Suara hingar bingar musik yang memekakkan telinga tak membuat sesosok gadis cantik dengan pakaian serba hitam yang melekat di tubuhnya merasa terganggu. Ia melangkah layaknya model Victoria's Secret dengan rambut pirang palsunya dan bibir terpoles lipstik berwarna merah marun.
Langkah kakinya yang begitu elegan dan percaya diri membawanya menuju ke bar yang sudah diisi oleh beberapa pengunjung salah satu klub malam di Portland. Ia memesan cocktail dengan wajah bosan, lalu duduk menunggu tanpa mempedulikan banyaknya pasang mata yang memperhatikannya."Ada target baru?" tanya seorang bartender berambut coklat sambil menyerahkan pesanan gadis itu.Gadis itu hanya tersenyum miring, sama sekali tak berniat untuk menjawab. Dengan santai ia menyesap sedikit minuman itu. Jemari kirinya mengetuk-ngetuk meja bar dengan irama teratur, seolah-olah sedang menghitung sesuatu.Saat ketukan jarinya sudah sampai pada hitungan ke sepuluh, suara beberapa wanita terdengar berisik mendekatinya. Ia kembali tersenyum miring, terlihat puas dengan prediksinya yang belum pernah meleset hingga saat ini."Oh, lihatlah gadis culun ini. Benar-benar tak tahu malu." Melanie, gadis berambut pirang yang terlihat seperti Queen Bee di sekolah SMA, menatapnya dengan sinis. "Jal*ng sepertimu benar-benar tuli, hah? Sudah kubilang untuk menjauhi Albert, tapi kau malah dengan gatalnya masih saja datang ke sini.""Benar-benar menyedihkan. Dia benar-benar ingin menantangmu, Mel. Hajar saja dia seperti tadi siang. Siapa tahu otaknya yang geser karena pukulanmu tadi bisa kembali ke tempatnya semula," sahut teman Melanie yang berambut coklat. Mereka lalu tertawa terbahak-bahak, seolah-olah perkataan itu terdengar lucu.Gadis itu tetap menikmati minumannya dengan santai, seolah-olah mereka tidak ada di sana. Hal itu membuat Melanie geram bukan main. Dengan kasar, Melanie langsung menarik rambut gadis itu, membuat kepalanya mendongak."Berani-beraninya kau mengabaikanku setelah menangis seperti pecundang tadi siang, hah? Kalau bukan karena Albert, kau pasti sudah mati!" teriak Melanie dengan wajah memerah. Terlihat jelas bahwa dia benar-benar marah.Gadis itu hanya menaikkan sebelah alisnya, lalu mendengus sinis. "Sudah?"Teman-teman Melanie terkesiap dengan mulut terbuka lebar melihat respon gadis itu. Tak menyangka sikapnya berubah total dan sangat jauh berbeda dengan tadi siang di belakang kampus ketika mereka merundungnya.Melanie yang sudah akan meledak, menampar pipi gadis itu dengan sekuat tenaga. "Dasar pel*cur! Rasakan ini! Kau tidak akan mampu untuk mengalahkan aku. Takkan ada lagi orang yang akan menghentikanku sekarang."Sebelum tangan Melanie kembali menyentuh pipi gadis itu untuk yang kedua kalinya, sebelah tangan Melanie ditangkap dan dicengkeram dengan sangat kuat, hingga gadis itu berteriak kesakitan. Tak ada yang berani menolongnya ketika gadis yang ditamparnya itu menatapnya dengan sorot mata dingin."Aku sedang tidak ingin membuang-buang waktuku yang berharga untuk sampah sepertimu, gadis bodoh." Tangannya semakin kuat mencengkeram tangan kiri Melanie, hingga terdengar bunyi sesuatu yang patah.Teman-teman Melanie langsung shock melihat pemandangan itu. Tak menyangka bahwa gadis yang mereka bully tadi siang hanya karena didekati oleh Albert, kekasih Melanie, bisa mematahkan pergelangan tangan Melanie dengan begitu mudah. Sangat berbeda jauh dengan reaksi gadis itu tadi siang yang hanya bisa menggigil ketakutan dan menangis."Ngomong-ngomong, aku Rose," bisik gadis