Seorang pria berusia 25 tahun tengah melihat deretan gedung bertingkat dari balik dinding kaca apartemennya di Northwest Park Avenue. Dinginnya musim gugur sama sekali tak membuatnya menggigil, meskipun saat ini ia tengah memakai t-shirt tipis berwarna abu-abu.
Pandangannya beralih pada lantai kayu mengkilap di bawahnya, teringat kembali bagaimana perjuangannya bisa menyewa apartemen mewah di Distrik Pearl ini.Bekerja paruh waktu di sebuah restoran setelah pulang sekolah, menjadi operator kilang minyak setelah lulus SMA selama tiga tahun, dan yang terakhir menjadi staf operasional sebuah perusahaan software selama dua tahun. Semua itu dilakukannya bukan karena dia tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, melainkan karena ingin pergi jauh dari jangkauan ayahnya yang saat ini tinggal di Brooklyn, New York.Hidup seperti dua orang asing dalam satu rumah sama sekali bukan ide yang bagus untuknya, tak peduli seberapa banyaknya harta yang dimiliki oleh sang ayah. Namun satu jam yang lalu, telepon dari pria yang selama ini dibencinya membuat perasaannya kacau. Pria itu memintanya untuk kembali ke Brooklyn dan meminta maaf padanya, hal yang sama sekali tak pernah dipikirkannya. Dering ponsel pintar di atas meja berbentuk segitiga membuyarkan lamunannya tentang masa lalu. Dilihatnya sekilas nama yang tertera di layar, membuat suasana hatinya yang tadi sempat memburuk, setidaknya mulai sedikit membaik. Disentuhnya tombol hijau yang muncul di layar sebelum mendekatkan ponselnya ke telinganya. "Malam yang indah di awal musim gugur. Bersenang-senang di tempat biasa? Kudengar akan ada pertunjukan DJ terkenal dari Jerman jam 10 nanti. " Suara pria yang lebih tua dua tahun darinya di seberang telepon terdengar santai, namun ia tahu bahwa itu adalah ajakan yang tak boleh dibantah. "Aku sedang tidak berminat pergi kemanapun, Leo. Malam ini ingin kuhabiskan dengan menonton film sambil berlari di atas treadmill. Cara yang bagus untuk mengusir rasa dingin," jawabnya sambil berjalan menuju ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lupa ia mengaktifkan pengeras suara sebelum meletakkan ponselnya di atas ranjang. "Oh, ayolah. Kau benar-benar pria paling membosankan saat musim gugur dan musim dingin tiba. Kemana perginya Arsen si penakluk gadis, heh? Bergegaslah! Masih terlalu sore untuk bermalas-malasan di atas tempat tidur.” "Ck, aku memutuskan untuk berhenti bermain-main dengan gadis, Sobat. Cukup dua tahun saja aku menjadi pria brengsek, dan sekarang aku ingin fokus pada restoran baruku," jawab pria bernama Arsen itu sambil melepaskan baju kausnya dan melemparkannya ke dalam keranjang cucian. “Apa? Tunggu, aku tidak salah dengar, kan? Arsen Forbes si laki-laki bebas memutuskan untuk bertobat? Jangan bercanda, Sayang. Aku sudah muak dengan lelucon garingmu itu.” “Dan aku sudah muak dengan kecerewetanmu. Ugh, jangan memanggilku dengan panggilan menjijikkan seperti itu. Pergilah! Lima belas menit lagi aku sampai di tempat biasa,” sungut Arsen sebelum mematikan panggilan itu dan mengenakan jaket kulitnya. Tak lupa ia mengunci apartemennya sebelum turun ke basement untuk mengambil mobilnya. Beberapa penghuni apartemen lain yang usianya lebih tua menyapanya dan mengajaknya berbincang sebentar, sebelum akhirnya saling berpisah.Dipacunya mobil buatan Jerman dari hasil keringatnya sendiri itu menuju ke restoran dan bar yang lumayan dekat dengan apartemennya. Tak perlu menunggu waktu lama, mobilnya