Part 2
Dengan terburu-buru aku mandi dan berdandan ala kadarnya. Yang penting memakai suncare, lipstick dan minyak wangi saja. Menggendong Nazmi dan menaiki motor mengantarkan dia ke rumah Ibu. Tidak lupa, tas dan juga bekal buat Meida aku bawa serta.
Saat sampai di sekolah Meida, suasana sudah ramai. Bola mata ini bergerak kesana dan kemari mencari sosok mungil yang tadi pagi tidak sempat aku kuncir rambutnya. “Kamu lihat Meida?” tanyaku saat melihat kawan satu kelasnya lewat.
“Di kelas, Bu. Sedang menyapu,” jawabnya.
Aku segera berjalan cepat menuju kelas yang terletak di ujung nomor dua.
“Kakak ….”
Meida yang sedang memegang sapu menoleh. “Ibu kenapa kesini?” tanyanya panik.
“Mau antar bekal kamu,” kataku sambil mengulurkan tempat nasi.
“Ibu, aku tidak usah diantar makanan.”
“Kamu belum minta uang saku juga,”
Meida tersenyum. Hati ini lega melihat senyum itu mengembang. Wajah Meida sedari tadi hanya murung, sedih, dan panik saja.
“Ini.” Selembar uang sepuluh ribuan aku ulurkan pada Meida, “Seperti biasa, sisanya ditabung,” kataku lagi.
Meida kembali murung. “Iya, Bu ….” Sedetik kemudian wajahnya berubah. Dipaksakan untuk senyum.
‘Meida kenapa dengan kamu?’ tanyaku dalam hati.
“Sudah, Ibu berangkat saja, sana! Nanti Ibu terlambat,” kata Meida sambil mendorong tubuhku untuk pergi.
“Kakak, kenapa kamu piket sendirian? Ternyata kamu berangkat pagi mau piket, ya?” tanyaku lagi.
“Ibu, sebentar lagi masuk. Cepat, Ibu pergi!” Meida mengusirku. Beberapa anak yang ada di kelas memandang kami. Aku paham, jika di depan teman-teman, seorang anak akan malu bila terus diikuti oleh orang tuanya.
Meski penasaran dengan apa yang terjadi, aku lalu mengalah dan pergi. Dalam hati berpikir keras, kenapa anak kelas dua disuruh menyapu sendiri? Memang setiap sekolah memiliki aturan sendiri-sendiri. Akan tetapi, di tempatku mengajar, penjaga sekolah diminta untuk membantu anak-anak kelas rendah yang piket.
Berbagai macam spekulasi yang berkecamuk dalam otak, coba ku singkirkan. Karena aku harus kembali ke sekolah untuk mengajar.
“Murung bener. Pagi-pagi sudah murung,” celetuk Mbak Asih, rekan satu kantor yang sedang menata buku di mejanya.
“Iya, lagi kepikiran Meida.”
“Meida kenapa?”
“Entahlah, sikapnya berubah. Biasanya dia begitu antusias bercerita, tapi kali ini dia murung terus. Kemarin gak mau sekolah malah. Ditanya kenapa, gak mau jawab. Tadi buru-buru ke sekolah gak sempat sarapan. Pas aku antar ke sana, dia sedang nyapu sendirian.”
“Tanya sama gurunya saja.”
“Iya, besok-besok kalau ada waktu saja aku tanya.” Aku berhenti berbicara saat guru-guru mulai berdatangan.
“Penghapus gak ada terus dari kemarin. Sudah beli apa belum sih?” tanya seorang guru laki-laki sambil membuka lemari.
“Belum. Spidol juga buat nulis sudah tidak jelas,” celetuk yang lain.
“Air di galon juga habis. Gula dan teh juga habis. Sapu rusak semua. Anak-anak kelas enam tadi malah pada iuran pakai uang sendiri buat beli.” Penjaga sekolah ikut berkomentar. “Pak Sela belum berangkat?” tanyanya kemudian.
Sela adalah bendahara di sekolah kami. Selamet Arianto nama panjangnya.
“Mbak Asih apa Mbak Diah nanti minta sama Pak Sela,” kata penjaga sekolah lagi.
“Gak berani ah, kami. Kami ‘kan masih guru honor. Pak Darma saja nanti yang minta penghapus,” kataku menolak.
“Ya sudah, Mbak Asih saja yang minta nanti sama Pak Sela. Mbak Asih ‘kan memang tugasnya mengurus keperluan alat-alat sekolah.” Penjaga sekolah tetap menyuruh salah satu diantara kami berdua.
“Iya, nanti aku minta.” Mbak Asih mengalah.
Pak Sela datang. Seperti biasa, lelaki yang memiliki sikap pendiam itu tidak menyapa sama sekali. Bukannya sombong, dia memang tipe orang yang tidak pernah berbicara sebelum ditanya.
“Pak, penghapus habis. Sudah beli belum?” tanya Mbak Asih. “Spidol juga, kami bingung nulisnya pakai apa,” lanjutnya lagi.
