Part 1
Sebagai ibu rumah tangga yang bekerja, sepulang dari tempat kerja pasti disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan. Hal itu seringkali membuatku lupa pada satu benda yang bernama ponsel.
Hari itu, aku baru mengingat benda tersebut saat sudah pukul tiga sore. Setelah menitipkan anak-anak di rumah Ibu, aku menuju sekolah tempat mengajar. Iya, aku seorang guru honor di sebuah sekolah dasar yang menempuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sana dengan menaiki motor. Setiap guru sudah diberi kunci kantor, pun denganku.
Memarkir kendaraan di depan gerbang, sengaja kulakukan.
Pintu gerbang masih terbuka?
Dengan langkah pelan, kaki melangkah menuju ruang kantor yang ada di paling ujung. Masih ada satu motor, berarti kantor masih ada orang. Namun, dari jarak beberapa meter aku melihat pintu dan tirai kantor yang tertutup.
“Apa ada orang?” ucapku sambil membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. “Astaghfirullah ….” Spontan aku beristighfar saat melihat dua orang yang aku kenal sedang berciuman.
“Em, mau apa? Ada perlu apa?” tanya si lelaki gugup sambil mengusap bibirnya yang basah. Sementara si perempuan salah tingkah dengan membuka laptopnya.
Entah kenapa, lidah ini terasa sulit digerakkan. Pikiran belum bisa percaya pada apa yang kulihat di depan mata. Pak Sela, sosok yang sangat pendiam, bahkan tak mau menyapa sebelum disapa melakukan hal itu di kantor. Sementara Bu Ambar adalah guru yang termasuk baru di daerahku.
Sepasang lelaki dan perempuan yang masih mengenakan seragam dinas melakukan perbuatan amoral di tempat kerja.
Ya Allah, kenapa aku harus menyaksikan ini?
Setelah peristiwa itu, Bu Ambar seringkali mengirimkan gambar kebersamaan mereka berdua dan juga saat pergi bersama di waktu libur panjang. Aku tidak pernah menanggapi.
Karena bagiku, setinggi apapun wanita dengan segala pangkat yang melekat, jika dia selingkuh dengan suami orang, ia tetaplah seorang wanita rendahan.
Sebuah peristiwa yang hanya aku yang mengetahui itu, ternyata menjadi sebuah awal dari penderitaan batin untuk anakku juga hinaan atas diriku yang hanya seorang guru honor.
***
Suatu hari, Media ku, anakku yang masih kelas dua pulang sambil terus murung. Dia tidak ceria seperti biasanya. Saat aku tanya, apa yang dilakukan di kelas selama sekolah? Ia enggan menjawab. Mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
Semakin hari, saat pulang sekolah, Media selalu murung.
“Kamu dinakali teman?” tanyaku.
Meida menggeleng.
“Nilainya jelek?” tanyaku lagi.
Ia menggeleng lagi.
“Terus kenapa? Jangan bikin Ibu bingung menerka-nerka dong, Kakak yang cantik,” godaku.
“Ibu, aku besok tidak sekolah saja, ya?” Meida izin, aku malah kaget. Selama ini ia tidak pernah mau bolos. Kulihat dia juga tidak sakit.
“Kamu sakit?” tanyaku memastikan.
“Aku tidak mau sekolah, Ibu. Aku ingin istirahat. Aku tidak sakit, tapi aku tidak mau berangkat.” Setelah berkata demikian, Meida menangis sambil memeluk lututnya. “Aku tidak mau sekolah, Ibu. Aku tidak mau berangkat,” katanya lagi sambil menangis kencang.
Aku jadi bingung. Selama ini, ia anak yang sangat terbuka. Suka menceritakan semua hal yang terjadi. Namun, mengapa kali ini ia seolah menutupi sesuatu hal?
Hari dimana Meida izin tidak mau berangkat, menjadi saat dimana anakku tidak berangkat sekolah tanpa alasan untuk yang pertama kalinya. Meski begitu, aku tetap meminta izin pada Bu Ambar, guru kelasnya melalui sebuah pesan.
Bu Ambar: Iya, Bu, gak papa silakan. Mau izin berapa hari tidak berangkatnya?
Pertanyaan yang aneh menurut aku. Mengapa tidak bertanya alasan anakku tidak berangkat? Kenapa malah bertanya berapa hari Meida mau izin sekolah.
Aku membalas pesan itu.
Aku: Ya sehari saja, Bu. Emang berapa hari ‘kan dia katanya cuma ingin istirahat.
Tidak ada lagi balasan dari Bu Ambar. Aku berangkat sekolah dan mengajar seperti biasanya dengan masih kepikiran tentang Meida.