bernama Rose itu di telinga Melanie, sehingga tak ada yang mendengar mereka. "Laporkan aku ke polisi jika kau berani. Tapi kau tidak akan pernah bisa bertemu dengan ibumu lagi untuk selamanya. Bukankah dia harus rajin cuci darah setiap minggunya?"Wajah Melanie langsung memucat, tak menyangka bahwa gadis di hadapannya mengetahui rahasia mengenai ibunya yang tak pernah ia ceritakan pada teman-teman satu gengnya, karena ia tidak ingin mereka menjauhinya. Selama ini Melanie selalu sesumbar bahwa ia adalah anak orang kaya dengan orangtua yang ditakuti oleh siapapun.Rose menyeringai senang. "Kaget? Memang sudah seharusnya. Jadi, kau tidak keberatan untuk berpura-pura tidak mengenalku ketika di kampus, kan? Aku sangat mengerikan ketika sedang marah. Mematahkan tanganmu hanyalah iseng, jadi kau masih beruntung kali ini."Setelah membisikkan kata-kata itu, Rose menegakkan punggungnya sambil memilin ujung rambut palsunya dengan centil. "Senang sekali bisa bertemu denganmu di sini, Mel. Kita bisa menjadi sahabat yang baik. Bukankah itu menyenangkan?"Melanie yang sudah ketakutan setengah mati karena ancaman itu, langsung berdiri dengan susah payah begitu mendengar gaya bicara Rose yang tiba-tiba berubah lagi. Mulutnya membuka dan menutup, matanya melotot takut, dan ia tiba-tiba berlari sambil menjerit ketakutan meninggalkan teman-temannya yang masih bengong."Melanie!"Gadis berambut pirang itu langsung berhenti dengan tubuh gemetaran. Rose tertawa geli sambil mendekati Melanie yang berdiri seperti patung. Sebelah tangannya membelai pipi gadis itu dari belakang, membuat Melanie semakin membeku."Kusarankan untuk memindahkan 'barang' favoritmu ke tempat yang lebih aman. Di bawah kolong tempat tidur bukanlah tempat yang strategis untuk menyembunyikan kokain, bukan? Bilang pada adikmu untuk mengganti tempat transaksinya. Aku tidak mau melihat keluargamu harus tercerai berai karena itu."Wajah Melanie semakin pucat. Gadis itu meneguk ludah dengan susah payah, lalu mengangguk-angguk dengan cepat."Gadis yang pintar," gumam Rose dengan senyum miring. "Enyahlah dari hadapanku. Jangan sampai kita bertemu lagi."Melanie langsung berlari secepat mungkin menuju ke pintu keluar, diikuti oleh kedua temannya yang masih kebingungan. Beberapa orang yang tadi sempat memperhatikan mereka, kini kembali ke aktivitas masing-masing. Mereka tak mau ikut campur dengan masalah orang lain.Setelah mereka semua pergi, Rose kembali ke meja bar untuk menyesap minumannya. Bartender yang sejak tadi memperhatikan mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya."Sepupumu lagi yang akan membereskan kekacauan ini?" tanya lelaki itu.Rose mengedikkan bahunya tak acuh. "Kau pasti sudah hafal, Brad.""Berapa orang lagi yang harus kau bereskan?" tanya Brad sambil mengamati sekeliling ruangan yang sudah mulai penuh sesak."Satu. Aku sedang tidak berselera hari ini," jawabnya sambil mengamati kuku-kukunya yang cantik."Arah jam 1. Dia sedang bersama teman-temannya," gumam Brad sambil melayani pelanggan lain.Rose menghela nafas bosan. Ia benar-benar muak terus-terusan berada di posisi ini. Tapi ia terpaksa harus melakukannya, atau mereka tidak akan bertahan hidup selama ini."Kapan aku bisa bersenang-senang tanpa adanya gangguan?" gerutunya kesal."Dia sedang menuju ke toilet," kata Brad lagi tanpa mempedulikan gerutuan Rose.Rose menghela nafas panjang sekali lagi. "Aku benci kekerasan, kau tahu itu? Aku juga membencimu."Brad mengangkat tangannya dengan posisi hormat, sedangkan Rose