Share

Senyuman Bu Diana

"Mas Gama!"

Aku tersentak setelah Pak Dirgantara sedikit meninggikan suara sembari menatap wajahku. Pun wanita itu, dia tak bersikap seperti tadi. Sebaliknya, dia justru tersenyum manis dan bergelayut manja pada bahu pria di hadapan.

"Sayang, aku pergi dulu, ya," katanya dengan senyum manis.

Sebuah senyuman yang mengingatkanku pada almarhumah Rengganis. Entah, aku pun tak mengerti kenapa. Padahal, wajah mereka sangat berbeda, akan tetapi sekilas terlihat sangat mirip. Namun, aku segera menepis pikiran itu, mungkin saja semua hanya ilusi karena aku sangat merindukannya.

"Iya, kamu duluan ya, nanti aku nyusul," jawab Pak Dirgantara dengan mata berbinar.

"Sampai ketemu di kantor sayang," katanya, wanita yang mengenakan blazer dan rok span pendek itu pun mencium pipi Pak dirgantara.

Oh Tuhan, maafkan aku yang selalu merasa Rengganis masih di sini. Bukan, sama sekali bukan tak menerima takdir, tetapi aku hanya tak menyangka kini telah menjadi seorang duda.

"Maaf, tadi itu calon istri saya," ujarnya setelah wanita itu pergi.

"Oh, iya, tidak apa-apa, Pak," jawabku sungkan. Melihat kemesraannya, aku pikir wanita tadi adalah istri, tetapi rupanya baru calon.

"Oh ya, Celine kuliah di Universitas Cipta Bangsa, sebentar lagi dia berangkat, kalau dia bersikap tidak baik, tidak perlu dipikirkan. Saya capek karena dia selalu bersikap nakal padahal sudah bukan anak kecil lagi," jelas Pak Dirgantara.

"Mohon maaf, Pak, jika saya lancang, bukankah Bapak tahu bahwa saya mantan narapidana, tetapi kenapa Bapak menerima saya untuk melindungi putri Pak Dirgantara?"

Sebuah pertanyaan yang sejak kemarin bergelayut di kepala, tetapi baru bisa ku tanyakan saat berhadapan langsung.

"Sejak saya melihat CV dan melakukan wawancara, saya yakin kamu orang baik," jawabnya dengan senyum mantap.

Aku pun mengangguk, jauh dalam hati sangat terharu dengan kebijakan hati Pak Dirgantara. Aku penasaran senakal apa anak gadisnya? Rasa-rasanya pria berwibawa dan bersahaja seperti Pak Dirgantara ini tak mungkin gagal dalam mendidik anak.

"Baik, Pak, kalau begitu saya akan menjalani pekerjaan ini sebaik mungkin," anggukku.

"Kalau begitu ini kunci mobilnya, hari ini juga kamu sudah boleh kerja."

"Terima kasih, Pak, karena telah memberikan saya kepercayaan," kataku kemudian menyalami tangan Pak Dirgantara.

Perihal hak dan kewajiban bekerja, sudah kami bicarakan dalam wawancara daring. Selain menjadi sopir, aku juga ditugaskan untuk menjaga Celine dari pergaulan yang tidak baik, sehingga Pak Dirgantara menjanjikan gaji yang sangat pantas untukku.

***

Aku sudah duduk sembari memanaskan mesin mobil saat seseorang masuk dan menghentakkan pintu.

"Jalan!" titahnya dengan suara penuh penekanan.

"Iya, Non__"

Mataku melebar saat melihat siapa yang duduk, rupanya dia si anak gila yang hampir membuat Rengganis celaka waktu itu.

"Kamu!" Aku terkesiap, meski sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi aku masih ingat wajah sombongnya.

"Ternyata sejauh apapun melangkah, Tuhan akan mempertemukan kita karena kamu belum meminta maaf, Nona." Aku berceletuk sinis.