Pak Sela meletakkan tas lalu duduk. Mengeluarkan ponsel dan diam tanpa menjawab.
Aku dan Mbak Asih saling pandang lalu mengedikkan bahu. Ini adalah kali kesekiannya kami bertanya perihal peralatan sekolah, dan pria itu masih merespon dengan cara yang sama. Diam.
“Pak, gimana penghapusnya?” Mbak Asih bertanya lagi.
“Belum beli,” jawab Pak Sela singkat.
Akhir-akhir ini memang sikap Pak Sela berubah. Ia yang dulu terbuka masalah keuangan, kini mendadak seperti anak kecil bermain petak umpet.
“Gula juga habis. Air galon juga habis,” kata Mbak Asih lagi. Aku sebenarnya kasihan sama temanku itu. Karena selalu jadi kambing hitam disuruh bertanya pada Pak Sela. Namun, tidak ada pilihan lain. Aku sendiri seakan sudah dimusuhi olehnya sejak sebulan terakhir ini.
Pak Sela lagi-lagi terdiam.
“Pak, gimana?” Kali ini suara Mbak Asih terdengar meninggi.
“Belum ada uang,” jawabnya seperti biasa. Singkat, padat dan jelas.
“Lhah, uang BOS bukannya baru keluar minggu kemarin? Kenapa sudah habis?” tanya Mbak Asih. Dahulu kala, sebelum pergantian kepala sekolah, dia adalah anak kepala sekolah sekolahku. Sehingga ia masih punya keberanian untuk hal apapun di sekolah ini.
“Iya, sudah habis,” jawabnya lagi.
Aku tersenyum masam. Lalu memilih mengambil ponsel dan melihat-lihat status di W******p.
Bu Ambar memasang foto sebuah gelang cantik.
Nunggu ada donator membelikan.
Begitu tulisan yang ditulis di bawah foto diakhiri dengan emoji love. Aku memperlihatkan foto itu pada Mbak Asih. Ia memutar bola mata kesal. Kami lalu masuk ke kelas dengan membawa tisu untuk menghapus papan tulis.
Akhir-akhir ini keuangan sekolah benar-benar kacau. Pak Sela semakin tidak mau terbuka perihal pengeluaran sekolah. Bila ditanya, maka jurus utamanya adalah diam seribu Bahasa.
ekar tak mau kalah, ia menatap tajam wanita yang ada di hadapannya. “Sekarang aku istri sah Mas Catur dan ibu dari Gendis. Mbak Ambar mau menggoda Mas Catur? Aku punya Ibu yang akan membela.”“Ibu mertua maksudnya?” Ambar tersenyum sinis. “Dia sedang terbaring lemah tidak berdaya, Sekar. Bisa apa coba?” Ia berlalu lebih dulu dan menuju kamar rawat pasien.Sekar berusaha mengejar, tetapi sadar berada di ruangan yang tidak boleh membuat gaduh, ia memelankan langkah memilih mengalah.“Mas, Ibu kenapa?” Ambar berkata lirih pada Catur yang duduk di samping bed pasien. Ia memasang wajah sedih dan mata yang berair.“Ambar, dari mana kamu tahu kalau Ibu sakit?” Catur kaget dan balik bertanya.“Aku gak sengaja lewat warung kamu, Mas. Tadinya ingin bertemu dengan Gendis, sudah lama aku tidak melihat dia, Mas. Tapi karyawan kamu bilang kalau Ibu sedang kritis di rumah sakit. Aku turut prihatin, Mas. Semoga Ibu cepat sembuh ya, Mas,” kata Ambar sambil mengusap pundak Catur.Sekar terbakar cemburu
SEASON 3 PART 2“Iya, Sela sudah kembali lagi hidup dengan Indah dan anak-anaknya. Aku mohon, Ambar, jangan hancurkan kehidupan Sela untuk yang kedua kalinya.”Ambar tak bergeming, menatap wanita yang duduk di hadapannya. “Enak sekali ya, Bu, jadi Mas Sela. Hidupku hancur, dan dia masih kembali bersama keluarganya,” desisnya.“Tidak ada yang enak. Sela juga kehilangan pekerjaannya. Indah juga tidak sebahagia yang kamu kira. Dia harus menerima Sela yang mantan narapidana dan pengangguran.”“Ok, Bu. hari ini cukup. Kalau Mas Sela datang, tolong sampaikan jika anak yang kukandung dulu kini sudah besar dan mencari ayahnya.” Ambar meninggalkan ruang tamu orang tua Sela. “Zafin, ayo pulang,” ucapnya saat sudah di halaman rumah.“Bunda, kita gak jadi ketemu sama Ayah?”“Zafin, ayo kita ketemu Ayah sebentar saja.” Tiba-tiba ibu Sela keluar.“Apa maksudnya, Bu?” tanya Ambar.“Aku akan mengajak Zafin ketemu Sela, tetapi dengan syarat kamu tidak boleh ikut. kamu tunggu di sini saja.”Ambar berpi
