Tatapan Ethan begitu tajam sampai-sampai Dira bisa merasakan lututnya tiba-tiba goyah. Ia harus berpegangan pada kusen pintu agar tidak jatuh.
“Katakan Dira, bukan kebetulan anak itu bermata biru dan bukan kebetulan jika anak itu berumur 4 tahun!” Dira tersentak mendengar kemarahan mendidih Ethan. Mata birunya begitu gelap seolah Ethan ingin menelannya hidup-hidup. Dira memejamkan mata. Ia tahu rahasia ini tidak mungkin bertahan selamanya, tapi ia tidak pernah menduga bahwa pria itu akan tahu dengan cara seperti ini. “Se-sebaiknya kita bicara di dalam.” Ethan sudah akan menolak. Namun, di detik terakhir ia berjalan mengikuti wanita itu. Rasanya seolah ada yang ingin meledak dalam dirinya. Kenyataan yang baru saja ia temukan berhasil menguras habis kesabarannya. Kedua tangannya terkepal erat saat Dira membawa Ethan menuju dapur. “Biarkan pintunya tetap terbuka!” tekannya dengan gigi gemertak. “Tapi…” “Kubilang biarkan pintunya tetap terbuka!” Dira mendesah, menuruti keinginan Ethan setengah hati. Ia hanya berharap putranya tidak akan mendengar pembicaraan ini. “Jadi katakan apa yang sebenarnya terjadi.” Kata-kata itu diucapkan dengan begitu dingin dan tajam hingga sesaat yang mengerikan Dira benar-benar ingin melarikan diri. Ia memilin-milin jarinya, pasrah pada ledakan kemarahan yang sebentar lagi akan Ethan limpahkan padanya. “Dia memang anakmu.” Saat kalimat itu terucapkan tercipta keheningan yang membekukan udara. Jika sebelumnya tatapan Ethan begitu dingin sekarang bahkan lebih dingin lagi hingga Dira berpikir benua antartika tidak ada apa-apanya dengan tatapan menusuk Ethan. “Wanita sialan!” “Aku tidak—“ “Jangan mengatakan apa pun!” geram Ethan. Matanya melotot. “Satu kata lagi dari mulutmu aku mungkin akan melakukan sesuatu yang membuatku menyesal, jadi tutup mulutmu!” Ethan berjalan mondar-mandir. Tubuhnya kaku dan tegang. Rahangnya mengeras dan otot-otot di wajahnya mencuat. Jika saja tatapan bisa membunuh saat ini Dira pasti sudah mati karenanya. “Satu pertanyaan,” ujar Ethan kaku, menatap Dira tepat di matanya. Tidak ada emosi di mata biru itu selain kemarahan yang bisa membuat udara berderak. “Apa ini alasanmu melarikan diri dariku? Untuk menyembunyikan putraku?” tekannya emosi. “Tidak, tentu saja tidak.” Tapi Ethan sama sekali tidak memercayainya. “Jika hari ini aku tidak datang, apa aku tidak akan pernah tahu tentang anak itu? Putraku sendiri?” Dira membuka mulut, menutupnya, dan membukanya kembali. “Aku… aku tidak tahu.” “Dasar wanita brengsek!” Makian itu sudah cukup menyulut kemarahan Dira. Keberaniannya muncul. “Kau bilang kau tidak menginginkannya!” tekan Dira marah. “Kapan aku mengatakannya?” “Kau bahkan tidak ingat hal itu bukan? Selalu hanya aku yang mengingat semuanya! Itu yang kau katakan sejak awal pernikahan kita. Kau. Tidak. Menginginkan. Anak. Sejak awal pernikahan kita itu yang selalu kau ingatkan!” Ethan melangkah maju dengan kemarahan dan kekejaman yang membuat Dira tanpa sadar mengambil langkah mundur. “Alasan itu tidak bisa membenarkan tindakanmu, Dira. Dia putraku, entah aku menginginkannya atau tidak bukankah seharusnya aku berhak mengetahui kalau aku memiliki seorang putra? Dan menurutmu apa yang akan kulakukan seandainya tahu kau hamil? Menyuruhmu membunuhnya mungkin? Kau selalu berpikiran yang terburuk tentangku bukan?” Dira terpojok. Ia tidak bisa mundur lagi sekarang. Dengan berpegangan pada tepi meja yang ada di belakangnya Dira membalas ucapan Ethan. “Kau hanya peduli pada dirimu sendiri, kau tidak pernah peduli pada siapapun,” balasnya pahit. “Dan alasan itu memberimu hak untuk bertindak sebagai Tuhan antara aku dan putraku?” Dira mendongak, memberanikan diri menatap Ethan. “Ethan kumohon,” bisiknya tercekat. “Sekarang bukan waktu yang tepat, Noah akan mencariku. Aku… kita bisa membicarakan ini di tempat lain. Aku akan…” “Mommy, kapan kita akan menonton kartun kesukaanku?” Noah tiba-tiba muncul. Anak berusia 4 tahun itu mengerjap, menatap Dira dan Ethan bergantian. “Dia siapa Mommy?” Satu alis Ethan terangkat angkuh, menantang Dira. Dira menelan ludah yang rasanya seolah menelan duri. Ia berjongkok, mengusap kepala putranya. “Dia teman,” balasnya, bisa merasakan dingin yang menusuk tulang belakangnya. “Kenapa dia belum pulang Mommy?” “Sebentar lagi dia akan pulang, iya kan?” Dira menatap Ethan dengan tatapan memohon, tapi jika pria itu melihatnya ia memutuskan untuk mengabaikannya. “Pergilah, Mommy akan datang sebentar lagi.” “Okkey Mommy,” balas bocah menggemaskan itu riang, meninggalkan Dira begitu saja. Dira tidak berani menatap Ethan, sama sekali tidak berani. “Ini belum selesai, Dira,” bisik Ethan mendesis. “Aku akan kembali dan kuharap saat itu kau punya alasan yang cukup masuk akal agar aku tidak perlu mencekikmu!”“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya