Share

Rumah Si Mbok

Rumah Si Mbok

PoV Daniella Arnetta Vernandi

----

"Tempat macam apa ini, Mbok?! Serius, kita mau tinggal di tempat seperti ini?"

Aku celingak-celinguk menatap seksama baangunan rumah yang akan kutinggali ini. Mataku terus memindai, apa Papa bercanda mau menyuruhku tinggal di tempat pelosok yang amat sangat tidak nyaman ini?

"Iya, Non! Ini rumah Mbok! Memang agak jauh dari pemukiman, tapi nyaman kok, Non! Bapak juga sudah nyiapin semua barang perkakas Non, biar Non nyaman di sini!" Wanita berdaster abu-abu itu, menepuk-nepuk punggungku. Meyakinkan.

"Mbok, lihat datarannya! Rumah ini seperti mau roboh! Trus jarak antara rumah ini sama tetangga lain, jauh banget Mbok! Kayak terisolasi gitu! Trus, pasti di sini susah sinyal!"

"Non! Si Mbok sebenarnya mau  jelasin sejak awal sama Non. Tapi Non udah bersedia tinggal di sini, dibanding di rumah sakit, jadi Mbok merasa, Non lebih baik di sini, Non! Mbok janji bakal bikin Non betah dan nyaman di sini!"

"Betah apanya, Mbok?"

Si Mbok, dan orang suruhan Papa mengajakku melangkah masuk ke gubuk tua ini, gubuk dengan bahan kayu jati kuno. Lantainya pun tak dikeramik apalagi granit, melainkan hanya plesteran semen yang tidak rata. Letaknya seperti terisolasi, jauh dari tetangga. Ada akses jalan setapak ke mari, dan membuat mobil yang kami tumpangi harus diparkir cukup jauh.

"Mbok! Ada AC-nya gak?"

"Ya ndak ada toh, Non! Daerah sini hawane sejuk, Non! Kipas angin, apalagi AC ndak laku di sini!"

Benar juga ya, apa kata si Mbok. Daerah ini cukup sejuk didominasi dataran perbukitan, jadi kontur tanahnya seperti pereng atau lereng. Rumah si Mbok saja, bentuknya seperti meliuk, tidak datar.

Satu-persatu, barang bawaanku diturunkan.

Si Mbok sibuk mengebasi, dan mengelap-elap debu yang menempel di kursi, dan beberapa furniture lain.

Aku minta dibawakan kasur busa nan empuk dari sana. Aku juga meminta ayah membawakan piranti laptop, serta meja portable untuk kumainkan di sini.

Selain mobil yang kami tumpangi, Papa membawakan satu truk box berisi segala fasilitasku dari kota. Aku meminta pada Papa supaya membuat tempatku ini, senyaman kamarku di Jakarta.

Tiga orang pekerja, dibawa langsung dari sana, di bawah arahan Papa.

"Mbok, yang mana kamar aku?" tanyaku.

"Di sebelah sana, Non!" Si Mbok menunjuk kamar kosong, yang pintunya agak susah dibuka.

"Kalau tahu tempatnya kayak gini, aku sekalian kemarin minta ke Papa, buat bawain stiker lantai sekalian, Mbok! Kenapa Mbok nggak bilang kondisinya begini?"

"Maaf, Non! Nanti Non bisa hubungi Bapak lagi, kalau misal ada yang ndak cocok."

Lekas, kucoba menelpon Papa ingin request stiker lantai supaya mirip dengan keramik. Namun tak ada sinyal menyaut sedikitpun. Bagaimana ini? Rasanya tidak nyaman sekali pijakan kaki di plesteran semen seperti ini.

"Non, bapak sudah bawain karpet besar buat di kamar Non! Karpetnya motif alam, warna hijau sama coklat seperti kesukaan Non! Jadi, ndak papa kan dipasang?"

"Ya udah deh, Mbok!"

Para pekerja yang ditugaskan Papa, mulai mendesain dan merenovasi kamar kuno itu menjadi kamar yang nyaman buat kutinggali. Sementara si mbok mengajakku ke dapur, dan kamar mandi untuk menengok isi rumah.

"Untunglah! Kamar mandinya udah layak, Mbok! Aku kira kamar mandinya masih versi kuno, jamban!" kataku begitu melihat kamar mandi yang ... ya lumayanlah.

"Ndak, Non! Udah lama kamar mandinya Mbok renovasi. Dulu, pas dapat kiriman dari Bapak, Mbok minta ke anak Mbok, buat ngerombak kamar mandi, Non!"

"Hmm ... sekarang. Anak Mbok di mana?"

