Share

Wanita Mirip Istriku

"Astaghfirullah."

Aku menggelengkan kepala seraya mengusap wajah, sesekali memukulnya sembari mengedipkan mata. Pasti ini hanya ilusi karena aku terlalu merindukan Rengganis.

"Maafkan aku sayang, aku ikhlas dan aku ridha, semoga kamu dan anak kita saat ini sedang bermain di taman surga," bisikku seraya menoleh pada jejeran makam.

Merasa rindu, aku pun kembali ke rumah ibu mertua. Sesampainya di sana, dia nampak terburu-buru, sebuah mobil pun sepertinya baru saja melaju dari arah rumahnya.

"Itu siapa, Bu?" tanyaku penasaran.

"Oh, i-itu, itu Sinta, temannya Rengganis," jawabnya sedikit gugup, aku tak mengerti apa yang membuatnya seperti itu. Namun, aku tak mau banyak berpikir, kehilangan anak satu-satunya pasti sangat berat untuk mertua.

"Oh, Sinta." Aku mengangguk.

"Kamu sudah selesai, yuk masuk dulu Gama," ajaknya.

"Iya, Bu."

Saat kaki menginjak lantai rumah mertua, hatiku kembali teremas nyeri. Di setiap sudut banyak sekali kenangan indah bersama Rengganis, saat kami masih berpacaran dulu, terlebih setelah menikah, semuanya terasa indah. Sayang, aku hanya merasakannya sebentar saja.

"Masuk, Gama!" ajak ibu mertua.

"Iya, Bu," anggukku.

"Meskipun Rengganis sudah nggak ada, anggap saja rumah sendiri, bagaimanapun kamu tetap menantu Ibu."

Aku tersenyum, sungguh terharu mendengar ucapan mertuaku yang memang sangat baik dan lembut. Meskipun dulu menolak hubunganku dengan Rengganis, tetapi dia kini menerimaku dan bersikap sangat baik. Entah, setelah ini apakah aku bisa mendapatkan mertua sepertinya lagi atau tidak.

Namun, sebelum itu aku pun tak tahu apakah ada seorang wanita yang bisa mengisi hatiku sebaik Rengganis. Sebab bagiku, dia tak akan terganti, dia terlalu indah dan terlalu istimewa.

"Bu, izin masuk kamar, ya," pintaku.

"Silakan, barang-barang Rengganis masih ada di sana, sengaja Ibu simpan untuk dikenang," ujarnya dengan mata berembun.

Aku yang merasa kasihan pun memeluknya, semoga saja dengan ini bisa sedikit mengobati perihnya kehilangan.

"Sabar ya, Bu, InsyaAllah Rengganis sudah bahagia, memang berat buat kita, tapi kita pasti bisa melewatinya," ucapku dengan mata berkaca-kaca.

Rasanya pedih sekali hati ini saat mengatakan kalimat yang jelas-jelas sangat menusuk sanubari. Hanya saja, di depan mertua aku harus berusaha kuat.

"Iya, Gama, ya sudah, kalau begitu Ibu siapkan makanan dulu, ya," ucapnya kemudian pergi setelah menyeka air mata.

Aku membuka pintu kamar, sebuah ruangan yang menjadi saksi bagaimana cinta kami berpadu. Melihat kamar itu, membuatku teringat lagi bagaimana senyum manis, canda tawa dan sikap manjanya padaku. Ah Rengganis, aku sangat rindu.

Dengan menahan perih di dada aku melangkah, menatap fotonya yang sangat cantik. Ya, dia memang cantik, banyak pria yang menginginkannya, tetapi aku yang beruntung memilikinya. Namun, alih-alih membahagiakan, aku justru meninggalkannya ke penjara. Akan tetapi, semua kulakukan demi kebaikannya.

Mataku menyisir kamar kecil bernuansa pink, di kasur itu bayangannya seakan-akan masih sangat jelas.

"Mas, tutup mata."

"Kenapa harus tutup mata?"

"Udah tutup mata aja!"

"Apa sih? Jangan bikin penasaran deh!"

"Tadaaaaaa!"

"Garis dua? Kamu hamil?"

"Huum."

Masih jelas ingatan itu, seakan-akan semuanya baru saja terjadi hari kemarin. Seketika aku tersenyum, tetapi sedetik kemudian merasa miris, kini semua tinggal kenangan, tak ada hal lain yang harus aku lakukan selain ikhlas.

Kini kakiku kembali melangkah, kemudian berhenti tepat di dekat lemari, baru saja aku hendak membuka laci, tiba-tiba saja terdengar suara ibu mertua memangil.

"Gama, ayo makan dulu!"

Akupun menoleh kemudian tersenyum, tak ingin membuatnya menunggu, lantas pergi bersamanya.

"Iya, Bu," kataku.

Di meja makan, ibu mertua sudah menyiapkan ayam goreng sambal serta lalapannya.

"Maaf Ibu nggak masak banyak, kalau tahu kamu keluar hari ini, pasti ibu masakin banyak," katanya.

"Nggak apa-apa, Bu, ini juga sudah menggugah selera," jawabku.

Tanpa ragu aku menikmati hidangan itu, dari dulu hingga kini masakan mertua tetap sama, hampir sama dengan masakan Rengganis. Di setiap gigitan, membuat otakku kembali mengingat masa indah saat makan dengannya.

Setelah mengobrol banyak hal, aku lantas berpamitan pada mertua. Berlama-lama di sana takut membuatku semakin terpuruk. Lagi pula, aku rindu rumah masa kecilku.

"Kamu beneran mau pulang ke rumah ibu kamu, nggak nginep di sini saja?"

"Nggak, Bu, terima kasih, kebetulan aku juga belum ziarah ke makam ibu."

Sebenarnya ingin rasanya menginap, akan tetapi aku juga rindu ibu, aku merasa bersalah karena belum mengunjungi peristirahatan terakhirnya sejak beliau pergi.

"Ya sudah, kalau begitu hati-hati. Oh, ya, ini ada sisa makanan tadi, bawa buat makan malam, ya."

Aku tersenyum menerima rantang berwarna pink dari ibu mertua. Dengan langkah berat aku meninggalkan tempat penuh kenangan dengan istri tercinta. Kini, semua sudah berubah, tak lagi sama, tetapi mau tak mau aku harus tetap melangkah.

***

Setelah bertanya pada tetangga, kini aku sudah berada di makam ibu. Meskipun aku tak ada, tetapi sangat terawat sebab paman rajin membersihkannya.

"Assalamu'alaikum, Bu," ucapku, tak kuasa menahan sesak melihat pusara wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan penuh cinta.

Dulu, setiap memiliki masalah aku selalu dipeluknya. Kini, di saat terpuruk aku hanya mampu memeluk nisan bertuliskan namanya.

"Ibu maafin aku, maaf atas semua salah, maaf karena semasa ibu hidup, aku belum bisa membahagiakan ibu."

Setelah puas mengeluarkan seluruh isi hati, aku lantas mendoakannya agar di sana ibu berada di tempat terbaik.

Perlahan mentari mulai meredup, aku lantas pulang, paman Abdullah memberikanku kunci rumah, dia juga rajin membersihkannya sehingga rumah itu tetap terawat.

"Terima kasih Paman karena telah merawat rumah dan makam ibu," kataku penuh haru.

"Iya Gama, sama-sama, semua kewajiban Paman karena ibu kamu adalah saudara perempuan Paman. Oh ya, sekali lagi Paman minta maaf karena tidak memberitahu kamu tentang Rengganis, Paman takut kamu semakin terpukul kalau tahu saat masih di penjara," ungkapnya dengan rasa bersalah.

