Share

3. Hari Buruk

Pintu itu terasa sangat menakutkan. Adrenalin meningkat tiap langkah semakin mendekat ke arah pintu berwarna coklat.

Bukan rasa lega setelah melawati pagar tosca itu, tetapi ketakutan semakin menyelimuti jiwa Oceana.

Kegugupan membuatnya terus menekan kuku jempolnya dengan jari telunjuk. Alasan apa yang harus ia berikan kalau suaminya sudah ada di rumah. Sebuah ketakutan yang hampir tiap hari menjadi konsumsinya.

"Semoga Kalvin belum pulang." Sebuah kalimat yang berulang kali terucap di bibir wanita itu. Mungkin angin telah bosan mendengar ucapan yang terus menerus terlontar.

Ketika tangan menyentuh gagang pintu, rasanya gagang pintu itu terasa sangat berat daripada mengangkat lima kilo karung beras. Keraguan membuatnya sangat berat memasuki rumah yang entah apa yang akan terjadi di dalamnya.

Saat membuka pintu dan masuk ke dalamnya, ada keheningan yang telah menyambut hingga membuat jantungnya ingin meloncat dari kerangka tulangnya. Ia melihat sesosok pria yang tidak diharapkan sudah duduk di sofa tunggal. Pria itu membelakanginya. Sementara itu, ia melihat sesosok pria lainnya—pria yang membuat masalah di toko buku tadi yang sedang berdiri gelisah sambil menundukkan kepala di ambang pintu kamarnya.

Oceana bisa merasakan situasinya sangat mencengkam. Punggung lebar itu akan memukulnya lagi, lagi, dan lagi. Detik itu juga, ia harus menyiapkan tubuhnya untuk siap dipukul olehnya.

“Kau sudah pulang ternyata?” tanya Oceana dengan gugup sambil perlahan mendekati Kalvin yang masih duduk tidak bergerak sedikitpun. Dia pun mengutuk dirinya karena menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

“Bisa kamu jelaskan kenapa kamu terlambat pulang?” Mata elangnya sangat menakutkan dan alis tebal yang saling bertautan menambah ekspresi amarah yang tertahan.

“T-tadi, di luar ada sedikit masalah....”

“Siapa?”

“M-maksu—“

“Kamu yang bikin masalah atau dia?” tanyanya sambil matanya beralih melihat Bimo yang sedang kebingungan.

Oh, tidak! Bimo sudah mengatakan semuanya. Sulit baginya untuk membuat Bimo berbohong. Pria lugu itu tidak bisa berbohong. Dia selalu memarahi Oceana setiap kali berbohong.

 “Aah, itu tadi aku yang tidak sengaja membuat masalah di toko buku. Percayalah, Bimo tidak melakukan apapun.”

“Kamu pikir aku percaya? Lihatlah pria itu! Si biang kerok yang selalu saja menyusahkanmu.”

Jangan lagi Kalvin mengungkit persoalan Bimo yang tinggal di rumah ini. Ada hal yang membuat Oceana membawa Bimo pulang dan memohon ke suaminya untuk membiarkan Bimo tinggal di rumah. Dia tidak tega melihat pria itu hidup sendirian.

“Tidak, Oceana berbohong! T-tadi Bimo yang membuat pe-penjual toko marah pada Oceana, ka-karena Bimo mengacaukan t-toko itu,” sanggah Bimo.

“Aku benci orang yang terlambat, tetapi aku lebih benci lagi orang yang berbohong. Setidaknya, si idiot ini tidak berbohong.”

“Aku minta maaf," ujar Oceana dengan kepala menunduk.

Oceana mengutuk dirinya sendiri. Di depan orang lain ia berani memberontak. Namun, si pemberontak itu berubah menjadi pecundang di depan suaminya. Ke mana perginya jiwa berani dan kasarnya itu. Mengapa dia sangat lemah di depan suaminya. Seharusnya tidak seperti ini.

“Kau melupakan aturan rumah ini atau kamu sengaja melanggarnya?"

“Tidak, aku ingat bahwa aku boleh keluar rumah asalkan pulang sebelum kamu pulang.”

“Lalu kenapa kamu melanggarnya?” Kalvin menyalakan sebatang rokok lalu menghisapnya.

Asap tebal hampir menutupi wajah tampan yang berjenggot itu.

“Itu salah Bimo. Gara-gara Bimo, O-oceana terlambat pulang," sahut Bimo di sisi lain.

“Bimo!” panggil Oceana sambil memberi isyarat untuk Bimo agar tidak mengatakan kebenaran lebih lanjut lagi. Menghindar hal buruk lebih baik daripada menghadapinya. Itulah prinsip Oceana.

“Untuk apa kamu melarang dia berbicara. Apakah ada kebohongan lain yang kamu sembunyikan dariku?”

“Tidak ada,” jawab Oceana cepat.

Ada keheningan sejenak.

“Sebelum pembahasan lebih lanjut, aku ingin kopi.”

