Share

Bab 2

Rose melihat tangannya yang berlumuran darah. Hidungnya mengernyit jijik, namun ia memutar matanya bosan setelah itu.

"Selalu merepotkan," gumamnya kesal. "Sudah kubilang aku begitu benci melihat darah. Kenapa sih, dia begitu menyebalkan dan bebal?"

Ia melangkahi tubuh Albert yang sudah babak belur sambil memasang wajah jijik dengan sebelah alis terangkat. "Aku benci melihat semua ini."

Ia membasuh kedua tangannya di westafel dengan terburu-buru, tak mau berlama-lama di tempat itu. Kedua matanya melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia berdecak kesal. "Aku benar-benar membenci warna rambut pirang. Wajah cantikku jadi terlihat seperti seorang j*lang."

Diambilnya sedikit air untuk menghapus darah yang mengenai dahi dan pipinya sambil terus menggerutu. Ia jadi harus memperbaiki riasannya setelah ini. Setelah semuanya bersih, ia keluar dari toilet dengan tergesa-gesa. Pemandangan tadi benar-benar merusak moodnya.

Langkah kakinya menggema di lorong kecil menuju ke pintu belakang klub. Tak ada satupun orang di sana, karena mereka semua masih asyik dengan aktivitas di lantai dansa. Tak ada yang tahu dengan "kegiatan" yang baru saja dia lakukan di toilet tadi. Suara musik yang memekakkan telinga meredam semua keributan yang mereka timbulkan.

Begitu ia membuka pintu belakang klub, suara musik mendadak berhenti dan sirine polisi terdengar sangat kencang. Rose melepas rambut palsunya dan membuangnya ke tempat sampah. Baru beberapa langkah dari klub, pintu belakang kembali menjeblak terbuka dengan kasar.

"Dia hampir mati, Rose."

Rose menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Seorang pria tampan dan gagah dibalut celana jeans navy dan t-shirt berwarna hitam menghampirinya. Rose menaikkan sebelah alisnya sambil bersedekap tak peduli.

"Lalu?"

"Ini sudah yang kelima kalinya. Lama-lama mereka akan curiga," jawab pria itu dengan kesal. "Beruntung ada 'barang' di saku depan celananya dan senjatanya illegal. Jadi Brad bisa dengan mudah meyakinkan mereka bahwa Albert baru saja berurusan dengan pengedar."

"Kau tahu 'dia' semakin kuat, kan? Aku mulai kewalahan," jawab Rose santai sambil mengibaskan rambut aslinya yang berwarna brunette.

Pria itu meremas rambutnya dengan gusar. "Kau harus mengendalikan semuanya, Rose. Hanya kau yang mampu mengendalikan 'dia'."

Rose terkikik geli. "Carikan aku tempat yang baru kalau begitu."

Pria itu menggeleng dengan tegas. "Tidak. Kau harus tetap berada di sini. Tinggallah di apartemenku. Kumohon."

Rose mendekati pria itu dengan senyum menggoda. Jari-jemari kanannya membelai rahang tegas milik pria itu sambil menggigit bibir bawahnya. Pria lain sudah pasti akan langsung menarik gadis itu dan menyerangnya, namun tidak dengan pria berdarah Pakistan itu.

"Kalau begitu carikan aku pria tampan. Kau tahu aku tidak akan berada di tempat ini jika aku sibuk, bukan?" gumamnya dengan kerlingan nakal.

Pria itu menghela nafas panjang. Sama sekali tidak merasa heran dengan sikap genit Rose.

"Oh, aku baru ingat. Temanmu benar-benar tampan dan menggairahkan. Setiap kali aku melihat sorot mata dingin itu, aku selalu ingin menerkamnya. Siapa namanya? Aku lupa."

"Jangan dia, Rose."

"Oh, namanya Arsen kan? Pria dingin yang digilai oleh banyak wanita." Rose menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum, membayangkan sosok pria yang selalu membuatnya penasaran.

"Tolong, jauhi Arsen. Dia bukan pria br*ngsek," mohon pria itu, namun sama sekali tidak digubris.

"Aku penasaran apakah dia akan tergila-gila padaku?"

"Rose, kumohon."

"Diam dan amati saja, Leonard. Apakah pria itu akan takluk padaku, ataukah menolak pesonaku?" Rose berjinjit dan mendekatkan bibirnya pada telinga pria itu. "Bukankah menyenangkan jika dia bisa membuatku sibuk? Kau juga akan diuntungkan. Tak akan ada lagi Albert-Albert yang lain."

Pria itu hanya bisa diam. Gadis itu benar. Ia tidak bisa jika harus terus-menerus membereskan kekacauan yang dibuat oleh Rose, sementara urusannya begitu banyak.

"Kau bisa mengawasiku untuk kali ini. Jangan khawatir. Dia tidak akan terluka," tukas gadis itu lalu menepuk dada Leonard dua kali, sebelum berlalu meninggalkan pria itu.