Siang hari, saat merebahkan tubuh sambil ngelonin anak keduaku di kamar, tangan ini lincah melihat-lihat status media sosial. Jari jemari berhenti dan menahan layar ponsel saat melihat unggahan Bu Ambar. Suasana belajar di kelas dan foto selfie bersama teman-teman Meida.
Hari yang sangat bahagia tidak seperti kemarin-kemarin. Selfie bersama anak-anak kelas dua yang ada di foto, semuanya manis-manis dan tidak menjengkelkan. Bu Guru menyayangi semua anak yang ada dalam foto ini. Caption dari unggahan Bu Ambar.
Sedikit mengoreksi kalimat yang dibuatnya tentang semua murid, padahal ada Meida yang tidak berangkat. Entah mengapa ada rasa, kenapa baru sekarang mengunggah foto bersama murid-murid? Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Di saat Meida tidak masuk sekolah.
Mungkin ini hanya kebetulan saja. Pikirku.
Beberapa menit kemudian, Bu Ambar mengunggah status kembali. Kali ini hanya kata-kata.
Anak yang menyenangkan tidak harus punya wajah cantik. Banyak anak cantik tapi menyebalkan. Gak enak banget kalau dipandang. Bawaannya kesal dan bikin mood rusak. Meskipun kita guru, boleh lah ya, terkadang ada rasa sebal atau benci terhadap salah satu murid?
Aku melirik Meida yang memangku boneka. Dia tersenyum dan mengajak mainannya berbicara--tidak lagi terlihat murung seperti kemarin.
Ada hubungannya kah dengan status pertama, status kedua Bu Ambar, serta ketidak berangkatan Meida?
Meida terlahir dengan wajah yang cukup cantik. Membawa gen dari keluarga suami. Wajah Meida berbeda jauh dengan aku yang berada dalam kategori cukup. Apa ada hubungan antara status Bu Ambar, kemurungan Meida dan alasan dia tidak masuk sekolah?
Segala spekulasi yang hadir dalam pikiran lenyap saat suamiku pulang dari bekerja. Suamiku seorang staf TU PNS di SMA yang ada di kecamatan.
“Anak Ayah …,” ucapnya sambil memeluk Meida.
Meida membalas pelukan ayahnya erat sekali.
“Bagaimana tadi di sekolah?” tanya Mas Rizal sambil berusaha mengurai pelukan.
Di sana aku melihat wajah Meida yang semula ceria dengan kepulangan ayahnya, berubah menjadi murung.
“Kok murung?” tanya Mas Rizal sambil mencubit pipi Meida gemas. “Dapat nilai berapa tadi di sekolah?” Mas Rizal lagi-lagi bertanya. Namun, Meida tetap diam dengan masih memperlihatkan wajah sendunya.
Mas Rizal memandangku yang kini duduk sambil memangku Nazmi, anak kedua kami. Melalui mata ini, dia kuberi kode untuk tidak bertanya lagi.
“Maaf, Ayah, Kakak tadi tidak sekolah,” aku Meida jujur sambil menunduk.
Mas Rizal mengernyit. “Lhoh, Kakak tidak sakit, ‘kan?”
“Iya, tapi Kakak ingin istirahat,” jawab Meida. “Kakak bosan sekolah terus,” lanjutnya lagi.
“Iya, Kakak boleh istirahat kok,” kataku berusaha mencairkan suasana karena aku melihat Meida sangat tertekan. “Ayah makan dulu, sudah Ibu siapkan di meja makan,” kataku kemudian.
Aku bangkit dan meminta Meida menjaga Nazmi yang masih berusia tiga tahun.
“Kenapa Meida tidak berangkat sekolah?” tanya Mas Rizal saat aku mengambilkan piring untuknya.
“Meida murung, Mas. Aku tidak mau menekan dia dengan banyak pertanyaan. Jadi, aku hanya bilang iya saja. Aku juga bingung dengan apa yang terjadi di sekolah,” jelasku.
“Coba kamu selidiki! Tanya sama gurunya atau sama teman akrab kamu yang ngajar di sana. Siapa namanya?”
“Feni,”
“Iya, tanya sama Feni.”
“Besok coba lihat Meida bagaimana sikapnya. Setelah itu, baru aku mau menyelidiki. Jangan-jangan, dia memang sedang malas sekolah ….”
Meida kembali ceria karena ayahnya mengajak bermain. Mas Rizal sosok yang heboh sekali kalau sudah bermain dengan anak-anak.
