Rose melihat tangannya yang berlumuran darah. Hidungnya mengernyit jijik, namun ia memutar matanya bosan setelah itu.
"Selalu merepotkan," gumamnya kesal. "Sudah kubilang aku begitu benci melihat darah. Kenapa sih, dia begitu menyebalkan dan bebal?"Ia melangkahi tubuh Albert yang sudah babak belur sambil memasang wajah jijik dengan sebelah alis terangkat. "Aku benci melihat semua ini."Ia membasuh kedua tangannya di westafel dengan terburu-buru, tak mau berlama-lama di tempat itu. Kedua matanya melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia berdecak kesal. "Aku benar-benar membenci warna rambut pirang. Wajah cantikku jadi terlihat seperti seorang j*lang."Diambilnya sedikit air untuk menghapus darah yang mengenai dahi dan pipinya sambil terus menggerutu. Ia jadi harus memperbaiki riasannya setelah ini. Setelah semuanya bersih, ia keluar dari toilet dengan tergesa-gesa. Pemandangan tadi benar-benar merusak moodnya.Langkah kakinya menggema di lorong kecil menuju ke pintu belakang klub. Tak ada satupun orang di sana, karena mereka semua masih asyik dengan aktivitas di lantai dansa. Tak ada yang tahu dengan "kegiatan" yang baru saja dia lakukan di toilet tadi. Suara musik yang memekakkan telinga meredam semua keributan yang mereka timbulkan.Begitu ia membuka pintu belakang klub, suara musik mendadak berhenti dan sirine polisi terdengar sangat kencang. Rose melepas rambut palsunya dan membuangnya ke tempat sampah. Baru beberapa langkah dari klub, pintu belakang kembali menjeblak terbuka dengan kasar."Dia hampir mati, Rose."Rose menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Seorang pria tampan dan gagah dibalut celana jeans navy dan t-shirt berwarna hitam menghampirinya. Rose menaikkan sebelah alisnya sambil bersedekap tak peduli."Lalu?""Ini sudah yang kelima kalinya. Lama-lama mereka akan curiga," jawab pria itu dengan kesal. "Beruntung ada 'barang' di saku depan celananya dan senjatanya illegal. Jadi Brad bisa dengan mudah meyakinkan mereka bahwa Albert baru saja berurusan dengan pengedar.""Kau tahu 'dia' semakin kuat, kan? Aku mulai kewalahan," jawab Rose santai sambil mengibaskan rambut aslinya yang berwarna brunette.Pria itu meremas rambutnya dengan gusar. "Kau harus mengendalikan semuanya, Rose. Hanya kau yang mampu mengendalikan 'dia'."Rose terkikik geli. "Carikan aku tempat yang baru kalau begitu."Pria itu menggeleng dengan tegas. "Tidak. Kau harus tetap berada di sini. Tinggallah di apartemenku. Kumohon."Rose mendekati pria itu dengan senyum menggoda. Jari-jemari kanannya membelai rahang tegas milik pria itu sambil menggigit bibir bawahnya. Pria lain sudah pasti akan langsung menarik gadis itu dan menyerangnya, namun tidak dengan pria berdarah Pakistan itu."Kalau begitu carikan aku pria tampan. Kau tahu aku tidak akan berada di tempat ini jika aku sibuk, bukan?" gumamnya dengan kerlingan nakal.Pria itu menghela nafas panjang. Sama sekali tidak merasa heran dengan sikap genit Rose."Oh, aku baru ingat. Temanmu benar-benar tampan dan menggairahkan. Setiap kali aku melihat sorot mata dingin itu, aku selalu ingin menerkamnya. Siapa namanya? Aku lupa.""Jangan dia, Rose.""Oh, namanya Arsen kan? Pria dingin yang digilai oleh banyak wanita." Rose menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum, membayangkan sosok pria yang selalu membuatnya penasaran."Tolong, jauhi Arsen. Dia bukan pria br*ngsek," mohon pria itu, namun sama sekali tidak digubris."Aku penasaran apakah dia akan tergila-gila padaku?""Rose, kumohon.""Diam dan amati