Share

Bab 4

Sarah Samanta makin terkenal dari hari ke hari, puluhan iklan, puluhan film dibintanginya bahkan Sarah menjadi brand ambasador dari beberapa produk mulai dari kecantikan hingga makanan.

Sarah semakin menjadi kebanggaan Melinda dan Trisno, sementara Nindi masih menatapaki jalan yang lambat.

Soal asmara, semenjak hubungannya dengan Kevin kandas Sarah sering bergonta ganti pasangan. Hal tersebut dia lakukan untuk mengusir rasa trauma yang menderanya.

Beberapa bulan berlalu, Sarah sedang menikmati manisnya kesuksesan. Film yang dia mainkan laku keras, peminatnya diluar dugaan. Film yang menjadi viral karena rekor penjualan yang melampaui film-film yang pernah ada. 

Sarah tengah disibukkan dengan pencapaian filmnya, mulai dari memenangkan award sampai beberapa kali diundang oleh stasiun televisi. 

Ditengah rasa bahagianya tiba-tiba sebuah berita muncul. Berita yang pertama kali muncul disebuah akun gosip membuat nama Sarah terusik.

Berita yang dilengkapi beberapa foto menampilkan Sarah tengah meminum minuman keras dan juga dicium beberapa orang. Ternyata kejadian malam itu terabadikan hingga kini menyebar tidak dapat dikendalikan.

“Hal bodoh apa lagi ini Sarah?”

Sinta sangat gregetan dengan ulah artisnya. Saat ini Sarah tengah berada di kantor menejemen yang menaunginya.

Sarah mengedikkan bahu dengan santainya.

“Kamu jangan bikin sensasi dong, main aman! Kamu lagi di atas loh.” Pratama yang merupakan pemilik menejemen artis itu bersuara menasehati.

“Itu foto udah lama, yang nyebarin kudet kayaknya.” Sarah mengambil sebotol air mineral kemudian meminumnya. Sarah berusaha tenang menyikapi masalah yang menerpanya ini. Dia tidak boleh terlihat lemah apalagi ketakutan. Jauh dalam dirinya yang lain, Sarah sedang menggigil menahan trauma.

Kejadian itu bukan keinginannya, Sarah merasa dijebak saat ini. Sarah yakin salah satu dari temannya Kevin yang menyebar foto itu. Untuk itu Sarah bertekad akan mendatangi mereka satu persatu.

“Sar ... hei! Sarah!”

Sebuah guncangan di bahunya membuat Sarah tersadar dari lamunannya.

Ya ampun Sarah melamun.

“Jangan tenang-tenang gitu dong! Cari solusi buat nyelametin nama kamu.”

Sinta terlihat sangat putus asa saat ini.

“Ngapain sih bingung? Bikin pengalihan isu. Aku cuti seminggu bye.”

Sarah menenteng tas miliknya kemudian pergi meninggalkan Sinta dan Pratama. Keduanya hanya mampu menggelengkan kepala melihat kelakuan Sarah. Jika tidak menguntungkan, tidak mungkin mereka mempertahankan artis yang seenaknya seperti Sarah.

Baiklah mereka mengalah demi uang.

Ternyata gosip kian merebak pengalihan isu nampaknya tidak  berguna sama sekali. Image seorang pemabuk melekat pada diri Sarah. Perlahan-lahan penggemarnya berbalik menjadi pembencinya. Sedangkan yang setia masih berkeyakinan bahwa Sarah dijebak.

Sarah memiliki wajah yang polos dan lugu, hal itu menjadi topeng yang membuat para pengagumnya tetap setia mendukungnya.

Sarah pulang ke rumah saat keadaan rumah sepi, hanya ada asisten rumah tangganya yang sedang sibuk di dapur. Sarah berjalan menatapaki satu persatu anak tangga untuk mencapai kamarnya. Sarah berdecak beberapa kali karena merasa tangga itu lebih panjang dari biasanya.

“Sialan! Kenapa sih bikin tangga? Nanti gue bangun lift di sini kayaknya.”

Sarah mendumel sendiri saking kesalnya.

Sarah berhasil mencapai undakan terakhir, berhenti sejenak guna menarik napas. Setelah itu Salah melangkahkan kakinya menuju kamar, hanya membuka pintu kamar setengahnya. Sarah melempar tas yang sedari tadi menjadi beban yang dibawanya.

Sarah bertolak menuju rooftop yang berada tepat di samping kamarnya.