Tanpa basa basi, Oceana pun langsung membalikkan badannya. Ia langsung memasak air dengan tangan yang gemetar.

Untung saja dapur dan ruang tamu tidak ada sekat di antaranya. Jadi, ia bisa langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya.

Wanita itu tidak pernah menyangka bahwa pernikahan yang ia pikir akan membawanya kebahagiaan dan membawanya jauh dari kesengsaraan di masa lalunya, ternyata membawanya ke lubang yang penuh dengan duri.

Kalvin yang pertama kali ia kenal bukanlah Kalvin yang kasar dan pemarah seperti sekarang. Oceana tidak tahu, ini seperti misteri baginya, entah apa yang membuat pria yang ia cintai itu berubah 180 derajat dari sebelumnya. Dia pun belum menemukan jawabannya sampai sekarang.

“Bimo, ke sini!” perintah Kalvin.

 “Kalvin, kamu mau apa sama Bimo?” Kalvin langsung menoleh ke arah Oceana. Tatapannya seperti ingin mencabik siapapun yang sedang dipandangnya.

“Sayang, aku hanya ingin mengobrol dengannya. Aku memaafkannya karena telah berkata jujur. Bimo, sini!”

Perubahan sikap mendadak ini membuat Oceana menjadi was-was. Suaminya tidak akan menjadi lunak sebelum meneguk satu botol alkohol. Sulit sekali membuat Kalvin tenang tanpa meminum minuman terlarang itu.

 “Kamu tidak bakal menyakiti Bimo, kan?”

“Tentu saja, tidak. Justru aku ingin kasih dia hadiah dan kejutan.” Bimo yang sudah ada di samping Kalvin, langsung ditarik dan memaksa Bimo duduk di pangkuannya. Hal ini membuat Bimo tidak nyaman. “Bimo, kamu tidak perlu takut, oke?”

Penuh dengan ketegangan, Oceana pun mematikan kompor setelah mendengar suara mendidih. Selama ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, dia selalu berdoa semoga saja suaminya tidak melakukan sesuatu yang buruk. Tubuhnya sangat tegang.

“Bimo bukan anak kecil lagi,” rengek Bimo yang berusaha untuk berdiri tetapi langsung ditahan oleh Kalvin.

“Tidak hanya anak kecil yang dipangku, terkadang orang dewasa juga ada yang dipangku. Seperti Oceana, dia terkadang aku pangku.”

“Benarkah?” tanya Bimo dengan polosnya.

Oceana tidak menjawab pertanyaan Bimo. Dia membalikkan badan dan melempar senyuman yang kaku di wajahnya.

“Tapi, Bimo benci berada di dekat Kalvin?”

“Kenapa? Apa aku bau?”

“Iya, bau asap rokok. Bimo benci asap rokok. Itu tidak sehat.”

Oceana memutar bola matanya, ia tidak habis pikir dengan Bimo. Dia sudah tahu sikap Kalvin yang memiliki temperamental buruk, tetapi tetap saja tanpa disadarinya sudah memancing Kalvin.

Ditambah lagi Bimo menyebutkan beberapa hal tentang betapa bahayanya merokok. Hingga menyebutkan istilah medis yang Oceana sendiri tidak mengerti sedikitpun.

“Aku tahu semua itu," ucap Kalvin dengan tampang yang dingin.

“Kalau tahu, mengapa Kalvin masih melakukannya?”

Kalvin tidak menjawab pertanyaan Bimo. Entah mengapa Oceana merasakan kengerian dalam diri Kalvin. Ada emosi yang keluar dalam dirinya meskipun Kalvin terlihat sangat tenang.

 “Mari lupakan tentang itu. Karena kamu mau aku matikan rokok ini, aku akan melakukannya.”

Mustahil Kalvin menuruti perkataan Bimo. Dia bukan orang yang seperti itu. Apalagi dirinya sudah kesal dengan Bimo.

Oceana ingat, Kalvin pernah mengeluh tentang Bimo yang sok kepintaran. Selalu menceramahi ini dan itu. Kalvin merasa dirinya menjadi bodoh tiap kali Bimo bersikap menggurui.

Perasaan Oceana semakin tidak tenang. “Sayang, kamu mau apa?”

“Tidak apa-apa,” jawabnya lalu mengisap kembali rokok tersebut. Kemudian melanjutkan bicara, “aku hanya ingin memberi dia hadiah. Apa ada yang salah?”

“Ti-tidak.” Oceana menjadi semakin gugup. Dia bergumam, “tapi ada yang tidak benar.”

“Bimo, kamu mau hadiah, kan?”

Bimo berseru dengan senyuman manisnya. Di sisi lain, Oceana senang melihat Bimo tersenyum gembira, ditambah lagi hari ini adalah hari ulang tahunnya. Akan tetapi, di sisi lain, Oceana merasakan kengerian melihat Kalvin yang begitu tenang.

“Kalau begitu, selamat ulang tahun,” ucap Kalvin sambil tersenyum.

Secara bersamaan tiba-tiba Oceana berteriak memenuhi ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status