"Bentar ...." Gadis itu menatapku seperti tengah mengingat sesuatu, " Oh, Lo 'kan cowok alay yang mesra-mesraan di jalan itu?" tuduhnya dengan ekspresi wajah jijik, aku sangat yakin dia ingat semua kejadian waktu itu.

Beberapa tahun lalu saat aku masih berpacaran dengan almarhumah istri, aku yang tengah mengajari Rengganis naik motor sempat tertabrak oleh mobilnya yang membuat tangan kiri Rengganis patah. Aku sempat beradu mulut dengan anak SMA itu, tetapi alih-alih meminta maaf, dia justru kabur setelah mengucapkan kata-kata kotor.

"Pantas Pak Dirgantara nggak bolehin kamu bawa mobil lagi, manusia seperti kamu kalau dibiarin bisa bunuh ratusan orang," celetuk ku dengan perasaan kesal.

"Enak aja, waktu itu lo yang salah, bukan gue!" elaknya.

"Tapi kalau kamu mau meminta maaf, saya masih bisa memaafkan, kok," kataku berusaha memberi penawaran.

"Ogah, lagian kejadiannya udah lama, yang paling penting gue nggak salah!" tolaknya dengan wajah judes, gadis itu juga mengerlingkan mata dan menyilangkan tangan di dada.

Aku menatap matanya sekilas, anak ini ternyata memang sangat sombong dan liar, tak heran banyak sopir dan asisten rumah tangga yang malas dengannya.

"Ayok jalan, gue buru-buru."

Aku melajukan kendaraan tanpa membahas apapun.

"Berhenti di sini!" pintanya saat kami sudah setengah perjalanan.

"Tapi ini belum sampai!"

"Gue bilang berhenti ya berhenti!" sungut Celine dengan tatapan judes.

Meskipun dia adalah majikan, tetapi bos ku yaitu Pak Dirgantara, menjaganya adalah pekerjaan, sehingga aku tak ingin menuruti permintaan anak nakal ini.

"Nggak, saya harus antar kamu ke kampus!" tegasku.

"Om, gue bilang berhenti di sini, lo budek, ya!" Celine semakin marah ketika mobil terus melaju.

"Om?"

Aku terkejut mendengar sapaannya. Usiaku baru dua puluh tujuh tahun, rasanya masih cocok dipanggil Mas, atau bahkan Pak agar sedikit berwibawa meski hanya sekadar sopir.

"Buruan berhenti, atau gue loncat!" ancamnya kemudian.

Mendengar kalimat itu, aku hanya tertawa sinis. Generasi sekarang memang sangat lebay, keinginan tak terpenuhi saja ingin bunuh diri. Akan tetapi, sedikit banyaknya aku sudah mendapatkan wejangan terkait karakter anak manja ini, sehingga aku tak ingin peduli dengan ancamannya.

"Ini bukan tujuan kita!" jawabku singkat, tak ada niat sedikitpun untuk berhenti di tengah jalan.

Celine menatapku dengan tajam. "Lo cuma sopir, nggak berhak atur gue!" teriaknya.

"Ya, tapi memastikan kamu sampai di kampus dengan selamat adalah tanggungjawab saya!" tegasku.

"Lo berani sama gue, ya!"

"Saya diberi amanah untuk menjalankan tugas ini," jawabku sembari fokus menyetir. Entah apakah aku kuat menghadapi anak ini atau tidak, baru beberapa jam kerja saja rasanya sudah penat kepala.

Gadis berwajah cantik itu murung lantaran keinginannya tak terpenuhi. Biarkan saja, mungkin dia bisa melakukan apapun pada sopir yang dulu, tetapi dia tak bisa melawan ku sebab aku hanya akan mematuhi Pak Dirgantara. Aneh, berstatus mahasiswa yang hanya tinggal belajar saja sering bolos, padahal dulu aku sampai harus membagi waktu dengan pekerjaan hanya untuk mendapatkan gelar sarjana.

"Sudah sampai, turun di sini saja," pinta Celine saat mobil berada di gerbang kampus.