saja, Leonard. Apakah pria itu akan takluk padaku, ataukah menolak pesonaku?" Rose berjinjit dan mendekatkan bibirnya pada telinga pria itu. "Bukankah menyenangkan jika dia bisa membuatku sibuk? Kau juga akan diuntungkan. Tak akan ada lagi Albert-Albert yang lain."Pria itu hanya bisa diam. Gadis itu benar. Ia tidak bisa jika harus terus-menerus membereskan kekacauan yang dibuat oleh Rose, sementara urusannya begitu banyak."Kau bisa mengawasiku untuk kali ini. Jangan khawatir. Dia tidak akan terluka," tukas gadis itu lalu menepuk dada Leonard dua kali, sebelum berlalu meninggalkan pria itu.Pria itu menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya. Haruskah ia percaya pada gadis itu? Terakhir kali Rose bersama dengan seorang pria, pria itu berakhir di rumah sakit. Albert adalah yang kesekian kalinya dan jauh lebih parah. Itupun karena lelaki itu hampir saja melecehkan tubuh gadis itu."Maafkan aku, Arsen. Aku janji tidak akan membiarkanmu berakhir sama dengan mereka," gumamnya kemudian, sebelum berbalik dan kembali masuk ke dalam klub untuk menyelesaikan urusannya.Ia harus segera ke tempat lain setelah ini. Jangan sampai Rose datang terlebih dulu, atau semuanya akan berantakan.***"Jadi pada akhirnya kau setuju dengan usulanku tadi?" tanya Rose sambil mengamati keadaan di depan mobil Leo. Tubuhnya bersandar dengan santai di kursi mobil sambil bersedekap. Kedua kakinya menyilang, seolah-olah ia sedang bersantai di sofa ruang tamu."Aku sangat menyayangi Claire," jawab Leonard, setelah memutuskan sambungan teleponnya dengan Arsen.Rose mendengus, lalu terkekeh. "Kau pikir temanmu itu akan tertarik padanya? Aku jauh lebih menarik dan menggoda.""Kau juga menyayangi Claire. Akui saja. Hanya kau yang selalu datang ketika dia berada dalam bahaya.""Hmm," gumam Rose malas. "Setidaknya kali ini aku yang akan mendekati pria tampan itu terlebih dulu.""Setelah kupikir-pikir lagi, Claire membutuhkan seseorang untuk menjaganya. Aku tidak mau dia terus-terusan mengalami penderitaan itu. Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan oleh Albert sehingga dia babak belur seperti itu?""Dia hampir memperkosa Claire."Leo mengumpat sambil memukul kemudi mobilnya. "Dia selalu mengundang bahaya dimanapun dia berada. Padahal dia selalu berpakaian sopan. Tidak sepertimu."Rose kembali mendengus. "Dia tidak bisa menjaga diri dan terlalu polos. Sedangkan aku bisa mengintimidasi siapapun. Tak ada yang berani mendekatiku bahkan jika aku hanya memakai bikini di tempat umum."Leo menghela nafas panjang. Merasa pusing dengan apa yang dialami oleh gadis yang sangat disayanginya itu. Seharusnya ia bisa menjaga gadis itu, namun akhir-akhir ini tugasnya semakin banyak. Harus ada seseorang yang menjaga Claire.Hampir setengah jam kemudian, sebuah mobil mewah keluaran Jerman melewati mereka dan parkir tidak jauh dari mobil Leo. Rose langsung bersiul menggoda ketika melihat seorang pria berambut hitam keluar dari mobil itu. Kepalanya bahkan sampai sedikit miring ketika pria itu, Arsen, berjalan di depan mobil Leo."Kupikir aku akan terbiasa dengan tingkahmu ini, Rose. Ya Tuhan, kenapa kau terlihat seperti seorang gadis mesum?" keluh Leo ketika Rose tidak mengalihkan perhatiannya pada bagian belakang tubuh Arsen."Benar-benar seksi. Dan tampan. Sangat maskulin dan menggairah... "" Rose, hentikan.""Tiba-tiba aku merasa bahwa dia adalah jodohku. Aku tidak akan pernah melepaskan yang satu ini," lanjut Rose sambil memegang handle pintu, bersiap untuk keluar dan mengejar pria itu.Leo buru-buru menahan lengan