Pov Ibu"Bu Hasan, jangan lupa hari ini arisan di rumah Bu RT ya, jam tiga sore," ucap Bu Rini, pemilik warung saat aku belanja ke warungnya untuk membeli bahan masakan."Iya, saya ingat kok Bu, pergi bareng kita nanti ya.""Bareng saya juga lah ya, sama-sama," Bu Haji menimpali.Rencananya hari ini aku hanya memasak untuk sarapan saja, sedang siang nanti makan di rumah Bu RT, begitu juga dengan makan malam, bisa makan lauk yang di berikan bu RT saat pulang. Kalau untuk Lina, dia biasanya juga jarang makan di rumah, dia pasti nanti akan pergi bersama teman-temannya untuk makan di luar."Jangan lupa warna dress codenya ya," sambung Bu Sita sembari menggoyang-goyangkan gelang keroncong di tangannya, ia juga teman arisanku yang merupakan pemilik toko emas besar di pasar."Warna apa tadi Bu Sita bilang?" tanyaku heran, rasanya aku ingin menertawakannya. Apa dia tidak tahu kalau hari ini arisan diwajibkan menggunakan warna biru langit, mengapa katanya warna apa tadi ya? Dan sejak kapan war
Pov Hasan20.00Suara ponsel berbunyi keras, tepat ketika aku akan sholat isya."Hallo, Ada apa Lin?""Ha--halo Mas. Mas cepat kesini ya," terdengar suara Lina panik di seberang sana."Ada apa Lin? Ada apa?" aku mulai merasa cemas."Ibu Mas, Ibu, sakit. Darah tingginya kambuh, tensinya tinggi.""Ya baik, Mas segera datang." Klik kuputuskan sambungan telpon, daan segera mencari kontak atasanku.Setelah mengatakan niat untuk pulang lebih awal, aku segera ke parkiran dan menuju rumah Ibu.Do'a mohon kesehatan dan keselamatan tak lupa aku panjatkan untuk Ibuku di sepanjang perjalanan.Sesampainya di rumah Ibu, segeraku berlari ke kamar Ibu.Kuputar knop pintu, dan kulihat Ibuku, wanita yang kucintai selain Mira, sedang terbaring di tempat tidur.Wajahnya pucat, tangan keriputnya yang telah membesarkanku terbaring lemah dengan di sambungan infus."Ibu kenapa Lin?" tanyaku pada Lina yang sibuk dengan ponselnya. Dia menatapku."Nggak tahu Mas, pulang arisan Ibu sudah diam saja, tapi wajahnya
Sepulangnya Ratih dari rumah, segeraku mandi, dan sholat.Mengadukan semua takdir yang kujalani kini kepada Sang pemilik hidup. Meminta dan memohon jika aku masih harus berjuang, berikan aku selalu kekuatan. Dan jika memang semuanya harus usai sampai disini, berikan aku kemudahan melewatinya.Entah mengapa sejak sering bertengkar dengan Ibu mertua, membuatku sering merindukan surga pertamaku.Pelan kuseret langkah ke laci meja rias, saat terbuka aku merasa seperti ada sesuatu yang beda, mungkin posisi photo Ibu yang menjadi terbalik. Ku ambil dan kupandangi wajah cantik dalam potret usang tersebut. Tanpa terasa airmataku kembali menetes, lalu menjadi mengalir deras.Kupeluk photonya, kupejamkan mataku seolah aku benar-benar sedang memeluknya.Oh Ibu mengapa kau lahirkan aku kalau hanya untuk kau tinggalkan? Dunia yang kujalani kini amat menyakitkan Bu.Harusnya Ibu ada disini, mendidik dan mengajariku menjadi istri dan menantu yang baik seperti keinginan Ibu mertuaku.Nanar kupandangi
Hari ini aku membawa serta beberapa file pekerjaan, karena esok aku harus melampirkan datanya.Aku berdiri di teras, sembari menunggu kedatangan Ratih mengantarkan laptop miliknya, sebenarnya aku tak enak hati. Aku yang meminjam karena perlu, tapi malah si pemilik yang mengantarkan. Yah, mau bagaimana lagi, aku tak mau meminta tolong Bang Hasan untuk mengantarkan aku ke rumah Ratih.Padahal tadi pagi aku sudah berniat mengajak Bang Hasan ke rumah Ratih malam ini sembari berkeliling menikmati udara malam. Tapi apa mau dikata kejadiannya malah begini.Suara deru motor membuatku berdiri. Ratih datang bersama dengan Bang Adi, suaminya, serta si tampan Zain."Makasih ya Tih, sudah mau repot-repot anterin. Aku jadi nggak enak," ucapku pada Ratih sesaat setelah ia turun dari motornya lalu menyerahkan laptopnya padaku."Nggak apa-apa Mir, ini tadi kami sekalian jalan-jalan bawa Zain."Lekas aku menoleh pada Zain yang sedang di gendong ayahnya."Wah, gembal gembil Tante. Lucu banget sih," ucap