"Nggak Non, saya harus pastikan Non Celine masuk kelas, sebab Pak Dirgantara memerintahkan demikian!" tegasku lagi, meskipun kesal aku harus berusaha sopan.

"Hah? Papa nyuruh lo begitu? Iiishh."

Celine mengerutu, mungkin anak itu kesal karena hari ini tak bisa bolos seperti biasanya.

"Ya," jawabku singkat.

Wajahnya semakin ditekuk, anak manja itu memang sangat cantik, dengan kulit putih dan rambut panjang sepundak membuatnya terlihat manis, terlebih gayanya yang trendi. Namun, sayangnya dia benar-benar sombong.

"Wah Celine, lo sama siapa?" tanya seorang mahasiswi lain saat kami baru saja turun dari mobil.

"Sama sopir gue, kenapa?" jawab Celine nyolot.

"Oh, gue kira sama cowok lo," sahut mereka lagi.

Mataku membulat, sementara Celine hanya mengangkat sebelah bibir, dia benar-benar terlihat judes. Kemudian aku memilih pamit dan menunggunya di luar kampus. Meskipun aku seorang duda, tetapi orang bilang wajahku masih cocok menjadi mahasiswa.

"Kalau begitu saya permisi," ucapku.

"Hemm," jawabnya ketus, gadis itupun berlalu meninggalkanku dan juga temannya.

Sembari menunggu, aku berjalan ke kantin dan memesan kopi serta makanan ringan, melihat para mahasiswa wira-wiri mengingatkanku pada masa kuliah dulu, masa di mana aku mengenal Rengganis dan jatuh cinta padanya.

Drttt .... drtttt....

Ponselku tiba-tiba berdering, rupanya Pak Dirgantara menelpon.

"Halo, Pak," sapaku setelah panggilan tersambung.

"Gama, kamu sudah mengantar Celine?" tanyanya.

"Sudah, Pak, ini saya menunggu di kampus sampai Non Celine selesai perkuliahan," jawabku.

"Oh, syukurlah kalau dia tidak bolos kelas, kalau begitu, saya minta tolong sebentar bisa?"

"Minta tolong apa, Pak?"

"Ada beberapa berkas yang tertinggal di meja kerja, saya sudah telpon Kokom, kamu tolong ambilkan dan bawa ke kantor saya, nanti saya kirim alamatnya."

"Oh, baik, Pak."

Setelah panggilan terputus, aku segera meneguk kopi dan membayar, aku yakin Celine sudah masuk kelas dan dia tak akan kabur.

***

"Ini Mas ganteng berkas Tuan."

"Terima kasih, Mbak Kokom."

"Aihhh, jangan panggil Mbak dong," tolaknya dengan wajah genit.

"Oh iya, Teh." Aku meralat.

"Ih, jangan Teteh juga, panggil aja Neng Kokom," pintanya manja.

Aku hanya tersenyum geli melihat sikapnya, meskipun begitu dia terlihat sangat lucu.

"Iya, Kokom, kalau begitu saya pergi dulu, Pak Dirgantara butuh berkas secepatnya," ucapku kemudian memasuki mobil dan berlalu.

Sesampainya di perusahaan Pak Dirgantara, aku dipersilakan ke ruangannya. Jam kerja tengah berlangsung sehingga lift yang kunaiki sangat sepi. Saat berhenti di lantai dua, aku terkejut melihat calon istri Pak Dirgantara masuk dan tersenyum.

"Kamu sopir baru Celine, ya?" tanyanya.

"Iya, Bu," jawabku segan.

"Oh, perkenalkan, nama saya Diana," katanya dengan menjulurkan tangan. Sungguh, aku sangat terkejut melihat keramahtamahan nya.

"Iya, Bu, saya Gama," jawabku.

Bu Diana tak lagi mengatakan apapun, dia hanya tersenyum lalu memalingkan pandangan kearah lain, dan sialnya senyuman itu membuat dadaku berdebar hebat. Entah, aku selalu merasa ada diri Rengganis pada senyuman itu.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status