***
“Kakak sekolah ‘kan hari ini?” tanyaku saat melihat Meida sudah rapi. Mas Rizal seperti biasa, selalu berangkat jam setengah tujuh karena bertugas untuk membariskan anak-anak di pagi hari untuk kegiatan pembiasaan di sekolahnya.
“Iya, aku akan berangkat sekarang,” katanya gugup sambil menggendong tasnya.
“Sarapan dulu! Masih pagi,” kataku.
“Tidak, Ibu, aku harus berangkat sekarang. Nanti terlambat,” tolaknya.
“Lhah, masuk jam setengah delapan. Ini belum jam tujuh.” Aku mencegahnya karena memang jarak ke sekolah hanya lima menit dengan berjalan kaki.
“Tidak. Aku mau berangkat sekarang Ibu ….” Meida menangis.
Aku jadi bingung dengan perubahan sikapnya.
“Baik, Ibu akan memberi kamu bekal. Nanti dimakan di sana, ya?”
“Nanti aku terlambat, Ibu. Aku tidak mau lagi terlambat,” kata Meida sesenggukan sambil memakai sepatunya. Aku terus mengikuti anak itu.
“Sebentar saja Ibu mau ambil nasi.” Aku terus memaksa.
Meida berlari pergi sambil menangis.
Apa yang sebenarnya terjadi pada dia? Rasa penasaran dan khawatir terus melanda hati ini. Akan tetapi, hendak menyusul, hari sudah siang dan badan ini belum mempersiapkan hendak berangkat sekolah. Juga mengantar Nazmi ke rumah Ibu.
“Mbak Ambar sejak kapan datang?” tanya Sekar.“Tidak penting aku datang sejak kapan. Makanya, Mas, jangan menolak kebaikan orang lain. Istrimu itu lemah, setiap hari belum tentu bisa melakukan banyak hal.”“Ambar, tolong jangan buat suasana tidak nyaman! Aku tidak pernah menyuruh kamu kesini.” Dengan tegas Catur memberi ultimatum.“Aku mau menengok Ibu bagaimana keadaannya. Kasihan Ibu, jangan karena sedang tidak sadar terus tidak diurus dengan baik.”“Apa maksudnya tidak diurus dengan baik, Mbak?” Sekar langsung protes.“Lhah, pake nanya lagi. Kemarin itu aku mengelap tubuh Ibu, kasihan, tidak pernah diurus. Makanya, jangan melarang orang menjenguk dan merawat.”“Kemarin Mbak Ambar kesini, Mas?” tanya Sekar pada Catur sambil menatap tajam.“Mas Catur nggak bilang sama kamu?” Ambar balik bertanya. “Kemarin aku kesini sekaligus bawain Mas Catur makanan.”“Tapi aku tidak memakan sedikitpun makanan yang kamu bawa, Ambar. Jangan membuat masalah!” Catur menoleh memastikan tidak ada yang me
Part 6“Aku pasti punya celah untuk memisahkan kalian,” ucap Ambar sambil membanting bekal makanan yang isinya masih penuh.Wanita berpostur tinggi semampai itu lalu melepas jilbab dan mulai bersiap-siap untuk berangkat jualan.***Suasana tempat Ambar berjualan tidak terlalu ramai. Hujan yang mengguyur kota Jogja sejak sore hari sepertinya membuat warga malas untuk keluar. Hal itu membuatnya semakin emosi. Beberapa kali ia berkata yang tidak enak hati terhadap karyawan.Di rumah kontrakannya, Micella duduk termenung di teras. Sudah beberapa bulan ia memilih kembali ke Jogja, kota yang telah menciptakan banyak kenangan dalam hidup, sekaligus menorehkan luka atas rasa cinta terlarang dengan Sekar.“Masih cerewet seperti dulu,” gumamnya mengenang pertemuan dengan Sekar di warung sate.Ponselnya berdering terus, tetapi ia abaikan. Dan kali ini berbunyi lagi.“Apa? Mau nyuruh aku pulang dan jadi istri yang baik?” ucapnya ketus.“Aku butuh sendiri, aku butuh me time. Bisa tidak jangan gang
