Part 3
----Gadis angkuh bernama Daniella, harus terisolasi dari ingar-bingar kemewahan orang tuanya, sebab penyakit misterius yang menjangkit fisik, dan mentalnya. Dia terpaksa harus tinggal di desa terpencil hingga warga menyebutnya kuntilanak. Sampai suatu ketika, pertemuannya dengan Ustaz muda bernama Ashrafil Ambiya' dapat mengubah pandangan hidupnya.-----PoV Ashrafil Ambiya----"Ati-ati ada kuntilanak, Pak Ustadz! Pak Ustadz jangan nyari pakan kambing di sana! Di pohon jambu itu ada kuntilanaknya!" Begitulah kata orang-orang yang sering memperingatkanku. Mereka melarangku untuk tidak mencari rumput di semak nan rimbun dekat pohon jambu itu.Aku orang baru di sini, bukan tak ingin mengindahkan peringatan mereka. Hanya saja, apa mungkin ada makhluk halus yang terang-terangan menganggu banyak warga seperti itu?Bukankah manusia dengan mereka beda dimensi!?Ataukah itu hanya rumor mistis saja agar warga tetap waspada, dan cara paling efektif untuk menakut-nakuti anak-anak supaya mereka tak keluyuran jelang malam.Entahlah, kuharap itu tidak benar. Kalaupun benar makhluk halus itu ada, meneror dan mengganggu warga, harusnya mereka diusir. Bukan dibiarkan dan membuat warga was-was seperti itu.Pukul lima sore, setelah mengajar mengaji di surau. Aku melanjutkan pekerjaanku mencari rumput untuk pakan kambing, dan sapi. Selain mengajar mengaji. Bertani, dan beternak adalah kerja sampinganku di desa ini. Saat siang, aku menggarap ladang milik Pak Lurah, dan saat sore, aku bertugas mencari pakan kambing milik Pakde Rosyidin. Beliau adalah Pakdeku yang selama ini menyekolahlanku hingga lulus dari pondok pesantren.Kumulai menggerakkan sabit, dan menyiangi rerumputan hijau. Cukup subur, dan cocok sekali buat ternak Pakde.Belum ada setengah jam, aku sudah dapat cukup banyak rumput, sudah sekarung lebih. Namun, rasanya aku belum cukup puas. Hingga masih keasyikan dan terus menyiangi rumput, tak peduli lagi, sensasi gatal mulai hinggap. Mungkin terkena ulat bulu.Sreet! Srettt! Sret!!Diantara suara sabit, yang menyabet batang dedaunan. Terdengar suara tangis wanita terisak-isak. Suaranya terdengar jelas, dan dalam. Sepertinya suara itu berasal dari pohon jambu berdaun rimbun arah sana. Apakah pohon itu yang dimaksud oleh para warga?Semakin melangkah, aku kian menuju pohon jambu itu. Dari jarak beberapa meter, ada aroma bus*k menyeruak. Spontan, kuletakkan sabitku di tanah, dan kututup hidungku dengan tangan kanan. Pohon Jambu itu bergerak-gerak, seperti ada gerakan mengayun dari atas sana. Entah kenapa, suara, aroma, dan gerakan pohon itu, tiba-tiba membuat bulu kudukku meremang sempurna. Terutama bagian tengkuk dan leher."Audzublllahi minasyaitonirrojim. Bismillahirrohmanirrohim!" ucapku melangkah perlahan, namun pasti, sembari sesekali meneguk ludah. Waktu sudah hampir sandikala. Senja nan merah menyala, perlahan berangsur temaram menyambut gelapnya malam. Sebentar lagi, waktu maghrib akan tiba-tiba.Tidakkah aku terlalu lancang dan berani?!Keraguan mulai menggelayuti. Tidak! Tidak! Aku dengan makhluk itu, sama-sama