Share

Semoga Papa Baik-baik Saja

Part 5

(Semoga Papa Baik-baik Saja)

Pov Daniella

----

"Non, abis nangis?! Kok matanya sembab sama mulutnya mecucu gitu, Non?!" tanya Si Mbok begitu aku menjejakkan kaki menuju kamarku. Aku tak dapat lagi menyembunyikan rasa dongkol di hatiku. Setelah melihat kemesraan Azaska dengan gadis lain.

Ditambah lagi, saat berjumpa laki-laki berlesung pipit tadi yang terus mengira aku kuntilanak. Rasanya aku benar-benar bukan seperti manusia.

"Aku sedih, Mbok." Aku lekas merebahkan tubuhku di kasur. Si Mbok mendekat. Mengelus rambutku yang acak-acakan ini.

"Non kenapa, cerita sama Mbok! Jangan pendem sendiri, Non!"

"Mbok! Azaska, Mbok! Azaska cepet banget move on dari aku, dan dia sekarang udah gandeng cewek lain!"

"Non! Laki-laki di dunia ini banyak! Bukan cuma Den Zaska! Mbok yakin, nanti kalau Non udah sembuh seperti sedia kala, Den Zaska bangat nyesel udah ninggalin Non! Nanti juga banyak laki-laki yang ngantri buat deketin Non kayak dulu!"

"Kapan aku sembuh, Mbok!? Lalu, Papa! Dua jam aku di sana. Papa nggak bales WA dari aku! Papa nggak jawab telponku! Apa Papa udah nggak inget lagi sama anaknya?! Papa keterlaluan! Aku di sini udah dua minggu, Mbok! Tapi Papa nggak jenguk aku sama sekali?! Ditelpon kemarin cuma janji aja! Malah pas tadi, nggak balas sama sekali!"

"Barangkali Bapak lagi sibuk, Non!"

"Dulu, sesibuk apapun Papa, Papa tetap selalu ada buat aku, Mbok. Ini semua gara-gara Tante Liana! Dia udah ngerebut Papa dari aku! Dia pasti seneng banget sekarang, bisa jadi ratu di rumah aku. Sedangkan aku tersingkir kayak gini!"

"Non! Jangan ngomong seperti itu, Non! Non tinggal di sini ndak selamanya! Cuma sementara, Non! Sekarang Non mandi, nanti minum obat sama olesin salep dari dokter. Biar Non nyaman istirahatnya. Pesan Mbok, Non jangan gampang-gampang sakit hati. Nanti pikiran Non keruh, isinya dendam, Non! Itu nambahi penyakit. Mbok paham penderitaan Non udah bertumpuk-tumpuk. Jadi, Non. Mbok bilang kayak gini karena Mbok sayang sama Non! Jangan nambahin penyakit Non dengan kebencian ya, Non!"

Gleg, kuteguk ludah spontan berulangkali. Ingin rasanya memberang, dan membantah ucapan Mbok seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini agaknya tidak mungkin. Kata-kata si Mbok terlampau dalam hingga merasuk relung batin. Aku sadar penyakitku sudah bertubi-tubi, kenapa aku justru menambah lagi dengan over thingking, dan kebencianku yang justru membuat hatiku gelap.

Aku harus mulai legowo, penyakitku sudah banyak, untuk apa kutambah lagi dengan penyakit hati yang semu ini. Padahal kenyataannya selama ini Papa sangat menyanyangiku tanpa tapi.

Sesuai mandi, dan mengganti pakaianku dengan pakaian keseharian yang nyaman, juga longgar seperti ibu beranak enam ini. Lekas aku kembali ke kamar. Mencoba melihat pantulan wajahku di cermin.

