Share

Keanehan

    Kiana menatap Andrew dengan senyum manisnya. Menggenggam tangan hangat itu dan menciumnya. Dia merasa ini seperti mimpi. Setelah satu minggu lebih berdiam diri di rumah sakit jiwa, akhirnya sekarang Kiana bisa melihat seseorang yang dia kenal, temannya.

    

    "Andrew, maafkan aku. Maaf aku membohongimu selama ini, aku hanya memanfaatkanmu," ucap Kiana dengan nada lirih. Tenggorokannya terasa tercekat oleh sesuatu, membuat Kiana sulit menjelaskan, betapa dia amat sangat bersalah pada laki-laki itu. Rasa malu dan penyesalan yang harusnya dia rasakan dulu, kini malah dia rasakan sekarang. "Aku menipumu. Apa kamu membenciku?"

    

    Tatapan Kiana terlihat serius, namun terlihat ada ketakutan dalam sorot matanya. Dia takut, jika Andrew akan kecewa dan meninggalkannya sendiri. Sungguh, seumpamanya itu terjadi, dia akan benar-benar sendiri. Kiana akan hidup sendiri, tanpa orang-orang yang menemani dan menjadi sandaran untuknya ketika lelah.

    

    Hanya dengan memikirkannya saja, itu sudah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, apalagi jika terjadi? Hanya Andrew satu-satunya orang yang Kiana miliki saat ini. Dia berharap laki-laki itu mau memaafkannya.

    

    “Aku marah dan kecewa, tapi aku tidak bisa membencimu, Kia. Aku sangat mencintaimu dan kau tahu semua itu,” lirih Andrew sambil menyentuh rambut cokelat Kiana yang terurai, terlihat sedikit lusuh. Mungkin karena Kiana tidak beranjak dari ranjang sedikit pun. Setelah sempat membuat kehebohan dan dibuat pingsan kemarin, Kiana harus kembali dipasangi infus. Dia masih berada di kamar rawat, bukan kamar bak penjara dengan kedua kaki dan tangan yang terikat.

    

    Seperti kata dokter Ken kemarin, kondisi Kiana masih memprihatinkan. Andrew bisa melihat perbedaan mendasar dengan Kiana yang dia kenal dulu dan sekarang. Entah hanya  perasaannya saja atau memang, di sini Kiana seperti tidak terurus, membuat perasaan ingin melindunginya kembali muncul. Andai saja dia bisa melakukan sesuatu untuk Kiana.

    

    Sungguh, sampai kapan pun, Andrew tidak mungkin bisa membenci Kiana. Dia terlalu mencintai wanita itu lebih dari apa pun. Meski rasanya sakit. Meski dia telah dikhianati dan bahkan tidak pernah Kiana cintai. Andrew bahkan tidak memedulikan perkataan kakaknya yang menyuruh dia untuk mencari wanita lain.

    

    Kiana adalah cintanya dan tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi itu. Andrew yakin, apa yang dia rasakan tidak sebanding dengan penderitaan yang Kiana alami. Penyiksaan. Andrew melihat langsung saat ibu Kiana menyiksanya. Seandainya dia memiliki bukti, Andrew akan membela Kiana dari kasus pembunuhan itu. Dia tahu, kalau Kiana pasti hanya membela diri. Walaupun pada kenyataannya, kesalahan Kiana tak hanya itu, dan kakaknya pasti akan menentang keinginannya.

    

    "Apa itu benar? Kamu tidak membenciku?" Keraguan masih terlihat jelas di mata Kiana. Dia sedikit tak percaya, bagaimana mungkin Andrew mau memaafkannya dengan begitu mudah. "Kamu benar-benar memaafkanku?"

    

    "Aku memaafkanmu, karena aku mencintaimu. Semua orang pernah melakukan kesalahan, Kia dan akan selalu ada kesempatan bagi mereka yang mau berubah." Andrew berucap seraya membingkai wajah Kiana dan membuat wanita itu untuk menatapnya, sampai tanpa diduga, Andrew mendaratkan ciumannya di bibir Kiana.

