Share

4. Aku Pembawa Sial

Dada terasa sesak, Oceana tidak habis pikir dengan sikap Kalvin yang tidak kenal ampun. Bagaimana bisa ia jatuh cinta dengan pria seperti itu. Padahal sikap awal Kalvin sangat manis meskipun posesif. Siapa sangka pria ini berubah begitu drastis.

“Berhenti Kalvin! Apa kau sudah gila?!” teriak Oceana sambil berjalan mendekati suaminya. Hatinya sangat pilu melihat Bimo menjerit kesakitan dengan kulit yang melepuh oleh batang rokok menyala.

“Apa sayang? Aku hanya memberikan hadiah pada Bimo sekaligus matiin rokoknya sesuai keinginannya."

Kalvin semakin kuat menekan rokok di perut Bimo. “Ampun Kalvin!”

“Bukankah ini yang kamu inginkan?”

Dengan verbal tidak mempan, Oceana pun langsung bertindak dengan menarik lengan Bimo yang sudah memberontak. Tenaga Kalvin sangat kuat hingga Bimo sulit lepas dari Kalvin yang berusaha melepaskan diri. Namun, Oceana tidak menyerah merebut Bimo dari suaminya. Ia tetap menarik Bimo sekuat tenaga sampai Bimo terlepas dari suaminya hingga mereka terjatuh ke lantai.

“Sakit! Sakit!” Bimo segera bangun dan memegang perutnya sambil menjerit. Dia memutar badannya berulang kali.

“Bimo, tenang, tenang!”

Oceana yang berusaha menenangkan Bimo, tiba-tiba kepalanya mendongak karena ada tarikan yang sangat kuat. Kepalanya terasa berdenyut karena Kalvin begitu kuat menarik rambutnya.

“Berhenti membelanya! Kamu tahu betapa lelahnya aku? Anak ini telah membuatku marah!” ucap Kalvin dengan suara berat dan serak. Suara itu sangat dekat di telinga Oceana hingga bulu kuduknya merinding.

“SUDAH KUBILANG, INI SALAHKU!”

Suara teriakan Oceana semakin membuat Kalvin murka. Kalvin menekan pipi Oceana sambil berbisik, “berani kamu meninggikan suaramu padaku?”

“A-aku ....”

Oceana pun didorong begitu saja hingga terhempas dan menabrak meja makan yang terbuat dari kayu. Bagian ujung kayu meja yang tumbul menabrak kaki kanan Oceana.

Sementara, Kalvin mendekati Bimo yang masih memutari badan. Tanpa aba-aba pria itu langsung menendang hingga Bimo menabrak dinding.

“Aaa, sakit! Ka-kalvin jahat, Kalvin jahat!”

Oceana berusaha mungkin membangunkan badannya dan berjalan pincang ke arah Bimo. Ia memeluk Bimo dengan menghelus kepala sahabatnya. Ia merasakan adanya cairan kental merah di kepala Bimo. Tangan Oceana pun gemetar dibuatnya.

Dia menangis dan bicara dengan lirih, “ Kalvin, tolong hentikan!”

Seperti inilah Kalvin yang tidak hanya menyiksa Oceana dengan fisik tapi juga menyiksa batinnya. Suaminya tahu bahwa dengan menyiksa Bimo adalah hukuman terberat bagi Oceana.

Tanpa aba-aba, tubuh Oceana langsung ditarik dan dipisah pelukannya secara paksa dari Bimo.

Saat Oceana ditarik ke arah dapur, Kalvin menampakkan gelagat nafsu ingin menyiksa Bimo. Seperti harimau yang hendak mencabik-cabik mangsanya.

“Kalvin, aku mohon!” Oceana merangkak mendekati dan memeluk kaki suaminya. Namun, tenaga Kalvin tidak dapat menghentikan sikap bringasnya. Dengan kasar Kalvin melepas kaki dari pelukan Oceana hingga terhempas.

Kalvin mengambil sapu di dapur, lalu berjalan balik dan memukul Bimo dengan amarah yang tak tekendali. Semua tenaga digerahkan untuk menyiksa. Kadang-kadang, ia memukul. Kadang-kadang, ia menendang. Kadang-kadang, ia injak-injak perut Bimo.

Melihat kondisi Bimo yang sudah tak berdaya, suami Oceana menghentikan aktivitas kejinya lalu menarik kerah baju Oceana hingga membawa masuk ke dalam kamar. Entah apa yang ada dipikiran Kalvin, kini pria itu memaksa istrinya untuk berhubungan intim.

Oceana menangis dan hanya pasrah. Hatinya sangat hancur seakan harga diri sebagai seorang wanita tergores. Meskipun Kalvin suaminya, tetapi memperlakukan wanita seenaknya saja bukanlah tindakan yang dapat dibenarkan. Tiada rasa menghargai pendamping hidupnya.

