sebelahnya sambil mengusap punggungnya lembut. Isi kepalanya dipenuhi kecurigaan tentang Kiana, namun dia memilih untuk mengabaikan. Sampai akhirnya, Rafael beranjak dari duduknya.

    

    "Mama, kita kembali ke ruangan, ya?" ucap Rafael pada wanita yang ada di sebelahnya.

    

    Sayangnya, tak ada jawaban yang keluar dari sana. Mulut wanita itu terkunci rapat, bahkan sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun saat Rafael memaksanya untuk bangkit. Memindahkannya ke dalam kursi roda.

    

    Rafael mendorong kursi roda itu dengan pelan, melewati beberapa pasien lain yang masih asyik bermain. Sesekali mereka menyapanya, dan Rafael hanya tersenyum manis. Wajahnya yang memang tampan, membuat Rafael terlihat lebih bersinar saat tersenyum. Sayang, laki-laki itu harus menghabiskan seluruh waktunya untuk merawat pasien-pasien keterbelakangan mental, ketimbang menjadi bos dalam perusahaan ritel kakeknya.

    

    Kakeknya jelas lebih suka jika Rafael keluar dari sana, namun dia tidak mau. Bukan tanpa alasan Rafael melakukan ini, dia melakukan ini karena sang mama. Satu-satunya alasan yang membuat Rafael berkeinginan menjadi seorang dokter spesialis kejiwaan, tapi kini, alasan itu bertambah satu.

    

    "Mama, Mama harus sembuh. Rafa ingin kita berkumpul seperti dulu. Rafa berjanji akan membalas semua sakit hati yang Mama rasakan."

    

    Ocehan Rafael masih tetap tidak mendapat tanggapan apa pun. Wanita tua itu hanya diam seperti orang bisu. Pandangannya pun lurus ke depan dan tampak kosong saat Rafael membawanya menyusuri koridor untuk kembali ke ruangan mamanya. Sudah sekian tahun, tapi namanya masih belum menunjukkan perubahan sedikit pun. Hal yang langsung menambah perasaan sakit nan menyesakkan di hatinya.

    

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status