    

    Bibir yang selama ini selalu dia rindukan, membuat perasaan sedih kembali menguasainya. Dia tidak bisa membayangkan betapa menderitanya Kiana di sini. Meski beruntung, wanita itu tidak merasakan dinginnya berada di balik jeruji besi, tapi, semua tetap memiliki risiko. Mental Kiana terganggu saat harus ada di sana.

    

    "Jadi, jangan lakukan itu. Jangan mencoba untuk bunuh diri lagi," ucap Andrew setelah melepas pagutan bibir mereka. Menyeka bibir Kiana dengan lembut dan hati-hati.

    

    "A-apa?"

    

    Mata Kiana tampak terbelalak mendengar perkataan Andrew. Bingung untuk beberapa saat, sebelum kemudian dia menyadari kalau kemarin, Andrew sempat berbincang dengan dokter yang menyuntikkannya obat bius. Jangan bilang, jika dokter itu mengatakan semuanya?

    

    "Jangan lakukan sesuatu yang bisa membuatmu dalam masalah. Tolong tahan emosimu." Tangan Andrew mengusap kerutan di wajah Kiana. Dia jelas khawatir bukan main saat dokter Ken menjelaskan apa yang terjadi sejak Kiana dibawa ke rumah sakit jiwa itu. Kejadian yang membuat Kiana terlihat berbahaya untuk orang lain. "Apa kamu tidak sadar, dengan kamu yang bersikap kasar dan berkali-kali menyakiti orang lain, mereka akan menganggapmu benar-benar gila, Kia."

    

    "Tapi ... mereka mengurungku, Andrew! Mereka mengikat kedua tangan dan kakiku! Tentu saja aku marah! Aku ini manusia dan ingin bebas. Aku bukan orang gila! Aku ingin pergi dari sini. Tolong, yakinkan mereka kalau aku tidak gila! Aku yakin kamu bisa melakukan sesuatu untukku, Andrew. Tolong bebaskan aku," ujar Kiana dengan air mata yang tampak menetes. Menatap Andrew penuh permohonan.

    

    Kiana sudah tidak peduli kalau seandainya Andrew berpikir dia adalah wanita tidak tahu diri, yang terus saja meminta bantuan setelah membuat laki-laki itu terlibat masalah karena ulahnya. Kenyataannya, saat ini dia memang membutuhkan bantuan laki-laki itu. Hanya Andrew satu-satunya harapan dia untuk melarikan diri dari sini.

    

    Sayangnya, harapan hanyalah harapan. Jawaban dari Andrew justru malah membuat tubuh Kiana semakin lemas. "Maaf, Kia, kali ini aku tidak bisa membantumu. Orang tuaku sedang menghukumku dan Kakakku, dia tidak melarangku untuk ikut campur masalahmu, tapi aku bisa berjanji satu hal padamu, aku akan sering-sering datang melihatmu ke sini."

    

    Andrew menatap Kiana dengan penuh rasa bersalah. Dia juga bersalah, dan kedua orang tuanya menjatuhkan hukuman untuknya. Hal yang memang pantas Andrew terima sejak dulu. Dia selalu menjadi anak pembangkang. Tak pernah absen dalam membuat masalah, apalagi untuk kakaknya, namun beruntungnya, kakaknya memberikan dia kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

    

    Tentu, Andrew ingin berubah menjadi lebih baik lagi dan melupakan masa lalu buruk yang sempat dia lakukan. Kesalahan-kesalahan yang fatal dan hampir saja dia menghancurkan sebuah keluarga hanya gara-gara cinta butanya. Andrew berharap, Kiana juga mau berubah dan mereka bisa hidup bahagia. Meski semuanya mungkin akan terasa sulit.

    

    "Ka-kamu tidak bisa me-membantuku? Lalu, kamu akan m-meninggalkanku sendiri di sini? Andrew, apa kamu tega? Kamu bilang, kamu mencintaiku! Kamu bilang, kamu akan melakukan apa pun! TAPI KENAPA KAMU MALAH TIDAK MAU MELAKUKANNYA! KENAPA!!! KAMU JAHAT ANDREW! KAMU JAHAT SEPERTI KAKAKMU!"

