Share

5. Suami Memasang Sepatu Istri

Luka lebam telah menyelimuti tubuh dan wajah Oceana dan Bimo. Namun, luka-luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang luar biasa yang ada di dalam hati mereka. Harga diri mereka telah dijatuhkan. Batin mereka telah dipermainkan. Mental mereka sedang diuji.

Oceana mencoba  menahan air matanya jatuh dan berusaha tersenyum di depan Bimo yang terbaring di atas kasur. Wanita berambut hitam bergelombang itu mengobati luka-luka Bimo. Tiap Bimo mengeluarkan suara keluh membuat hati Oceana terasa hancur.

“Maafkan ... aku,” ucap Oceana dengan terbata-bata.

“Ini salah Kalvin bukan Oceana. Dia yang ha-harus minta maaf sama kita. Bukan Oceana.”

“Tapi....” Perkataanya terhenti dikarenakan menahan sesak di dada seakan ada yang sedang mengikatnya dengan sangat kencang. Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Rasa bersalah terhadap Bimo menghantamnya berulang kali.

Rasa bersalah itu tidak mengantarkannya pada sebuah pencerahan melainkan rasa bingung. Bingung bagaimana ia harus menebus rasa bersalahnya tanpa harus meninggalkan Kalvin dan Bimo. Memilih di antaranya membuat hati wanita itu menjadi berat.

“Aku punya cerita,” lirih Bimo sambil memegang lengan Oceana.

Aktivitas Oceana yang hendak meremas handuk kecil di wadah terhenti. Lelaki itu ingin Oceana mendengarkannya dengan sesakma. Oceana pun bertanya, “kali ini, cerita apa yang ingin kamu ceritakan? Tentang si anak mencari domba?”

Bimo menggeleng.

“Hmm ... si Ibu yang memarahi aspal  karena anaknya jatuh?”

Bimo tetap menggeleng.

Oceana menghela napasnya. “Lalu apa?

Bimo berusaha bangun dari rebahannya. Raut wajah telah menjelaskan dirinya sangat bersemangat menceritakan sebuah kisah pendek yang tentu saja sangat menarik baginya.

Dia selalu melihat, merekam dan menceritakan kembali jika hal yang dilihatnya sangat menarik. Namun, ia akan mudah melupakan sesuatu yang tidak menarik baginya.

“Ini tentang suami yang memasang tali sepatu istrinya,” tuturnya dengan senyum yang mengembang. Wajahnya yang datar tadi langsung berubah dalam sekejab. Seakan tidak ada hal buruk terjadi padanya hari ini.

Oceana pun memperbaiki posisi duduknya. Mencari posisi ternyaman. Dia harus mendengar cerita Bimo dengan baik. Jika tidak, Bimo akan marah. Meskipun terkadang cerita pendek Bimo ada yang membosankan dan kadang sering berulang, tapi Oceana harus tetap sabar mendengarkannya.

Kadangkala ia juga tanpa sadar terkantuk mendengar cerita Bimo yang membosankan. Hal itu akhirnya membuat Bimo merajuk dan tidak mau berbicara dengan Oceana. Di saat seperti itu, Oceana memasang fitur sabar dan mengalah untuk membujuk Bimo.

“Sekarang ceritakan! Ada apa dengan sang suami yang memasang tali sepatu istrinya?” tanya Oceana dengan mengangkat kedua bahunya. Air mukanya menunjukkan bahwa ia meremehkan cerita Bimo karena pasti itu mudah ditebak.

“Nama suami itu Bram dan istrinya bernama Rani.”

“Oke, nama yang serasi.”

Bimo kembali menjelaskan setelah ia berdehem. Pura-pura mengatur suara agar terlihat seperti pendongeng yang bersiap menceritakan sebuah kisah dengan lancar. “Bram adalah suami yang sangat ceroboh dan Rani adalah istri yang cerewet serta cekatan.”

“Wow! Kombinasi yang bagus,” komentar Oceana dengan menaiki kedua alisnya yang melengkung sempurna, bukan alis buatan, ini alami.

“Saat itu Bimo sedang duduk di taman sambil menggambar anak-anak yang sedang bermain bola. Mereka berdua sedang berjalan bergandengan tangan, tapi Bram tiba-tiba menjatuhkan ice creamnya yang berakhir kena omelan dari sang istri.”

“Bagaimana reaksi Bram?”

“Tentu saja, dia langsung minta maaf dan menyeka sepatu istrinya yang ternyata sudah kena ice cream yang terjatuh itu,” lanjutnya.

“Wow! Aku mengerti kenapa Rani marah.”

