"Ikuti saja. Biarkan dia sendiri dulu, setelah dia lebih tenang baru dekati dia."
Bukannya berterima kasih Jonas justru mencibir kata-kata adik sekaligus asisten pribadinya tersebut. "Pintar menasehati orang lain, tapi bodoh untuk diri sendiri!" Jeno berdecak protes. Tak terima. Dan sudah akan melayangkan protesannya, namun Jonas menginterupsi. "Coba praktekkan ke diri sendiri dulu. Praktekkan ke Jihan. Jangan bisanya membuat anak orang ketakutan!" Alih-alih tersinggung, Jeno memilih diam. Berpikir sebentar sebelum kemudian mengeluarkan kata-kata yang ditertawakan oleh Jonas. "Memangnya dia ketakutan? Dia takut sama aku?" "Ya Tuhan, Jeno... Jeno! Kurang jelas apa dari tindakan Jihan yang mengunci rapat pintu kamarnya?" Dengan polosnya, kepala Jeno menggeleng pelan. "Aku pikir dia menutup pintu karena menghindar karena menolak kasih alasan kenapa tiba-tiba minta putus." Jonas terkekeh pelan. Lalu menepuk bah"Shasha, Jeno...." "Heh Jeno kenapa, Ji? Dia jahatin kamu?" tanya Alesha panik Bagaimana tidak panik, jika sahabat baiknya itu datang tiba-tiba dengan keadaan mata merah seperti habis menangis. "Jeno...." "Iya-iya, Jeno kenapa?" tanyanya masih bisa sabar menghadapi Jihan yang sedari tadi tak kunjung memberikan penjelasan, padahal dirinya sudah sangat penasaran. Jika yang di hadapannya ini Jonas, sudah bisa dipastikan Alesha akan mengamuk karena dibuat sangat penasaran. Beruntung emosinya tak mudah terpancing jika dengan orang lain. Apalagi sahabatnya ini, Alesha akan sangat memaklumi apa pun yang dilakukannya. Tak lekas menjawab, sekarang Jihan justru menatap Alesha dengan wajah memelas. "Jihan, aku sudah sangat penasaran ini... kamu enggak ada niatan buat cepat-cepat cerita?" Akhirnya Alesha protes juga, meski dengan nada senormal mungkin, tak memperlihatkan rasa kesalnya. "Huh, bingung harus mulai dari mana!" Alesha terkesiap k
"Kamu yang apa-apaan? Bisa rubuh pintu ruang kerja aku!" balas Alesha tak kalah sengit dari orang di depannya itu. Tatapan kesal orang di depannya itu tak membuat Alesha gentar. Ia berikan tatapan mata lebih garang sebagai balasan. Namun yang terjadi berikutnya diluar dugaan. Tubuh Alesha direngkuh hingga masuk ke dalam pelukan. Alih-alih meronta-ronta atau menolak, Alesha justru balas melingkarkan tangannya di pinggang orang ini. "Katanya sedang meeting? Kenapa tiba-tiba sudah sampai sini?" "Menurut kamu, apa aku bisa tenang setelah kamu dengan sengaja matikan telepon, terus nonaktifkan nomor kamu? Kamu pikir aku bisa konsentrasi? Alesha terkekeh puas. "Sengaja sih. Suruh siapa kamu gegabah jadi orang! Pelukan terurai. Alesha kembali ditatap dengan dahi berkerut dalam. "Karena ponsel aku tertinggal di ruang kerja pas aku meeting tadi, aku jadi terlambat buka pesan dari anak buah aku kalau kamu didatangi kuasa hukum mantan pacar kamu itu. Harusnya kalau tau sejak awal, pas
Alesha tetap memberikan izin pada satu orang laki-laki paruh baya yang beberapa waktu lalu memanggil namanya untuk ikut masuk ke dalam cafenya. Pria berpakaian formal itu sama sekali bukan orang yang Alesha kenal sebelum ini, alasan diizinkannya masuk karena pria itu yang mengatakan ada urusan sangat penting dengannya. Namun, Alesha tak berani mengajak ke ruang kerjanya, karena terlalu privasi, jadi Alesha hanya bisa mempersilakan untuk duduk di salah satu bangku untuk pengunjung cafenya. Lagi pula suasana cafe belum terlalu ramai karena memang belum buka. Hanya beberapa karyawan saja yang tengah bersiap. Jadi cukup aman jika untuk membahas sesuatu yang penting. "Maaf, jadi Anda ini siapa lalu ada perlu apa?" tanya Alesha yang tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama lagi, setelah mereka sama-sama duduk di bangku masing-masing. "Maaf sebelumnya, jika kedatangan saya mengejutkan Anda, Nona Alesha...." Alesha mengangguk-anggukkan kepala sekenanya, agar pria itu lekas me
Kelabakan karena belum mendapat alasan juga desakan dari Alesha yang sudah sangat penasaran, Jonas terselamatkan oleh bunyi ponselnya yang tiba-tiba berdering nyaring. "Sayang, telepon dari mami. Aku angkat dulu ya?" kata Jonas seraya menunjukkan layar ponselnya yang menyala. Alesha menghela napas panjang. "Huh iya." Alesha sebal bukan pada ibu mertuanya yang tiba-tiba menelpon, ia sebalnya karena ia sering kali lupa dengan pertanyaan yang sedang ditanyakan dan berujung hilang sudah kesempatan untuk memperoleh jawaban, jika sudah terjeda seperti ini. Dan untuk bertanya lagi, ia juga sudah tak ingat. "Kali ini harus ingat. Harus ingat!" ucap Alesha pada diri sendiri dan dengan suara hampir tak terdengar, hanya gerak bibirnya saja yang terbaca. "Ale... Sayang, mami mau bicara sama kamu." Suara Jonas tiba-tiba membuat Alesha terkesiap dan membuat tergagap. "Ehh--i-ya!" "I-ya, halo mami...." Terdengar canggung sahutan Alesha. Jonas bisa maklum. "Bagaimana kabarnya, Nak? K
Alesha melangkahkan kakinya terburu menuruni anak tangga. Jantungnya berdegup sangat kencang. Yang ditujunya adalah dapur. "J-Jonas, kamu--" Alesha berhenti melangkah. Ia berdiri mematung. Menatap pemandangan di depannya. Senyuman manis nan lebar menyambut kedatangannya. "Selamat pagi, Sayang!" Alesha tersenyum lega, setelah sebelumnya menghela napas panjang. "Ya Tuhan, Jonas! Kamu bikin aku jantungan!" Dahi Jonas berkerut dalam. Kemudian melangkah menghampiri Alesha yang masih berada di tempatnya. "Kenapa? Kamu mimpi buruk?" Bibir Alesha berdecak. "Bangun tidur aku kelabakan cari kamu! Aku pikir kamu...." Jonas paham kemana arah ucapan istrinya meski belum sepenuhnya diutarakan. Diusapnya lembut pipi sang istri. "Aku sudah janji enggak akan lakukan hal bodoh lagi, Sayang." Kepala Alesha mengangguk lega. "Huh alhamdulillah!" "Maaf ya bikin kamu khawatir. Aku enggak tega bangunkan kamu tadi, kamu nyenyak sekali!" Alesha tersenyum tak enak hati. "Maaf, aku bangun kes
Tidak menjawab pertanyaan Alesha, orang di hadapannya ini melenggang masuk begitu saja ke dalam rumah. Membuat Alesha berdecak kesal karena ini. "Mau apa lagi ke sini? Katanya enggak mau pulang? Pergi saja sana!" tanya Alesha kesal sekali. "Jonas, berhenti kamu!" teriak Alesha tak terima karena pria yang memang Jonas ini kembali mengabaikan dirinya. Tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Jonas membalikkan badan, berhadapan langsung dengan Alesha. Tak ingin tampak lemah, Alesha menunjukkan ekspresi wajah garang, kedua tangannya berkacak di pinggang. Aura menantangnya kuat sekali. Namun yang terjadi di luar dugaan, Jonas yang beberapa waktu lalu masih cuek dengan raut wajah datarnya, tiba-tiba mengulurkan tangan dan mengusap lembut bagian bawah mata Alesha yang membengkak karena terlalu lama menangis. "Aku suruh kamu pulang ke rumah, bukan pergi ke taman dan menangis sampai mata bengkak, Ale...." Bibir Alesha mengerucut sebal. "Kamu pikir siapa yang bikin aku seperti