"Merantau Non! Keluar jawa. Biasanya pulang empat tahun sekali. Wong dia sudah punya keluarga orang sana kok!"

"Oh, jadi selama Mbok tinggal sama aku, rumah ini kosong nggak ada penghuninya, Mbok?"

"Iya, Non!"

"Oh, pantesan."

"Tapi, Non! Non jangan khawatir, Mbok berusaha bikin Non nyaman tinggal di sini."

"Ngomong-ngomong, itu kompornya pake kayu, Mbok?!"

Si Mbok mengangguk.

"Iya, Non! Tapi di mobil box barang bawaan dari Bapak. Bapak bawain kompor lengkap sama tabung gasnya, Non! Non ndak usah kuatir."

"Owh ..." Aku mengangguk berulangkali.

"Bapak bawain semua barang yang Non, dan Mbok butuhin di sini, Non! Udah kayak orang pindahan aja, saking banyaknya!"

"Bagus deh! Papa bilang, nggak mau nyusahin Mbok!"

"Mbok! Aku maunya rumah ini dibikin senyaman mungkin seperti rumahku di Jakarta! Tata letaknya, nggak boleh ada yang terlewat sedikitpun!"

"Iya, Non! Mbok akan berusaha sekuat kemampuan Mbok biar bikin Non nyaman seperti di rumah Non di kota!"

***

Beberapa jam setelah para Pak Tukang yang ditugaskan Papa menyulap kamar kuno itu. Ruangan yang mulanya bulukan, kini berubah menjadi kamar dengan desain mewah yang begitu nyaman untuk kutinggali. Ranjang elegan bentuk minimalis berwarna putih susu, sebagai penopang kasur busa nan empuk. Di sudut sana, ada lemari putih bersusun dan ada cermin di salah satu pintunya. Di dekat ranjang ada satu nakas, untuk meletakkan lampu tidur berbentuk rembulan sabit.

Meja riasnya pun dibeli yang mirip seperti yang kupunya di Jakarta. Satu lagi sebagai pelengkap, ada set meja portable, untuk menaruh laptop berikut sound setnya yang berbentuk buah apel. Kamar ini, didominasi warna hijau muda, dan putih susu. Dinding yang semula kayu, kini dilapis dengan GRC Board, dan ditempeli Wallpapper hijau bermotif garis hijau putih vertikal.

Sempurna. Lantainya pun, bukan lagi plesteran. Melainkan sudah ditempel perlak mirip keramik motifnya, dan dilapisi karpet berwarna hijau bercorak polkadot coklat. Indah sekali.

"Gimana, Non! Non suka?"

"Lumayan Mbok!"

"Nggak ada kipas angin, atau AC, Mbok?"

"Ndak ada Non! Hawa dingin ndak butuh Kipas. Di sini airnya dingin kayak es, Non!"

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kupikir, ini bukan hal buruk. Tempat ini, tak jauh berbeda dari rumahku. Semua tertata, akan komplit ditambah dengan kuota internet, dan sinyal yang full.

"Ya udah, Non! Silakan non istirahat. Mbok mau beres-beres lagi di dapur sama bersihin halaman belakang."

"Oke, Mbok! Silakan. O iya, Papa bawa bahan makanan buat aku juga kan, Mbok?"

"Bawa, Non! Bawa! Jangan kuatir! Bahkan Bapak beliin kulkas juga buat Mbok naruh makanan kesukaan Non!"

"Baguslah! Kalau gitu!"

Aku mulai merebahkan bobot tubuhku di ranjang baruku ini. Meskipun Papa kini jauh, namun Papa masih ingin membahagiakan aku dengan semua ini. Papa masih perhatian padaku, ternyata.

Badanku terasa gatal sekali, namun tidak separah biasanya. Dan hari ini, entah kenapa, rasa sakit yang sebelumnya selalu timbul itu tak kurasakan hari ini?

Apakah ini pertanda aku perlahan mulai sembuh? Semoga saja. Sejak sampai di sini, belum ada tanda-tanda kambuh lagi. Semoga selamanya penyakit itu hengkang dari tubuh ini.

Kumainkan ponsel, hendak mencari hiburan yang bisa mengusir rasa suntukku sejenak. Saat kugeser layar dan mulai membuka aplikasi. Ternyata, tak satupun ada sinyal menyaut. Parah sekali! Dua sim, tak satupun ada sinyal? Sebetulnya, daerah macam apa yang kutinggali sekarang?

"Apa-apaan ini? Kuota full tapi nggak ada sinyal?! Apa gunanya! Ini di hutan apa di tempat manusia?!" rutukku emosi.

Lekas aku keluar kamar, mencari Mbok di dapur.

