Persahabatan dengan Bimo sejak di panti asuhan membuat Oceana tidak bisa meninggalkan pria itu walaupun sudah menikah. Oceana sadar bahwa tidak ada seorang pun yang mengurus Bimo dengan gangguan sindrom asperger miliknya. Awalnya, semua berjalan lancar. Kalvin—suami Oceana—menerima Bimo dengan baik di rumah mereka. Namun, setelah bertemu dengan sang mertua, tiba-tiba sikap suami Oceana itu berubah. Selain menyiksa Bimo, Kalvin bahkan juga membuat hidupnya menderita. Orang lain mungkin akan menganggap Oceana bodoh. Namun, perempuan itu percaya bahwa suaminya akan kembali lembut seperti dahulu. Berbeda dengan Oceana—walaupun dengan kekurangannya, Bimo sadar bahwa pikiran Oceana salah dan berusaha menyadarkannya. Akankah Bimo berhasil mengubah pandangan Oceana yang penuh racun?
Lihat lebih banyakWanita itu menghela napas kasar, ia tidak mungkin melanjutkan pencarian jika ia kehujanan. Kehujananan akan membuatnya semakin konyol karena ia bisa jatuh sakit dan itu akan menyulitkannya untuk mencapai tujuannya. Dia harus mencari tempat untuk berlindung dari cuaca yang dingin.
Hujan pun turun dengan deras dan angin semakin kencang. Dia langsung berlari di sepanjang koridor untuk segera menuju halte bus yang tidak jauh dari pandangannya. Cipratan genangan air membuat sepatu putihnya menjadi basah dan kotor tiap kali ia menginjak genangan. Sesampainya di halte, wanita itu mengeluh sambil menyeka air hujan yang sudah membasahi gaun tipisnya. Ia melihat ke sekeliling, ada sebagian orang yang berdiri atau duduk di halte yang memang untuk menunggu bus terakhir. Sebagiannya lagi, sama seperti dirinya, mencari tempat untuk diduduki. Di ujung kiri ada tempat kosong, Oceana segera mengambil tempat sebelum ada yang menempatinya. Kakinya sudah terasa tegang. Betis dan telapak kakinya terasa sakit, karena ia menahan diri memakai sepatu yang sangat sempit. Mengingat sepatu, itu mengingatkan kembali kenangan yang tak terlupakan antara dirinya dan pria itu. Meskipun penuh dengan masa pahit, tapi setidaknya ada sedikit kenangan indah yang terselip di antara masa pahit itu. Tersenyum, tetapi ada hati yang terasa hampa dan penuh penyesalan. Dia sadar bahwa kebodohan dan kebohongan terburuknya, membuat batu permata yang berharga terlepas dalam hidupnya. Kini, dengan harapan samar ia ingin permata itu kembali lagi padanya. Permata itu telah memberi banyak madu dalam kepahitan hidupnya. Setidaknya, berkat pria itu, ia masih bisa merasakan manisnya madu dalam hidup yang penuh racun. Terlalu fokus dengan sepatu dan kenangannya, Oceana tidak sadar ada mata buaya yang sedang memandang lekuk tubuhnya. Bodoh, ia lupa menutup badannya yang terlihat karena baju tipis yang basah itu memperlihatkan lekuk tubuh dan dalamannya yang terlihat jelas dari luar. Sebelum tubuhnya menjadi ajang otak mesum pria buncit itu, Oceana segera meraih koper lalu menaruhnya di tempat ia duduki. Ia pun membuka ritsleting koper, lalu mengeluarkan jaket krem dan langsung memakainya. Sekilas, Oceana melihat wajah kasar itu kecewa setelah lekuk tubuhnya tidak terlihat lagi. 