Benar, wajahku bukan lagi seperti bidadari, melainkan seperti zombi. Mata lebar nan coklat indah berbinar itu, kini tampak sayu, cekung dan menghitam karena terlalu sering meratap. Pipi yang semula chuby nan menggemaskan. Lembut, dan putih itu kini dipenuhi bisul yang menjij*kan! Hidung mbangir itu, kini pun tak luput dari bruntus dan bercak. Astagah!   Ditambah lagi, rambut smoothies itu kini, kenapa setiap selesai disisir harus terasa gatal dan kusut lagi?!

Brakkk!!! Kugebrak meja rias ini amat kerasnya hingga piranti make up yang tadinya mau kuaplikasikan ke wajah, roboh berserakan. Apa yang harus dihias. Wajah mengerikan ini benar-benar sudah kacau tidak tertolong lagi?!

Azaska tidak salah meninggalkanku. Mana mungkin ada yang mau dekat dengan gadis buruk rupa seperti aku!

Aku kembali mengalirkan air mata tanpa henti. Tangisku kini bersuara. Biar! Biar siapapun tahu, bahwa aku sedang menderita. Tangis adalah senjata pamungkasku untuk mendapatkan segalanya. Dulu, sewaktu aku kecil. Papa tidak pernah membiarkan air mataku jatuh. Sebelum aku menangis, pasti Papa akan lekas menuruti kemauanku. Sekarang, ketika aku dewasa, penyakit ini membuat air mataku seolah tak ada artinya.

"Non! Ayo makan, Non! Mbok udah masakin sup daging seperti yang Non mau!"

"Aku nggak mau makan, Mbok! Biarin aku mati aja!"

"Jangan bicara seperti itu, Non! Kalau Non sakit, siapa yang ngancani Mbok?! Kalau Non sakit, nanti Bapak bakal makin sedih, Non! Ayo makan, Non! Terus minum obat!"

"Tadi pas aku lagi nyari sinyal, Mbok! Aku manjat pohon. Orang-orang tega banget Mbok. Ngira aku kuntilanak! Pake dibacain doa segala lagi! Tega banget mereka Mbok! Keluargaku udah nganggap aku nggak waras. Orang-orang nganggap aku hantu! Emang aku udah nggak layak hidup Mbok! Biar aku mati aja!"

"Non! Mereka ndak kenal dan ndak tahu Non. Makanya asal nyebut Non gitu! Jangan diambil hati ya, Non! Mbok di sini, ndak pengen kehilangan Non! Ndak pengen Non sedih. Jadi Non harus ikhtiar sehat. Jangan apa-apa dibawa masalah ya, Non! Ayo makan! Buah leci kalengan kesukaan Non juga masih. Besok kalau persediaan makanan di kulkas menipis, Mbok bakal ke pasar kota, Non. Buat nyari."

"Nggak usah repot, Mbok! Ntar aku beli lewat online shop aja. Mbok ...

Di dunia ini yang sayang sama aku selain Papa cuma Mbok. Jadi aku nggak boleh keterlaluan ngerepotin Mbok! Ya udah aku makan."

Terpaksa aku mengiyai ajakan si Mbok menuju meja makan dapur, aku tak ingin membuat pengasuhku yang berhati malaikat itu bersedih. Selama ini Si Mbok selalu memaklumi sikap egois dan kekanakanku. Aku beruntung punya pengasuh sebaik dia.

Dapur si Mbok yang semula kosong hanya berisi tungku dari batu bata. Kini sedikit berubah, meski belum ada kitchen setnya. Papa membawakan set meja makan mungil untuk dapur ini, berikut lemari es dua pintu yang berisi persediaan makanan kalengan juga frozen food yang kala itu dibawakan dari sana. Papa juga membelikan kompor, dan magic com untuk mempermudah si Mbok memasak. Racikan hidangan si Mbok memang selalu akrab di lidahku. Si Mbok sangat paham apa makanan dan segala hal yang kusukai.

Di ruang tamu, Papa juga membawakan TV cukup besar, ditambah dengan perlengkapan Parabola berlangganan. Lumayan, untuk mengusir suntukku jelang malam begini. Aku biasa menonton drama populer bersama si mbok sembari menikmati anek cemilan yang dibuatkannya untukku.