sudah sampai di tempat yang ditujunya dan masih mendapatkan tempat parkir. Saat memasuki restoran, ia tersenyum miring karena tak ada Leo di sana. Tentu saja, pria itu pasti kebingungan mencari tempat biasa yang dimaksudnya. Karena tempat biasa baginya saat ini adalah yang menyediakan makanan enak untuk referensi menu baru di restorannya, bukan yang hanya menyediakan bourbon dan sejenisnya serta gadis-gadis cantik.Seorang pelayan restoran menghampirinya dan memberinya daftar menu, setelah ia duduk di meja kosong dekat bar. “The Scotch Egg, Chicken Wings dan....minumannya yang hangat, terserah kau saja mau memberiku apa,” kata Arsen pada pelayan itu sembari mengembalikan daftar menu. “Mohon menunggu selama 20 menit. Kami akan memberikan minuman yang terbaik untuk menghangatkan tubuh anda,” balas pelayan itu sebelum pergi. Arsen mengeluarkan ponselnya dan melihat ada tiga panggilan tak terjawab di sana. Kesemuanya dari ayahnya. Kembali ia menghela nafas panjang. Rasa sakit hati akibat ditelantarkan dan dituduh membunuh ibu serta adiknya masih belum mau hilang. Semakin ia berusaha melupakan perkataan menyakitkan yang keluar dari mulut pria tua itu, semakin terngiang-ngiang setiap detail caci maki yang dilontarkannya. Seharusnya aku melarang ibumu untuk melahirkanmu saat itu. Kau benar-benar tidak berguna dan pembawa sial! "Kenapa kau tak bilang padaku bahwa tempat biasa bagimu itu di Fireside Grill? Aku mencarimu di Paddy’s dan ternyata kau tak ada dimanapun. Seharusnya kau bilang padaku kalau tempat nongkrongmu sudah berubah. Ugh, bar ini benar-benar buruk dalam hal tempat parkir." Kehadiran Leo yang begitu tiba-tiba membuatnya membuka mata dengan cepat. Jantungnya berdebar sejenak karena terlalu kaget. “Arsen, kau tak apa-apa? Ada yang mengganggumu? Kau terlihat begitu tegang, seperti tengah menahan sesuatu.” Leo mengernyitkan keningnya sambil menatapnya bingung. Arsen menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Tubuhnya yang tadi menegang berangsur-angsur rileks. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaketnya, bertepatan dengan seorang pelayan yang mendekat sambil membawakan sebotol minuman keras ke meja mereka. “Maaf, bawakan aku segelas kopi panas atau coklat panas saja,” ujarnya pada pelayan itu, membuat Leo kembali mengernyitkan keningnya. “Biarkan saja minuman itu ada di sini. Aku yang akan meminumnya. Oh, sekalian bawakan aku chips yang ada gorgonzola-nya. Entah apa namanya aku lupa. Segelas es teh lemon juga menyenangkan,” cegah Leo saat pelayan itu hendak mengambil kembali botol yang tadi diletakannya di atas meja. Pelayan itu mengangguk seraya tersenyum, kemudian meninggalkan mereka. “Ayahku tadi menghubungiku. Dia memintaku kembali ke Brooklyn dan tinggal di sana.” Arsen mengeluarkan kembali ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama ayahnya di layarnya. “Bisakah kau mempercayainya? Maksudku, setelah 15 tahun dia menganggapku sebagai seorang pembunuh dan terus mencaci makiku dengan seenaknya, tiba-tiba saja sekarang dia meminta maaf dan memintaku tinggal lagi bersamanya? Aku benar-benar tak percaya ada orang yang seperti itu.” “Tapi bagaimanapun juga dia adalah ayahmu, Arsen. Seharusnya kau...” “Lima tahun aku hidup seperti anak yatim piatu, dan sepuluh tahun aku bekerja mati-matian untuk bisa lepas darinya. Kau pikir aku harus memaafkannya begitu saja? Aku punya hati, dan hatiku masih merasa sakit atas perlakuannya.” Arsen membanting ponselnya ke