mengibaskan rambut palsunya sebelum berdiri. Gadis itu melangkah dengan senyum menggoda dan lirikan mata nakal pada setiap mata yang memandangnya, sebelum melangkah menuju ke toilet.Ia melihat pria itu, Albert, sedang berdiri di depan kaca setelah mencuci tangannya di westafel. Bunyi pintu yang ditutup membuat pria itu mendongak. Kedua mata mereka saling bertemu melalui kaca."Claire!" seru Albert dengan mata berbinar. "Tak kusangka kau berada di tempat ini. Kau sengaja ingin menemuiku, kan?"Rose menggeleng dengan tangan bersedekap di depan dada. "Usaha yang bagus, tapi tebakanmu salah. Coba lagi."Albert mengernyitkan alisnya tak mengerti. "Apa maksudmu?""Kau tak pernah mendengar tentang tumor itu?" Rose mendekati Albert dengan perlahan, sengaja ingin menggoda pria itu. "Aku, dengan pakaian serba hitam, ekspresi menggoda."Pria itu terkesiap dengan mata melotot ketika menyadari pakaian yang dikenakan oleh gadis itu. Dengan cepat Albert berbalik, lalu merogoh saku belakangnya dan menodongkannya pada Rose."Jangan mendekat!"Rose menaikkan sebelah alisnya, lalu terkekeh geli. "Kenapa kau ketakutan, Albert? Bukankah terlalu berlebihan jika hanya menghadapiku saja kau harus menodongkan pistolmu?"Ia kembali mendekat, sementara Albert semakin gemetaran. "Kubilang jangan mendekat! Atau aku akan menembakmu!"Rose mendengus, sama sekali tak terusik. Namun tiba-tiba matanya terpejam selama sekian detik. Begitu membuka mata, tak ada lagi sorot centil dan menggoda di mata itu. Hanya ada sorot dingin dan tajam, membuat Albert membeku."Ka-kau... ""Sudahkah kubilang padamu bahwa aku sangat membenci siapapun yang menyentuh kulitku?" kata gadis itu dengan aksen yang aneh.Albert merasa tubuhnya tiba-tiba merinding. Dengan refleks pria itu mengusap tengkuknya. "Ro-Rose, aku tidak... Aku...""Aku sangat suka dengan orang berambut pirang, kau tahu?" Gadis itu menyeringai dengan pisau kecil di tangannya. "Dan aku sangat menyukai darah. Aku sudah tak sabar lagi untuk menjadikanmu sebagai objek lukisanku berikutnya."Tubuh pria itu bergetar hebat seperti daun kering tertiup angin yang bisa jatuh kapan saja dari dahan pohon. Kedua mata birunya melotot melihat gadis itu menyeringai seperti psikopat."Ka-kau psikopat! Ka-kau kerasukan! Menjauhlah dariku! Menjauhlah!"Gadis itu mendekati Albert dengan langkah tegas dan seringai menakutkan, membuat Albert mengeratkan pegangannya pada pistol di tangannya. "Aku sangat membenci pelaku pelecehan.""Berhenti! Berhenti!"DOR!!Rose melihat tangannya yang berlumuran darah. Hidungnya mengernyit jijik, namun ia memutar matanya bosan setelah itu. "Selalu merepotkan," gumamnya kesal. "Sudah kubilang aku begitu benci melihat darah. Kenapa sih, dia begitu menyebalkan dan bebal?" Ia melangkahi tubuh Albert yang sudah babak belur sambil memasang wajah jijik dengan sebelah alis terangkat. "Aku benci melihat semua ini."Ia membasuh kedua tangannya di westafel dengan terburu-buru, tak mau berlama-lama di tempat itu. Kedua matanya melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia berdecak kesal. "Aku benar-benar membenci warna rambut pirang. Wajah cantikku jadi terlihat seperti seorang j*lang."Diambilnya sedikit air untuk menghapus darah yang mengenai dahi dan pipinya sambil terus menggerutu. Ia jadi harus memperbaiki riasannya setelah ini. Setelah semuanya bersih, ia keluar dari toilet dengan tergesa-gesa. Pemandangan tadi benar-benar merusak moodnya. Langkah kakinya menggema di lorong kecil menuju ke pintu belakang klub. Ta