"Mbok! Aku mau keluar rumah! Di sini nyebelin! Nggak ada sinyal! Nyusahin aja!"

"Iya, Non! Emang di sini ndak ada sinyal! Kalau mau sinyal, Non nyari daerah sana! Dulu anak Mbok kalau mau nelpon keluarganya, kudu turun ke sana dulu Non!"

"Turun ke mana, Mbok!"

"Agak jauh, Non! Dekat kebun, di sana kan ada tower!"

"Ya udah, aku mau ke sana!"

"Jangan Non!"

"Jangan kenapa, Mbok!?"

"Nanti kalau Non keluar rumah dilihat warga dengan keadaan dan pakaian kayak gini, nanti Non dikira Wong edan!"

"Apa Mbok bilang?"

"Iya, Non! Sini, Non! Mbok sisiri rambut Non dulu!"

Astagah! Bahkan saking tak peduli lagi aku dengan penampilan, sampai kini keadaanku benar-benar memperhatikan. Rambutku yang sudah disisir, tampak selalu acak-acakan. Bahkan setelah dikuncir pun tetap kugaruk lagi.

"Nggak usah, Mbok! Aku bisa sisiran sendiri!"

"Non! Jangan keluar rumah, Non! Kalau Non mau keluar nanti Mbok anterin, kalau Mbok udah selesai beres-beresnya!"

"Nggak usah, Mbok! Mbok lanjutin aja kerjanya! Aku cuma nyari sinyal bentar doang kok. Aku mau hubungi Papa!"

**************************

Si Mbok benar, dia selalu mewanti-wanti aku agar aku jangan keluar rumah saat pagi, atau siang. Karena saat itu, ramai orang lalu lalang. Si Mbok khawatir, orang-orang yang sama sekali tak mengenalku itu menyangka aku gadis tidak waras yang berkeliaran.

Terang saja, aku pernah keluar rumah saat siang, lalu berjalan-jalan mencari angin segar, kebetulan ada anak-anak tengah berkumpul bermain bersama. Mereka melihatku di jalanan, yang kala itu memang aku sedang mengaruk pipi, tangan, serta rambutku. Mereka meneriaki aku "Orang gil*".

Lalu melempariku batu.

Sudah seminggu lebih aku tinggal di sini, warga di sini memang tak ada yang berani keluar jika sore telah menjelang. Itu waktu yang tepat untukku mencari sinyal. Di tempat yang direkomendasikan Si Mbok dekat Tower sana, memang sinyalnya cukup cepat.

Ada pohon jambu yang tak terlalu tinggi, kupanjat saja, di atas sana juga banyak buah jambu merah yang teramat manis. Duduk di atas batang pohon jambu lebih nyaman daripada di bawah semak, yang banyak ulatnya. Kakiku menjuntai ke bawah, sedangkan pant*tku menduduki ranting kokoh melengkung yang tak terlalu tinggi dan bisa dijangkau untuk kupanjat.

Seperti nasihat si Mbok sebelumnya, aku harus pulang sebelum adzan maghrib berkumandang.

Beberapa kali, ada orang tak sengaja melihatku, tanpa mau melihat lebih detail. Mereka langsung menyebutku "Kuntilanak Pohon Jambu"

Terserah saja mereka mau menyebutku apa. Aku tak peduli. Yang penting aku nyaman di sini. Bisa internetan sepuasnya, dan bisa tahu, kabar dari Papa.

Ada hal yang membuatku hatiku tersayat, hingga aku menangis terisak tanpa henti. Di atas pohon jambu yang amat nyaman sebagai tempat berteduh.

Petang ini, ketika tengah membuka akun media sosialku yang kubuat dengan akun fake. Kulihat di time line.

Laki-laki yang semula kucinta itu ... tengah menggandeng gadis lain, dan mereka teramat mesra. Saling menatap penuh cinta berpose di kafe dekat pantai.

Gadis itu, tentu saja tak ada apa-apanya denganku jika dilihat dari segi fisik.

Tangis, dan amarahku tak dapat lagi kubendung.

Di tengah derai tangisku yang kian menganak sungai dan suara isakan tak tertahan. Ada suara seorang pria tengah menyebut.

"Audzublllahi minasyaitonirrojim. Bismillahirrohmanirrohim!"

Lekas, aku menengok ke bawah memastikan apa yang terjadi, buah jambu manis yang tadi kumakan kulempar begitu saja ke bawah.

"Astaghfirullahaladzim!" ucapnya lagi.

Dari tadi nyebut mulu ni orang. Cukup berani juga dia sampai ke sini. Pasti dia ustadz.

"Siapa itu?! Ngapain ke sini?" pekikku lantang.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status