gadis itu, membuat Rose menatapnya kesal. "Apa?""Setidaknya gantilah jaketmu. Banyak noda darah di sana," saran Leo sambil menyerahkan sebuah jaket perempuan yang selalu dibawanya karena gadis itu sudah pasti akan membutuhkannya.Gadis itu menerimanya dengan berdecak sebal. Buru-buru mengganti jaketnya yang penuh dengan bercak darah."Biar aku yang menemuinya terlebih dulu, oke. Dan berpura-puralah untuk tidak mengenalku. Aku tidak mau melibatkan dia dalam masalahku.""Ya, ya, terserah," balas Rose dengan jengkel. Terpaksa menunggu di dalam mobil dan membiarkan pria itu masuk ke dalam restoran dan bar itu terlebih dulu.Bermenit-menit menunggu dengan perasaan jengkel, akhirnya ia keluar dari mobil sambil membenahi jaketnya. Rambutnya yang ikal tergerai sempurna membingkai wajahnya yang begitu cantik. Bibirnya menyunggingkan senyum miring."Mari kita menggoda pria tampan itu. Aku sudah tidak sabar untuk menghabiskan malam ini dengannya," gumam Rose sambil melangkah dengan sedikit mendongakkan kepalanya. "Pasti akan sangat menyenangkan."“Tania, kau yakin dengan keputusanmu? Kau masih muda, masih berusia 23 tahun. Pertimbangkanlah lagi keputusanmu untuk menikah,” bujuk Josh sambil mendekati Tania yang sedang dipakaikan penutup kepala oleh seorang perempuan seumuran Leo.“Josh, semua sudah setuju jika aku menikah muda. Lihatlah Claire dan Laura, mereka juga menikah muda.” Tania mendesah lelah, lalu memeriksa ponselnya.“Laura menikah karena anaknya membutuhkan ayah, sedangkan Claire...ugh, jangan paksa aku untuk menyebutkan alasan kenapa dia terburu-buru untuk menikah. Tapi kau...astaga, bahkan usia Leo sangat jauh di atasmu! Dia sudah 30 tahun, Tania,” sergah Josh lalu mendecak kesal.Tania hanya memutar matanya melihat kehebohan pria itu. “Hei, kapan Kak Arsen datang? Dia harus menjadi saksi di pernikahanku sebentar lagi.”“Ck, aku masih tidak setuju kau menikah terlalu dini. Kau bilang ingin berkarir dulu di bidang pakaian atau apalah itu. Lagipula...Oh, hai, Claire! Kapan kau datang dari Moscow? Lihatlah dirim
“Tato kepala kucing di kedua dadaku, memiliki arti bahwa aku adalah orang yang licik dan bisa mendapatkan kepercayaan dari semua korbanku dengan mudah. Tato mawar di dada kananku, itu kudapatkan karena aku dulu pernah dipenjara saat berusia 18 tahun. Lalu tato kapal layar di perutku, karena aku pernah kabur dari penjara dan kembali melakukan kejahatan. Tato tengkorak di kedua lenganku, artinya adalah pembunuh. Dan tato ini.” Sergio menunjuk tato kepala manusia tanpa rambut di dada kirinya. “Ini adalah tato Lenin. Tato ini sebagai perlindungan, agar penjaga tidak menembakku meskipun aku dijatuhi hukuman mati. Hal itu karena mereka dilarang menembak gambar dari pemimpin besar.”Claire menyentuh tato itu dengan takjub. Tato itu benar-benar terlihat indah, tapi ia ngeri tatkala membayangkan rasa sakitnya. “Kenapa kau harus menato tubuhmu?”Sergio terkekeh geli mendengar pertanyaan dari wanita itu. “Ini di dunia nyata, Claire. Jika aku masuk penjara tanpa tato, aku bagaikan seekor dom