ciptaan Allah swt. Yang sama-sama takut pada-Nya.Sebelum aku melangkah kian dekat dan mendongak ke atas pohon. Tiba-tiba, sebutir buah jambu bekas gigitan jatuh begitu saja dari atas mengenai pundakku."Astaghfirullahaladzim!" ucapku spontan."Siapa itu?! Ngapain ke sini?" teriak seorang wanita amat jelas terdengar di telingaku. Kurasa itu seperti suara manusia.Dengan segenap tekad, kuberanikan diri mendongak ke atas. "Astaghfirullah!"Kulihat seorang wanita, entah orang ataukah bukan. Rambutnya panjang terurai dan tampak kusut berantakan. Pakaiannya pun kedodoran berwarna kecoklatan. Wajahnya tampak tak jelas, karena kedua pipinya dipenuhi berc*k darah, bisul, juga luka seperti bekas lebam.Astaghfirullahaladzim. Kututup mataku saat kakinya berayun-ayun di dahan itu. Namun ... kenapa dia memiliki kaki dan tangan normal selayaknya manusia?"Kirain pemberani, mental baja! Ustadz! Tahunya masih juga takut sama lelembut! Ckk!" Wanita itu mencebik. Membuatku sedikit geram akan ejekannya."Katakan! Kenapa kamu mengganggu warga di sini? Seharusnya kamu tidak menampakkan diri terang-terangan seperti ini di alam manusia!""Bicara apa sih ni orang! Woy! Aku ini manusia! Gara-gara kamu, aku yang tadinya nangis, sekarang jadi pangen ngakak!" Tiba-tiba wanita itu melompat tepat di hadapanku. Jarak antara kami hanya sejangkal saja, tak sampai semeter.Benar, wanita itu menapak di tanah, dan tangannya pun jelas terlihat! Dia manusia! Bukan makhluk halus atau kuntilanak seperti yang dikatakan orang-orang.Plak!Tangan wanita itu memukul bahuku. Kontan membuatku mengaduh."Mau sebut aku kuntilanak? Serah deh! Tapi asal kamu tahu ya! Aku ini manusia, woy!""Benarkah?!""Keknya kamu orang baru di sini. Pantesan berani banget jalan ke sini. Orang asli sini aja nggak ada yang seberani kamu!""Siapa kamu?!""Nggak usah pengen kenalan dan sok kenal, nggak ada manfaatnya juga kan buat kamu! Sana, pulang! Aku juga udah mau pulang! Udah malam!""Kalau kamu manusia! Kenapa kamu mengganggu warga, dan menakuti mereka?""Ye!!! Yang nakuti itu siapa? Wong mereka pada takut-takut sendiri kok! Kamu juga takut dan ngira aku kuntilanak, 'kan?!"Kuteguk ludah, memang iya, wanita ini cukup menyeramkan untuk sekilas. Ditambah lagi dengan ciri-cirinya yang hampir mendekati sebutan umum orang-orang."Lalu? Jika kamu manusia, kenapa sampai berada di sini, dan dalam keadaan seperti ini? Apa kamu orang waras? Ataukah kamu ... Mohon maaf, ada gangguan kejiwaan?!"Plak!Kali ini, tangan itu mendarat di pipiku. Salah apa aku padanya?"Terserah kamu mau sebut apa! Mau sebut aku gil* kek, kuntilanak kek! Serah! Penting lo bahagia! Capek ngadepin orang-orang!""Ma-- maaf aku nggak bermaksud seperti itu, Mbak!" kuusap pipiku yang kebas akibat tampar*nnya barusan.Aneh sekali, apakah dia wanita dengan gangguan jiwa beneran? Kenapa penampilannya menyeramkan dan tingkahnya labil seperti ini?Dia berbalik, kuperhatikan punggungnya, tak ada luka atau lubang apapun. Caranya melangkah pun persis seperti manusia."Mbak! Kenapa tadi kamu nangis! Ya maaf! Tadi aku ngiranya kuntilanak!""Iya! Aku memang kuntilanak!" sahutnya tanpa menoleh ke arahku sedikitpun.Adzan maghrib berkumandang. Pertemuanku dengan wanita makhluk jadi-jadian barusan, sukses membuatku tertegun.Umpama dia manusia, mengapa dia sampai seperti itu?Padahal tadi aku sempat mengira bahwa dia benar kuntilanak, dan hampir saja aku mengerahkan segenap ilmu yang kupelajari di pesantren untuk mengusir roh halus jin fasik. Rupanya nihil.Siapa wanita itu?Pasti ada hal yang membuatnya menjadi bertingkah seperti itu.Kugelengkan kepala kuat-kuat. Umpama dia manusia, pasti dia akan menampakkan diri lagi di tempat ini. Mungkin tempat ini adalah tempat paling nyaman untuknya bersantai.*Aku pun lekas pulang, dan bersiap untuk menjadi imam shalat maghrib di surau.Begitu sampai di rumah, Pakde Rosyidin menyambutku."Shraf! Kamu dari mana kok baru pulang? La kenapa kamu ndak bawa rumput sama sekali? Trus sabitnya mana?""Astaghfirullah, Pakde! Sabit sama rumputnya ketinggalan! Padahal tadi aku udah dapat rumput banyak!""Ya Allah, Shraf! Kok bisa!""Iya, Pakde! Tadi aku ketemu ... ketemu sama ... " ucapku agak ragu, hingga terjeda."Kamu digangguin sama kuntilanak jambu?"...Bersambung ...Rumah Si Mbok PoV Daniella Arnetta Vernandi----"Tempat macam apa ini, Mbok?! Serius, kita mau tinggal di tempat seperti ini?" Aku celingak-celinguk menatap seksama baangunan rumah yang akan kutinggali ini. Mataku terus memindai, apa Papa bercanda mau menyuruhku tinggal di tempat pelosok yang amat sangat tidak nyaman ini?"Iya, Non! Ini rumah Mbok! Memang agak jauh dari pemukiman, tapi nyaman kok, Non! Bapak juga sudah nyiapin semua barang perkakas Non, biar Non nyaman di sini!" Wanita berdaster abu-abu itu, menepuk-nepuk punggungku. Meyakinkan. "Mbok, lihat datarannya! Rumah ini seperti mau roboh! Trus jarak antara rumah ini sama tetangga lain, jauh banget Mbok! Kayak terisolasi gitu! Trus, pasti di sini susah sinyal!""Non! Si Mbok sebenarnya mau jelasin sejak awal sama Non. Tapi Non udah bersedia tinggal di sini, dibanding di rumah sakit, jadi Mbok merasa, Non lebih baik di sini, Non! Mbok janji bakal bikin Non betah dan nyaman di sini!""Betah apanya, Mbok?"Si Mbok, dan oran
Part 5(Semoga Papa Baik-baik Saja) Pov Daniella ----"Non, abis nangis?! Kok matanya sembab sama mulutnya mecucu gitu, Non?!" tanya Si Mbok begitu aku menjejakkan kaki menuju kamarku. Aku tak dapat lagi menyembunyikan rasa dongkol di hatiku. Setelah melihat kemesraan Azaska dengan gadis lain. Ditambah lagi, saat berjumpa laki-laki berlesung pipit tadi yang terus mengira aku kuntilanak. Rasanya aku benar-benar bukan seperti manusia. "Aku sedih, Mbok." Aku lekas merebahkan tubuhku di kasur. Si Mbok mendekat. Mengelus rambutku yang acak-acakan ini. "Non kenapa, cerita sama Mbok! Jangan pendem sendiri, Non!""Mbok! Azaska, Mbok! Azaska cepet banget move on dari aku, dan dia sekarang udah gandeng cewek lain!""Non! Laki-laki di dunia ini banyak! Bukan cuma Den Zaska! Mbok yakin, nanti kalau Non udah sembuh seperti sedia kala, Den Zaska bangat nyesel udah ninggalin Non! Nanti juga banyak laki-laki yang ngantri buat deketin Non kayak dulu!" "Kapan aku sembuh, Mbok!? Lalu, Papa! Dua ja
