All Chapters of Rahasia Di Antara Kita: Chapter 1 - Chapter 10
49 Chapters
1. Permintaan Gila
“Jinnie, dia sudah datang kembali.” Karina baru saja memberitahuku kalau Kakek Chu datang kembali setelah beristirahat selama beberapa bulan karena operasi jantung. Dia datang untuk makan di restoran bergaya jepang di tempatku bekerja. Mataku berbinar dan langsung berlari menghampiri meja yang biasa ditempatinya.Ya. Demi bertahan hidup, aku bekerja paruh waktu menjadi waiter di salah satu restoran jepang. Bisa dibilang hanya restoran ini yang mau menerimaku bekerja waktu itu meskipun tanpa pengalaman apalagi pendidikan yang mumpuni. Untuk itu aku berjuang mati-matian mempertahankan pekerjaan ini. Jika tak salah ingat, sudah hampir satu tahun aku bekerja di sini. Bahkan beberapa pelanggan tetap restoran ini sampai menghafal dan mengingat namaku. Salah satunya adalah Kakek Chu.            Kakek Chu. Pria tua yang sudah menginjak kepala tujuh itu memang lebih suka dipanggil begitu. Lucu. Kepribadiannya j
Read more
2. Mengusik Pikiran
Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dilaksanakan dengan mudah. Bukan pula pilihan yang gampang layaknya memilih gorengan hangat di pagi hari. Hidupku saja sudah susah saat ini. Bagaimana mungkin aku menikah? Terlebih lagi dengan orang yang belum pernah bertemu. Aku memang suka bagaimana hubunganku dengan Kakek Chu setahun terakhir. Tapi permintaannya kali ini terasa berat. Namun janji yang kubuat dengannya dua bulan lalu juga membuatku tak punya pilihan selain menerimanya.Aku mengeluarkan jam tangan dari dalam tas kecil yang sudah usang. Bentuknya sudah lusuh, salah satu talinya terlihat sudah dijahit beberapa kali. Aku mendesah pelan, hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya untuk ke supermarket.Aku meletakkan beberapa botol kaleng minuman ke rak. Menyamakan merek dan ukurannya. Satu tanganku memegang papan berisikan daftar nama barang yang akan disusun. Namun seketika gerak tanganku terhenti. Permintaan Kakek Chu tadi siang tiba-tiba melintas di
Read more
3. Secercah Harapan
Langit malam kota Seoul tak pernah sepi. Suara klakson mobil saling sahut menyahut. Lampu gedung, bar, restoran, café saling berlomba-lomba berusaha mengalahkan ribuan cahaya bintang di langit. Aku mendongak menatap langit. Kenapa hidupku tak pernah secerah itu?Aku mendesah panjang. Angin berhembus cukup kuat malam itu karena sudah hampir memasuki musim semi. Kakiku melangkah tanpa arah. Masih terlalu cepat untuk pulang. Mau tidak mau aku harus segera mencari pekerjaan pengganti jika tak ingin diusir dari flat yang aku tempati kini. Sebenarnya, pemilik flatku itu sudah lebih dari baik karena masih membiarkanku di sana meskipun sudah menunggak selama tiga bulan.Aku menyusuri jalanan paling ramai di kotaku. Itaewon memang tempat terbaik jika menyangkut pertunjukkan malam.  Mulai dari busking, street dance dan pagelaran seni lainnya digelar secara bebas di sini. Tidak hanya itu, sepanjang jalan berjejer bar dan diskotik yang penuh dengan antrian yan
Read more
4. Hari Pertama
Ada-ada saja kejadian yang menimpaku hari ini. Tidak ada yang berjalan sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi, posisiku sekarang sangatlah tidak menguntungkan. Pria yang memasukkan tangan ke saku di depanku ini menyeringai. “Kalau kau mau bekerja sekarang juga bisa,” lanjutnya lagi, sedangkan aku masih mematung menatapnya lamat-lamat. Wajar saja keempat pria berbadan kekar itu patuh pada perintahnya. Tapi aku tak tahu harus bereaksi apa saat itu. Entah harus bahagia karena berhasil mendapatkan pekerjaan baru, atau merasa bersalah karena sudah membantingnya ke lantai atau marah karena perbuatannya padaku tadi, walaupun tak sengaja. Hanya senyum tipis yang bisa kutunjukkan. Meskipun agak dipaksakan, semoga dia bisa menangkap perasaan terima kasihku melalui senyuman palsu ini.            “Sa-saya bisa langsung bekerja sekarang pak,” kataku gelagapan. Hwan mengangguk kemudian memanggil salah satu pe
Read more
5. Kedua Kali
Mataku terbuka. Aku menyempatkan tidur sore setelah pulang bekerja dari restoran.  Aku duduk. Menghidupkan lampu tidur di samping ranjang. Aku menatap seluruh isi flat. Tak ada yang istimewa. Tidak ada barang-barang mewah di dalamnya. Jangankan maling, seekor kucing pun enggan untuk memasuki rumah karena tidak ada yang bisa dicuri dari ruangan itu. Aku tersenyum getir. Kalau diingat-ingat lagi, Ini tahun ke-lima aku menempati sebuah flat sempit yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Tempat ini cukup berbahaya apabila berkeliaran diluar rumah terutama bagi seorang gadis sepertiku. Terkadang aku sering tertawa sendiri, apakah ruangan yang aku tempati ini masih bisa disebut rumah? Di lain sisi, aku juga tersenyum lega yang dipaksakan. Setidaknya aku bisa berlindung dari panas dan hujan.Sudahlah. Tak ada waktu untuk menyesali kehidupan kini. Toh waktu tak akan berhenti untuk memberi ruang bagiku. Aku bergegas bangkit untuk segera berangkat ke bar. Sebentar lagi matahari a
