Amanda berlutut di depan suami dan mertuanya dengan berlinang air mata. Tidak peduli seberapa keras dia berusaha menyangkal tuduhan tersebut, Henry dan ibunya tidak akan mempercayainya karena bukti perselingkuhan itu ada di depan mata.
"Kamu tidak bisa menyangkalnya lagi Amanda. Kamu dan kekasihmu telah memanfaatkan rasa cinta anakku yang begitu besar padamu." Nyonya Vena sangat marah mengetahui kebenaran tentang menantunya.
Henry lebih banyak diam. Dia tidak bisa berkata-kata. Hatinya hancur berkeping-keping. Wanita yang sangat dicintainya perlahan-lahan membunuh perasaannya.
"Ibu, percayalah. Aku tidak pernah berselingkuh."
Amanda terus memohon maaf atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.
"Lihatlah foto ini! Apa kamu lupa kapan terakhir kali kamu melakukan itu?" Nyonya Vena menunjukkan kepada Amanda sebuah foto dirinya dengan seorang pria yang sedang melakukan hal yang sangat memalukan. "Ini sangat menjijikkan!"
Henry tidak bisa lagi berpikir jernih. Bayangan perilaku istrinya dengan pria lain menghancurkan harga dirinya, sehingga perceraian pun tak terelakkan.
Setelah bertahun-tahun berpisah, dia bertemu kembali dengan mantan istrinya - wanita yang telah menghancurkannya. Setelah enam tahun bercerai, ternyata Henry masih belum bisa melupakan cintanya pada sang mantan istri.
Entah mengapa, ia begitu bahagia ketika bertemu kembali dengan mantan istrinya. Jiwanya terasa hidup kembali, meski sudah jelas bahwa ia bercerai dengan Amanda karena perselingkuhan sang istri.
"Aku masih sangat mencintaimu, Amanda," kata Henry dalam hati.
"Henry! Apa yang kamu pikirkan?" Seruan Sonya membuyarkan lamunan Henry tentang masa lalunya.
"A ... Aku masih memikirkan anak kecil yang tertabrak. Tubuhnya terlempar jauh. Sebuah keajaiban dia bisa selamat." Henry menghembuskan napas dengan kasar. "Aku merasa sangat bersalah."
"Kenapa kita tidak pergi menemuinya sekarang?" Saran Sonya ditolak mentah-mentah oleh Henry.
"Apa kamu ingin mereka tahu bahwa aku yang menabrak anak itu dan aku berakhir di penjara karena melukainya dan menuduh orang lain?" Henry bertanya dengan raut wajah marah. Kemarahannya membuat Sonya mempercayai kejadian tersebut.
"Kamu benar. Kamu tidak boleh menunjukkan wajahmu di depan anak itu atau orang tuanya."
Sonya merasa sedikit bersalah karena telah berprasangka buruk kepada Henry, padahal tunangannya sedang dalam masalah.
"Bahkan jika orang lain mengakui apa yang aku lakukan, rasa bersalah itu tidak akan hilang dengan mudah," kata Henry, "kamu tahu aku tidak bisa berbohong. Aku khawatir jika tiba-tiba mengatakan yang sebenarnya bahwa akulah yang menabrak anak mereka. Itulah mengapa aku menyuruh William untuk tetap bersama anak itu sampai dia sembuh."
"Apakah William benar-benar disuruh tinggal dengan anak kecil itu atau dia disuruh ke kantor untuk rapat?" tanya Sonya sambil mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Kamu tidak pandai berbohong." Sonya menyadari kebohongan kekasihnya.
"Ya, aku memang menyuruh William ke kantor, tapi katanya anak itu kritis. Jadi, aku harus pergi ke kantor sekarang juga karena aku ada rapat satu jam lagi. William harus menjaga anak itu atau mereka akan menuntutnya," kata Henry.
Sonya menyipitkan mata melihat gerak-gerik tunangannya. "Apa kamu tidak berbohong?"
