Share

Rahasia Dibalik Perginya Istriku
Rahasia Dibalik Perginya Istriku
Author: Yulistriani

Misteri Kematian Istriku

"Mas, gimana keadaan kamu?" tanya Rengganis.

Istriku yang tengah berbadan dua nampak sendu. Di balik wajah itu, aku yakin dia tengah menyimpan kesedihan yang mendalam.

"Aku baik-baik aja, kamu gimana kabarnya?"

"Aku baik, Mas, anak kita juga sekarang tumbuh semakin sehat," katanya.

Aku tersenyum penuh syukur, meskipun saat ini tengah berada di penjara lantaran menjalani hukuman, tetapi aku bahagia melihat istri dan calon anakku sehat.

"Maafkan aku ya, Nis, nggak bisa jadi suami yang baik, nggak bisa selalu ada untuk kamu dan anak kita."

Aku merasa bersalah. Dipegangnya erat tangan belahan jiwa yang kini mulai terasa kasar. Setelah kepergianku, sepertinya dia sangat kelelahan dan harus bekerja keras.

Setetes bulir bening hendak jatuh dari pelupuk mata, tetapi aku tahan semuanya di hadapan Rengganis. Sudah hampir empat bulan aku terkurung di jeruji besi. Selama itu pula aku meninggalkan istri dan calon anakku yang saat ini lima bulan di kandungan.

"Nggak apa-apa, Mas, aku yang minta maaf, andai saja waktu itu aku__"

"Enggak, kamu nggak salah apapun dan jangan lagi mengatakan apapun, satu hal yang aku minta, tetap sabar dan kuat ya, demi anak kita."

Pandangan kami beradu, ujian kali ini benar-benar membuat dadaku sesak. Air mata Rengganis seketika mengalir, hamil tanpa suami di sisi pasti sangat berat untuknya. Aku juga melihat raut sesal yang terpancar dari matanya.

"Aku janji akan kuat sampai kamu bebas, dan kita akan kembali bersama dengan anak kita," katanya seraya mengelus perut yang semakin membuncit.

Mendengar kata itu, seakan-akan aku mendapatkan amunisi untuk bangkit, berusaha melewati semua ini dengan penuh harapan, lima tahun memanglah bukan waktu yang sebentar, tetapi bukan juga waktu yang lama jika dijalani dengan ikhlas.

"Terima kasih, ya."

"Oh ya, Mas, tanah warisan almarhum bapak itu kita jual saja, ya," usulnya setelah banyak hal yang kita bahas.

Aku terdiam sejenak, sebelumnya sudah janji pada bapak untuk tidak menjual tanah itu, tetapi melihat kondisi istriku yang harus berjuang hidup sendiri, rasanya hati ini tak tega, aku merasa seperti seorang suami yang tidak bertanggungjawab.

"Iya, kebetulan sertifikatnya ada di rumah ibu, silakan kamu bicarakan dengan Ibu, ya. Lagian aku nggak mau kamu terlalu capek, kalau sudah laku, simpan uang itu untuk biaya lahiran dan biaya hidup kamu serta anak kita, ya."

"Iya, Mas," angguknya.

"Kamu harus makan yang banyak, badan kamu sekarang kurus, aku nggak mau kamu sakit," pintaku.

Rengganis mengangguk, bukannya tambah berisi saat hamil, tubuh istriku itu justru semakin kurus.

"Iya, Mas, trimester pertama kemarin aku mual parah, bahkan sempat dirawat karena selalu muntah, mungkin itu yang buatku semakin kurus."

Jantungku seakan-akan teremas hebat, tak tega sekali membayangkan dia harus merasakan semua kesakitan tanpa aku di sampingnya. Bagiku, Rengganis adalah istri yang sangat hebat, aku berjanji setelah keluar nanti tak akan pernah menyia-nyiakannya, aku janji akan membahagiakannya.

"Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Mas, mungkin besok-besok aku akan jarang datang."

"Nggak apa-apa sayang, aku mengerti, yang penting kamu jaga kesehatan, sekali lagi maaf karena nggak bisa ada di samping kamu seperti janjiku."

Setelah berpelukan, Rengganis pun pergi, padahal rasanya masih sangat rindu, akan tetapi jam besuk pun sudah habis. Kini, aku kembali ke balik jeruji besi. Hidup dalam kehampaan dan kebimbangan, jika bukan karena istri, calon anak serta ibuku, pastilah sudah putus asa menghadapi kehidupan.

"Dibawain apa lo sama istri?" tanya Ferdi setelah aku kembali ke sel.

Dia adalah teman baruku di penjara, dia yang selama ini baik di tengah-tengah orang lain yang menganggu, dia dihukum karena tak sengaja membunuh majikannya dalam sebuah kecelakaan, dia dinyatakan lalai sebab berkendara dengan memainkan ponsel.

"Makanan, mau?" tanyaku.

"Mau dong, enak ya kalau punya istri, ada yang jenguk, ada harapan juga setelah keluar nanti," katanya dengan tatapan menerawang.

"Lo juga, siapa tahu setelah keluar nanti lo dapat jodoh," balasku.

