Pintu itu terasa sangat menakutkan. Adrenalin meningkat tiap langkah semakin mendekat ke arah pintu berwarna coklat.
Bukan rasa lega setelah melawati pagar tosca itu, tetapi ketakutan semakin menyelimuti jiwa Oceana.
Kegugupan membuatnya terus menekan kuku jempolnya dengan jari telunjuk. Alasan apa yang harus ia berikan kalau suaminya sudah ada di rumah. Sebuah ketakutan yang hampir tiap hari menjadi konsumsinya.
"Semoga Kalvin belum pulang." Sebuah kalimat yang berulang kali terucap di bibir wanita itu. Mungkin angin telah bosan mendengar ucapan yang terus menerus terlontar.
Ketika tangan menyentuh gagang pintu, rasanya gagang pintu itu terasa sangat berat daripada mengangkat lima kilo karung beras. Keraguan membuatnya sangat berat memasuki rumah yang entah apa yang akan terjadi di dalamnya.
Saat membuka pintu dan masuk ke dalamnya, ada keheningan yang telah menyambut hingga membuat jantungnya ingin meloncat dari kerangka tulangnya. Ia melihat sesosok pria yang tidak diharapkan sudah duduk di sofa tunggal. Pria itu membelakanginya. Sementara itu, ia melihat sesosok pria lainnya—pria yang membuat masalah di toko buku tadi yang sedang berdiri gelisah sambil menundukkan kepala di ambang pintu kamarnya.
Oceana bisa merasakan situasinya sangat mencengkam. Punggung lebar itu akan memukulnya lagi, lagi, dan lagi. Detik itu juga, ia harus menyiapkan tubuhnya untuk siap dipukul olehnya.
“Kau sudah pulang ternyata?” tanya Oceana dengan gugup sambil perlahan mendekati Kalvin yang masih duduk tidak bergerak sedikitpun. Dia pun mengutuk dirinya karena menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
“Bisa kamu jelaskan kenapa kamu terlambat pulang?” Mata elangnya sangat menakutkan dan alis tebal yang saling bertautan menambah ekspresi amarah yang tertahan.
“T-tadi, di luar ada sedikit masalah....”
“Siapa?”
“M-maksu—“
“Kamu yang bikin masalah atau dia?” tanyanya sambil matanya beralih melihat Bimo yang sedang kebingungan.
Oh, tidak! Bimo sudah mengatakan semuanya. Sulit baginya untuk membuat Bimo berbohong. Pria lugu itu tidak bisa berbohong. Dia selalu memarahi Oceana setiap kali berbohong.
“Aah, itu tadi aku yang tidak sengaja membuat masalah di toko buku. Percayalah, Bimo tidak melakukan apapun.”
“Kamu pikir aku percaya? Lihatlah pria itu! Si biang kerok yang selalu saja menyusahkanmu.”
Jangan lagi Kalvin mengungkit persoalan Bimo yang tinggal di rumah ini. Ada hal yang membuat Oceana membawa Bimo pulang dan memohon ke suaminya untuk membiarkan Bimo tinggal di rumah. Dia tidak tega melihat pria itu hidup sendirian.
“Tidak, Oceana berbohong! T-tadi Bimo yang membuat pe-penjual toko marah pada Oceana, ka-karena Bimo mengacaukan t-toko itu,” sanggah Bimo.
“Aku benci orang yang terlambat, tetapi aku lebih benci lagi orang yang berbohong. Setidaknya, si idiot ini tidak berbohong.”
“Aku minta maaf," ujar Oceana dengan kepala menunduk.
Oceana mengutuk dirinya sendiri. Di depan orang lain ia berani memberontak. Namun, si pemberontak itu berubah menjadi pecundang di depan suaminya. Ke mana perginya jiwa berani dan kasarnya itu. Mengapa dia sangat lemah di depan suaminya. Seharusnya tidak seperti ini.
“Kau melupakan aturan rumah ini atau kamu sengaja melanggarnya?"