Mataku seketika berkaca-kaca, jujur aku sangat kecewa pada keluarga yang menutupi kematian Rengganis, tetapi aku berusaha mengerti bahwa apa yang mereka lakukan demi menjaga kewarasan ku.

"Iya, ngga apa-apa, terima kasih, ya," jawabku berusaha tegar.

Setelah Paman pergi, kini aku tinggal sendiri di rumah. Di setiap sudut, aku hanya merasakan hampa, kosong, putus asa. Mudah memang mengatakan ikhlas, bangkit, akan tetapi semua sangat berat dijalani. Andai tak dosa, aku ingin sekali bunuh diri dan bertemu dengan mereka. Hidup ini sangat tertatih tanpa sebuah harapan.

***

Tiga minggu berlalu, hampir setiap hari paman dan bibi datang mengunjungi. Hidupku benar-benar hancur, tak tahu arah, rambutku berantakan karena jarang mandi, badanku juga kurus lantaran malas makan.

"Gama, maaf kalau ucapan paman membuatmu tidak nyaman. Akan tetapi, mau sampai kapan kamu seperti ini, Nak?"

Aku terdiam, benar kata paman. Sampai kapan aku terus menolak takdir. Aku ingin bangkit, tetapi rasanya sulit. Namun, sulit bukan berarti tak bisa, bukan? Bismillah, hari ini aku mulai meniti lagi hidup ini, berusaha memberi semangat pada diri sendiri agar tak lagi terpuruk dan meratapi diri.

Kuambil laptop di dalam kamar, mencoba mencari pekerjaan sebab tak mungkin aku terus menerus menjadi pengangguran.

Satu persatu surat lamaran ku masukkan ke perusahaan. Akan tetapi, meskipun aku seorang sarjana, mereka menolak sebab aku adalah mantan narapidana. Bersyukur, setelah berusaha, akhirnya aku diterima sebagai sopir dan besok mulai bekerja.

***

"Permisi, apa benar ini rumahnya Pak Dirgantara?" tanyaku saat berdiri di sebuah rumah mewah berlantai dua.

"Betul, Mas ganteng ini siapa, ya?" tanya seorang wanita yang kutebak adalah asisten.

"Saya Gama, sop__"

"Oh calon sopirnya Non Celine, ya?"

"I-iya." Aku hanya mengangguk ragu.

Sejurus kemudian suara pria berusia lima puluh tahun terdengar menyapa.

"Eh Gama, kamu sudah datang, ayo masuk!"

"Oh iya, Pak Dirgantara," jawabku disertai senyumam, aku tahu dirinya sebab kami melakukan interview secara daring.

Saat kaki melangkah, aku terkesima melihat rumah nan mewah. Di dalamnya sangat rapi, berbagai pernak-pernik mahal menghiasi rumahnya.

"Silakan duduk Mas Gama," ujar Pak Dirgantara yang sangat ramah, sepertinya pria itu adalah seorang bos.

"Terima kasih, Pak," jawabku sungkan.

"Jadi gini Mas Gama, sebetulnya saya membutuhkan sopir untuk putri saya yang bernama Celine, dia memang sudah lebih dari 19 tahun, tapi saya tidak mengizinkannya mengendarai mobil sendiri sebab beberapa tahun yang lalu dia pernah membuat masalah ketika berkendara, saya juga khawatir sebab dia sangat liar, jadi pekerjaan Mas Gama adalah menyopiri dan menjaganya__"

"Mas, aku pergi dulu ya."

Suara Pak Dirgantara seakan tak lagi terdengar saat tiba-tiba saja seorang wanita cantik menghampiri. Meskipun tak pernah bertemu, tetapi aku merasa dia sangat tidak asing. Pun wanita itu, sepersekian detik dia terdiam saat menatapku, seakan-akan dia sangat terkejut. Entah mengapa, sorot matanya sangat familier sekali bagiku.

"Matanya, bibirnya, kenapa mirip sekali dengan Rengganis," bisikku dalam hati.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status