Dengan bantuan saudara jauh Ambar, akhirnya dia melahirkan anak keduanya yang berjenis kelamin laki-laki. Ia menjalani hari-hari yang sangat sulit. Berbulan-bulan melewati hidup hanya berdua dengan anak laki-laki yang diberi nama Zafin tanpa ada kabar dari Sela yang masih mendekam di penjara.Bulan telah berganti tahun, anak Ambar semakin beranjak besar dan mulai bisa berbicara. Ambar tidak berani lagi mendatangi Catur karena mantan ibu mertuanya itu terlihat memusuhi. Yang ia tahu, Catur juga sudah hidup bahagia bersama Sekar yang telah dikaruniai anak juga.Suatu ketika, saat Zafin berusia empat tahun ....“Bunda, sebenarnya siapa sih ayahnya Zafin?”“Bunda belum bisa memberitahu siapa ayah Zafin. Tapi suatu hari nanti, kita akan bertemu dengan Ayah,” jawab Ambar sambil mengusap kepala Zafin.“Aku ingin punya ayah, Bunda. Aku malu di sekolah selalu ditanya ayahku siapa. Kata teman-teman aku anak yang tidak punya ayah. Aku cuma punya Bunda saja.”“Iya, kita akan menemui Ayah. Bunda ak
RIVALSEASON 3Hai! Jumpa kembali dengan cerita ini. Maaf, sebenarnya sudah tamat, tetapi kenapa banyak komentar minta lanjut? Ok, saya lanjutkan ya. Saya menghilang lama dari dunia menulis karena banyak hal yang harus diurus di kehidupan nyata.Ok,terakhir ekstra part ketika Sekar sudah punya anak dengan Catur berusia dua tahun ya. Sekarang kita mundur ke alurnya Ambar karena banyak yang penasaran dengan kisah Ambar.Bismillahirrahmanirrahim ....Season 3 Part 1“Selamat menghirup udara bebas, Mbak Ambar. Semoga bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sekarang. Semoga bisa berkumpul dan bahagia bersama keluarga,” ucap seorang sipir sambil membuka pintu besi yang menghubungkan dengan dunia luar dari gedung lapas.“Terima kasih,” jawab Ambar sambil tersenyum.Kaki wanita itu melangkah dari pembatas pintu. Ia segera menghirup udara sebanyak-banyaknya merasakan kebebasan dari gedung yang mengurung selama beberapa bulan.Dengan langkah pelan ia berjalan membawa tas jinjing yang berisi p
EKSTRA PARTPuntung rokok berserakan. Aroma kamar tentu saja tidak sedap. Ditambah lagi beberapa botol minuman yang masih ada isinya dan berhari-hari tidak dibuang.Micella menyesap rokok dalam keadaan terbatuk-batuk. Semenjak Sekar menjauh dari hidupnya hingga akhirnya menikah dengan Catur, hidupnya sudah tidak terarah lagi. Ia keluar dari kampus, kembali ke kotanya dan setiap hari hanya mabuk-mabukan saja.Orang tua Micella sudah kehabisan akal untuk bisa menyembuhkan putri kesayangan dari perbuatan menyimpang. Mereka hanya bisa pasrah dan merawat Micella dengan sebaik-baiknya.Suatu pagi, Micella yang merasa suntuk jalan-jalan keliling komplek. Duduk sendiri di sebuah kursi panjang di trotoar membuat ingatannya berlari pada masa dimana ia dan Andrew masih sekolah. Dengan tatapan kosong memandang rumah yang ada di depan sana. Tempat tinggal sang mantan kekasih, sosok yang sudah tidak akan pernah ia miliki.“Kamu sedang melihat apa di sana, Micel?” Sebuah suara membuat Micella kaget
Part 94 “Maaf, Bu, saya tidak tahu apa-apa. Saya seorang muslim dan saya tidak akan berpindah agama. Cella, kamu keterlaluan melakukan ini semua. Aku tidak suka dengan cara kamu ini,” ucap Sekar marah. “Cella, memilih sebuah agama atau berpindah keyakinan, itu adalah keinginan dari setiap orang. Kamu memaksa orang seperti ini? Maaf, Cella, kami tidak akan pernah menerima siapapun. kamu sudah sangat salah melakukan ini,” kata suster kecewa. Sekar menangis sejadi-jadinya. “Bu, tolong pesankan saya taksi untuk pulang. Saya takut dengan dia, Bu, dia sudah membawa saya ke rumah yang di sana ada pesta s e x sesama jenis. Saya sangat takut dan saya ingin pulang,” kata Sekar yang tiba-tiba memiliki keberanian untuk mengadu. Suster yang sudah berusia di atas lima puluh tahun itu menatap marah pada Boy. “Benar kamu melakukan ini?” “Saya pamit pulang. Saya akan mengantar dia,” kata Cella menarik lengan Sekar secara paksa. “Tidak! Aku akan pulang sendiri,” kata Sekar sambil mengusap air mata