“Tidak, aku ingat bahwa aku boleh keluar rumah asalkan pulang sebelum kamu pulang.”
“Lalu kenapa kamu melanggarnya?” Kalvin menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya.
Asap tebal hampir menutupi wajah tampan yang berjenggot itu.
“Itu salah Bimo. Gara-gara Bimo, O-oceana terlambat pulang," sahut Bimo di sisi lain.
“Bimo!” panggil Oceana sambil memberi isyarat untuk Bimo agar tidak mengatakan kebenaran lebih lanjut lagi. Menghindar hal buruk lebih baik daripada menghadapinya. Itulah prinsip Oceana.
“Untuk apa kamu melarang dia berbicara. Apakah ada kebohongan lain yang kamu sembunyikan dariku?”
“Tidak ada,” jawab Oceana cepat.
Ada keheningan sejenak.
“Sebelum pembahasan lebih lanjut, aku ingin kopi.”
Tanpa basa basi, Oceana pun langsung membalikkan badannya. Ia langsung memasak air dengan tangan yang gemetar.
Untung saja dapur dan ruang tamu tidak ada sekat di antaranya. Jadi, ia bisa langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya.
Wanita itu tidak pernah menyangka bahwa pernikahan yang ia pikir akan membawanya kebahagiaan dan membawanya jauh dari kesengsaraan di masa lalunya, ternyata membawanya ke lubang yang penuh dengan duri.
Kalvin yang pertama kali ia kenal bukanlah Kalvin yang kasar dan pemarah seperti sekarang. Oceana tidak tahu, ini seperti misteri baginya, entah apa yang membuat pria yang ia cintai itu berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia pun belum menemukan jawabannya sampai sekarang.
“Bimo, ke sini!” perintah Kalvin.
“Kalvin, kamu mau apa sama Bimo?” Kalvin langsung menoleh ke arah Oceana. Tatapannya seperti ingin mencabik siapapun yang sedang dipandangnya.
“Sayang, aku hanya ingin mengobrol dengannya. Aku memaafkannya karena telah berkata jujur. Bimo, sini!”
Perubahan sikap mendadak ini membuat Oceana menjadi was-was. Suaminya tidak akan menjadi lunak sebelum meneguk satu botol alkohol. Sulit sekali membuat Kalvin tenang tanpa meminum minuman terlarang itu.
“Kamu tidak bakal menyakiti Bimo, kan?”
“Tentu saja, tidak. Justru aku ingin kasih dia hadiah dan kejutan.” Bimo yang sudah ada di samping Kalvin, langsung ditarik dan memaksa Bimo duduk di pangkuannya. Hal ini membuat Bimo tidak nyaman. “Bimo, kamu tidak perlu takut, oke?”
Penuh dengan ketegangan, Oceana pun mematikan kompor setelah mendengar suara mendidih. Selama ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, dia selalu berdoa semoga saja suaminya tidak melakukan sesuatu yang buruk. Tubuhnya sangat tegang.
“Bimo bukan anak kecil lagi,” rengek Bimo yang berusaha untuk berdiri tetapi langsung ditahan oleh Kalvin.
“Tidak hanya anak kecil yang dipangku, terkadang orang dewasa juga ada yang dipangku. Seperti Oceana, dia terkadang aku pangku.”
“Benarkah?” tanya Bimo dengan polosnya.
Oceana tidak menjawab pertanyaan Bimo. Dia membalikkan badan dan melempar senyuman yang kaku di wajahnya.
“Tapi, Bimo benci berada di dekat Kalvin?”
“Kenapa? Apa aku bau?”
“Iya, bau asap rokok. Bimo benci asap rokok. Itu tidak sehat.”
Oceana memutar bola matanya, ia tidak habis pikir dengan Bimo. Dia sudah tahu sikap Kalvin yang memiliki temperamental buruk, tetapi tetap saja tanpa disadarinya sudah memancing Kalvin.