"Nggak yakin gue, siapa yang mau sama mantan narapidana begini," jawabnya.

"Jangan putus asa, jodoh sudah ada garisnya, yang penting setelah keluar nanti kita akan berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi," kataku.

"Gue berharap, suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi, syukur-syukur setelah jadi orang sukses," guraunya sambil tertawa.

"Aamiin," jawabku yang juga tertawa karena untuk saat ini kata sukses hanyalah angan-angan semata.

***

Hari terus berlalu, berbulan-bulan tinggal dipenjara mengajarkanku betapa mahalnya kebebasan. Namun, di sini aku banyak belajar tentang macam-macam sifat manusia. Di sini, tak semua yang menjadi temanku benar-benar bersalah, ada beberapa dari mereka yang terkurung karena korban orang berpunya, ada juga dari mereka yang rela menyatakan diri bersalah demi keselamatan orang yang dicintainya, termasuk aku.

"Gama, ada yang menjengukmu."

Aku bergegas bangkit begitu polisi jaga membuka gembok, aku yakin yang datang adalah Rengganis.

Saat kaki melangkah, aku sangat bahagia. Benar saja, yang datang adalah istriku, kali ini tubuhnya sudah berisi, perutnya sudah sangat besar karena tinggal beberapa minggu lagi dia akan melahirkan buah cinta kami.

"Nis, gimana kab__"

Wajah ceria ku seketika sirna melihatnya datang sembari menangis tersedu.

"Ada apa?" tanyaku dengan kening mengerut.

"Mas, ibu__"

Kalimatnya terpotong, istriku tak melanjutkan ucapan, dia hanya menyeka air mata yang terus menerus keluar, membuatku bingung dan khawatir.

"Ibu, kenapa?" tanyaku penasaran.

Bukannya menjawab, dia justru menatap mataku dengan tatapan yang membuat hatiku tak menentu.

"Kamu ikhlas ya, Mas," katanya dengan menggenggam tanganku.

Jantungku berdetak semakin tak beraturan, terakhir kali mendapatkan kabar, ibuku sakit parah begitu tahu aku dipenjara, tetapi aku yakin Rengganis mengurusnya dengan sangat baik, lagipula dia bilang bulan lalu ibu sudah semakin sehat. Namun, melihat raut wajahnya kali ini, hatiku benar-benar tak karuan.

"Apa yang kamu bicarakan, Nis?" tanyaku, masih berusaha berpikir positif meskipun firasat sudah buruk.

"Ibu sudah nggak ada, Mas."

Bagai tertimpa reruntuhan, hatiku hancur seketika. Aku terdiam untuk beberapa saat, mencoba mencerna apakah semua ini nyata atau sekadar mimpi buruk semata. Namun, saat Rengganis menyentuh tangan, aku disadarkan bahwa semua memang nyata.

"Ibu ... Innalillahi wainnailaihi rraji'un."

Aku berucap lirih, rasanya tak percaya dengan kabar yang kuterima. Ingin rasanya aku melihat ibu untuk terakhir kali, tetapi karena kurang persyaratan, aku tidak mendapatkan hak izin luar biasa untuk menghadiri pemakaman ibu.

Sungguh, inilah hal yang paling menyakitkan dalam hidupku. Selama ini belum bisa membahagiakannya, di masa terakhir hidupnya, aku justru berada di penjara yang membuatnya semakin terluka. Sungguh, aku benar-benar merasa menjadi anak tak berguna.

"Maafkan aku, Bu, maafkan aku."

***

Lima tahun berlalu, sejak hari itu Rengganis sudah tak pernah mengunjungiku. Awalnya aku merasa frustrasi. Merasa ditinggalkan istri, ibuku juga sudah pergi.

Akan tetapi aku mengerti, Rengganis pasti tengah sibuk dengan anakku yang kini sudah semakin besar. Setelah bebas nanti, aku akan menghabiskan waktu dengan mereka dan sering berziarah ke makam ibu.

"Selamat ya Gama, InsyaAllah sebulan lagi gue nyusul," ujar Ferdi.

Kami berpelukan sebelum aku benar-benar keluar dari penjara. Meski tak ada yang menjemput, tetapi tak mengurangi rasa bahagiaku karena bisa kembali menghirup udara segar.

"Rengganis, aku kembali, anakku, Papa datang, Nak," ucapku sembari menatap langit yang cerah, secerah harapanku selepas badai berlalu.

Air mata jatuh saking senangnya membayangkan orang yang kucintai. Rasanya sudah sangat rindu dengan Rengganis, aku juga rindu dan penasaran bagaimana rupa anakku. Selama ini, aku hanya melihatnya dari foto, itupun saat dia masih bayi. Sungguh, membayangkannya saja membuatku tak sabar untuk bertemu.

Di perjalanan pulang, tak hentinya tersenyum, angkot yang kunaiki terasa lambat lantaran rasa rindu yang menggebu dalam kalbu.

"Kiri, Pak."

Aku langsung turun dan membayar ongkos, semasa di rutan, aku memiliki sedikit tabungan hasil dari prakarya yang terjual.

