Home / Horor / RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM / Semoga Papa Baik-baik Saja

Share

Semoga Papa Baik-baik Saja

last update Last Updated: 2023-01-20 15:08:26

Part 5

(Semoga Papa Baik-baik Saja)

Pov Daniella

----

"Non, abis nangis?! Kok matanya sembab sama mulutnya mecucu gitu, Non?!" tanya Si Mbok begitu aku menjejakkan kaki menuju kamarku. Aku tak dapat lagi menyembunyikan rasa dongkol di hatiku. Setelah melihat kemesraan Azaska dengan gadis lain.

Ditambah lagi, saat berjumpa laki-laki berlesung pipit tadi yang terus mengira aku kuntilanak. Rasanya aku benar-benar bukan seperti manusia.

"Aku sedih, Mbok." Aku lekas merebahkan tubuhku di kasur. Si Mbok mendekat. Mengelus rambutku yang acak-acakan ini.

"Non kenapa, cerita sama Mbok! Jangan pendem sendiri, Non!"

"Mbok! Azaska, Mbok! Azaska cepet banget move on dari aku, dan dia sekarang udah gandeng cewek lain!"

"Non! Laki-laki di dunia ini banyak! Bukan cuma Den Zaska! Mbok yakin, nanti kalau Non udah sembuh seperti sedia kala, Den Zaska bangat nyesel udah ninggalin Non! Nanti juga banyak laki-laki yang ngantri buat deketin Non kayak dulu!"

"Kapan aku sembuh, Mbok!? Lalu, Papa! Dua jam aku di sana. Papa nggak bales WA dari aku! Papa nggak jawab telponku! Apa Papa udah nggak inget lagi sama anaknya?! Papa keterlaluan! Aku di sini udah dua minggu, Mbok! Tapi Papa nggak jenguk aku sama sekali?! Ditelpon kemarin cuma janji aja! Malah pas tadi, nggak balas sama sekali!"

"Barangkali Bapak lagi sibuk, Non!"

"Dulu, sesibuk apapun Papa, Papa tetap selalu ada buat aku, Mbok. Ini semua gara-gara Tante Liana! Dia udah ngerebut Papa dari aku! Dia pasti seneng banget sekarang, bisa jadi ratu di rumah aku. Sedangkan aku tersingkir kayak gini!"

"Non! Jangan ngomong seperti itu, Non! Non tinggal di sini ndak selamanya! Cuma sementara, Non! Sekarang Non mandi, nanti minum obat sama olesin salep dari dokter. Biar Non nyaman istirahatnya. Pesan Mbok, Non jangan gampang-gampang sakit hati. Nanti pikiran Non keruh, isinya dendam, Non! Itu nambahi penyakit. Mbok paham penderitaan Non udah bertumpuk-tumpuk. Jadi, Non. Mbok bilang kayak gini karena Mbok sayang sama Non! Jangan nambahin penyakit Non dengan kebencian ya, Non!"

Gleg, kuteguk ludah spontan berulangkali. Ingin rasanya memberang, dan membantah ucapan Mbok seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini agaknya tidak mungkin. Kata-kata si Mbok terlampau dalam hingga merasuk relung batin. Aku sadar penyakitku sudah bertubi-tubi, kenapa aku justru menambah lagi dengan over thingking, dan kebencianku yang justru membuat hatiku gelap.

Aku harus mulai legowo, penyakitku sudah banyak, untuk apa kutambah lagi dengan penyakit hati yang semu ini. Padahal kenyataannya selama ini Papa sangat menyanyangiku tanpa tapi.

Sesuai mandi, dan mengganti pakaianku dengan pakaian keseharian yang nyaman, juga longgar seperti ibu beranak enam ini. Lekas aku kembali ke kamar. Mencoba melihat pantulan wajahku di cermin.

Benar, wajahku bukan lagi seperti bidadari, melainkan seperti zombi. Mata lebar nan coklat indah berbinar itu, kini tampak sayu, cekung dan menghitam karena terlalu sering meratap. Pipi yang semula chuby nan menggemaskan. Lembut, dan putih itu kini dipenuhi bisul yang menjij*kan! Hidung mbangir itu, kini pun tak luput dari bruntus dan bercak. Astagah!   Ditambah lagi, rambut smoothies itu kini, kenapa setiap selesai disisir harus terasa gatal dan kusut lagi?!

Brakkk!!! Kugebrak meja rias ini amat kerasnya hingga piranti make up yang tadinya mau kuaplikasikan ke wajah, roboh berserakan. Apa yang harus dihias. Wajah mengerikan ini benar-benar sudah kacau tidak tertolong lagi?!

Azaska tidak salah meninggalkanku. Mana mungkin ada yang mau dekat dengan gadis buruk rupa seperti aku!

Aku kembali mengalirkan air mata tanpa henti. Tangisku kini bersuara. Biar! Biar siapapun tahu, bahwa aku sedang menderita. Tangis adalah senjata pamungkasku untuk mendapatkan segalanya. Dulu, sewaktu aku kecil. Papa tidak pernah membiarkan air mataku jatuh. Sebelum aku menangis, pasti Papa akan lekas menuruti kemauanku. Sekarang, ketika aku dewasa, penyakit ini membuat air mataku seolah tak ada artinya.

"Non! Ayo makan, Non! Mbok udah masakin sup daging seperti yang Non mau!"

"Aku nggak mau makan, Mbok! Biarin aku mati aja!"

"Jangan bicara seperti itu, Non! Kalau Non sakit, siapa yang ngancani Mbok?! Kalau Non sakit, nanti Bapak bakal makin sedih, Non! Ayo makan, Non! Terus minum obat!"

"Tadi pas aku lagi nyari sinyal, Mbok! Aku manjat pohon. Orang-orang tega banget Mbok. Ngira aku kuntilanak! Pake dibacain doa segala lagi! Tega banget mereka Mbok! Keluargaku udah nganggap aku nggak waras. Orang-orang nganggap aku hantu! Emang aku udah nggak layak hidup Mbok! Biar aku mati aja!"

"Non! Mereka ndak kenal dan ndak tahu Non. Makanya asal nyebut Non gitu! Jangan diambil hati ya, Non! Mbok di sini, ndak pengen kehilangan Non! Ndak pengen Non sedih. Jadi Non harus ikhtiar sehat. Jangan apa-apa dibawa masalah ya, Non! Ayo makan! Buah leci kalengan kesukaan Non juga masih. Besok kalau persediaan makanan di kulkas menipis, Mbok bakal ke pasar kota, Non. Buat nyari."

"Nggak usah repot, Mbok! Ntar aku beli lewat online shop aja. Mbok ...

Di dunia ini yang sayang sama aku selain Papa cuma Mbok. Jadi aku nggak boleh keterlaluan ngerepotin Mbok! Ya udah aku makan."

Terpaksa aku mengiyai ajakan si Mbok menuju meja makan dapur, aku tak ingin membuat pengasuhku yang berhati malaikat itu bersedih. Selama ini Si Mbok selalu memaklumi sikap egois dan kekanakanku. Aku beruntung punya pengasuh sebaik dia.

Dapur si Mbok yang semula kosong hanya berisi tungku dari batu bata. Kini sedikit berubah, meski belum ada kitchen setnya. Papa membawakan set meja makan mungil untuk dapur ini, berikut lemari es dua pintu yang berisi persediaan makanan kalengan juga frozen food yang kala itu dibawakan dari sana. Papa juga membelikan kompor, dan magic com untuk mempermudah si Mbok memasak. Racikan hidangan si Mbok memang selalu akrab di lidahku. Si Mbok sangat paham apa makanan dan segala hal yang kusukai.