'Dasar lelaki mesum!' Beberapa saat kemudian, bus terakhir sampai. Orang-orang pada berkerumunan naik ke dalam bus. Sementara, Oceana masih diam di tempat karena tidak punya tempat yang jelas untuk dituju. Seseorang itu entah di mana keberadaannya. "Dek, boleh nggak pinjam HP-nya bentar?" tanya seorang ibu tambun berkulit sawo matang. Dia mengulurkan tangannya agar Oceana mau meminjamkan gawai padanya. Oceana baru sadar kalau masih ada orang selain dirinya yang tinggal di halte. "Maaf, Buk. Tapi, saya tidak punya." "Dek, saya ini cuman mau telepon anak saya bentar. Sudah sejam lebih saya nunggu dia tapi nggak juga kunjung datang. Hujan pun semakin lebat pula..." "Tapi, saya berkata jujur kalau saya benaran nggak punya." "Mana mungkin anak jaman sekarang tidak punya HP, jangan bohong! Saya cuman pinjam lima menit—ah ... tidak, cuman dua menit. Ayolah, HP saya mati karena baterainya habis." Seharian belum makan, kaki sudah capek, perasaan lagi nggak enak, malah ketemu orang yang suka maksa seperti ibu ini. Tidak bisakah hal-hal seperti ini dilewatkan saja. Mengapa situasi tidak pernah memihaknya. Oceana benaran tidak berbohong bahwa dia tidak punya ponsel. Bukan karena dirinya adalah orang yang suka hidup seperti zaman purba, yang mana tidak tertarik menggunakan teknologi zaman sekarang. Akan tetapi, situasinya membuat ia tidak bisa memiliki ponsel genggam. Kejadian seminggu yang lalu telah membuat ponselnya hancur terlindas kereta api. Malam itu sangat buruk, bersamaan ia kehilangan orang yang dicintainya, seseorang yang sedang ia cari di setiap sudut kota. Setelah kejadian itu, Oceana belum kepikiran untuk membeli gawai baru dikarenakan pikirannya masih kacau dan sibuk menyelesaikan kisah racunnya yang belum terselesaikan. "Demi apapun, saya tidak berbohong. Lagian kenapa maksa kali, sih?" "Adek kok kurang ajar sekali sama saya. Saya ini tua dari kamu, loh!" Ibu berkerudung biru itu berkecak pinggang. Menunjukkan bahwa dirinya memiliki otoritas dalam memojokan orang yang lebih muda darinya. Oceana berdiri, rasanya ia ingin menyumpah serapah ibu tersebut. Akan tetapi, ia tahan sebisa mungkin karena tidak mau mencari keributan atau memperbesar masalah. Dia sadar diri. Keadaannya sebagai orang yang tidak punya apa-apa, membuatnya tidak bisa berbuat selain menahan amarah. Melawan hanya akan merugikan dirinya sendiri. "Bu! Maaf sekali kalau ibu merasa saya bersikap kurang ajar." Oceana menghela napas berat, rasanya ia ingin menampar dirinya sendiri. Untuk apa dia meminta maaf, jika ia rasa tidak melakukan kesalahan apapun. "Saya berkata jujur, HP saya rusak total dan saya belum sempat untuk membeli yang baru. Ibu mau beliin saya HP?" "Kurang ajar! malah minta beliin HP. BILANG AJA NGGAK MAU PINJAMIN!" teriak ibu itu sambil menjatuhkan koper Oceana yang belum sempat ia tutup. Alhasil, pakaian dan barang-barang di dalamnya terhempas ke lantai yang basah dan kotor terkena cipratan hujan. Setelah membuat Oceana merasa sangat marah, ibu itu langsung pergi dari halte dengan menerobos hujan tanpa rasa bersalah. Oceana melihat beberapa pakaiannya menjadi ternodai. Air matanya mulai perlahan menetes, puncak kekesalan dan segala permasalahan yang ia alami menjadi campur aduk. Ada hal yang membuat hatinya merasa meledak malam itu. Dia menutup wajahnya. Tangisan pecah sambil mengeluh tentang hari ini yang sangat menyebalkan baginya. Oceana melihat langit gelap yang sedang menumpahkan air awan yang sangat banyak. Dia bertanya-tanya, mengapa dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa mesti dirinya yang mendapatkan situasi buruk. Tidak bisakah Tuhan memberi dia istirahat sejenak dari dunia yang membelenggu ini. Dengan dada yang sesak, Oceana melihat ke sekeliling dan melihat kendaraan, gedung dan orang-orang yang lewat. Mengapa ribuan yang ia lihat tidak satupun ada di dalam hidupnya. Tidak ada satupun yang ia miliki. Satu-satunya yang dimiliki olehnya hanya orang itu. Namun, kesalahan telah membuat ia kehilangannya. 