atas meja kayu mengkilap dengan cukup keras, namun setelah itu mengambilnya lagi dan merasa lega karena tak ada yang retak. “Tapi Paman Juan selalu mengirimimu uang setiap bulan dan mencukupi segala kebutuhanmu,” bantah Leo lagi. “Dengar, Leo. Aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu beberapa tahun yang lalu, dan terima kasih sudah mau bekerja sama denganku untuk membangun restoran di hotelmu. Tapi aku tak butuh semua uang darinya dan kemewahan memuakkan yang membuatku merasa seperti parasit.” Tanpa sadar Arsen meninggikan suaranya, membuat Leo spontan mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Whoa, tenang, Sobat! Jangan bertingkah seperti anak kecil di tempat umum seperti ini,” tegur Leo sambil melirik ke sekitar mereka, kemudian tersenyum minta maaf atas keributan yang sudah ditimbulkan oleh sahabatnya. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kuliahmu? Kau tidak merasa paling tua di kampus?” “Setidaknya sebentar lagi aku akan lulus. Aku sudah malas berlama-lama kuliah. Apa gunanya kuliah jika aku sudah bisa mencari uang?” jawab Arsen sembari menyandarkan punggungnya, berusaha melupakan apa yang tadi membuatnya marah. Mereka berdua lantas saling berdiam diri setelah percakapan yang membuat suasana menjadi tak enak, sampai akhirnya makanan pesanan Arsen datang. Aroma yang tercium dari makanan itu membuat Arsen tergiur untuk cepat-cepat memakan scotch egg yang tampilannya terlihat cantik. “Ayam itu terlihat enak dan menggoda,” gumam Leo seraya mengambil satu sayap ayam yang dilumuri saus berwarna coklat dan langsung memakannya tanpa permisi. “Hmm, rasanya benar-benar lezat. Saus ini terasa manis dan gurih, dagingnya juga empuk.” “Lain kali kau yang harus mentraktirku makan, saat kau tidak sedang dalam suasana hati yang baik,” kata Arsen di sela-sela kunyahannya. “Yeah, terserah. Setelah ini kita ke meja bartender. Aku ingin berada di dekat api unggun untuk menghangatkan badan.” Leo kembali mengambil sayap ayam itu dan menikmatinya tanpa sungkan sama sekali. Setelah selesai menikmati semua pesanannya, Arsen memandang ke sekeliling restoran. Suasananya begitu nyaman dan rapi, membuat siapapun betah berada di sini. Dinding dan perabotnya terbuat dari kayu mengkilap, yang justru terkesan sederhana tapi hangat. Sama persis seperti yang digunakannya di restoran barunya, karena bisa mengingatkan siapapun pada kenyamanan rumah dan keceriaan di dalamnya.Selain itu, tak ada lagi yang menarik perhatiannya. Sampai seorang gadis berambut brunette ikal sepunggung memasuki restoran dengan gaya layaknya model di atas catwalk.Gadis itu menuju ke meja bar, tepatnya di depan api unggun yang ada di tengah meja bar, dan memesan minuman pada bartender setelah melepaskan jaketnya. Terlihat tangtop hitam ketat yang membungkus tubuh langsing itu, dilengkapi dengan skinny jeans yang juga berwarna hitam. Tanpa sadar ia memandang gadis itu tanpa berkedip.Baru kali ini Arsen merasa tertarik dengan seorang gadis. Tidak, bukan karena wajahnya yang cantik atau tubuhnya yang indah, melainkan karena aura yang dipancarkan oleh gadis itu terlihat tak biasa. Ada kesan misterius dan penuh teka-teki. Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa banyak orang yang juga tertarik padanya? Apakah dia terkenal?Sementara Leo diam-diam mengamati sikap Arsen yang langsung berubah begitu gadis itu tertangkap oleh pandangan matanya. Bibirnya tersenyum tipis. Tak menyangka bahwa misinya akan terwujud dengan sangat mudah."Sudah kuduga kau juga akan terpesona padanya." Suara Leo mengalihkan perhatian Arsen pada gadis itu."Siapa dia?" tanya Arsen penasaran."Namanya Rose. Dia adalah mimpi basah setiap pria yang melihatnya. Tapi tak seorangpun dari pria itu yang pernah merasakan tubuhnya," jelas Leo dengan pandangan tak lepas dari Rose.Gadis itu duduk di depan meja bar dan meminum segelas tequila. Banyak pria yang berusaha mendekatinya, namun langsung mundur teratur begitu dihadiahi dengan tatapan tajam dari kedua mata indah itu."Dasar pria-pria bodoh! Apa mereka tak mengerti kalau Rose memakai baju serba hitam, itu artinya dia baru saja membuat perhitungan dengan seseorang?" gumam Leo setelah puas memperhatikan Rose.Arsen mengerutkan keningnya, merasa semakin penasaran. "Apa maksudmu?""Kau kemana saja, Sobat? Dia itu sudah terkenal di kalangan banyak pria. Kau tahu, dia pernah membuat koma beberapa laki-laki. Jadi jangan sampai kau berurusan dengannya, kalau tak ingin bernasib sama seperti m
Seminggu berlalu setelah pertemuannya dengan Rose, namun Arsen tetap tak bisa melupakan gadis itu. Hampir setiap malam ia rajin mengunjungi bar langganannya atau tempat-tempat yang pernah dikunjunginya bersama Rose, namun tak kunjung mendapati keberadaannya. Leo belum juga memberikan kabar padanya sampai saat ini, dan itu membuatnya gelisah. Gadis itu seakan-akan adalah hantu yang datang dan pergi sesuka hati. Ia sempat berdoa dalam hati, semoga dipertemukan dengan Rose dimana saja gadis itu berada. Namun doanya tak terkabulkan. Mungkin ia memiliki banyak dosa, sehingga Tuhan pun enggan untuk mengabulkan doanya. Semua orang yang mengenal Arsen terkejut dan heran dengan penampilannya yang berubah kacau dan putus asa. Padahal sebelumnya pria itu selalu tampil rapi dan menarik."Ternyata kau ada di sini. Sudah dari tadi aku mencarimu di tempat-tempat biasa, tapi kau malah mendekam di apartemenmu dengan kondisi yang menyedihkan," ucap Leo begitu menemukan Arsen yang tengah memandang ko
Claire baru saja keluar dari ruang ganti dan menaruh bajunya di loker khusus karyawan. Sudah enam bulan ia bekerja di restoran yang terletak tak jauh dari kampusnya ini, dan selama itu pula ia merasa betah bekerja di sini. Rekan-rekan kerjanya sangat ramah, begitu pula dengan manajernya. Apalagi suasana restoran begitu nyaman, dengan interior yang mayoritas terbuat dari kayu keras berkualitas tinggi. Setelah berdoa sejenak, ia bergegas menuju ke depan untuk melayani pengunjung restoran yang terus berdatangan."Claire," panggil Tuan Peterson, manajer di restoran ini."Ya, Tuan Peterson? Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya sambil mendekati pria berusia kira-kira 25 tahunan itu di samping ruang khusus staf."Layani pria yang ada di sana. Dia adalah pemilik restoran ini, jadi bersikaplah yang sopan padanya," perintah Tuan Peterson sambil menunjuk meja di bawah televisi layar datar, tepatnya di dekat jendela kaca yang menampilkan pepohonan yang daunnya sudah mulai memerah.Claire men