Pov IbuSejak kejadian si Mira melabrakku di depan semua orang, entah kenapa fisikku jadi melemah.Rasanya semua semangat hidupku hilang begitu saja. Aku teramat malu untuk keluar rumah. Semalam saja para Ibu-ibu arisan ingin menjenguk, aku menolak. Kuminta Lina untuk mengatakan aku sedang tidur, alhasil mereka semua pulang. Mereka hanya menitipkan buah tangan khas menjenguk orang sakit, apalagi kalau bukan roti bantal selai dan sekilo buah jeruk.Huh, apa tidak ada bawaan yang lebih keren.Sudah malunya sampai ke ubun-ubun, untungnya tak seberapa. Sudah bisa kubayangkan kini aku seterkenal apa di kalangan Ibu-ibu disini.Terlebih lagi si Sita, dia pasti paling vocal menceritakan kejadian waktu itu kemana-mana. Tahu betul aku sebanyak apa lemak dalam mulut si gendut itu. Tapi tidak apa, semalam Hasan sudah berjanji pagi hari ini istrinya akan melakukan klarifikasi di depan semua Ibu-ibu arisan. Hahaha, klarifikasi, memangnya menantuku itu artis.Apapun namanya lah, yang jelas ia akan
Sinar matahari pagi menelusup masuk dari celah-celah jendela, membuatku harus membuka mata. Kulirik ponselku di meja, aku kesiangan, bahkan sampai ketinggalan sholat subuh, padahal aku selalu mengatur alarm di ponsel. Mungkin semalam aku nyenyak sekali, sehingga aku tak bisa mendengar apapun.
Setelah menutup pintu, masih dapat kudengar dengan jelas, umpatan dan makian Ibu, disusul dengan sebuah ketukan dari sebalik pintu."Mir, Mira. Ini Abang Mir. Buka pintunya sebentar," ucap Bang Hasan dengan suara yang terputus-putus.Aku diam tak bergeming dari tempatku. Sudahlah mungkin ini memang akhir dari rumah tangga yang masih seumur jagung ini."Mira, Abang mau bicara sebentar saja sayang. Dengarkan Abang dulu," mohonnya lagi.Seandainya saja tidak ada penghalang pintu ini, pasti sudah kuludahi wajahnya ketika memohon terlebih saat memanggilku dengan panggilan sayang."Mira, sebentar saja. Abang mohon. Dengarkan, kali ini saja.""Hasan ayo kita pulang, untuk apa kamu memohon dengan perempuan piatu tak terdidik itu. Diluar sana masih banyak perempuan yang mau sama kamu," protes Ibu pada Bang Hasan."Bu, sini kunci rumahnya, Hasan mau masuk. Hasan tidak mungkin mencari perempuan lain dan meninggalkan Mira, Bu."Apa katanya? Tak mungkin meninggalkanku?Rasanya aku ingin tertawa di
POV Hasan"Lin, Ibu mana?" tanyaku pada Lina. Adik perempuanku yang sedang asyik dengan ponselnya. Ia sedang sibuk bergoyang ria sembari menatap layar ponselnya. Entah apa yang ia lakukan pada benda berbentuk persegi panjang tersebut. Pagi, siang, sore, malam hanya itu yang ia pegang. Bahkan ia tak menghiraukan panggilan Ibu jika ada perlu dengannya."Lina, Ibu mana?" teriakku pada Lina."Nggak tahu, Mas. Tadi keluar buru-buru setelah Mas masuk kamar mandi," jawabnya tanpa melihat ke arahku."Kamu belum mandikan Lin? Mandilah, sudah mau maghrib. Anak gadis kok jorok.""Bentar lagi, Mas. Ntar habis isya aku mau pergi. Eh, Mas. Ibu udah ngomong ke Mas belum?" tanyanya yang membuatku heran."Bilang soal apa?""Hah, serius Ibu belum bilang ke Mas? Soal kuliahku?" tanya Lina lagi tak yakin. Ibu memang belum ada bilang apapun padaku soal kuliahnya."Belum. Apa memangnya? kamu saja yang sampaikan. Mungkin Ibu lupa.""Lina kan sudah tamat Mas, pendaftaran kuliah gelombang satu juga sudah dibu