'Di mana kamu sekarang? Tidakkah takdir mau mengembalikkan kamu ke padaku lagi?' Suara tangis kembali terdengar saat suara petir menyambar. Seakan Oceana mendapatkan jawaban dari suara petir itu. Ia menganggap bahwa ia sudah tidak punya kesempatan dan harapan lagi.Sudah berapa banyak pakaian yang ia keluarkan dari lemarinya hingga membuat kondisi kamar Oceana sangat berantakan. Ia sangat kebingungan harus memakai pakaian seperti apa untuk berangkat bekerja. Ini adalah pertama kalinya ia berkeja selama ia hidup. Mengganti baju dari warna coklat ke merah, merah ke pink, pink ke hitam. Dari gaun selutut ke baju kodok. Baju kodok ke celana lepis dan baju kaos polos. Kebingungan ini tidak ada hentinya. Ia merasa tidak puas dan juga ragu. Apakah pakaian ini pantas untuk berkerja atau pakaian ini terlalu informal untuk bekerja. Berbagai macam pertanyaan yang terus terlintas di pikirannya. Kalvin yang sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja, ia pun geleng-geleng kepala dan menghampiri istrinya yang masih sibuk berpose di depan cermin. “Kamu itu hanya jadi pelayan restoran bukan model. Lihatlah kekacauan pagi yang kamu lakukan,”sindir Kalvin yang langsung melempar pantatnya ke atas kasur yang udah dipenuhi pakaian yang berserakan. “Ini pe
Dia hanya memanggilnya, tetapi Oceana sudah merasa siap mendapatkan hal buruk akan terjadi padanya. Hal buruk yang sudah menjadi kebiasaan yang siap ia hadapi.“Apa kamu sudah memutuskan untuk menjadi karyawan wanita tua itu?” tanya Kalvin yang terus menatapnya dengan penuh seksama. Rasanya ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya hingga membuatnya sulit untuk menelan air liurnya. Ada rasa kelegaan suaminya tidak menyadari Oceana mengambil ponsel secara diam-diam, Hanya saja di sisi lain, ketegangan masih terasa karena Kalvin tiba-tiba membahas Nyai Arumi.“Seperti yang aku bilang tadi sore, bukankah dengan adanya aku bekerja, itu dapat membantumu mengatasi keuangan?”Terdengar hembusan kasar dari mulut Kalvin. Pria berjanggut itu meletakkan kamera ke atas meja. Lalu, ia kembali menatap istrinya sambil menggosok-gosok alisnya. “Apa kamu sedang meremehkanku saat ini? Setelah melihat kejadian kemarin, kamu menganggap aku pria lemah yang tidak mampu mengatasi hal tersebut?”“Ti-ti
Suasana yang sangat menegangkan. Semua orang yang ada di sana bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di lorong tersebut. Sebagian ada yang kesal karena telah menganggu keluarganya yang sedang sakit. Sebagian ada yang merasa ketakutan karena takut terjadi sesuatu pada pasien. Ada juga yang takut karena memikirkan pikiran yang liar, seperti halnya Bimo yang mengamuk itu bisa saja sewaktu-waktu menyerang mereka.Ada seorang bapak berkepala botak setengah mencoba untuk mendekati Bimo yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.“Hei, nak! Berhenti lakukan itu, kepalamu sudah mengeluarkan banyak darah!”teriak Bapak tersebut. “Hei! Siapapun bantu saya hentikan dia! Di mana perawat? Perawatnya mana nih!”Ada seorang pemuda lainnya yang memiliki jenggot tipis perlahan-lahan mendekati dan mencoba membantu Bapak botak itu. Melihat aksi anak muda itu, barulah dua orang lainnya maju untuk menolong dan menghentikan kegilaan Bimo.Trauma
