Share

Bab 3

Seorang pria berusia 25 tahun tengah melihat deretan gedung bertingkat dari balik dinding kaca apartemennya di Northwest Park Avenue. Dinginnya musim gugur sama sekali tak membuatnya menggigil, meskipun saat ini ia tengah memakai t-shirt tipis berwarna abu-abu.

Pandangannya beralih pada lantai kayu mengkilap di bawahnya, teringat kembali bagaimana perjuangannya bisa menyewa apartemen mewah di Distrik Pearl ini.

Bekerja paruh waktu di sebuah restoran setelah pulang sekolah, menjadi operator kilang minyak setelah lulus SMA selama tiga tahun, dan yang terakhir menjadi staf operasional sebuah perusahaan software selama dua tahun.

Semua itu dilakukannya bukan karena dia tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, melainkan karena ingin pergi jauh dari jangkauan ayahnya yang saat ini tinggal di Brooklyn, New York.

Hidup seperti dua orang asing dalam satu rumah sama sekali bukan ide yang bagus untuknya, tak peduli seberapa banyaknya harta yang dimiliki oleh sang ayah. Namun satu jam yang lalu, telepon dari pria yang selama ini dibencinya membuat perasaannya kacau. Pria itu memintanya untuk kembali ke Brooklyn dan meminta maaf padanya, hal yang sama sekali tak pernah dipikirkannya.

Dering ponsel pintar di atas meja berbentuk segitiga membuyarkan lamunannya tentang masa lalu. Dilihatnya sekilas nama yang tertera di layar, membuat suasana hatinya yang tadi sempat memburuk, setidaknya mulai sedikit membaik. Disentuhnya tombol hijau yang muncul di layar sebelum mendekatkan ponselnya ke telinganya.

"Malam yang indah di awal musim gugur. Bersenang-senang di tempat biasa? Kudengar akan ada pertunjukan DJ terkenal dari Jerman jam 10 nanti. " Suara pria yang lebih tua dua tahun darinya di seberang telepon terdengar santai, namun ia tahu bahwa itu adalah ajakan yang tak boleh dibantah.

"Aku sedang tidak berminat pergi kemanapun, Leo. Malam ini ingin kuhabiskan dengan menonton film sambil berlari di atas treadmill. Cara yang bagus untuk mengusir rasa dingin," jawabnya sambil berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lupa ia mengaktifkan pengeras suara sebelum meletakkan ponselnya di atas ranjang.

"Oh, ayolah. Kau benar-benar pria paling membosankan saat musim gugur dan musim dingin tiba. Kemana perginya Arsen si penakluk gadis, heh? Bergegaslah! Masih terlalu sore untuk bermalas-malasan di atas tempat tidur.”

"Ck, aku memutuskan untuk berhenti bermain-main dengan gadis, Sobat. Cukup dua tahun saja aku menjadi pria brengsek, dan sekarang aku ingin fokus pada restoran baruku," jawab pria bernama Arsen itu sambil melepaskan baju kausnya dan melemparkannya ke dalam keranjang cucian.

“Apa? Tunggu, aku tidak salah dengar, kan? Arsen Forbes si laki-laki bebas memutuskan untuk bertobat? Jangan bercanda, Sayang. Aku sudah muak dengan lelucon garingmu itu.”

“Dan aku sudah muak dengan kecerewetanmu. Ugh, jangan memanggilku dengan panggilan menjijikkan seperti itu. Pergilah! Lima belas menit lagi aku sampai di tempat biasa,” sungut Arsen sebelum mematikan panggilan itu dan mengenakan jaket kulitnya.

Tak lupa ia mengunci apartemennya sebelum turun ke basement untuk mengambil mobilnya. Beberapa penghuni apartemen lain yang usianya lebih tua menyapanya dan mengajaknya berbincang sebentar, sebelum akhirnya saling berpisah.

Dipacunya mobil buatan Jerman dari hasil keringatnya sendiri itu menuju ke restoran dan bar yang lumayan dekat dengan apartemennya. Tak perlu menunggu waktu lama, mobilnya sudah sampai di tempat yang ditujunya dan masih mendapatkan tempat parkir.