Pria itu menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya. Haruskah ia percaya pada gadis itu? Terakhir kali Rose bersama dengan seorang pria, pria itu berakhir di rumah sakit. Albert adalah yang kesekian kalinya dan jauh lebih parah. Itupun karena lelaki itu hampir saja melecehkan tubuh gadis itu.

"Maafkan aku, Arsen. Aku janji tidak akan membiarkanmu berakhir sama dengan mereka," gumamnya kemudian, sebelum berbalik dan kembali masuk ke dalam klub untuk menyelesaikan urusannya.

Ia harus segera ke tempat lain setelah ini. Jangan sampai Rose datang terlebih dulu, atau semuanya akan berantakan.

***

"Jadi pada akhirnya kau setuju dengan usulanku tadi?" tanya Rose sambil mengamati keadaan di depan mobil Leo. Tubuhnya bersandar dengan santai di kursi mobil sambil bersedekap. Kedua kakinya menyilang, seolah-olah ia sedang bersantai di sofa ruang tamu.

"Aku sangat menyayangi Claire," jawab Leonard, setelah memutuskan sambungan teleponnya dengan Arsen.

Rose mendengus, lalu terkekeh. "Kau pikir temanmu itu akan tertarik padanya? Aku jauh lebih menarik dan menggoda."

"Kau juga menyayangi Claire. Akui saja. Hanya kau yang selalu datang ketika dia berada dalam bahaya."

"Hmm," gumam Rose malas. "Setidaknya kali ini aku yang akan mendekati pria tampan itu terlebih dulu."

"Setelah kupikir-pikir lagi, Claire membutuhkan seseorang untuk menjaganya. Aku tidak mau dia terus-terusan mengalami penderitaan itu. Ngomong-ngomong, apa yang dilakukan oleh Albert sehingga dia babak belur seperti itu?"

"Dia hampir memperkosa Claire."

Leo mengumpat sambil memukul kemudi mobilnya. "Dia selalu mengundang bahaya dimanapun dia berada. Padahal dia selalu berpakaian sopan. Tidak sepertimu."

Rose kembali mendengus. "Dia tidak bisa menjaga diri dan terlalu polos. Sedangkan aku bisa mengintimidasi siapapun. Tak ada yang berani mendekatiku bahkan jika aku hanya memakai bikini di tempat umum."

Leo menghela nafas panjang. Merasa pusing dengan apa yang dialami oleh gadis yang sangat disayanginya itu. Seharusnya ia bisa menjaga gadis itu, namun akhir-akhir ini tugasnya semakin banyak. Harus ada seseorang yang menjaga Claire.

Hampir setengah jam kemudian, sebuah mobil mewah keluaran Jerman melewati mereka dan parkir tidak jauh dari mobil Leo. Rose langsung bersiul menggoda ketika melihat seorang pria berambut hitam keluar dari mobil itu. Kepalanya bahkan sampai sedikit miring ketika pria itu, Arsen, berjalan di depan mobil Leo.

"Kupikir aku akan terbiasa dengan tingkahmu ini, Rose. Ya Tuhan, kenapa kau terlihat seperti seorang gadis mesum?" keluh Leo ketika Rose tidak mengalihkan perhatiannya pada bagian belakang tubuh Arsen.

"Benar-benar seksi. Dan tampan. Sangat maskulin dan menggairah... "

" Rose, hentikan."

"Tiba-tiba aku merasa bahwa dia adalah jodohku. Aku tidak akan pernah melepaskan yang satu ini," lanjut Rose sambil memegang handle pintu, bersiap untuk keluar dan mengejar pria itu.

Leo buru-buru menahan lengan gadis itu, membuat Rose menatapnya kesal. "Apa?"

"Setidaknya gantilah jaketmu. Banyak noda darah di sana," saran Leo sambil menyerahkan sebuah jaket perempuan yang selalu dibawanya karena gadis itu sudah pasti akan membutuhkannya.

Gadis itu menerimanya dengan berdecak sebal. Buru-buru mengganti jaketnya yang penuh dengan bercak darah.

"Biar aku yang menemuinya terlebih dulu, oke. Dan berpura-puralah untuk tidak mengenalku. Aku tidak mau melibatkan dia dalam masalahku."

"Ya, ya, terserah," balas Rose dengan jengkel. Terpaksa menunggu di dalam mobil dan membiarkan pria itu masuk ke dalam restoran dan bar itu terlebih dulu.

Bermenit-menit menunggu dengan perasaan jengkel, akhirnya ia keluar dari mobil sambil membenahi jaketnya. Rambutnya yang ikal tergerai sempurna membingkai wajahnya yang begitu cantik. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.

"Mari kita menggoda pria tampan itu. Aku sudah tidak sabar untuk menghabiskan malam ini dengannya," gumam Rose sambil melangkah dengan sedikit mendongakkan kepalanya. "Pasti akan sangat menyenangkan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status