"Kita tidak bisa membawanya bersama kita lagi, aku sudah tidak sanggup," ucapnya sambil menangis."Tetapi kita tidak bisa melepas tanggung jawab begitu saja!"Wanita itu mengusap wajahnya yang sedikit keriput. Ia mengusap air matanya yang terus mengalir. "Aku salah. Aku salah membiarkanmu membawanya ke rumah. Mengurus orang lansia saja susah, apalagi ngurus orang cacat seperti dia." "Sarti! Jaga mulutmu itu!" Wanita yang disebut Sarti itu langsung terdiam. Ia mencekram kedua tangannya dan langsung menunduk saat suaminya yang jarang marah tiba-tiba membentaknya. "Sekarang, lebih baik kita pulang dan membawanya kembali." Pria yang rambutnya sudah memutih itu langsung menarik lengan Bimo, namun hal itu langsung dihentikan oleh wanita tadi. Wanita yang merupakan istrinya pun berteriak. "Sarti! Berhenti berteriak, kau menakutinya!" Bimo ketakutan dan mundur kemudian menutup telinganya. Ia berulang kali memukul telinganya dan gelisah. Pria tua itu langsung berusaha untuk menenangkan Bi
Dia berusaha mencari arti dari sikap Nyai Arumi. Semakin ia cari, semakin sulit ia memahaminya. Oceana berjalan perlahan keluar dari rumah Nyai dengan pikirannya yang begitu rumit seperti benang kusut yang begitu sulit untuk diurai. Oceana turun dari tangga dan melewati air pancur. Meskipun ia sedang berjalan namun pikirannya masih berkelana dengan keputusasaannya untuk mengikuti keinginan Nyai Arumi. Kini, di dalam pikirannya ia bertanya-tanya tentang bagaimana cara ia menghadapi semua itu. Mungkin bagi orang-orang bahwa hal ini adalah hal yang mudah untuk dihadapi. Akan tetapi, bagi Oceana ini sangat berat. Ada begitu banyak ketakutan tentang masa depan dan kebingungannya menghadapi situasi yang baru. Dia tidak terbiasa dengan sesuatu yang menantang dalam hidupnya. Ia tidak tahu cara menghadapinya. Ada begitu banyak kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. “Neng, sudah selesai bertemu Nyai?” tanya satpam itu sambil membukakan pagar untuk Oceana. Oceana yang sedang
Sebelum menjelaskan kebingungannya terhadap satpam itu, Oceana menghentikan kalimatnya saat ia melihat sesosok pria sedang berjalan menuju pagar. Kini, ia mengerti mengapa satpam itu mengatakan bahwa Oceana sudah membuat janji dengan Nyai Arumi padahal kedatangannya secara mendadak. Ini dikarenakan ada Kalvin yang telah menemui Nyai Arumi, hingga membuat satpam itu berpikir bahwa Oceana ikut bersama suaminya untuk menemui Nyai Arumi.Melihat ekspresi Kalvin, tampaknya pria bertubuh tinggi itu juga terkejut melihat Oceana yang sedang berdiri di dekat pos satpam.“Kenapa kamu ada di sini?”tanya Kalvin sambil berjalan mendekati Oceana.“Bukankah seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu? Ada urusan apa kamu dengan Nyai Arumi?”“Apa kamu datang ke sini untuk memohon pada wanita tua itu?” tanya Kalvin sambil memnunjuk ke dalam rumah.Oceana bingung apa yang ingin dikatakan suaminya Ia pun memegang tangan Kalvin dan menariknya keluar dari rumah Nyai Arumi agar p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen