Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
“Jinnie, dia sudah datang kembali.” Karina baru saja memberitahuku kalau Kakek Chu datang kembali setelah beristirahat selama beberapa bulan karena operasi jantung. Dia datang untuk makan di restoran bergaya jepang di tempatku bekerja. Mataku berbinar dan langsung berlari menghampiri meja yang biasa ditempatinya.Ya. Demi bertahan hidup, aku bekerja paruh waktu menjadi waiter di salah satu restoran jepang. Bisa dibilang hanya restoran ini yang mau menerimaku bekerja waktu itu meskipun tanpa pengalaman apalagi pendidikan yang mumpuni. Untuk itu aku berjuang mati-matian mempertahankan pekerjaan ini. Jika tak salah ingat, sudah hampir satu tahun aku bekerja di sini. Bahkan beberapa pelanggan tetap restoran ini sampai menghafal dan mengingat namaku. Salah satunya adalah Kakek Chu. Kakek Chu. Pria tua yang sudah menginjak kepala tujuh itu memang lebih suka dipanggil begitu. Lucu. Kepribadiannya j
Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dilaksanakan dengan mudah. Bukan pula pilihan yang gampang layaknya memilih gorengan hangat di pagi hari. Hidupku saja sudah susah saat ini. Bagaimana mungkin aku menikah? Terlebih lagi dengan orang yang belum pernah bertemu. Aku memang suka bagaimana hubunganku dengan Kakek Chu setahun terakhir. Tapi permintaannya kali ini terasa berat. Namun janji yang kubuat dengannya dua bulan lalu juga membuatku tak punya pilihan selain menerimanya.Aku mengeluarkan jam tangan dari dalam tas kecil yang sudah usang. Bentuknya sudah lusuh, salah satu talinya terlihat sudah dijahit beberapa kali. Aku mendesah pelan, hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya untuk ke supermarket.Aku meletakkan beberapa botol kaleng minuman ke rak. Menyamakan merek dan ukurannya. Satu tanganku memegang papan berisikan daftar nama barang yang akan disusun. Namun seketika gerak tanganku terhenti. Permintaan Kakek Chu tadi siang tiba-tiba melintas di
Langit malam kota Seoul tak pernah sepi. Suara klakson mobil saling sahut menyahut. Lampu gedung, bar, restoran, café saling berlomba-lomba berusaha mengalahkan ribuan cahaya bintang di langit. Aku mendongak menatap langit. Kenapa hidupku tak pernah secerah itu?Aku mendesah panjang. Angin berhembus cukup kuat malam itu karena sudah hampir memasuki musim semi. Kakiku melangkah tanpa arah. Masih terlalu cepat untuk pulang. Mau tidak mau aku harus segera mencari pekerjaan pengganti jika tak ingin diusir dari flat yang aku tempati kini. Sebenarnya, pemilik flatku itu sudah lebih dari baik karena masih membiarkanku di sana meskipun sudah menunggak selama tiga bulan.Aku menyusuri jalanan paling ramai di kotaku. Itaewon memang tempat terbaik jika menyangkut pertunjukkan malam. Mulai dari busking, street dance dan pagelaran seni lainnya digelar secara bebas di sini. Tidak hanya itu, sepanjang jalan berjejer bar dan diskotik yang penuh dengan antrian yan
Ada-ada saja kejadian yang menimpaku hari ini. Tidak ada yang berjalan sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi, posisiku sekarang sangatlah tidak menguntungkan. Pria yang memasukkan tangan ke saku di depanku ini menyeringai. “Kalau kau mau bekerja sekarang juga bisa,” lanjutnya lagi, sedangkan aku masih mematung menatapnya lamat-lamat. Wajar saja keempat pria berbadan kekar itu patuh pada perintahnya. Tapi aku tak tahu harus bereaksi apa saat itu. Entah harus bahagia karena berhasil mendapatkan pekerjaan baru, atau merasa bersalah karena sudah membantingnya ke lantai atau marah karena perbuatannya padaku tadi, walaupun tak sengaja. Hanya senyum tipis yang bisa kutunjukkan. Meskipun agak dipaksakan, semoga dia bisa menangkap perasaan terima kasihku melalui senyuman palsu ini. “Sa-saya bisa langsung bekerja sekarang pak,” kataku gelagapan. Hwan mengangguk kemudian memanggil salah satu pe
Mataku terbuka. Aku menyempatkan tidur sore setelah pulang bekerja dari restoran. Aku duduk. Menghidupkan lampu tidur di samping ranjang. Aku menatap seluruh isi flat. Tak ada yang istimewa. Tidak ada barang-barang mewah di dalamnya. Jangankan maling, seekor kucing pun enggan untuk memasuki rumah karena tidak ada yang bisa dicuri dari ruangan itu. Aku tersenyum getir. Kalau diingat-ingat lagi, Ini tahun ke-lima aku menempati sebuah flat sempit yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Tempat ini cukup berbahaya apabila berkeliaran diluar rumah terutama bagi seorang gadis sepertiku. Terkadang aku sering tertawa sendiri, apakah ruangan yang aku tempati ini masih bisa disebut rumah? Di lain sisi, aku juga tersenyum lega yang dipaksakan. Setidaknya aku bisa berlindung dari panas dan hujan.Sudahlah. Tak ada waktu untuk menyesali kehidupan kini. Toh waktu tak akan berhenti untuk memberi ruang bagiku. Aku bergegas bangkit untuk segera berangkat ke bar. Sebentar lagi matahari a
Belum genap empat jam mataku terpejam. Jam weker usang di atas meja nakas yang tak kalah usang berbunyi. Sudah jam sembilan pagi. Aku mengerjap sambil meraih jam weker yang masih berbunyi, lalu dengan cepat memutar tombol mati. Badanku terasa pegal. Aku merutuki Jisung yang tega menyuruhku menggendong Sam keluar untuk naik taksi semalam. Ingin rasanya menolak, tapi aku juga tak bisa meninggalkannya di meja begitu saja. Jisung menunjuk Sam yang sudah tergeletak di lantai. Ya. Di lantai. Sebelumnya dia masih di meja hingga beberapa menit ketika aku membersihkan bar karena sudah waktunya untuk tutup, entah kapan dia terjatuh ke lantai. “Kau bawa dia keluar,” kata Jisung sambil menutup pintu lokernya di belakang. “Apa? Kenapa aku?” Aku tak habis