Dahi William berkerut dalam. "Mana yang Bos tanyakan saat ini?" Dia bingung karena keinginan Henry tidak hanya satu. Dia takut salah menjawab. "Yang mana lagi jika bukan soal Amanda? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk mencari alamat rumahnya? Aku selalu mengingatkanmu tentang hal ini, kenapa kamu tidak pernah memberikan laporan padaku?" tanya Henry dengan nada yang sedikit tidak senang. "Maaf, Bos. Maafkan saya karena lupa," jawab William. Henri hanya berdecak, lalu kembali menatap asistennya itu dengan tajam. Tanpa berbicara pun, William sudah tahu jika sang bos membutuhkan jawaban secepatnya. "Saya belum menemukan alamat Nyonya Amanda. Tetapi saya pernah berbicara dengannya ketika bertemu beberapa hari yang lalu." William berbohong kepada bosnya lagi. "Mungkin Nyonya Amanda tidak ingin keberadaannya diketahui siapa pun. Saya sudah menyuruh orang untuk menguntit, tetapi Nyonya Amanda selalu saja bisa lolos. Saya tidak sabar, akhirnya menemuinya di rumah sakit. Tapi ....” "T
"Mungkin ada pelajaran tambahan," jawab William. "TK mana yang punya pelajaran tambahan?" tanya Henry tidak percaya, pelajaran apa? Mereka masih kecil." "Mungkin pelajaran menyanyi," jawab William sambil tersenyum. "Kamu sok tahu sekali. Apa kamu tahu apa yang mereka pelajari di sana?" tanya Henry sambil tertawa kecil, "bagaimana kamu bisa tahu? Kamu bahkan belum punya anak." William hanya tersenyum menanggapi perkataan Henry. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia sering mengecek apa yang dipelajari Alana di sekolah. "Saya hanya menebak-nebak saja, Bos. Anak seusia Alana pasti sangat senang belajar menyanyi." William berpikir seperti itu karena Alana dan Alan sering bernyanyi lagu anak-anak. "Itu masuk akal," kata Henry sambil menyandarkan punggungnya. Ia sudah merasa bosan menunggu terlalu lama. "Haruskah kita menunggu sampai Alana keluar, atau kita kembali ke kantor?" William memanfaatkan kebosanan Henry. "Kita tunggu sebentar lagi." Jawaban Henry membuat William khawatir.
Bos, kita sudah sampai," kata William. Tanpa disadari, mobil yang dikemudikan William telah membawa Henry ke kantor. Henry sedang melamun, sehingga ia tidak tahu bahwa kendaraan yang ia tumpangi telah berhenti di depan kantor. Lamunan Henry buyar seketika. CEO BARA Corporation itu keluar terlebih dahulu tanpa menunggu William membukakan pintu. Henry berjalan dengan sukarela masuk ke dalam gedung, diikuti oleh William di belakangnya. Beberapa staf menyambut Henry dengan anggukan kepala penuh hormat. Henry membalasnya dengan lirikan mata. Kemudian, mereka memasuki lift khusus. William tidak masuk ke dalam ruang kerja CEO karena pekerjaannya sudah menumpuk sejak ia pergi menemani Henry menunggu Alana pulang sekolah. Namun, baru beberapa menit berlalu, Henry sudah memanggilnya. "Halo, Bos. Ada apa?" William bertanya. "Datanglah ke kantorku sekarang juga. Ada yang ingin aku tanyakan," perintah Henry. "Baik, Bos. Saya akan segera ke sana." Panggilan telepon pun berakhir. William mema
"Saya mengiyakan, dan Bu Sonya meminta saya untuk mengabarkannya secepatnya," jawab Nani sambil tetap menunduk. William menghela napas panjang. Dia mengulurkan satu tangan untuk memijat batang hidungnya. Setelah beberapa saat hening, dia berkata, "Baiklah, kamu bisa pergi sekarang. Aku akan kembali lagi besok setelah aku menemukan solusinya." "Terima kasih, Tuan." Nani tersenyum, merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah memberikan sesuatu yang penting untuk misinya. Merasa sudah tidak ada urusan lagi di sini, William akhirnya pergi. Ia masuk ke dalam mobil yang telah dibukakan pintunya oleh Pak Jo. Setelah itu, ia segera mengemudikan mobilnya menjauh dari rumah Henry. Ia berniat untuk segera pulang untuk beristirahat di rumah yang jarang dikunjunginya karena terlalu sering menginap di rumah sang bos. Kerinduan akan kamarnya yang tenang sedikit tertunda malam ini. Kini, William tidak lagi tenang setelah mendengarkan laporan dari Nani. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara
William segera kembali ke rumah yang jarang ditempati itu. Dia menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bosnya. "Ini sangat nyaman." William berbaring dan memejamkan mata. "Memang tidak sebagus rumah sang bos, tapi rumah sendiri jauh lebih nyaman." Lelaki itu dengan cepat pergi ke alam mimpi. Dia benar-benar merindukan suasana kamar di rumahnya sendiri. William tidur dengan nyenyak sampai alarm membangunkannya. Dia bergegas mandi dan menjemput tuannya. Suasana pagi hari benar-benar membuat William lebih segar. Selain karena sudah cukup tidur, ia juga merasa lega karena Alan dan Alana akan pindah sekolah. William mengetuk pintu kamar majikannya sambil memanggil nama bosnya. Suara ketukan pintu membuat Henry menoleh. Ia tidak beranjak, melainkan melanjutkan aktivitasnya mengancingkan kancing kemejanya dan menyuruh asistennya untuk masuk. "Selamat pagi, Bos." William menghampiri bosnya dan membantunya mengenakan jas. Ia merapikan beberapa lipatan yang menonjol di tubuh majikannya.
Henry bergegas kembali ke kantor setelah menunggu lama di depan sekolah Alana, namun ia tidak dapat bertemu dengan anak itu. Sedangkan bagi Sonya, usahanya tampaknya sia-sia. Ia mengikuti Henry kemana-mana dalam waktu yang cukup lama dan berhenti di depan sebuah taman kanak-kanak, namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Apa yang dilakukan Henry di depan TK?" gumam Sonya sambil melaju pergi setelah mobil Henry melaju lebih dulu, "siapa yang akan ditemuinya?" Lagi-lagi Sonya membuang-buang waktu. Karena sepulang sekolah, Henry kembali ke kantornya. Lelaki itu sudah sendirian sejak di dalam mobil. Itu berarti William tidak ikut. "Aku masih bertanya-tanya, siapa yang akan ia temui di tempat itu?" gumam Sonya sambil memainkan jari-jarinya. "Aku capek, lebih baik aku berhenti mengikuti Henry. Aku tidak menemukan apa-apa." Wanita itu melihat jam tangannya dan kemudian mengemudikan mobilnya menjauh dari area kantor. Sementara itu, di dalam kantor, Henry berjalan lesu menuju ruan
"Henry, apakah William masih melakukan banyak pekerjaan?" Sonya bertanya dengan pelan, "Saya ingin meminta bantuannya." Sonya menelepon Henry untuk berpura-pura meminta bantuan William. "William bukan pesuruh," kata Henry sambil sedikit meninggikan suaranya, "dan lagi pula, dia mendapat izin untuk pulang lebih awal karena sedang tidak enak badan." Henry merasa sensitif, dia sangat kesal karena sangat sulit untuk bertemu dengan Alana. "Tidak apa-apa jika kamu tidak bisa, tapi tidak perlu marah-marah seperti itu." Sonya segera menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Henry. 'Ternyata Henry tidak tahu apa-apa. Berarti ada hubungan yang serius antara Amanda dan William. Mungkin kedua anak itu adalah anak mereka,' pikir Sonya sambil tersenyum simpul. Ia belum sempat melihat wajah Alan yang begitu mirip dengan Henry. Tubuh William yang besar menghalangi Alan, sehingga Sonya tidak bisa melihat wajah anak itu dengan jelas. "Aku butuh lebih banyak informasi, bisa jadi Henry berbohong
Sonya tidak ingin William tahu bahwa dia telah mengikuti mereka, ia segera meninggalkan tempat itu. "Sudah cukup untuk hari ini." Sonya tersenyum ketika melihat rekaman itu. Ia segera pergi, meninggalkan Amanda dan William yang masih berada di taman bermain. Sonya mengemudikan mobilnya dengan senyum penuh kemenangan. "Saya akan menggunakan ini sebagai senjata di saat yang tepat." Sesampainya di rumah, ia segera menghubungi pelayan yang menjadi mata-matanya di rumah Henry. Namun, tidak ada jawaban dari pelayan tersebut meskipun ia telah menghubunginya berkali-kali. Hal itu membuat Sonya marah dan membanting telepon genggamnya. Sedetik kemudian, ia mengambil kembali ponselnya dan menggosok-gosokkan benda datar itu. "Ini senjataku yang paling berguna," gumam Sonya sambil memeriksa ponselnya, "untung saja masih hidup." Karena tidak ingin menunda rencananya, dia menghubungi pembantu itu lagi. Nani tersentak ketika ponsel di sakunya terus berdering, membuatnya panik ketika menyada