"Kamu seharusnya tidak selalu mencurigaiku. Aku punya banyak pekerjaan, aku tidak punya banyak waktu untuk berurusan dengan kamu."
"Aku tidak akan curiga jika kamu jujur padaku. Aku tahu kamu mengajakku berbelanja hanya untuk mengalihkan perhatianku, kan?"
"Terserah apa katamu Sonya. Aku hanya mencoba untuk mempercayai seorang wanita lagi, tapi kamu tidak memberiku kesempatan itu."
Henry marah kepada Sonya, bukan karena Sonya tidak mempercayainya, tapi karena dia kesal dengan perilakunya.
"Henry, aku hanya-"
"Cepat selesaikan belanjaanmu, aku harus kembali ke kantor." Henry memotong perkataan Sonya sambil memberikan sebuah kartu hitam kepada tunangannya.
"Tidak, aku akan membayarnya sendiri!" Sonya menolak membiarkan Henry membayar belanjaannya.
Henry memasukkan kembali kartu hitam itu ke dalam dompetnya. "Aku tunggu di luar," katanya sambil meninggalkan toko.
Tidak lama kemudian Sonya keluar dari toko dengan cemberut. Seharusnya ia tahu Henry tidak akan bersikap ramah padanya, tapi ia sudah berharap terlalu banyak pada tunangannya.
"Aku rasa dia tidak trauma dengan pernikahan yang gagal karena istrinya berselingkuh, tapi aku yakin ada alasan lain. Dia tidak pernah menyukaiku, tapi aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan Henry seutuhnya," kata Sonya dalam hati.
"Apakah kamu ingin terus berdiri di sana?" tanya Henry kepada wanita yang membawa banyak kantong kertas hitam.
"Tidak bisakah kamu bersikap sedikit baik padaku?" Sonya menghentakkan kakinya sambil cemberut.
"Aku sudah melakukannya. Aku sudah berusaha bersikap baik padamu, tapi kamu selalu mencurigaiku." Henry segera masuk ke dalam mobilnya tanpa menunggu Sonya.
'Ya ampun! Pria itu sungguh keterlaluan. Seharusnya dia membukakan pintu mobil untukku. Bagaimanapun juga, aku adalah tunangannya,' gumam Sonya dalam hati, lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya rapat-rapat.
"Jika kamu tidak suka dengan sikapku, aku akan membatalkan pertunangan kita." Henry mengancam tunangannya.
Kali ini, Henry berani mengancam Sonya. Dia tidak peduli bahwa ibunya akan mengeluh tentang perilakunya nanti.
"Kamu tidak bisa membatalkannya begitu saja, Henry. Orang tua kita sudah menyetujui pernikahan ini."
Meskipun ia bisa mempengaruhi calon mertuanya, Sonya takut Henry akan meninggalkannya. Bagaimanapun caranya ia harus tetap menikah dengan Henry.
"Kalau begitu, bersikaplah baik agar aku bisa membuatmu terkesan." Henry menoleh ke wanita di sampingnya. "Berapa banyak uang yang kamu gunakan untuk berbelanja tadi?"
Sonya terdiam. Ia enggan bicara meski Henry mengajaknya bicara.
"Jangan seperti itu!" Henry berkata, "Bersikaplah yang masuk akal agar aku bisa mencintaimu lebih cepat."
"Sikap mana yang tidak wajar?" Sonya bergumam pada dirinya sendiri. Dia tidak ingin berdebat dengan calon suaminya lagi.
Henry mengeluarkan ponselnya setelah tiba di depan rumah Sonya. Ia membuka m-banking dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening tunangannya.
"Aku sudah kirim uang ke rekeningmu. Aku tidak ingin disebut sebagai pria yang tidak bertanggung jawab."
Sonya bingung. Ia mengerutkan kening, lalu menoleh ke arah Henry.
Dan betapa terkejutnya Sonya saat melihat jumlah uang yang dikirim ke rekeningnya.