"Non udah berhari-hari alhamdulillah penyakit Non ndak kambuh lagi, selama di sini," Si Mbok memulai obrolan santai, saat kami sama-sama duduk di kasur lantai depan TV.

"Iya, Mbok. Perutku agak mendingan, nggak panas kayak pas di sana. Tapi. Gatal-gatalnya yang masih kerasa banget."

"Non, Non banyak berdoa sama Allah, biar dikasih kesembuhan. Non sejak kecil, Mbok kan sudah ngajari solat. Tapi Non ndak pernah mau. Sekarang, dengan Allah memberi ujian ini, barangkali bisa jadi pengetuk hati Non biar semakin dekat sama Sang Maha Pencipta, Non! Maaf, kalau Non kurang berkenan mendengan nasehat Mbok. Tapi Mbok kayak gini, karena Mbok Sayang sama Non! Mbok tahu Non orang yang baik. Tuhan ndak akan ngasih cobaan di luar batas kemampuan hambanya," ucap Mbok dengan nada yang teramat santun.

Selama di sini, Si Mbok seringkali menasehatiku, demi kebaikanku karena sekarang di sini hanya dialah orang tuaku. Selama tinggal bersama Papa, si Mbok tak pernah menasehatiku karena dia merasa itu tanggung jawab Papa. Sedangkan Papa sendiri, yang teramat sibuk hanya mementingkan kesenanganku, dan jarang memberiku asupan keilmuan apalagi nasehat yang berkaitan dengan keagamaan.

Aku mengangguk, dan meresapi ucapan si Mbok. Memang, selama ini aku tidak pernah menjalanankan sholat, padahal sejak kecil selalu melihat Si Mbok solat dan mengaji. Sewaktu kecil, Si Mbok amat rajin mengantarku untuk mengaji Iqro' hingga tuntas jilid 6. Namun setelah beranjak remaja, aku tak tertarik lagi untuk mengaji. 

"Non! Mbok ada mukenah baru, mukenah mahal hadiah THR dari bapak. Kalau Non mau, non bisa pakai. Ndak ada kata terlambat Non! Non mohon ampun sama Yang Maha Kuasa. Non sholat ya! Hmm ... udah jam sepuluh malam, Mbok mau istirahat dulu ya, Non!" Si Mbok mengelus punggungku, kemudian beranjak menuju kamarnya mengambil tas kain bordiran berwarna putih, dan meletakkannya di kamarku.

Ya Tuhan, aku yakin tak ada kata terlambat untuk berubah. Aku mohon Tuhan. Angkat penyakit ini dari tubuhku. Aku ingin kembali seperti diriku yang dulu, dan aku ingin berubah menjadi lebih baik.

-----

Seorang pria berjubah serba hitam. Sedang duduk di belakang kuda, dan mengendalikan kereta kuda, berwarna hitam. Kusir berjubah hitam itu membawa delman yang ada Papa di kursi penumpang. Kereta itu melaju dengan sangat cepat hingga aku tak sanggup mengejarnya. Sementara Papa seolah tunduk, dan pasrah di bawa kereta itu melalui jalanan berkabut tebal. Tampak di ujung sana, aja jurang yang amat dalam. Kereta itu terus melaju, membawaku Papaku menuju bibir tebing.

"Berhenti! Jangan! Jangan bawa Papaku melompat ke jurang!!!"

"PAPA!!!!" pekikku amat lantang, hingga aku tersigap dan mengerjabkan mata. Ternyata aku hanya mimpi buruk. Kutengok jam dinding, waktu menunjukkan pukul dua dini hari.

"Ada apa, Non?!" Si Mbok tergopoh-gopoh berlari ke kamarku dengan bermukena lengkap.

"Papa, Mbok! Aku mimpi buruk tentang Papa!"

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status