    

    Kiana langsung memukuli Andrew dan menangis histeris. Ketakutan dia akan tinggal selamanya di sini, terus membayanginya. Kiana tidak bisa melupakan kata-kata yang Rafael ucapkan waktu itu. Dia tidak bisa.

    

    "Kiana, Kiana, tenanglah. Kendalikan emosimu." Andrew berusaha menenangkan Kiana yang terus menerus memukuli bahunya. Wanita itu tampak ketakutan dan dia takut kalau tangis histeris Kiana membuat para perawat datang.

    

    "TIDAK! KAMU HARUS MENGELUARKANKU DULU DARI SINI!"

    

    Andrew menyugar rambut hitamnya dan menghela napas kasar, hingga dia tanpa basa-basi langsung memeluk Kiana dengan erat. Mengusap punggung wanita itu untuk menenangkannya. Membisikkan kata-kata yang seketika itu juga membuat Kiana terdiam.

    

    "Aku akan melakukannya, tapi aku mohon, jangan bertindak berlebihan. Kamu harus tenang, aku berjanji akan mengeluarkanmu dari sini. Jangan memancing perhatian orang lain, dan jangan bertindak gegabah."

    

    "Benarkah?" Mata Kiana kembali berbinar mendengar penuturan Andrew, hingga saat itu juga Andrew mengangguk. Membenarkan perkataannya. Rasa senang bukan kepalang hadir dalam hati Kiana.

    

    "Aku akan berusaha, tapi aku tidak tahu kapan aku bisa melakukannya. Aku mohon, jangan lakukan tindakan yang bisa membuatmu dalam masalah, mengerti?"

    

    Perkataan itu langsung dijawab anggukan kepala oleh Kiana. Dia tersenyum senang, hingga saking senangnya, Kiana menarik Andrew untuk kembali berciuman. Hanya itu yang bisa dia berikan sebagai rasa terima kasihnya. Andrew masih mau menerimanya.

    

    "Andrew, aku merindukanmu." Tangan kecil Kiana mengusap rahang kokoh Andrew. Menurun menyusuri leher hingga dada. Tatapannya sedikit bernafsu, menjelaskan jika wanita itu tengah bergairah, namun saat Kiana akan membuka kancing kemeja Andrew, laki-laki itu segera menahannya. Andrew sadar, di mana mereka berada sekarang.

    

    "Berhenti, kita tidak bisa melakukannya di sini. Aku harus pulang."

    

    "Ta-tapi, kita baru bertemu--"

    

    Ucapan Kiana terputus saat tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Membuat Andrew yang dalam keadaan hampir menindih tubuh Kiana, langsung bangkit dan membenahi diri. Mengancingkan kembali bajunya yang sempat Kiana buka.

    

    "Ini kamar pasien, bukan tempat untuk mesum. Waktumu sudah habis, kau tidak boleh terlalu lama berada di sini." Sindiran itu keluar dari mulut Rafael. Dia yang membuka pintu dan menginterupsi kegiatan panas yang akan sempat terjadi. Matanya terlihat memancarkan sorot jijik dengan pemandangan tadi.

    

    "Ah, maaf, tapi kami tidak melakukan apa-apa. Baiklah, aku akan pergi," ucap Andrew sedikit gelagapan. Dia hendak beranjak, sebelum Kiana menahan lengannya. Ada tatapan tidak rela saat Andrew harus pergi, dan hal itu lantas saja membuat Andrew bereaksi dengan memberikan senyum simpul. "Aku akan sering mengunjungimu, Kia. Tenang saja."

    

    Setelah mengucapkan itu, Andrew langsung melepas genggaman tangan Kiana dan berjalan keluar ruangan, melewati Rafael yang sedari tadi melihat adegan menjijikkan itu dengan sinis.

    

    Sementara Andrew sendiri, bisa merasakan tatapan menusuk Rafael padanya saat mata mereka bersinggungan. Menimbulkan tanda tanya yang begitu besar dalam benaknya. Kenapa?

_____

Halo readers, terima kasih yang sudah mengikuti cerita Kiana sampai ke sini😆 tetap pantengin terus ya, jangan bosen. Jangan lupa komen juga, pengen tahu pendapat kalian😙 dan maaf, updatenya suka ngaret.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status