Ditambah lagi Bimo menyebutkan beberapa hal tentang betapa bahayanya merokok. Hingga menyebutkan istilah medis yang Oceana sendiri tidak mengerti sedikitpun.
“Aku tahu semua itu," ucap Kalvin dengan tampang yang dingin.
“Kalau tahu, mengapa Kalvin masih melakukannya?”
Kalvin tidak menjawab pertanyaan Bimo. Entah mengapa Oceana merasakan kengerian dalam diri Kalvin. Ada emosi yang keluar dalam dirinya meskipun Kalvin terlihat sangat tenang.
“Mari lupakan tentang itu. Karena kamu mau aku matikan rokok ini, aku akan melakukannya.”
Mustahil Kalvin menuruti perkataan Bimo. Dia bukan orang yang seperti itu. Apalagi dirinya sudah kesal dengan Bimo.
Oceana ingat, Kalvin pernah mengeluh tentang Bimo yang sok kepintaran. Selalu menceramahi ini dan itu. Kalvin merasa dirinya menjadi bodoh tiap kali Bimo bersikap menggurui.
Perasaan Oceana semakin tidak tenang. “Sayang, kamu mau apa?”
“Tidak apa-apa,” jawabnya lalu mengisap kembali rokok tersebut. Kemudian melanjutkan bicara, “aku hanya ingin memberi dia hadiah. Apa ada yang salah?”
“Ti-tidak.” Oceana menjadi semakin gugup. Dia bergumam, “tapi ada yang tidak benar.”
“Bimo, kamu mau hadiah, kan?”
Bimo berseru dengan senyuman manisnya. Di sisi lain, Oceana senang melihat Bimo tersenyum gembira, ditambah lagi hari ini adalah hari ulang tahunnya. Akan tetapi, di sisi lain, Oceana merasakan kengerian melihat Kalvin yang begitu tenang.
“Kalau begitu, selamat ulang tahun,” ucap Kalvin sambil tersenyum.
Secara bersamaan tiba-tiba Oceana berteriak memenuhi ruangan.
Dada terasa sesak, Oceana tidak habis pikir dengan sikap Kalvin yang tidak kenal ampun. Bagaimana bisa ia jatuh cinta dengan pria seperti itu. Padahal sikap awal Kalvin sangat manis meskipun posesif. Siapa sangka pria ini berubah begitu drastis.“Berhenti Kalvin! Apa kau sudah gila?!” teriak Oceana sambil berjalan mendekati suaminya. Hatinya sangat pilu melihat Bimo menjerit kesakitan dengan kulit yang melepuh oleh batang rokok menyala.“Apa sayang? Aku hanya memberikan hadiah pada Bimo sekaligus matiin rokoknya sesuai keinginannya."Kalvin semakin kuat menekan rokok di perut Bimo. “Ampun Kalvin!”“Bukankah ini yang kamu inginkan?”Dengan verbal tidak mempan, Oceana pun langsung bertindak dengan menarik lengan Bimo yang sudah memberontak. Tenaga Kalvin sangat kuat hingga Bimo sulit lepas dari Kalvin yang berusaha melepaskan diri. Namun, Oceana tidak menyerah merebut Bimo dari suaminya. Ia tetap menarik Bimo sekuat tenaga sampai Bimo terlepas dari suaminya hingga mereka terjatuh ke lan
Luka lebam telah menyelimuti tubuh dan wajah Oceana dan Bimo. Namun, luka-luka tersebut tak seberapa jika dibandingkan rasa sakit yang luar biasa yang ada di dalam hati mereka. Harga diri mereka telah dijatuhkan. Batin mereka telah dipermainkan. Mental mereka sedang diuji.Oceana mencoba menahan air matanya jatuh dan berusaha tersenyum di depan Bimo yang terbaring di atas kasur. Wanita berambut hitam bergelombang itu mengobati luka-luka Bimo. Tiap Bimo mengeluarkan suara keluh membuat hati Oceana terasa hancur.“Maafkan ... aku,” ucap Oceana dengan terbata-bata.“Ini salah Kalvin bukan Oceana. Dia yang ha-harus minta maaf sama kita. Bukan Oceana.”“Tapi....” Perkataanya terhenti dikarenakan menahan sesak di dada seakan ada yang sedang mengikatnya dengan sangat kencang. Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Rasa bersalah terhadap Bimo menghantamnya berulang kali.Rasa bersalah itu tidak mengantarkannya pada sebuah pencerahan melainkan rasa bingung. Bingung bagaimana ia harus mene