Read more
6. Mawar Hitam
Belum genap empat jam mataku terpejam. Jam weker usang di atas meja nakas yang tak kalah usang berbunyi. Sudah jam sembilan pagi. Aku mengerjap sambil meraih jam weker yang masih berbunyi, lalu dengan cepat memutar tombol mati. Badanku terasa pegal. Aku merutuki Jisung yang tega menyuruhku menggendong Sam keluar untuk naik taksi semalam. Ingin rasanya menolak, tapi aku juga tak bisa meninggalkannya di meja begitu saja.            Jisung menunjuk Sam yang sudah tergeletak di lantai. Ya. Di lantai. Sebelumnya dia masih di meja hingga beberapa menit ketika aku membersihkan bar karena sudah waktunya untuk tutup, entah kapan dia terjatuh ke lantai.            “Kau bawa dia keluar,” kata Jisung sambil menutup pintu lokernya di belakang.            “Apa? Kenapa aku?” Aku tak habis
Read more
7. Tatapan Mematikan
Sam terbangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Dia duduk, lalu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya semalaman. Dia menghela nafas setelah menyadari kalau dirinya tertidur di kamar yang tak asing. Dia mengerjap sekali. “Kenapa aku bisa sampai ke sini?” gumamnya lagi.Kenop pintu di putar. Dia berjalan menuruni anak tangga. Dilihatnya beberapa pelayan sudah sibuk di bawah sana menyiapkan sarapan. Dia memilih untuk mencuci muka lebih dulu. Dilihatnya potret wajahnya di cermin. Mata sayu dengan rambut berantakan. Ia melihat kancing bajunya terbuka setengah yang membuatnya mulai berpikiran yang aneh-aneh. Dia berusaha mengingat-ngingat kejadian semalam. Tapi usahanya sia-sia. Ingatan terakhirnya adalah ketika dirinya sempat beradu mulut dengan Hwan, ia benar-benar tak ingat sama sekali kejadian setelahnya.            “Bagaimana aku pulang semalam?” Sam menanyai salah sa
Read more
8. Keluarga Baru
Aku kembali menarik pintu dengan cepat setelah melihat Em sudah berdiri tegap di pintu. Dia datang lagi. Aku menghela nafas lalu memutar knop pintu.            “Selamat pagi nona,” sapanya hangat seperti biasa.            “Rasanya aku sudah bilang kemarin kalau aku tak bisa dan tak mau,” jelasku. Hari ini aku berniat akan mencari pekerjaan baru karena aku tak bisa lagi bekerja di restoran jepang tempat aku bekerja dulu. Entah apa yang di katakan Em pada managerku di sana. Dia bilang tak mau lagi mempekerjakanku. Terpaksa aku harus mencari pekerjaan baru.            “Kakek Chu bilang dia akan membiarkanmu tetap bekerja asalkan kau mau tinggal di rumah utama. Dia hanya memintamu tinggal di sana, tak akan mengganggu kehidupanmu yang lain,” terang Em. Dia menyampaik
Read more
9. Kita Tak Sedekat Itu
Hwan bertepuk tangan. Setuju dengan ide kakeknya barusan. “Wow,” Hwan melirik Sam yang menatap tajam ke arahnya. Dia bergantian menatap raut mukaku yang tak kalah kesal. Kenapa Kakek Chu mengungkap pernikahan sekarang?             “Kakek,” ucapku. Kakek Chu tertawa puas tak peduli dengan suasana canggung yang diciptakannya. Justru Sam bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Dia sudah cukup kesal dengan kembali tinggal di rumah utama. Sekarang kakeknya malah membual yang tidak-tidak.             “Bagaimana bisa kau terpikirkan ide seperti itu?” Hwan masih saja bercanda dengan kakek Chu. “Tak buruk,” sahut Jay juga setuju. Dia meminum jus jeruknya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Jay padaku. “Tentu aku tak setuju,” Aku menjawab mantap. “Bukan.” Jay terkekeh mendengar jawaban spontanku. “Maksudku, menurutmu Sam bagaimana?” goda Jay. Ia laru
Read more
10. Dompet Hitam
Aku meletakkan sendok di meja menyudahi sarapan. Seleraku langsung hilang. Aku langsung bangkit, malas berdebat dengannya.             “Kau menghindar lagi rupanya. Persis seperti orang-orang yang tak punya keluarga,” desis Sam sambil melipat tangan di dada dan menyilangkan kaki. “Ya…. mereka tak mau menyelesaikan masalah sedangkan hobinya membuat masalah,” lanjut Sam sambil mengangkat bahu tak peduli. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa adanya rasa bersalah. Apa dia memang tipe orang yang suka merendahkan seperti ini? Jikalau iya, sungguh dia sangat bertolak belakang denganku.             “Oh ya?” balasku kemudian berbalik. “Kalau begitu kau persis seperti orang yang berkeluarga. Punya banyak uang, punya semuanya tapi selalu merasa kurang. Apa mungkin karena kau kesepian?” balasku tak mau kalah. Aku menunjukkan smirk kemudian meninggalkann
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status