"Tumben kamu baik sekali? Ada apa? Tidak biasanya kamu bersikap seperti ini?" Baru kali ini Henry mengirim banyak uang padanya.
"Ya Tuhan... kamu benar-benar sangat membingungkan. Aku bersikap baik kamu curiga, aku melamun kamu marah, aku melihat ponsel dan tersenyum sendiri kamu bilang aku selingkuh. Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
Henry berusaha bersikap baik agar Sonya tidak terus mencampuri urusannya, tapi Sonya tidak mudah dibodohi.
Sonya turun dari mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia meninggalkan belanjaannya di dalam mobil Henry.
"Berurusan dengan wanita itu memusingkan," gumam Henry, "Saya akan membatalkan pertunangan kami dan saya akan mengejar cinta mantan istri saya."
Nyonya Vena malah bersimpuh di hadapan Amanda. Ia berbicara dengan suara yang serak sambil menunduk. "Amanda, tolong maafkan aku. Aku menyesal telah berencana mengambil Alan dan Alana darimu. Aku menyadari betapa pentingnya hubunganmu dengan cucuku, yang tak pernah kurasakan sebelumnya."Amanda tercengang mendengar permintaan maaf dari Nyonya Vena. Ia tidak pernah menduga bahwa Nyonya Vena akan bersimpuh di hadapannya dan meminta maaf dengan begitu tulus. Hatinya dipenuhi oleh rasa haru dan mulai melunak."Aku telah melihat betapa besar pengaruhmu dalam hidup cucuku. Aku menyadari kesalahanku dan berjanji untuk tidak memisahkanmu dari mereka. Kamu adalah seorang ibu yang hebat dan cucuku membutuhkanmu. Aku minta agar kamu mengampuniku."Amanda merasa terharu dan ingin memberikan kesempatan kedua kepada Nyonya Vena. Ia dapat melihat perubahan yang tulus dalam hati wanita itu. "Nyonya Vena," ucap Amanda dengan penuh pengertian, "aku sangat menghargai permintaan maafmu. Aku juga berhara
Di sebuah ruang keluarga yang terasa sunyi, Pandu duduk di sofa dengan wajah tegang dan pandangan tajam yang menatap ibunya. Di sampingnya juga ada Amanda."Kenapa kalian tidak membawa cucu-cucuku?" tanya Nyonya Vena berpura-pura baik."Bu, kami memutuskan untuk kembali menikah." Amanda langsung berbicara pada intinya. "Aku harap Ibu merestui kami."Nyonya Vena hanya diam, ia tidak bisa berkata-kata. Walaupun Amanda sudah melahirkan dua orang cucu untuknya, tapi ia tidak mau Amanda menjadi menantunya untuk yang kedua kali karena ia tidak mau mempunyai menantu miskin.Pandu tersenyum sinis melihat ibunya hanya diam tanpa mengucapkan satu patah kata pun. "Sudah kuduga, Ibu baik kepada Amanda hanya ingin membuatnya sengsara.""Mas ...." Amanda menggenggam tangan Pandu supaya lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya."Amanda, kita sudah dibodohi oleh wanita tua ini, apa kamu masih memercayainya?" Pandu memulai percakapan dengan nada tegas."Mas, aku yakin Ibu sudah berubah, apalagi saat ini
Pandu berdiri di hadapan Amanda. Tatapan penuh harap mengarah pada Amanda yang duduk di hadapannya. Suasana sunyi seketika menyelimuti ruangan, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar di telinga mereka bertiga."Sudah cukup lama kita hidup terpisah, Amanda," ucap Pandu dengan suara bergetar, mencoba menekan perasaan gugupnya. "Kita telah melewati banyak hal bersama, dan jujur, aku tak bisa hidup tanpamu."Walau merasa gugup, tapi Pandu memberanikan diri untuk kembali melamar mantan istrinya di hadapan asisten dan sekretarisnya."Sekian lama kita berpisah, tapi cintaku padamu tidak pernah berubah. Walaupun dulu aku sempat sakit hati padamu karena kesalahpahaman, tapi cinta di hatiku tidak pernah pudar."Amanda menatap Pandu dengan wajah yang penuh keraguan, pikiran dan hatinya berkecamuk. Mengingat alasan di balik keputusan mereka berpisah membuat hati Amanda tersayat seperti belati. Dia tahu, kesalahan dan kesalahpahaman telah merusak cinta yang pernah mereka miliki."Tapi, Ma
Tama sampai di rumahnya setelah Mahawira pulang. Ia berpapasan dengan Pandu yang akan pulang ke rumahnya."Bos, kapan kalian sampai?" tanya Tama."Kamu dari mana?" Bukannya menjawab, tapi Pandu malah balik bertanya kepada asistennya itu."Saya ...." Tama menghentikan ucapannya saat ponsel dalam sakunya berdering tanpa henti. Tama merogohnya dan melihat layar ponselnya. "Pak Jo. Sepertinya ada informasi penting," ucap Tama pada Pandu.Tama menjawab panggilan dari kepala pelayan di rumah sang bos."Tuan, ada informasi penting tentang Nyonya besar," ucap Pak Jo dari balik telepon."Kami akan ke sana sekarang. Kita bicarakan di rumah saja.""Apa Anda sudah kembali, Tuan?""Saya dan Bos sudah pulang," jawab Tama, "kami akan segera ke sana."Tama menutup teleponnya segera. "Bos, saya ganti pakaian dulu. Kita akan ke rumah Anda sekarang.""Baju kamu basah, memangnya kamu dari mana?" Pandu keheranan melihat baju asistennya basah."Tadi di sana hujan, saya kehujanan saat kembali ke mobil," jaw
"Terima kasih, Sayang." Tama mencium tangan Tiara berkali-kali."Sayang?" Tiara terkejut. "Kita belum menikah.""Kita bisa mulai membiasakan diri dari sekarang." Tama menatap Tiara sambil tersenyum. Ia tidak menyangka pilihan terakhir jatuh pada sekretaris sang bos. "Saya berjanji akan memperlakukanmu dengan baik."Tiara tersenyum sambil bergumam dalam hati. 'Semoga keputusan saya tidak salah.'Sementara di rumah Tama, Amanda dan anak-anaknya baru saja sampai di rumah setelah pulang dari luar negeri."Bu, kenapa Ayah baik tidak pulang bersama kita?" tanya Alana sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Ada pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh Ayah baik. Jadi, dia harus kembali lebih awal dari kita." Pandu mencoba memberi pengertian kepada anaknya. Padahal ia sendiri tidak tahu urusan penting apa yang membuat Tama begitu terburu-buru untuk segera kembali."Ayah baik itu banyak pekerjaan, lagi pula sekarang kita selalu ditemani Ayah Pandu. Jadi tidak kesepian lagi walaupun
"Saya ambilkan air minum dulu, pasti Bos haus." Tiara semakin gugup. "Silakan masuk!"Tiara membuka pintunya lebar-lebar dan bergegas ke ruang tamu. Tama mengikuti Tiara masuk ke dalam rumahnya.“Silakan duduk, Bos! Saya ambilkan minum dulu.”Tiara segera pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum. Sesampainya di dapur, Tiara terkulai lemas dan duduk di lantai.“Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan?” Tiara memegangi dadanya sambil duduk berselonjor di lantai.Beberapa menit kemudian, ia bangun dan berdiri setelah lebih tenang. Kemudian, Tiara membawa segelas air putih untuk Tama.“Silakan di minum, Bos!”‘Dia berada di dapur selama sepuluh menit, tapi hanya membawakan air putih untuk saya. Aya yang dia lakukan di dapur selama itu?’ batin Tama.Tama mengambil gelas minum yang disediakan oleh Tiara. Ia meminum sampai habis air itu karena ia juga sedang gugup.“Airnya mau lagi, Bos?” tanya Tiara saat Tama menaruh gelas kosong di meja.“Boleh, tapi akan lebih bagus lagi kalau ada perasa