Rasa lelah yang Fatma rasa tidak sebanding dengan rasa kesal yang ia rasakan ketika mendapati suami tercintanya berani berselingkuh hanya karena ia tidak bisa memberikan anak.Fatma sadar, tidak bisa hamil adalah kekurangannya yang paling besar. Hanya saja, tidak bisakah Santoso tidak menjadikan hal itu sebagai alasan dasar dia berselingkuh?!Menghela napas yang entah sudah berapa kali ia lakukan, Fatma menghentikan langkahnya yang lelah pada sebuah perumahan. Ia tertarik pada tulisan 'Tersedia Kamar kosong' yang terdapat pada salah satu sudut rumah.Wanita itu tertegun sedikit lama, mengusap peluh yang sedari tadi membasahi dahi dan juga lehernya. Sungguh, ia harus mencari tempat beristirahat sekarang."Assalamualaikum," sapa Fatma setelah menepi dan berdiri di ambang pagar rumah."Wa'alaikum salam," ucap seseorang dari dalam rumah. Suara khas pria menjawab salamnya, tak lama kemudian sosok yang ia nantikan muncul di ambang pintu.Mata Fatma membulat, begitu pun dengan pria yang menj
Sungguh tidak habis pikir jika nomer baru itu mengiriminya foto dan video syur antara suaminya dengan si pelakor. Seolah belum sembuh dengan luka yang kemarin, hari ini luka itu kembali dibedah jauh lebih dalam lagi.Dengan jari-jarinya yang gemetaran, Fatma meraih ponselnya dan menatap foto serta video yang dikirimkan kepadanya.[Lihat suamimu, dia bahkan masih bersemangat untuk mengajakku tidur bersama. Apakah dia bisa tidur sepulas ini jika bersamamu? Ah, aku rasa tidak.]Fix, nomer baru ini pasti milik Wati. Dasar pelakor!Fatma menahan mulutnya untuk tidak berteriak dan menangis, ia melihat foto-foto itu dengan detail. Foto yang menggambarkan kemesraan mereka diatas ranjang dengan busana minim dan tidak pantas dipertontonkan.[Apakah suamimu sering memelukmu saat tidur? Kenapa ia senang sekali menciumi dadaku ya? Ah, aku baru ingat. Dia pernah bilang bahwa punyamu sangat datar dan keras. Kasian sekali, Mas Santoso yang malang. ][Oh, hampir kelupaan Sayang. Coba kau tengok video
Semenjak Fatma memilih untuk pergi dari kehidupan Santoso, ia berjuang sekuat tenaga untuk tetap tegar dan tak ingin kembali ke rumah itu. Terlalu banyak siksa batin yang harus ia tanggung, membuatnya tak ingin mengulang kenangan lama penuh dengan air mata di rumah tersebut."Assalamualaikum Fatma, sedang sibuk ya?" Arif mengetuk pintu dari luar. Sore itu sepulang dari kerja, Arif datang membawakan martabak dan juga berita gembira."Wa'alaikum salam," jawab Fatma yang baru saja selesai melipat pakaian dari jemuran di depan rumah. Membuka pintu kamar, ia tersenyum saat mendapati Arif masih memakai baju batik ala pegawai kabupaten. "Eh Mas Arif, ada apa ya Mas?""Kamu lagi sibuk ya? Ini ada martabak mini buat kamu," ucap Arif sambil menyodorkan kresek putih tersebut ke hadapan Fatma."Ah Mas, kok malah repot-repot sih jajanin aku tiap hari." Fatma meraih bungkusan itu dengan perasaan ragu sekaligus sungkan."Nggak pa-pa kok Fat, tadi pas pulang sekalian beli aja. Oh ya kamu repot nggak?
Mendapat pekerjaan baru adalah hal luar biasa dalam hidup Fatma. Bayangkan saja, dirinya yang selama ini hanya tinggal di rumah dan mengurus semuanya, mendadak banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup.Sedikit berat tapi Fatma mulai menganggap hal itu biasa. Toh di luaran sana banyak orang-orang seperti dirinya yang tetap hebat, mandiri, dan tidak banyak mengeluh sama-sama berjuang. Yang pastinya Fatma tidak sendirian di dunia ini.Seperti yang sudah direncanakan kemarin sore, pagi ini Fatma berpakaian rapi dan ikut Arif menuju ke depan kabupaten untuk mulai bekerja. Dengan bantuan Arif, Fatma menata kembali hidupnya yang sempat porak-poranda."Mbak Lastri, titip Fatma ya. Kalo ada apa-apa jangan digalakin, orangnya kalem soalnya. Ntar kalo nangis, aku yang bingung harus hibur dia." Arif bercanda sama Mbak Lastri, istri temannya yang satu kantor.Mbak Lastri terkekeh, ia menyenggol lengan Arif sedikit kencang. "Oh namanya Fatma ya. Salam kena
"Mas kok lama banget sih?!" Wati protes saat hampir sepuluh menitan Santoso sibuk berada di dalam toko alat tulis. Melihat ke dalam toko, wajah Wati tampak menaruh curiga. "Heran, ada apa sih?! Kamu juga, cuma disuruh beli map kok jadi beli pulpen segala. Kamu naksir ya sama penjualnya.""Wat, kamu ini ngawur ya. Aku tuh udah nurut sama kamu, suruh beli map aku beli map. Beli makan aku beli makan, gitu juga masih dicurigai." Santoso mengenakan sabuk pengaman dengan wajah kesal.Wati tidak tahu aja kalo di dalam toko itu ada Fatma, mantan istri yang diam-diam masih dirindukan oleh Santoso."Habisnya kamu juga sih?! Perintahku tadi apa? Cuma beli map Mas, masa iya kamu beli pulpen juga. Kalo kamu nggak naksir penjualnya, lalu itu namanya apa?! Dasar pemborosan," gumam Wati dengan wajah kesal. Ia lantas menghidupkan mesin mobil dan pergi dari area toko alat tulis tersebut.Santoso hanya diam, wajahnya tampak tertekan dengan ucapan Wati. Terlebih meng
Melihat tatapan Santoso yang masih menyimpan beribu rasa cinta untuk Fatma, tentu saja Wati kebakaran jenggot. Sebagai calon istri yang baru, ia sama sekali tidak ingin mendapatkan saingan dari siapa pun termasuk dari sang mantan istri.Segera saja, setelah berkas cerai itu ditandatangani maka Wati pun mengajukan permintaan pada Santoso untuk meresmikan hubungan mereka di kantor urusan agama. Walau menurut Santoso hal itu sangat terburu-buru, lagi-lagi ia hanya bisa pasrah dan menuruti keinginan Wati.Maka sebulan setelah pengadilan mengumumkan perceraian Fatma dan Santoso, pesta besar-besaran terembus begitu saja di telinga Fatma."Kamu yakin mau menghadiri pesta pernikahan mereka?" Arif bertanya pada Fatma sepulang dari bekerja. Pria itu masih memakai seragam PNS-nya dengan tampan."Yakinlah Mas, kenapa tidak. Lagipula itu hanyalah masa lalu kami, aku nggak mau melangkah menuju masa depan dengan bayang-bayang masa lalu. Sudah saatnya untuk melup
"Mas, aku bener-bener penasaran dengan kado yang dibawa Fatma tadi. Tumben dia kasih kita kado gedhe," ujar Wati saat masuk ke dalam kamar pengantin bersama Santoso. "Jangan-jangan dia bawa ular lagi?!""Ah, nggak boleh berburuk sangka kamu tuh." Santoso menegur sambil duduk di sisi ranjang dan melepas sepatu hitam yang ia pakai."Kenapa Mas? Kamu keberatan kalo aku nyindir Fatma?" Tatapan maut itu langsung tertuju ke arah Santoso. "Ya bisa aja kan dia nggak seneng sama kita terus ngado ular, biar malam pertama kita gagal total.""Wat, sudah deh jangan berkata yang enggak-enggak soal Fatma. Sebelum kenal kamu, aku lebih mengenal Fatma itu seperti apa. Dia kalo udah bilang ikhlas ya udah ikhlas aja, nggak pernah dia balas dendam sama seperti yang kamu bicarakan. Sudah deh, jangan kebanyakan nonton drama." Santoso berkata panjang lebar, jujur saja telinganya sudah bosan dengan percakapan Wati yang apa-apa selalu saja menyudutkan Fatma."Bilang saja
"Mas, hari ini kamu yang bikin sarapan ya." Wati berkata pada Santoso yang terlihat sudah rapi dengan kemeja merah maron. Pria itu tampak bercermin di kaca sambil berdiri, merapikan rambutnya dengan sisir warna kuning yang ditaruh diatas meja. Wati beringsut bangun, ia bahkan belum mandi sama sekali. "Bikinin aku mi goreng dong, pakai telur ya tapi telurnya setengah mateng aja."Wajah sebal Santoso langsung terlihat, ia nyaris melempar sisir ke atas meja lalu menoleh ke arah Wati. "Masak aku sih? Itu kan tugas kamu. Aku udah rapi begini masa iya harus bau kompor.""Masak aku juga sih?! Lihatlah Mas, aku baru bangun ini. Aku juga belum mandi. Masak kamu nggak kasihan sama aku," ucap Wati tak kalah adu nasib. Wanita itu bangun dari ranjang, meninggalkan sprei dan juga selimut secara berantakan. "Aku mandi dulu, jangan lupa siapin sarapan."Wati melesat begitu saja menuju ke kamar mandi, tak peduli bagaimana wajah sebal suaminya mendominasi sekarang. Santoso