*FlashbackKelaparan dan haus telah membuatnya lupa tentang apa yang telah ia lalui. Kini yang ada dipikirannya adalah bagaimana ia mendapatkan makanan dan setetes air untuk ia minum. Jangankan untuk minum, untuk dirinya mandi dan membersihkan fasesnya saja tidak punya. Syukur-syukur kalau hari hujan, ia dapat membersihkan badannya dan minum dari air kotor itu. Sayangnya, sudah seminggu lebih tidak hujan yang membuat persediaan air menjadi habis. Dengan kepalanya yang sangat pening, Oceana berumur 16 tahun memaksa dirinya berjalan keluar untuk mencari air. Air apapun yang ia temui akan diminumnya. Tidak peduli air itu kotor atau tidak, yang terpenting baginya adalah bisa membasahi tenggorokannya dan perut terasa kenyang. Keadaan telah membuatnya tidak bisa memilih. Meskipun dirinya punya rumah —peninggalan ibu asuhnya atau tempat panti asuhan yang telah bangkrut, tetap saja ia kesulitan bertahan hidup karena tidak memiliki uang. Ia tidak mampu membayar listrik dan air yang menyebabk
“Apa Kalvin tidak pernah menceritakan masalah tersebut padamu?” tanya Om Yuda yang langsung dibalas Oceana dengan kepala menggeleng. “Suami-istri macam apa kalian berdua. Masa masalah keuangan suami sendiri nggak tahu?” “Kalvin tidak menceritakan apapun padaku. Emangnya ada apa?” “Suami brengsekmu itu telah jadi korban penipuan tiga bulan yang lalu. Hal itu memberi dampak buruk pada studio fotonya yang sedang terancam gulung tikar. Meskipun ia masih punya klien, tapi itu tidak mampu menutupi kerugian yang begitu banyak,” terang OmYuda. “Seberapa banyak kerugiannya?” Om Yuda melipat kedua tangannya di dada. Keningnya mengkerut sambil menatap langit. Mencoba mengingat angka-angka yang hendak menelan Kalvin. “Kira-kira ada sekitar 500-an juta.” “Apa?!” seru Oceana yang langsung beranjak dari kursi yang baru saja ia duduki. Ice creamnya telah meleleh di tangan kanannya sedari tadi. Matanya melotot dan mulut menganga. Ia tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ia mempertanyakan te
“Ah ... tidak!” teriak Oceana sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang menyilang. Dengan reflek ia menutupi wajahnya dari benda tajam yang hendak melayang ke arahnya.Untungnya hal itu tidak terjadi. Sebab Bimo langsung berlari dan memukul Kalvin dari belakang menggunakan panci yang berbahan tebal.Hal ini menyebabkan Kalvin langsung pingsan karena Bimo memukulnya tepat di bagian tulang tengkuk. Yang mana area itu sangat rentan sekali untuk dipukuli, karena hal itu dapat mengakibatkan aliran darah dan saraf dari tengkuk ke otak terhenti sesaat yang menyebabkan seseorang pingsan.“Kalvin!” pekik Oceana yang dengan spontan membangunkan suaminya. “Bimo, bagaimana ini?”“Apa dia mati?” tanya Bimo dengan polosnya. Ia pun tiba-tiba menjatuhkan panci dan berteriak, “aah ... Bimo sudah membunuh Kalvin. Bimo sudah membunuh Kalvin.”Oceana dengan panik langsung memeriksa kepala suaminya.“Syukurlah tidak berakibat fatal.” Oceana langsung berdiri dan menenangkan Bimo yang berlarian di