Membuka pintu kaca perlahan, Sarah merasakan hembusan angin menerpa tubuhnya tatkala pintu kaca itu terbuka sempurna.

Sarah berjalan perlahan di atas sana, membentangkan kedua tangannya lebar kemudian menengadahkan wajahnya menatap langit yang mendung, Sarah menutup matanya merasakan angin membelai-belai rambutnya lembut.

Ingin rasanya Sarah menjerit sejadi-jadinya, beban ini dirasanya yang paling berat. Selama menjadi artis Sarah tidak pernah merasa bahagia walaupun bergelimang harta. Sarah sebenarnya lelah, namun Sarah tidak mampu berhenti.

Sarah menuju sebuah bangku panjang di tempat itu, bangku yang biasa dipakainya berjemur. Sarah membaringkan tubuhnya di sana sambil melipat tangannya di atas perut. Langit masih menjadi satu-satunya hal yang dia lihat saat ini.

Tiba-tiba seekor burung gereja hinggap di bangku sebelahnya. Ya, di sana ada dua bangku. Bangku milik Nindi berada persis di sebelahnya. 

“Hai burung ... kamu cape ya? Sama, aku juga.” Sarah berbicara pada burung itu seolah objek yang diajaknya bicara itu mengerti. Saat hendak menyentuh bulu burung itu, burung gereja kembali terbang.

Sedikit kecewa tetapi Sarah tidak peduli. Setelah burung itu tidak ada, pandangan Sarah kini tertuju pada bangku milik Nindi.

Dulu ketika kehidupannya belum seperti ini, Sarah dan Nindi sering menghabiskan waktu bersama. Di rooftop ini juga mereka sering bercanda, seketika rasa rindu hinggap dalam dadanya. Setelah semua masa kebersamaan mereka sebagai adik kakak yang sesungguhnya terlewati, kini perlahan mereka menjadi rival.

Sebenarnya Nindi masih sering menunjukkan sikapnya sebagai seorang kakak. Namun Sarah selalu menanggapinya dengan sinis.

Kini, Nindi berbeda. Sarah merasakannya.

“Mbak ....”

Lirih nyaris tidak terdengar Sarah memanggil Nindi. Entah mengapa tiba-tiba dia rindu dipeluk oleh kakaknya itu.

“Tumben kamu free?” tanya Melinda kepada Sarah ketika malam ini mereka makan malam bersama di rumah.

Sarah memasukkan makanan ke dalam mulutnya lalu menatap sang ibu. “Kenapa sih Ma, gak boleh ya aku libur?”

“Ish ... kamu itu, Mama cuma nanya. Biasanya kamu super sibuk.”

“Lagi pengen istirahat aja.”

Jawaban Sarah yang enteng membuat Melinda terdiam.

“Oh iya Ma, Mbak Nindi belum pulang?”

“Mbak kamu lagi sibuk main sinetron, sinetron murahan sih tapi lumayanlah daripada dia nganggur.”

Bukan Melinda yang bersuara melainkan Trisno.

“Sinetron? Perannya apa?”

“Jangan ditanya Sar! Pasti peran pembantulah, mungkin kalau kamu yang main bakalan jadi pemeran utamanya. Ya ‘kan Pa?”

Trisno mengangguk membenarkan ucapan istrinya.

Sarah terdiam dan melanjutkan makannya, Sarah mulai berpikir tentang perasaan Nindi selama ini. Apakah dia sudah jahat pada Nindi?

“Eh Sar, beliin Mama tas keluaran terbaru dong. Produknya launching awal bulan ini. Eh eh kalau bisa kamu juga datang ke acara itu. Nanti kamu bisa ikutan milih.”

Kebiasaan Melinda bergaul dengan sosialita membuatnya selalu berburu barang-barang branded.

“Apa sih Mama ini, Sarah ‘kan sibuk. Min ajak-ajak aja.”

“Gak apa-apa Pa. Kalau ada waktu aku ikut.” Sarah menimpali ucapan ayahnya.

“Tuh Sarahnya juga mau ko, kenapa Papa yang repot?”

“Sarah ke kamar duluan ya.” Sarah pergi ke kamarnya meninggalkan Melinda dan Trisno yang mulai berdebat.

Setibanya di kamar, Sarah membuka ponselnya dan terkejut melihat riwayat panggilan dari Sinta yang mencapai ratusan kali. Sejak pulang ke rumah, Sarah tidak membuka ponselnya.

Sesegera mungkin Sarah menelepon Sinta. Tidak lama panggilan itu terjawab.

.

.

.

.

.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status