"Mira, jangan tinggalkan Abang, Abang minta maaf. Abang janji tidak akan lagi menyakitimu," Bang Hasan menghambur kepelukanku ketika aku baru saja membukakan pintu, dia menangis tersedu, sembari terus memohon. Aku hanya diam di tempat, masih bingung dengan apa yang terjadi. Bang Hasan sungguh terlihat kotor dan berantakan. Wangi parfum dan keringatnya telah menjadi satu. Pelan kutarik Bang Hasan untuk menatapku. "Abang kenapa?" tanyaku. Yang di tanya malah diam saja. "Kenapa begini?" tanyaku lagi sembari menilai Bang Hasan dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kamu tadi kemana Mir, mau meninggalkan Abangkah? Abang kesana kemari mencarimu." Nada suaranya terdengar cemas. "Awalnya iya, tapi setelah ke rumah Ratih, Ratih memujukku untuk jangan gegabah. Akhirnya aku pulang dan berganti baju lalu ke pabrik. Aku bekerja hari ini," jawabku sedikit berbohong. "Kamu mau tinggalkan Abang awalnya?" tanya Bang Hasan sembari menatap mataku, dalam. "Iya, aku nggak bisa lagi hidup dengan o
POV Ibu Aku berjalan pulang dengan menghentak-hentakkan kaki. Entah kemana luapan emosi ini akan aku lepaskan. "Dasar menantu sial, menantu tidak tahu diri, menantu kurang ajar, sudah berani dia padaku sekarang. Rasanya aku ingin menampar lagi mulut lancangnya itu. Awas saja nanti yaa, pasti akan kubalas." Sepanjang jalan gang rumah Hasan aku terus saja meracau, aku sungguh kesal pada si Mira. Padahal aku kesana hanya menanyakan dia darimana, mengapa tidak ada di rumah saat suaminya pulang bekerja dengan niat ingi mengajarinya menjadi istri yang baik agar di sayang suami, tapi dia malah mengusirku dari rumah Hasan. Kemarin dia menjelek-jelekan Linaku dan mengatai anakku pencuri, dan mana aku tahu jika Lina meminjam barang-barang Mira. Harusnya dia menjelaskan baik-baik bukan malah menuduh Lina mencuri. Dan sekarang dia malah mengusirku dari rumah anakku sendiri. Keterlaluan. Kupijit pelan pelipisku yang semakin terasa sakit, apalagi jika mengingat kejadian tempo lalu. Ah ... ak
Hari ini aku bekerja di antar Bang Hasan, setelah mengantarku Bang Hasan langsung kembali ke rumah, katanya hari ini ia masuk shift siang.Artinya sore nanti aku akan pulang sendiri."Hati-hati bekerjanya ya. Yang tulus. Niat bekerja untuk keluarga, bukan untuk macam-macam," pesan Bang Hasan yang bagiku lebih ke ultimatum. Kuputar bola mataku, jengah."Hmmm keluargamu iya," gumamku pelan.Kuminta tangan Bang Hasan, lalu kuarahkan ke kening. "Hati-hati Bang."***"Mira, ke ruangan saya ya," pinta Pak Saddam"Iya Pak, segera." Aku pun beranjak menuju ruangan HRD."Ada apa ya Pak." tanyaku setelah duduk."Tidak ada, tanda tangan ya. Saya sudah berbicara pada Pak Rezi, kamu di kontrak untuk dua tahun pertama. Tidak ada masa training."Aku mengerutkan dahi, heran. Mengapa bisa?"Gaji kamu Rp 5.000.000,00 perbulannya," sambung Pak Saddam lagi.Aku kini terkejut."Heran? Kaget? Ini keputusan Pak Rezi," jawab Pak Saddam tersenyum.Pak Saddam menyodorkan selembar kertas dan pena padaku. "Tanda
Pov Ibu"Bu Hasan, jangan lupa hari ini arisan di rumah Bu RT ya, jam tiga sore," ucap Bu Rini, pemilik warung saat aku belanja ke warungnya untuk membeli bahan masakan."Iya, saya ingat kok Bu, pergi bareng kita nanti ya.""Bareng saya juga lah ya, sama-sama," Bu Haji menimpali.Rencananya hari ini aku hanya memasak untuk sarapan saja, sedang siang nanti makan di rumah Bu RT, begitu juga dengan makan malam, bisa makan lauk yang di berikan bu RT saat pulang. Kalau untuk Lina, dia biasanya juga jarang makan di rumah, dia pasti nanti akan pergi bersama teman-temannya untuk makan di luar."Jangan lupa warna dress codenya ya," sambung Bu Sita sembari menggoyang-goyangkan gelang keroncong di tangannya, ia juga teman arisanku yang merupakan pemilik toko emas besar di pasar."Warna apa tadi Bu Sita bilang?" tanyaku heran, rasanya aku ingin menertawakannya. Apa dia tidak tahu kalau hari ini arisan diwajibkan menggunakan warna biru langit, mengapa katanya warna apa tadi ya? Dan sejak kapan war