Bimo mengangguk dan melanjutkan ceritanya. “Bram pun menyuruh Rani duduk di samping Bimo. Masih dengan perkataan maaf, Bram memasang tali sepatu  Rani. Saat itu, Bimo bertanya sama Bram ‘apa Rani tidak bisa memasang tali sepatunya sendiri?’ Lalu, si Bram dan Rani tertawa mendengar pertanyaan Bimo.”

“Terus, terus?”

“Bram menjawab bahwa Rani bisa memasang tali sepatunya sendiri. Lalu, Bimo bertanya lagi mengapa Bram memasang tali sepatu Rani kalau Rani bisa melakukannya sendiri. Lalu, Bram menjawab kalau Bram ingin melakukannya sebagai bentuk perhatian dan khawatir. Perhatian bahwa hal kecil seperti tali sepatu copot bisa membuat Rani terjatuh. Itu adalah salah satu wujud rasa sayang kita pada seseorang.”

Oceana mengangguk-ngangguk. “Jadi kesimpulannya ini cerita suami yang penuh perhatian?”

“Bukan.”

“Lalu, apa?”

“Kesimpulannya ini tentang suami yang melindungi istrinya. Ia tidak ingin istrinya terluka. Dengan cara memasang tali sepatu adalah wujud Bram sedang melindungi Rani,” jelas Bimo sambil menggaruk keningnya.

“Cerita yang bagus,” pungkas Oceana. Ia pun berdiri dari kasur dan hendak memutar badan untuk keluar dari kamar Bimo sambil membawa kotak P3K.

“Bimo punya pertanyaan.”

Langkah kaki Oceana terhenti di ambang pintu. Ia pun menoleh ke belakang sambil menaiki alis kanannya.

“Apakah Kalvin pantas disebut suami? Bimo tidak melihat sesosok suami di dalam dirinya seperti yang ada di dalam diri Bram. Justru Kalvin seperti tiran yang bisa suatu hari nanti membunuh kita.”

Oceana memutar matanya dan menghela napas kasar. Ia pun merangkul kotak P3K di pinggang kirinya sedangkan tangan kanannya berdecak pinggang. “Apa maksud kamu? Suami tetaplah suami!”

“Tapi dia tidak pantas. Dia tidak bersikap seperti seorang suami. Seharusnya suami melindungi istrinya agar tidak terluka bukan menciptakan luka pada istrinya!”

Oceana langsung mengintip ke luar kamar. Ia was-was agar Kalvin tidak mendengar ucapan Bimo. Berharap Kalvin belum bangun dan tidak mendengar apa yang dikatakan pria itu. Oceana pun segera menutup pintu dan berbalik badan.

Dengan berbisik ia berkata, “aku yakin Kalvin seperti itu ada sebabnya. Kau ingat, sebelum ibu mertuaku datang, sikap Kalvin pada kita sangat baik. Dia seperti Bram ... dulunya.”

“Lalu, sekarang?”

“Dengar baik-baik. Aku akan tetap mempercayai suamiku akan kembali seperti dulu lagi. Ini masalah waktu. Aku akan mencari penyebab Kalvin seperti itu dan akan mengembalikannya seperti Bram yang ada di ceritamu. Tidak! Bahkan Kalvin-ku yang dulu jauh lebih baik dari Bram!”

“Bimo benar-benar tidak mengerti dengan pikiran Oceana.”

“Makanya berhenti menyuruhku meninggalkan Kalvin. Itu tidak akan pernah aku lakukan!”

Oceana pun langsung membuka pintu dengan kasar dan keluar dari kamar Bimo. Menutup pintu itu kembali. Di depan pintu kamar Bimo yang sudah tertutup, Oceana menarik napas dalam dan menghembus perlahan.

Sekarang pukul sebelas malam. Oceana pergi mengambil pakaian kotor dan memasukkan ke dalam mesin cuci. Kemudian, ia memasukkan deterjen dan menutup pintu depan mesin cuci.

Oceana duduk di depan mesin cuci setelah menyalakan mesin tersebut. Ia pun melamun memandang mesin yang sedang berkerja. Perlahan-lahan air mata mengalir di pipi kenyalnya. Sekali-sekali, ia menyekanya. Berulang kali menarik napas untuk menenangkan dan mengontrol dirinya.

Dia tidak ingin melanjutkan menangis karena itu membenarkan perkataan Bimo.

“Kalvin pasti berubah, dia laki-laki baik,” gumam Oceana sambil mengusap bekas luka sayatan di tangan kirinya. Bekas luka ini mengingatkannya pada masa lalu. Masa di mana ia bertemu Kalvin pertama kalinya.

Masa kelamnya yang dipikirnya telah menemukan cahaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status