Ambar mematut diri di depan cermin. Berdandan cantik dan sudah menyiapkan bekal makanan untuk dibawa ke rumah sakit. Informasi dari Sekar jika Catur sedang di sana, membuat wanita itu punya ide untuk dijadikan peluang mendekati mantan suaminya.Parfum yang semerbak wanginya membuat beberapa orang yang berpapasan dengan Ambar di rumah sakit--menoleh memperhatikannya.Catur yang sedang duduk termangu di depan ruang ICU menoleh saat suara Ambar memanggil. “Kamu ngapain kesini?” tanya Catur kaget.“Ya mau lihat keadaan Ibu lah, Mas. Emangnya mau apa? Gak boleh? Aku mau mendoakan Ibu lho, Mas, mendukung kamu juga dalam keadaan seperti ini.” Ambar duduk di samping Catur tanpa malu.“Terima kasih sudah perhatian, tapi tolong, Ambar, aku mohon jangan seperti ini! Kita sudah bukan suami istri lagi dan posisinya aku di sini sendiri tidak ada Sekar.”“Mas, aku tidak sedang mengajak kamu tidur bersama! Jadi tidak usah berlebihan gitu kenapa?”“Kalau Sekar tahu aku berduaan dengan kamu di sini, i
Part 5Sekar tidak dapat memejamkan mata. Masih terbayang wajah Micella yang datar seolah mereka tidak saling kenal. Namun, jas hujan yang rela diberikan sudah cukup menjadi bukti kalau ia masih peduli dengan perempuan yang dulu pernah tinggal bersama.Sekar bangun dan duduk bersandar pada tembok, menatap Inggit yang sudah tertidur pulas. Ia berjuang untuk sembuh dari penyimpangan yang pernah dilakukan hingga saat ini dirinya memiliki keluarga yang bahagia. Akan tetapi otaknya terus berpikir kenapa Micella datang di saat Ambar juga kembali ke dalam kehidupan Catur.***“Ayah masih di rumah sakit, jadi Mama yang ikut rapat wali murid ya, Ndis?” Ketika menyiapkan sarapan, Sekar bertanya.“Iya.” Gendis menjawab singkat.“Inggit juga nanti ikut.”“Iya.”Sekar merasa ada perubahan yang Gendis tunjukkan setelah bertemu dengan Ambar.“Atau mau Bunda Ambar saja yang datang?”“Mama apaan sih?” Gendis menatap tidak suka.“Maaf, Mama hanya menawarkan saja.” Sekar mengusap kepala Gendis.Dengan me
Part 4“Besok ada acara pertemuan wali murid di sekolah Gendis, sementara Ibu seperti ini aku tidak tega meninggalkan, ibu,” ucap Catur pada Sekar yang saat ini sama-sama menunggu di depan ranjang ICU.“Aku yang kesana, Mas.”“Inggit ditinggal terus kasihan ya?”“Tidak apa-apa, Mas. Karena keadaan sedang seperti ini. Aku bisa ajak Inggit besok.”“Kamu pulang ya? Anak-anak kasihan di rumah tanpa kita.”“Gendis tadi sempat bilang kalau dia dijemput Ambar.”“Iya, gurunya tadi telepon kewalahan menghadapi Ambar yang terus memaksa.”“Gak papa, bagaimanapun dia ibu kandung Gendis. Aku sedang pusing menghadapi kondisi Ibu, Sekar. Jadi, tidak bisa fokus melawan sikap Ambar.”“Aku pamit ya, Mas?”“Hati-hati!”***“Mbak Ndis mau makan dimasakin Mama apa mau beli di luar?” tanya Sekar begitu sampai di rumah.“Aku gak ingin makan, Mah.”“Masih kepikiran Bunda?”Gendis diam.“Mama tidak akan melarang kamu ketemu Bunda, Ndis. Temui saja Bunda kalau Ndis ingin bertemu.”“Mama gak marah?”Sekar mengg
Season 3 Part 3Sekar tertidur di tikar ruang penunggu, ia bahkan tidak melihat kapan Ambar keluar dari ruang ICU. Bangun ketika catur menepuk pipinya dan mengajak sholat malam.Selesai sholat, mereka berdiri di ruang tunggu yang temboknya hanya setengah badan. Mata Sekar menerawang ke taman yang ada di halaman lantai bawah. Sesekali ia juga menghadap langit yang masih gelap.“Mas, apa Mbak Ambar akan datang lagi ke dalam kehidupan kalian? Jika ia berniat kembali padamu, apa kamu akan mencampakan aku?” tanya Sekar dengan nada cemas.“Ambar hanya masa lalu buat aku, Sekar. Aku akan tetap bersama kamu dalam suka keadaan apapun dan tidak ada yang bisa memisahkan kita berempat.”“Tapi Gendis, dia anak Mbak Ambar, Mas.”“Tapi kamu adalah istri aku.”“Kalau dia ambil Gendis, Mas? Apa Mas akan hidup bersama Mbak Ambar lagi?”“Kalau dia ambil Gendis, Gendis berhak memilih akan tinggal dengan siapa. Tetapi tidak dengan aku yang sudah memiliki istri kamu. Aku dan Ambar sudah selesai.”Catur dan