Di ruang tamu, Papa juga membawakan TV cukup besar, ditambah dengan perlengkapan Parabola berlangganan. Lumayan, untuk mengusir suntukku jelang malam begini. Aku biasa menonton drama populer bersama si mbok sembari menikmati anek cemilan yang dibuatkannya untukku.

"Non udah berhari-hari alhamdulillah penyakit Non ndak kambuh lagi, selama di sini," Si Mbok memulai obrolan santai, saat kami sama-sama duduk di kasur lantai depan TV.

"Iya, Mbok. Perutku agak mendingan, nggak panas kayak pas di sana. Tapi. Gatal-gatalnya yang masih kerasa banget."

"Non, Non banyak berdoa sama Allah, biar dikasih kesembuhan. Non sejak kecil, Mbok kan sudah ngajari solat. Tapi Non ndak pernah mau. Sekarang, dengan Allah memberi ujian ini, barangkali bisa jadi pengetuk hati Non biar semakin dekat sama Sang Maha Pencipta, Non! Maaf, kalau Non kurang berkenan mendengan nasehat Mbok. Tapi Mbok kayak gini, karena Mbok Sayang sama Non! Mbok tahu Non orang yang baik. Tuhan ndak akan ngasih cobaan di luar batas kemampuan hambanya," ucap Mbok dengan nada yang teramat santun.

Selama di sini, Si Mbok seringkali menasehatiku, demi kebaikanku karena sekarang di sini hanya dialah orang tuaku. Selama tinggal bersama Papa, si Mbok tak pernah menasehatiku karena dia merasa itu tanggung jawab Papa. Sedangkan Papa sendiri, yang teramat sibuk hanya mementingkan kesenanganku, dan jarang memberiku asupan keilmuan apalagi nasehat yang berkaitan dengan keagamaan.

Aku mengangguk, dan meresapi ucapan si Mbok. Memang, selama ini aku tidak pernah menjalanankan sholat, padahal sejak kecil selalu melihat Si Mbok solat dan mengaji. Sewaktu kecil, Si Mbok amat rajin mengantarku untuk mengaji Iqro' hingga tuntas jilid 6. Namun setelah beranjak remaja, aku tak tertarik lagi untuk mengaji. 

"Non! Mbok ada mukenah baru, mukenah mahal hadiah THR dari bapak. Kalau Non mau, non bisa pakai. Ndak ada kata terlambat Non! Non mohon ampun sama Yang Maha Kuasa. Non sholat ya! Hmm ... udah jam sepuluh malam, Mbok mau istirahat dulu ya, Non!" Si Mbok mengelus punggungku, kemudian beranjak menuju kamarnya mengambil tas kain bordiran berwarna putih, dan meletakkannya di kamarku.

Ya Tuhan, aku yakin tak ada kata terlambat untuk berubah. Aku mohon Tuhan. Angkat penyakit ini dari tubuhku. Aku ingin kembali seperti diriku yang dulu, dan aku ingin berubah menjadi lebih baik.

-----

Seorang pria berjubah serba hitam. Sedang duduk di belakang kuda, dan mengendalikan kereta kuda, berwarna hitam. Kusir berjubah hitam itu membawa delman yang ada Papa di kursi penumpang. Kereta itu melaju dengan sangat cepat hingga aku tak sanggup mengejarnya. Sementara Papa seolah tunduk, dan pasrah di bawa kereta itu melalui jalanan berkabut tebal. Tampak di ujung sana, aja jurang yang amat dalam. Kereta itu terus melaju, membawaku Papaku menuju bibir tebing.

"Berhenti! Jangan! Jangan bawa Papaku melompat ke jurang!!!"

"PAPA!!!!" pekikku amat lantang, hingga aku tersigap dan mengerjabkan mata. Ternyata aku hanya mimpi buruk. Kutengok jam dinding, waktu menunjukkan pukul dua dini hari.