Seorang pria berusia 25 tahun tengah melihat deretan gedung bertingkat dari balik dinding kaca apartemennya di Northwest Park Avenue. Dinginnya musim gugur sama sekali tak membuatnya menggigil, meskipun saat ini ia tengah memakai t-shirt tipis berwarna abu-abu. Pandangannya beralih pada lantai kayu mengkilap di bawahnya, teringat kembali bagaimana perjuangannya bisa menyewa apartemen mewah di Distrik Pearl ini. Bekerja paruh waktu di sebuah restoran setelah pulang sekolah, menjadi operator kilang minyak setelah lulus SMA selama tiga tahun, dan yang terakhir menjadi staf operasional sebuah perusahaan software selama dua tahun.Semua itu dilakukannya bukan karena dia tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, melainkan karena ingin pergi jauh dari jangkauan ayahnya yang saat ini tinggal di Brooklyn, New York. Hidup seperti dua orang asing dalam satu rumah sama sekali bukan ide yang bagus untuknya, tak peduli seberapa banyaknya harta yang dimiliki oleh sang ayah. Nam
"Sudah kuduga kau juga akan terpesona padanya." Suara Leo mengalihkan perhatian Arsen pada gadis itu."Siapa dia?" tanya Arsen penasaran."Namanya Rose. Dia adalah mimpi basah setiap pria yang melihatnya. Tapi tak seorangpun dari pria itu yang pernah merasakan tubuhnya," jelas Leo dengan pandangan tak lepas dari Rose.Gadis itu duduk di depan meja bar dan meminum segelas tequila. Banyak pria yang berusaha mendekatinya, namun langsung mundur teratur begitu dihadiahi dengan tatapan tajam dari kedua mata indah itu."Dasar pria-pria bodoh! Apa mereka tak mengerti kalau Rose memakai baju serba hitam, itu artinya dia baru saja membuat perhitungan dengan seseorang?" gumam Leo setelah puas memperhatikan Rose.Arsen mengerutkan keningnya, merasa semakin penasaran. "Apa maksudmu?""Kau kemana saja, Sobat? Dia itu sudah terkenal di kalangan banyak pria. Kau tahu, dia pernah membuat koma beberapa laki-laki. Jadi jangan sampai kau berurusan dengannya, kalau tak ingin bernasib sama seperti m
Seminggu berlalu setelah pertemuannya dengan Rose, namun Arsen tetap tak bisa melupakan gadis itu. Hampir setiap malam ia rajin mengunjungi bar langganannya atau tempat-tempat yang pernah dikunjunginya bersama Rose, namun tak kunjung mendapati keberadaannya. Leo belum juga memberikan kabar padanya sampai saat ini, dan itu membuatnya gelisah. Gadis itu seakan-akan adalah hantu yang datang dan pergi sesuka hati. Ia sempat berdoa dalam hati, semoga dipertemukan dengan Rose dimana saja gadis itu berada. Namun doanya tak terkabulkan. Mungkin ia memiliki banyak dosa, sehingga Tuhan pun enggan untuk mengabulkan doanya. Semua orang yang mengenal Arsen terkejut dan heran dengan penampilannya yang berubah kacau dan putus asa. Padahal sebelumnya pria itu selalu tampil rapi dan menarik."Ternyata kau ada di sini. Sudah dari tadi aku mencarimu di tempat-tempat biasa, tapi kau malah mendekam di apartemenmu dengan kondisi yang menyedihkan," ucap Leo begitu menemukan Arsen yang tengah memandang ko
Claire baru saja keluar dari ruang ganti dan menaruh bajunya di loker khusus karyawan. Sudah enam bulan ia bekerja di restoran yang terletak tak jauh dari kampusnya ini, dan selama itu pula ia merasa betah bekerja di sini. Rekan-rekan kerjanya sangat ramah, begitu pula dengan manajernya. Apalagi suasana restoran begitu nyaman, dengan interior yang mayoritas terbuat dari kayu keras berkualitas tinggi. Setelah berdoa sejenak, ia bergegas menuju ke depan untuk melayani pengunjung restoran yang terus berdatangan."Claire," panggil Tuan Peterson, manajer di restoran ini."Ya, Tuan Peterson? Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya sambil mendekati pria berusia kira-kira 25 tahunan itu di samping ruang khusus staf."Layani pria yang ada di sana. Dia adalah pemilik restoran ini, jadi bersikaplah yang sopan padanya," perintah Tuan Peterson sambil menunjuk meja di bawah televisi layar datar, tepatnya di dekat jendela kaca yang menampilkan pepohonan yang daunnya sudah mulai memerah.Claire men