"Ini kembaliannya, Mas," kata sopir angkot.

Setelah menerima uang itu, aku setengah berlari menghampiri pagar rumah ibu mertua. Sebelumnya kami tinggal di kontrakan, tetapi setelah aku dipenjara Rengganis bilang akan tinggal dengan ibunya.

Niatnya kami akan membangun rumah di tanah warisan bapakku, tetapi semuanya sirna lantaran musibah yang menyebabkanku masuk penjara.

"Assalamu'alaikum, Bu, Rengganis," teriakku seraya mengadukan gembok pagar yang terkunci.

"Rengganis, aku pulang." Sekali lagi kuulang, tetapi nampaknya rumah sedang sepi.

Tak lama kemudian terdengar suara sepeda motor berhenti, bibirku tersenyum lebar saat menyadari yang baru saja turun dari ojek adalah ibu mertuaku.

"Gama," lirihnya. Namun, wajah ibu mertuaku itu terlihat gamang.

"Iya Bu, ini Gama, Rengganis mana? Anakku mana, Bu?" tanyaku antusias, tak sabar ingin bertemu mereka.

Bukannya menjawab, ibu mertuaku hanya diam, sorot matanya menyiratkan kesedihan, membuatku mengerutkan dahi lantaran tak mengerti.

"Bu, di mana Rengganis, di mana Arka?" tanyaku lagi, kali ini suaraku sedikit meninggi lantaran tak sabar.

"Mereka sudah nggak di sini, Gama," jawabnya dengan suara parau.

"Maksudnya, mereka pindah?" tanyaku tak mengerti.

"Iya," angguknya.

"Antar aku, Bu, aku kangen banget sama mereka," pintaku tak sabar.

"Ya sudah, ayo ikut Ibu," ajaknya.

Dengan perasaan senang aku berjalan mengikutinya. Namun, aku terkejut saat langkah kaki tiba-tiba saja berhenti di sebuah pemakaman umum.

"Kita mau ke mana, Bu?" Meskipun merasa aneh, tetapi aku terus mengikuti langkah ibu mertua.

"Ini, rumah Rengganis dan anakmu yang baru, Gama," katanya seraya menunjukkan gundukan tanah merah.

Bagai tersambar petir di siang bolong, kakiku terasa lemas melihat papan nisan bertuliskan Rengganis Ayu Sapitri dan Arka Abimana, tubuhku tiba-tiba terasa lemas, napasku seakan-akan tertahan di kerongkongan.

"Rengganis dan anakmu meninggal karena musibah kebakaran lebih dari tiga tahun lalu, Gama. Saat itu Arka masih bayi, mereka dikuburkan bersama," ujar Ibu mertua sambil menahan tangis.

Aku yang merasa lemas lantas ambruk, pantas saja dia tak pernah datang menjenguku. Namun, tiba-tiba aku teringat akan sesuatu.

"Tiga tahun lalu, Bu, terus yang mengirimi ku surat terakhir kali siapa?" tanyaku penasaran. Sebab, satu tahun lalu aku mendapatkan surat dari Rengganis yang membuatku kuat dan tetap semangat menjalani kehidupan di penjara.

"Ibu, maafkan Ibu Gama, Ibu sengaja melakukannya biar kamu nggak begitu terpuruk selama di penjara, Ibu tahu kamu sedih setelah kematian Ibu kandung kamu, Ibu nggak mau kamu semakin putus asa karena kematian istri dan anak kamu," jelasnya sambil terisak.

Aku mengangguk, alasan mertuaku sangat masuk akal, dia pasti mengkhawatirkanku.

"Kalau begitu Ibu pulang duluan, kalau masih mau di sini silakan, kalau mau pulang ke rumah juga pintu akan selalu terbuka, sabar ya Gama," kata Ibu mertua seraya mengelus pundak.

Lama aku menangis di pusara anak dan istri. Aku merasa Tuhan tak adil, kenapa Dia harus mengambil ketiga orang yang kusayang, tetapi aku sadar bahwa semua adalah bagian dari takdir.

Setelah puas mencurahkan isi hati pada istri dan anak, aku pun bangkit. Meski sulit tetapi hidup terus berlanjut, aku tak boleh menyerah, sebab aku yakin Rengganis akan sedih jika melihat aku lemah.

"Sayang, aku pergi dulu, ya. Arka, Papa pulang dulu, ya," kataku, kemudian bangkit, rasanya kaki ini berat meninggalkan makam mereka, belum lagi setelah ini aku harus ke makan ibu. Sungguh, rindu yang sangat menyiksa adalah rindu pada mereka yang sudah berbeda alam.

Dengan langkah gontai aku berjalan. Namun, saat baru saja keluar dari gapura pemakaman yang berada di pinggir jalan, seketika saja mataku seperti menangkap sosok yang ku kenal di dalam sebuah mobil yang melintas.

"Rengganis," bisikku lirih seraya memicingkan mata agar pandangan jelas.

"Ya, itu bukannya Rengganis?"

Aku membatin dengan pandangan yang terus tertuju pada sosok wanita di mobil mewah itu.

Bersambung.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status