Keadaan rumah kembali kacau. Lantai dipenuhi serpihan kaca yang berserak di mana-mana. Di tengah serpihan kaca terdapat batu besar. Sepertinya ada yang sengaja melempar batu itu ke rumah mereka.Oceana langsung berlari mendekati Bimo yang sedang ketakutan. Berusaha untuk menenangkan pria tersebut.Sementara Kalvin berjalan mendekati kaca yang pecah. Dengan hati-hati berjalan, ia mencoba mengintip ke luar jendela. Entah kenapa lampu di luar mati, padahal sebelumnya ia merasa bahwa di teras lampunya menyala.Kalvin dapat menyadari bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja. Saat Kalvin mencoba untuk membuka pintu rumah, tiba-tiba segerombolan pria besar dan berpakaian hitam langsung menerobos masuk ke dalam rumah mereka.“Kalian siapa?” teriak Kalvin dengan raut wajah yang sangat geram. Ia menarik kerah salah satu gerombolan pria itu. Badannya sedikit pendek dari Kalvin, tapi tubuhnya tidak kalah berotot.Sebelum pria itu menjawab pertanyaan Kalvin, lalu masuklah seorang pria tua denga
"Bimo, ayo sadar! Aku mohon," pinta Oceana dengan tangan gemetar saat memegang kepala Bimo yang sudah berlumuran darah. Air matanya telah bercampur dengan cairan kental itu."Aku minta maaf ... maafkan aku, Bimo!" Dengan tubuh kecilnya itu, ia berusaha untuk mengangkat tubuh Bimo yang sudah tak berdaya. Berulang kali ia coba, namun tetap saja tubuh Bimo selalu jatuh dari punggungnya. Ia semakin panik dan merasa bersalah karena semakin memperburuk keadaan.Tangis semakin pecah. "aah aku harus bagaimana. Aku tidak tahu. Bimo, maafkan aku."Dengan gigih, Oceana mencoba sekali lagi mengangkat Bimo ke punggungnya. Kali ini berhasil. Hanya saja kakinya kesulitan untuk membawa tubuh Bimo ke arah pintu. "Bimo, aku mohon bertahanlah," bisiknya sambil tertatih membawa tubuh Bimo yang masih terkulai. Darah Bimo tidak berhenti menetes hingga memberi tanda tiap jalan yang mereka lewati. Kali ini, Kalvin benar-benar seperti orang kesetanan. Ia menyiksa Bimo tanpa ampun.Malam ini, Oceana tidak me
"Apa kau tidak akan melaporkannya ke polisi?” Oceana mendongakkan kepalanya dan menatap lurus sepasang mata yang sangat tajam. Keringatnya jatuh mengalir melewati pelipis matanya. Dia pun menyisir rambutnya yang lepek dan kusut ke arah belakang. Dengan lirih ia menjawab, “aku tidak akan melakukannya.”“Kenapa? Kau meyakini bahwa itu hanyalah kesalahan yang tidak disengaja? Atau kau meyakini harimau tidak akan memangsa lagi?”“Dia sedang tidak baik-baik saja.”“Bajingan itu?”“Dia bukan bajingan,” jawab Oceana dengan tenggorokannya yang tersekat. Ia tidak yakin dengan omongannya sendiri. Dia sendiri sering menyebut lelakinya seorang bajingan, tapi entah kenapa ia tidak menyukai kata tersebut keluar dari orang lain.“Di depan rumahku, kau ketakutan kehilangan pria idiot itu. Sekarang, kau mengkhawatirkan pria yang telah melakukan hal keji itu pada si pria idiot. sebenarnya apa yang kau inginkan?” tanya Nyai Arumi yang masih berdiri dengan kedua tangan dilipat di dadanya. Rambutnya ya