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 6Meluruskan Prasangka Pov Ashrafil Ambiya'---"Tadi ... tadi rumputnya ketinggalan, Pakde! Sama sabitnya juga! Saya mau ambil sekarang!" kataku pada Pakde. "Ndak usah, Shraf! Ini udah malam. Ndak bakal hilang itu sabit sama rumput di karung. La iya, apa tadi kamu buru-buru pulang gara-gara ketemu kuntilanak jambu? Dasar demit, sering gangguin perjaka!""Bu ... bukan Pakde! Tadi aku ketemu sama perempuan! Tapi bukan kuntilanak! Dia manusia, Pakde!""Manusia?! Wong jelas-jelas suara tangisannya itu bukan kayak orang kok, Shraf! Kalau ada dia, pasti baunya busuk. Bikin merinding! Makanya ndak ada orang berani lewat sana! Sejak lama, tanah kosong itu udah angker, Shraf! Kamu jangan ngambil rumput di sana. Cari di tempat lain!""Tapi, Pakde?!""Tapi apa, Le?!""Dia bukan kuntilanak, Pakde! Wanita itu manusia!""Wes, Shraf! Sekarang mandi sana! Siap-siap ngimami sholat maghrib!"Gegas aku pun mandi, dan bersiap ke Langgar terdekat, tempatku mengaja
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 7 Kambuh Lagi Pov Daniella Arnetta Vernandi----"Mbok pagi ini aku mau nelpon Papa! Feelingku nggak enak, Mbok. Aku nggak pengen Papa kenapa-napa." Aku melangkah mendekati Mbok yang masih fokus menghadap kompor, membolak-balik roti tawar yang sudah diolesi margarin, di atas teflon.Sepertinya si Mbok hendak membuatkanku sandwich Sosis. "Pagi-pagi gini, Non?!" tanyanya keheranan. Sepasang alisnya terangkat sempurna. Kuanggukan kepala. Isyarat mengiyakan. "Nggak papa kan, Mbok?!" pintaku penuh harap. Si Mbok sebenarnya bimbang. Namun, dia tak bisa menolak keinginanku yang kukuh. "Tapi Non, Non pakai penutup kepala, sama masker ya Non. Biar orang-orang ndak neriaki Non kayak kemarin-kemarin.""Pakai topi, Mbok? Aku nggak bawa topi dari sana!""Ndak, Non! Bukan topi, tapi jilbab atau selendang biar Non ndak kelihatan welo-welo! Pakai masker juga Non. Biar wajah Non ndak kelihatan.""Ya udah deh, Mbok!"Seusai menyantap hidangan sarapan lezat
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 8 Mimpi Buruk Setiap Malam Pov Ashrafil Ambiya'---"Mbok! Sakit, Mbok! Sakit! Perutku sakit! Kepalaku sakit banget, Mbok!" Di tengah obrolan antara aku, dan Si Mbok. Tiba-tiba Daniella berteriak histeris. Kuteguk ludah, tak tahu harus berbuat apa. Apa mungkin gadis ini sedang mengalami nyeri datang bulan? Aku sungguh tak paham. Apa yang harus kulakukan. "Buk ... Buk, Daniella kenapa, Buk?!" "Non! Sebentar Non, Non minun obat dulu ya! Mbok ambilin. Ayo ke kamar, Non!""Aaaaa!!! Sakit Mbok!" Dia masih terus berteriak tanpa henti, mengaduh dan memohon-mohon. Sepertinya dia menahan nyeri teramat sangat. Si Mbok berusaha memapahnya menuju kamar. Namun, dia menggeleng, isyarat sudah tak sanggup lagi berdiri apalagi melangkah. Dia berbaring di sofa dengan posisi lutut sedikit tertekuk karena panjang sofa lebih pendek dari tubuhnya. "Mbok, masih sakit, Mbok! Perutku sakit! Kepalaku sakit!" Dia menghentak-hentakkan kakinya di sofa. Si Mbok memb
Pov Ashrafil Ambiya'---"Tiap hari aku mimpi buruk, Pak Ustadz! Kadang itu jelas nyata. Ada bayangan hitam, tiap jelang malam mau nyekik leherku. Kadang rasanya seperti ada hewan melata, merayap di tubuhku, Pak Ustadz!" seru Daniella lantang, diikuti suara tangis dan isakan.Ya Allah, aku tak tega melihatnya seperti ini. Dia pasti merasakan sakit yang teramat sangat. Aku tak ingin Su'udzon dulu atas penyebab sakit yang diderita Daniella. Di sini, aku ingin sekali membantunya lepas dari rasa sakit itu. Nurani kemanusiaanku benar-benar tergerak melihat ini. "Pak Ustadz, saya ke dapur dulu, mau nyari obat penurun panas buat Non, sama kompresan!""Iya, Buk. Silakan." Si Mbok gegas ke dapur. Kini, di kamar indah ini hanya ada kami berdua. Ada aku yang cemas akan keadaan Daniella, dan dia yang kini terbaring lemah di kamarnya dengan tatap mata yang kosong. "Daniella, aku mungkin belum bisa mendapatkan solusi secepatnya atas penyakitmu. Hmm ... mohon maaf sebelumnya, kalau memang peny
"Pak Ustadz ...di sini aja, ya. Si Mbok masakin buat Pak Ustadz. Mbok minta tolong, pak Ustadz ngaji sebentar di sini, biar Non tenang." Wanita berumur lebih dari setengah abad itu menatapku penuh harap. Di matanya yang berkantung itu ada asa yang teramat dalam. Hanya ketulusan yang kujumpai di sana. Dia sangat berharap gadis yang diasuhnya itu baik-baik saja.Aku menganggukan kepalaku. Si Mbok pun lantas keluar kamar beberapa saat dia kembali, mengambilkan Kitab Suci Al-qur'an padaku. Lalu, dia kembali keluar dari kamar ini. Melangkah menuju dapur.Aku yang tadinya di ambang pintu, kembali melangkahkan kaki mendekat ke ranjang gadis angkuh itu. Kuletakkan perlahan kitab suci dari Si Mbok di dekat cawan berbahan logam stainless ini."Kenapa Pak Ustadz masih di sini? Apa Pak Ustadz benar-benar peduli sama gadis buruk rupa yang nggak jelas kayak aku ini?!" ucapnya, mungkin terdengar angkuh.Namun menyiratkan makna yang cukup dalam, dan memelas. Ingin dikasihi, namun tak sampai hati dia
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPov Daniella Arnetta Vernandi-------Laki-laki yang terhitung baru beberapa hari kukenal itu, kini melantunkan ayat-ayat Tuhan di sebelah ranjangku. Suaranya begitu merdu, tak pernah aku senyaman, dan semerinding ini mendengar orang mengaji. Dalam setiap ayatnya, seperti ada getaran dahsyat, yang menyentuh relung batinku. Di matanya tak tampak apapun selain ketulusan, dan kejujuran. Mengapa orang ini begitu peduli padaku, si gadis buruk rupa yang telah tak dianggap lagi sebagai manusia?Selama ini aku selalu skeptis memandang terhadap orang lain yang mendekatiku. Namun, kali ini tidak. Terus kupadangi wajahnya dengan seksama. Pemuda dengan kulit coklat nan eksotis, berkumis tipis, kutebak sekira usia kurang dari tiga puluh tahunan, yang berlesung pipit. Matanya coklat lebar, dan kontur wajah yang sedikit bulat. Hidungnya cukup mancung, meski tak setinggi hidungku. Saat dia memandang ke arahku, aku geragapan, dan berpura-pura menatap sekeliling, ber