Selama Kalvin menjamah tubuh Oceana, Bimo dengan posisi terbaring dan tak berdaya dapat melihat aktivitas suami-istri itu. Kalvin tidak menutup pintu kamar dan posisi Bimo tepat sejajar menghadap ke arah dalam kamar Kalvin dan Oceana.

Dengan kehancuran di hatinya, ia menyaksikan wanita yang ia cintai bersetubuh dengan pria lain. Hal yang menyakitkan adalah Kalvin tidak memperlakukan Oceana sebagaimana seharusnya.

Biarpun dia sering dibilang idiot, tapi ia tahu bagaimana memperlakukan seseorang. Itu yang selalu diajarkan Bunda Arsy di panti asuhan.

Oceana maupun Bimo, mereka saling meneteskan air mata sambil memandang satu sama lain.

Hanya air mata yang mampu mengungkap pilu di hati. Oceana menangis karena merasa bersalah dan malu dengan Bimo. Sementara, Bimo menangis karena hatinya hancur tidak dapat melindungi orang terkasihnya. Dia sangat membenci dirinya sendiri, hanya bisa menyaksikan wanita ia cintai tersiksa oleh pria lain.

Waktu telah berlalu. Kepalanya menoleh ke kanan, melihat sesosok yang baru saja menyakitinya. Kini, Oceana tidak yakin apakah pria di sampingnya adalah pria yang pernah memperlakukan dirinya seperti ratu. Suami yang pernah memberinya kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Oceana tidak menemukan titik terang atas pertanyaan yang sudah melekat di otaknya selama 3 tahun ini.

Sejak ibu mertuanya datang, sikap Kalvin berubah total. Dari kepribadian lembut, tiba-tiba berubah menjadi kasar. Entah apa yang telah dilakukan Ibu mertuanya saat itu.

Dia tahu bahwa dirinya bukanlah menantu yang diinginkan oleh ibu mertuanya, tapi apa harus beliau mengubah putranya menjadi monster seperti ini. Kesalahan apa yang telah Oceana lakukan hingga pantas diperlakukan seperti ini.

Air mata terus mengalir. Basah diwajahnya tak dapat menghitung berapa tetes air mata telah membasahi wajahnya. Tiap tetes menafsirkan sebuah kekecewaan, kehancuran dan kerinduan akan kasih sayang. Kehidupannya hanya dipenuhi tetesan air mata hingga ia sulit menemukan nikmatnya kebahagiaan. Ke mana perginya kebahagian itu?

Remuk dibadannya membuatnya kesulitan bangun dari tempat tidur. Jalan pun ikut sulit karena kaki kanannya lebam akibat tabrakan dengan ujung kayu yang tumpul saat didorong oleh Kalvin tadi sore.

Terlihat di lantai ada kain Kalvin dan dirinya berserakan dan bercampur acak. Ia pun meraih pakaiannya dan langsung memakaikan ke tubuhnya yang tiada sehelai benang pun yang menempel.

Setelah berpakaian, Oceana langsung melihat sesosok pria yang masih terbaring di lantai tepat di depan pintu kamarnya. Air matanya kembali mengalir melihat Bimo. Dengan berjalan pincang, ia dekati Bimo lalu duduk bersimpuh. Disentuhnya wajah Bimo yang penuh dengan luka lebam.

“Maafkan aku. Seharusnya, kamu tidak perlu mengalami semua ini.”

Mendengar suara Oceana, perlahan-lahan Bimo membuka matanya.

“B-badanku sakit.”

“Aku minta maaf.”

“Oceana tidak salah, jangan menangis. Bimo baik-baik saja. Bimo tidak mati.”

Bukannya membuatnya menjadi tenang, tangis Oceana semakin pecah setelah mendengar ucapan Bimo. Rasa bersalah menyelimuti jiwanya. Oceana langsung memeluk Bimo dan terus mengucapkan kata maaf. Hanya kata itu yang mampu terlontar dari bibirnya. Hanya air mata yang dapat mengartikan luka di hatinya.

Seharusnya Oceana tidak membawa Bimo ke rumah ini. Rumah ini seperti neraka. Tiada angin yang menyejukkan, hanya ada api yang terus menyala di atas rumah ini. Ia pikir ia dapat menyelamatkan Bimo dari kesengsaraan dan kesunyian, tapi ternyata justru ia membawa Bimo ke jurang yang begitu curam.

“Aku hanya pembawa sial bagi orang-orang di sekitarku. Tidak satupun dari mereka yang selamat jika hidup bersamaku. Aku hanyalah pembawa sial. Aku telah banyak membunuh orang. Maafkan aku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status