Saat memasuki restoran, ia tersenyum miring karena tak ada Leo di sana. Tentu saja, pria itu pasti kebingungan mencari tempat biasa yang dimaksudnya. Karena tempat biasa baginya saat ini adalah yang menyediakan makanan enak untuk referensi menu baru di restorannya, bukan yang hanya menyediakan bourbon dan sejenisnya serta gadis-gadis cantik.

Seorang pelayan restoran menghampirinya dan memberinya daftar menu, setelah ia duduk di meja kosong dekat bar.

“The Scotch Egg, Chicken Wings dan....minumannya yang hangat, terserah kau saja mau memberiku apa,” kata Arsen pada pelayan itu sembari mengembalikan daftar menu.

“Mohon menunggu selama 20 menit. Kami akan memberikan minuman yang terbaik untuk menghangatkan tubuh anda,” balas pelayan itu sebelum pergi.

Arsen mengeluarkan ponselnya dan melihat ada tiga panggilan tak terjawab di sana. Kesemuanya dari ayahnya. Kembali ia menghela nafas panjang. Rasa sakit hati akibat ditelantarkan dan dituduh membunuh ibu serta adiknya masih belum mau hilang. Semakin ia berusaha melupakan perkataan menyakitkan yang keluar dari mulut pria tua itu, semakin terngiang-ngiang setiap detail caci maki yang dilontarkannya.

Seharusnya aku melarang ibumu untuk melahirkanmu saat itu. Kau benar-benar tidak berguna dan pembawa sial!

"Kenapa kau tak bilang padaku bahwa tempat biasa bagimu itu di Fireside Grill? Aku mencarimu di Paddy’s dan ternyata kau tak ada dimanapun. Seharusnya kau bilang padaku kalau tempat nongkrongmu sudah berubah. Ugh, bar ini benar-benar buruk dalam hal tempat parkir." Kehadiran Leo yang begitu tiba-tiba membuatnya membuka mata dengan cepat. Jantungnya berdebar sejenak karena terlalu kaget.

“Arsen, kau tak apa-apa? Ada yang mengganggumu? Kau terlihat begitu tegang, seperti tengah menahan sesuatu.” Leo mengernyitkan keningnya sambil menatapnya bingung.

Arsen menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Tubuhnya yang tadi menegang berangsur-angsur rileks. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaketnya, bertepatan dengan seorang pelayan yang mendekat sambil membawakan sebotol minuman keras ke meja mereka.

“Maaf, bawakan aku segelas kopi panas atau coklat panas saja,” ujarnya pada pelayan itu, membuat Leo kembali mengernyitkan keningnya.

“Biarkan saja minuman itu ada di sini. Aku yang akan meminumnya. Oh, sekalian bawakan aku chips yang ada gorgonzola-nya. Entah apa namanya aku lupa. Segelas es teh lemon juga menyenangkan,” cegah Leo saat pelayan itu hendak mengambil kembali botol yang tadi diletakannya di atas meja. Pelayan itu mengangguk seraya tersenyum, kemudian meninggalkan mereka.

“Ayahku tadi menghubungiku. Dia memintaku kembali ke Brooklyn dan tinggal di sana.” Arsen mengeluarkan kembali ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama ayahnya di layarnya. “Bisakah kau mempercayainya? Maksudku, setelah 15 tahun dia menganggapku sebagai seorang pembunuh dan terus mencaci makiku dengan seenaknya, tiba-tiba saja sekarang dia meminta maaf dan memintaku tinggal lagi bersamanya? Aku benar-benar tak percaya ada orang yang seperti itu.”

“Tapi bagaimanapun juga dia adalah ayahmu, Arsen. Seharusnya kau...”

“Lima tahun aku hidup seperti anak yatim piatu, dan sepuluh tahun aku bekerja mati-matian untuk bisa lepas darinya. Kau pikir aku harus memaafkannya begitu saja? Aku punya hati, dan hatiku masih merasa sakit atas perlakuannya.” Arsen membanting ponselnya ke atas meja kayu mengkilap dengan cukup keras, namun setelah itu mengambilnya lagi dan merasa lega karena tak ada yang retak.