Sergio keluar terlebih dulu dengan tubuh membungkuk dan kedua tangan berada di belakang punggung, diikuti oleh Viktor. Begitu keluar dari sel, Sergio melihat ada lima orang penjaga beserta satu anjing yang terus saja menggonggong. Salah seorang dari mereka berpakaian serba hitam, sedangkan empat lainnya berpakaian loreng abu-abu hitam. Salah seorang penjaga langsung memegangi lengannya ketika ia menghadap ke dinding, dan semakin membungkukkan tubuhnya hingga 90 derajat. “Apa kau memiliki barang-barang terlarang?” tanya penjaga yang tadi memerintahkan mereka untuk keluar.“Tidak, Pak!” jawab Sergio dan Viktor bersamaan.Sergio merasakan penutup kepalanya diambil, lalu lehernya dipegangi dari belakang. Ia menoleh ke kiri dan menjulurkan lidahnya. Penjaga langsung menunduk untuk mengecek, apakah ia menyembunyikan barang-barang terlarang atau tidak. Setelah pengecekan selesai, Sergio disuruh berjalan melewati lorong dengan posisi tetap membungkuk dan kedua tangan diborgol di belakan
Satu setengah tahun kemudian...Penjara Black Dolphin, Orenburg, Rusia. Dekat perbatasan Kazakhstan.“Sel nomor 180, bangun!” Suara teriakan sipir membuat Sergio langsung membuka matanya dan bergegas bangkit dari tidurnya.“Ya, Pak!” teriaknya dan Viktor Astankov, rekan satu selnya, bersamaan.Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia sudah terbiasa langsung merapikan tempat tidurnya yang berada di tingkat bawah. Tempat tidur sempit dari besi bertingkat dua yang hanya dilapisi oleh matras tipis dan satu bantal. Dilihatnya Viktor yang tergesa-gesa turun dari tempat tidurnya di tingkat atas menuju ke westafel. Pria yang lebih muda dua tahun darinya itu memuntahkan isi perutnya berkali-kali. Hal itu mengingatkannya pada dirinya sendiri saat baru pertama kali berada di sini. Dia bahkan pernah tak makan selama dua hari karena perutnya terus bergejolak, namun justru tubuhnya gemetar setelah itu. Tak ada sekalipun belas kasihan dari para penjaga yang melihatnya. Justru mereka semua mencemoohny
Arsen tidak pernah membayangkan akan sampai di titik ini. Titik dimana hatinya diuji, apakah ia mampu memaafkan atau justru tetap bersikukuh untuk menyimpan dendam dan memeliharanya entah sampai kapan.Ia hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa sakit ketika dilukai oleh orang terdekatnya, orang yang ia kira sebagai sosok ayah kandungnya, yang seharusnya mengayomi dan menyayanginya. Luka yang ditorehkan oleh orang terdekat jauh lebih sakit daripada luka dari orang lain.Meskipun Juan bukanlah ayah kandungnya, meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tapi pria itu tidak pernah menelantarkannya. Setiap bulannya, pria itu selalu mentransfer uang untuk biaya pendidikan dan biaya hidup. Pria itu tidak pernah mengungkit jati dirinya yang sebenarnya. Tapi setelah tahu bahwa perusahaan yang selama ini dikelola oleh Juan sebenarnya adalah milik Daniel Williams, ayah kandungnya sendiri, rasa marahnya kembali memuncak. Betapa tidak tahu dirinya lelaki itu. Sudah merebut ibunya dari ayah
[Selama aku bernafas, aku pernah berjanji bahwa aku tidak akan pernah memaafkanmu sampai ajal menjemputmu. Aku ingin kau merasakan apa yang kurasakan. Aku ingin kau menderita di sepanjang hidupmu. Kalau perlu, aku ingin melihatmu sekarat hingga kau memohon pada Tuhan untuk segera mengambil nyawamu. Ya, sebenci itulah aku padamu. Kalau bisa memutar waktu, aku tidak akan pernah mau bertemu denganmu. Aku tidak akan sudi berkenalan denganmu dan membiarkanmu merusak hubunganku dengan Daniel.Ketika aku bahagia dengannya setelah menikah dan akhirnya mengandung Arsen buah cinta kami, aku tidak pernah berfikir bahwa kau akan menjadi iblis yang tega menghancurkan kebahagiaan sahabatmu sendiri. Sebelum kau tersesat, siapa yang menolongmu dari jalanan dan mengangkat derajatmu? Siapa yang memberimu makan dan tempat tinggal agar kau tidak mati kedinginan di gang sempit itu? Siapa yang membuatmu bisa hidup dengan layak?Tapi tentu saja, kau dengan hati jahatmu justru merebut perusahaan milik Danie