“Nona! Nona, hei jangan takut! Aku tak berniat jahat padamu, aku hanya ingin mengembalikan barangmu yang jatuh,” seru pria itu sambil menahan serangan tangan Claire.Suara pintu mobil dibanting dan langkah kaki berlari mendekati mereka tak didengar oleh Claire sama sekali, karena ia sibuk dengan ketakutannya sendiri.“Ada apa ini?” tanya pengemudi mobil itu.“Aku hanya ingin mengembalikan ponsel ini padanya, tapi gadis ini tiba-tiba saja lari ketakutan. Aku mengejarnya, dan dia justru semakin cepat berlari sampai aku kewalahan,” jawab pria berambut panjang itu sambil menyerahkan ponsel milik Claire.“Terima kasih. Lain kali potonglah rambutmu agar tidak membuat orang lain ketakutan ketika melihatmu. Kau boleh pergi.” Pengemudi itu menerima ponsel itu dan memegangi kedua lengan Claire.“Claire, hei! Ini aku, Arsen. Kau tak apa-apa? Jangan takut, kau aman,” kata pengemudi mobil yang ternyata adalah Arsen, setelah pria berambut panjang tadi benar-benar sudah menjauhi mereka.Claire
“Hah? Tidak, aku tidak punya saudara kembar. Aku punya adik, tapi wajahnya tidak mirip denganku. Kenapa?” tanya Claire sambil mengelap tangannya dan berbalik menghadap Arsen.“Eh? Umm...tidak, hanya saja...” Arsen berhenti sejenak, bingung harus mengatakan apa. “Aku...aku pernah melihat ada seseorang yang hampir mirip denganmu. Tidak. Bukan hampir, melainkan sangat mirip. Namanya Rose. Dia berasal dari Belanda. Apa kau benar-benar berasal dari Spanyol?” Claire mengangkat kedua alisnya. “Ya, aku memang berasal dari negara itu. Kau yakin Rose memiliki wajah yang sangat mirip denganku? Orang Belanda dan orang Spanyol jelas memiliki ciri fisik yang jauh berbeda. Dia seharusnya berwajah seperti orang-orang Amerika berkulit putih pada umumnya, kan?"Arsen terdiam, membenarkan perkataan gadis itu. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Oh, tentu saja. Dia terlalu fokus pada pesona Rose yang memabukkan. Sekarang Arsen bingung harus bertanya apa lagi, karena kebingungannya semakin bertamba
"Kau suka?" tanya Arsen begitu mereka sampai di tempat tujuan. "Suka sekali, Arsen. Tak kusangka ada tempat yang seindah ini," jawab Claire setengah berteriak saking kagumnya dengan tempat itu, Portland Japanese Garden. Claire langsung berlari ke tengah-tengah taman bernuansa Jepang itu dengan senyum merekah. Berbagai jenis tanaman bonsai dan pohon-pohon perdu membuat nuansa Jepangnya begitu terasa. Apalagi daun-daun dari setiap tanaman sudah mulai berubah ke dalam warna yang tak disangkanya begitu indah. Beberapa pohon masih berwarna hijau, namun banyak yang daunnya sudah berubah warna. Ada pohon yang keseluruhan daunnya berwarna merah marun, kuning, oranye, biru, bahkan ada bonsai yang hanya tinggal rantingnya saja dan berwarna ungu. "Ya Tuhan, tempat ini benar-benar seperti surga!" Claire menuju ke sebuah kolam yang dikelilingi oleh pohon dengan daun berwarna-warni. “Arsen, lihat ada air terjun mini! Hei, ada ikannnya juga! Astaga, tempat ini benar-benar membuatku merasa bah