Pov Hasan20.00Suara ponsel berbunyi keras, tepat ketika aku akan sholat isya."Hallo, Ada apa Lin?""Ha--halo Mas. Mas cepat kesini ya," terdengar suara Lina panik di seberang sana."Ada apa Lin? Ada apa?" aku mulai merasa cemas."Ibu Mas, Ibu, sakit. Darah tingginya kambuh, tensinya tinggi.""Ya baik, Mas segera datang." Klik kuputuskan sambungan telpon, daan segera mencari kontak atasanku.Setelah mengatakan niat untuk pulang lebih awal, aku segera ke parkiran dan menuju rumah Ibu.Do'a mohon kesehatan dan keselamatan tak lupa aku panjatkan untuk Ibuku di sepanjang perjalanan.Sesampainya di rumah Ibu, segeraku berlari ke kamar Ibu.Kuputar knop pintu, dan kulihat Ibuku, wanita yang kucintai selain Mira, sedang terbaring di tempat tidur.Wajahnya pucat, tangan keriputnya yang telah membesarkanku terbaring lemah dengan di sambungan infus."Ibu kenapa Lin?" tanyaku pada Lina yang sibuk dengan ponselnya. Dia menatapku."Nggak tahu Mas, pulang arisan Ibu sudah diam saja, tapi wajahnya
Sepulangnya Ratih dari rumah, segeraku mandi, dan sholat.Mengadukan semua takdir yang kujalani kini kepada Sang pemilik hidup. Meminta dan memohon jika aku masih harus berjuang, berikan aku selalu kekuatan. Dan jika memang semuanya harus usai sampai disini, berikan aku kemudahan melewatinya.Entah mengapa sejak sering bertengkar dengan Ibu mertua, membuatku sering merindukan surga pertamaku.Pelan kuseret langkah ke laci meja rias, saat terbuka aku merasa seperti ada sesuatu yang beda, mungkin posisi photo Ibu yang menjadi terbalik. Ku ambil dan kupandangi wajah cantik dalam potret usang tersebut. Tanpa terasa airmataku kembali menetes, lalu menjadi mengalir deras.Kupeluk photonya, kupejamkan mataku seolah aku benar-benar sedang memeluknya.Oh Ibu mengapa kau lahirkan aku kalau hanya untuk kau tinggalkan? Dunia yang kujalani kini amat menyakitkan Bu.Harusnya Ibu ada disini, mendidik dan mengajariku menjadi istri dan menantu yang baik seperti keinginan Ibu mertuaku.Nanar kupandangi
Hari ini aku membawa serta beberapa file pekerjaan, karena esok aku harus melampirkan datanya.Aku berdiri di teras, sembari menunggu kedatangan Ratih mengantarkan laptop miliknya, sebenarnya aku tak enak hati. Aku yang meminjam karena perlu, tapi malah si pemilik yang mengantarkan. Yah, mau bagaimana lagi, aku tak mau meminta tolong Bang Hasan untuk mengantarkan aku ke rumah Ratih.Padahal tadi pagi aku sudah berniat mengajak Bang Hasan ke rumah Ratih malam ini sembari berkeliling menikmati udara malam. Tapi apa mau dikata kejadiannya malah begini.Suara deru motor membuatku berdiri. Ratih datang bersama dengan Bang Adi, suaminya, serta si tampan Zain."Makasih ya Tih, sudah mau repot-repot anterin. Aku jadi nggak enak," ucapku pada Ratih sesaat setelah ia turun dari motornya lalu menyerahkan laptopnya padaku."Nggak apa-apa Mir, ini tadi kami sekalian jalan-jalan bawa Zain."Lekas aku menoleh pada Zain yang sedang di gendong ayahnya."Wah, gembal gembil Tante. Lucu banget sih," ucap
Pov IbuSejak kejadian si Mira melabrakku di depan semua orang, entah kenapa fisikku jadi melemah.Rasanya semua semangat hidupku hilang begitu saja. Aku teramat malu untuk keluar rumah. Semalam saja para Ibu-ibu arisan ingin menjenguk, aku menolak. Kuminta Lina untuk mengatakan aku sedang tidur, alhasil mereka semua pulang. Mereka hanya menitipkan buah tangan khas menjenguk orang sakit, apalagi kalau bukan roti bantal selai dan sekilo buah jeruk.Huh, apa tidak ada bawaan yang lebih keren.Sudah malunya sampai ke ubun-ubun, untungnya tak seberapa. Sudah bisa kubayangkan kini aku seterkenal apa di kalangan Ibu-ibu disini.Terlebih lagi si Sita, dia pasti paling vocal menceritakan kejadian waktu itu kemana-mana. Tahu betul aku sebanyak apa lemak dalam mulut si gendut itu. Tapi tidak apa, semalam Hasan sudah berjanji pagi hari ini istrinya akan melakukan klarifikasi di depan semua Ibu-ibu arisan. Hahaha, klarifikasi, memangnya menantuku itu artis.Apapun namanya lah, yang jelas ia akan