"Ada apa, Non?!" Si Mbok tergopoh-gopoh berlari ke kamarku dengan bermukena lengkap.

"Papa, Mbok! Aku mimpi buruk tentang Papa!"

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM   Datang Terlambat

    RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPoV Ashrafil Ambiya' Datang Terlambat ---"Aku mau ke ... hmm ... mau ada acara, Pakde!" "Owalah, jadi kamu udah dikabari kalo sekarang lagi ada acara kenduren di rumahnya Pak Lurah, peringatan seribu harinya Mbahnya Yunda." "Kenduren?! Enggak, aku nggak dikabari apa-apa, Pakde! Padahal tadi pagi aku ke sana. Tapi aku belum nerima undangan!""Wong undangannya baru dikasih tadi pas Pakde pulang dari tegalan kok, Shraf. Kamu ya, yang datang! Sekalian nanti kamu kan diminta buat mimpin doa!""Kok aku, Pakde?! Pakde aja yang datang! Aku nggak bisa Pakde! Aku lagi ada janji! Lagi ada acara penting!""Acara penting apa toh, Shraf?! Wong ini loh, hari jum'at. Ngajinya kan libur! Lagi pula, sekalian biar kamu makin akrab sama orang-orang di sini! Masak Pakde terus yang ikut kenduren! Yowes ... mumpung kamu udah siap! Ganti sarung! Berangkat!" Bagaimana ini, kalau aku menolak ... Aku merasa tak enak karena aku yang diminta memimpin do'a? Tapi, bagaimana de

  • RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM   Rencana yang Tertunda

    RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPoV Ashrafil Ambiya'----Aku khawatir jika kuterima langsung, ini akan dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang, dan nepotisme Pemimpin. Sementara di sisi lain, aku juga sedang membutuhkan pekerjaan yang layak, untuk bekalku melamar Daniella. Ya Allah, bagaimana ini?!"Kenapa tiba-tiba sekali, Pak? Jujur, saya benar-benar kaget dan tidak menyangka, Pak. Karena selama ini, saya juga tidak pernah menunjukkan kemampuan saya dalam ranah tersebut, Pak." "Segala sesuatunya bukan terjadi tiba-tiba, Nak Ashraf. Saya sudah banyak mendengar cerita dari Yunda, tentang kemampuan Nak Ashraf. Jadi sayang sekali, kalau ada SDM yang maju, terus dibiarkan. Sedangkan yang ada di lapangan justru tidak terlalu kompeten. Ini jaman serba canggih, Nak. Mau tidak mau, siap tidak siap, semua bidang akan mengalami pembaruan, termasuk Mbaurekso desa. Bukan hanya diisi para pemangku kepentingan, tapi orang yang benar-benar paham di bidangnya. Permohonan dari saya ini, tolong

  • RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM   Tawaran Perangkat Desa

    RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPov Ashrafil Ambiya'Tawaran Perangkat Desa ----"Aku di sini cuma sementara, Pak Ustadz! Aku di sini nggak akan lama, seperti apa yang Papa bilang sejak awal. Kalau aku sudah baikan, aku bakal balik. Aku udah kangeeen banget sama rumahku di sana. Aku juga udah berbulan-bulan nggak ketemu sama Papa! Pas awal aku di sini, beraat banget rasanya, dan cepet-cepet pengen pergi! Tapi, setelah ketemu Pak Ustadz, kenapa rasanya lebih berat ... buat ninggalin tempat ini." Aku begitu terngiang, tertegun hingga malam tenangku terganggu oleh kalimat yang diucapkan Daniella tempo hari. Benar, keadaannya lambat laun kian membaik, dan itu adalah kabar membahagiakan. Tentu saja, Papanya nan jauh di sana pasti merindukan putrinya. Jarak dan waktu telah memisahkan mereka, meski aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya rindu serupa Daniella. Namun, melihat wajah cerahnya setelah bercerita hal itu, aku pun ikut merasakan binar harapannya. Hatiku dilema, aku belum pe

  • RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM   Restu Papa yang Terpenting

    RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 19Pov Daniella Arnetta Vernandi----Restu Papa Terpenting ----Papa menyatakan dengan tegas ketidaksukaannya terhadap Ustadz Ashraf. Bahkan Papa memberiku pilihan yang amat sangat sulit. Aku tetap tinggal di sini, selamanya tanpa fasilitas apapun. Atau aku kembali secepatnya. Kondisiku memang berangsur membaik, dan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Sesuai dengan apa yang dicanang sejak awal, bahwa aku memang tinggal sementara di sini. Kini, kondisiku telah stabil. Saatnya aku kembali. Bukankah dulu aku begitu tak suka tempat ini dan ingin segera kembali. Kenapa sekarang, justru begitu berat meninggalkan tempat ini? Semua karenamu, Ustadz Ashraf! ******"Non, kenapa Non beberapa hari ini ndak doyan makan, makanannya cuma diaduk-aduk tok, nanti Non sakit! Kalau Non sakit, bukan cuma Mbok yang sedih, tapi Ustadz Ashraf juga!" kata si Mbok saat melihatku murung di meja makan. Sejak Papa meminta aku segera kembali ke Jakarta, dilema

  • RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM   Keputusan Papa

    RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPoV Daniella Arnetta Vernandi---[Papa, kok Papa ngomong kayak gitu sama Pak Ustadz. Pak Ustadz baik, Papa. Aku sayang sama Pak Ustadz. Papa setuju kan, kalau aku nikah sama dia?] tanyaku ke Papa di panggilan WA. [Papa akan siapin akomodasi buat kamu sama Si Mbok, supaya kalian lekas balik ke Jakarta.][Papa kok bilang kayak gitu sih? Apa Papa nggak suka sama Pak Ustadz? Kenapa Papa? Apa cuma gara-gara dia buruh tani, nggak cocok buat anak Papa?][Tentu aja kalian berdua nggak cocok, Daniella! Papa lebih kenal kamu dibanding siapapun. Kalau kamu tetap tinggal di sana. Apa kamu sanggup, hidup jadi istri buruh tani? Apa dia sanggup biayain kamu, bahagiain kamu yang selama ini apa-apa semua fasilitas dari Papa! Apa dia sanggup memberikan kebahagiaan sama kamu selayaknya perlakuan Papa ke kamu, Nak?][Papa, memang selama ini, semuanya dari Papa, aku nggak bisa lepas dari semua fasilitas Papa. Bahkan di kampung si Mbok pun Papa masih sediain segala yang

  • RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM   Aku Hanya Buruh Tani

    RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPoV Ashrafil Ambiya'----Aku Hanya Buruh Tani ----Sejak perjumpaan itu, kian hari membuat hubungan kami kian dekat. Kini, seperti tak ada lagi sekat diantara kami. Daniella lebih sering tersenyum dibanding memanyunkan bibir, dia pun tak segan, mengabariku jika dia berada di dekat pohon jambu. Sebelum aku berangkat ke ladang, dia sering memintaku mampir ke rumahnya untuk membawakanku bekal.Rasanya seperti ini bahagianya ... diperhatikan seorang wanita yang disuka. Dan, andai Papamu dekat, aku pasti langsung mendatanginya ... memohon ijin untuk menghalalkanmu. Ketika sepulang dari surau mengajar pun, kami setiap hari berjumpa. Daniella lebih lepas, dan banyak bercerita ini itu tentang kehidupannya. Begitupun aku, yang ingin berbagi hal menyenangkan dengannya. Aku membelikan salep, seperti yang dia inginkan. Semoga perantara salep itu, dan ikhtiar giatnya selama ini, Allah memberikan kesembuhan padanya. ******* Sepertinya Daniella lebih dulu sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status