“Tapi Paman Juan selalu mengirimimu uang setiap bulan dan mencukupi segala kebutuhanmu,” bantah Leo lagi.

“Dengar, Leo. Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu beberapa tahun yang lalu, dan terima kasih sudah mau bekerja sama denganku untuk membangun restoran di hotelmu. Tapi aku tak butuh semua uang darinya dan kemewahan memuakkan yang membuatku merasa seperti parasit.” Tanpa sadar Arsen meninggikan suaranya, membuat Leo spontan mengangkat kedua tangannya di depan dada.

“Whoa, tenang, Sobat! Jangan bertingkah seperti anak kecil di tempat umum seperti ini,” tegur Leo sambil melirik ke sekitar mereka, kemudian tersenyum minta maaf atas keributan yang sudah ditimbulkan oleh sahabatnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kuliahmu? Kau tidak merasa paling tua di kampus?”

“Setidaknya sebentar lagi aku akan lulus. Aku sudah malas berlama-lama kuliah. Apa gunanya kuliah jika aku sudah bisa mencari uang?” jawab Arsen sembari menyandarkan punggungnya, berusaha melupakan apa yang tadi membuatnya marah.

Mereka berdua lantas saling berdiam diri setelah percakapan yang membuat suasana menjadi tak enak, sampai akhirnya makanan pesanan Arsen datang. Aroma yang tercium dari makanan itu membuat Arsen tergiur untuk cepat-cepat memakan scotch egg yang tampilannya terlihat cantik.

“Ayam itu terlihat enak dan menggoda,” gumam Leo seraya mengambil satu sayap ayam yang dilumuri saus berwarna coklat dan langsung memakannya tanpa permisi. “Hmm, rasanya benar-benar lezat. Saus ini terasa manis dan gurih, dagingnya juga empuk.”

“Lain kali kau yang harus mentraktirku makan, saat kau tidak sedang dalam suasana hati yang baik,” kata Arsen di sela-sela kunyahannya.

“Yeah, terserah. Setelah ini kita ke meja bartender. Aku ingin berada di dekat api unggun untuk menghangatkan badan.” Leo kembali mengambil sayap ayam itu dan menikmatinya tanpa sungkan sama sekali.

Setelah selesai menikmati semua pesanannya, Arsen memandang ke sekeliling restoran. Suasananya begitu nyaman dan rapi, membuat siapapun betah berada di sini. Dinding dan perabotnya terbuat dari kayu mengkilap, yang justru terkesan sederhana tapi hangat. Sama persis seperti yang digunakannya di restoran barunya, karena bisa mengingatkan siapapun pada kenyamanan rumah dan keceriaan di dalamnya.

Selain itu, tak ada lagi yang menarik perhatiannya. Sampai seorang gadis berambut brunette ikal sepunggung memasuki restoran dengan gaya layaknya model di atas catwalk.

Gadis itu menuju ke meja bar, tepatnya di depan api unggun yang ada di tengah meja bar, dan memesan minuman pada bartender setelah melepaskan jaketnya. Terlihat tangtop hitam ketat yang membungkus tubuh langsing itu, dilengkapi dengan skinny jeans yang juga berwarna hitam. Tanpa sadar ia memandang gadis itu tanpa berkedip.

Baru kali ini Arsen merasa tertarik dengan seorang gadis. Tidak, bukan karena wajahnya yang cantik atau tubuhnya yang indah, melainkan karena aura yang dipancarkan oleh gadis itu terlihat tak biasa. Ada kesan misterius dan penuh teka-teki. Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa banyak orang yang juga tertarik padanya? Apakah dia terkenal?

Sementara Leo diam-diam mengamati sikap Arsen yang langsung berubah begitu gadis itu tertangkap oleh pandangan matanya. Bibirnya tersenyum tipis. Tak menyangka bahwa misinya akan terwujud dengan sangat mudah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status