“Nona! Nona, hei jangan takut! Aku tak berniat jahat padamu, aku hanya ingin mengembalikan barangmu yang jatuh,” seru pria itu sambil menahan serangan tangan Claire.Suara pintu mobil dibanting dan langkah kaki berlari mendekati mereka tak didengar oleh Claire sama sekali, karena ia sibuk dengan ketakutannya sendiri.“Ada apa ini?” tanya pengemudi mobil itu.“Aku hanya ingin mengembalikan ponsel ini padanya, tapi gadis ini tiba-tiba saja lari ketakutan. Aku mengejarnya, dan dia justru semakin cepat berlari sampai aku kewalahan,” jawab pria berambut panjang itu sambil menyerahkan ponsel milik Claire.“Terima kasih. Lain kali potonglah rambutmu agar tidak membuat orang lain ketakutan ketika melihatmu. Kau boleh pergi.” Pengemudi itu menerima ponsel itu dan memegangi kedua lengan Claire.“Claire, hei! Ini aku, Arsen. Kau tak apa-apa? Jangan takut, kau aman,” kata pengemudi mobil yang ternyata adalah Arsen, setelah pria berambut panjang tadi benar-benar sudah menjauhi mereka.Claire
“Hah? Tidak, aku tidak punya saudara kembar. Aku punya adik, tapi wajahnya tidak mirip denganku. Kenapa?” tanya Claire sambil mengelap tangannya dan berbalik menghadap Arsen.“Eh? Umm...tidak, hanya saja...” Arsen berhenti sejenak, bingung harus mengatakan apa. “Aku...aku pernah melihat ada seseorang yang hampir mirip denganmu. Tidak. Bukan hampir, melainkan sangat mirip. Namanya Rose. Dia berasal dari Belanda. Apa kau benar-benar berasal dari Spanyol?” Claire mengangkat kedua alisnya. “Ya, aku memang berasal dari negara itu. Kau yakin Rose memiliki wajah yang sangat mirip denganku? Orang Belanda dan orang Spanyol jelas memiliki ciri fisik yang jauh berbeda. Dia seharusnya berwajah seperti orang-orang Amerika berkulit putih pada umumnya, kan?"Arsen terdiam, membenarkan perkataan gadis itu. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Oh, tentu saja. Dia terlalu fokus pada pesona Rose yang memabukkan. Sekarang Arsen bingung harus bertanya apa lagi, karena kebingungannya semakin bertamba
"Kau suka?" tanya Arsen begitu mereka sampai di tempat tujuan. "Suka sekali, Arsen. Tak kusangka ada tempat yang seindah ini," jawab Claire setengah berteriak saking kagumnya dengan tempat itu, Portland Japanese Garden. Claire langsung berlari ke tengah-tengah taman bernuansa Jepang itu dengan senyum merekah. Berbagai jenis tanaman bonsai dan pohon-pohon perdu membuat nuansa Jepangnya begitu terasa. Apalagi daun-daun dari setiap tanaman sudah mulai berubah ke dalam warna yang tak disangkanya begitu indah. Beberapa pohon masih berwarna hijau, namun banyak yang daunnya sudah berubah warna. Ada pohon yang keseluruhan daunnya berwarna merah marun, kuning, oranye, biru, bahkan ada bonsai yang hanya tinggal rantingnya saja dan berwarna ungu. "Ya Tuhan, tempat ini benar-benar seperti surga!" Claire menuju ke sebuah kolam yang dikelilingi oleh pohon dengan daun berwarna-warni. “Arsen, lihat ada air terjun mini! Hei, ada ikannnya juga! Astaga, tempat ini benar-benar membuatku merasa bah
Sudah sebulan Arsen dan Claire semakin dekat, hingga akhirnya mereka menyadari perasaan masing-masing. Mereka menyadari bahwa mereka saling mencintai. Arsen berubah menjadi pribadi yang ceria dan selalu tersenyum, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya keheranan. Banyak yang menerka-nerka apa yang terjadi pada pria itu sehingga bisa berubah drastis, karena sebelumnya Arsen suka marah-marah tak jelas atau murung sepanjang hari. Pria itu tak mempedulikan pendapat mereka karena baginya perasaannya terhadap Claire lebih penting. Tak akan dibiarkannya siapapun menyakiti Claire, karena gadis itu begitu penting baginya. Berkat gadis itu, ia bisa menjalani hidup dengan lebih berwarna. Rasa bencinya pada sang ayah pun mulai berkurang, meskipun terkadang masih ada rasa tak terima dengan perbuatan pria itu di masa lalu.Satu jam yang lalu, ia menyatakan cintanya pada Claire dan memintanya untuk menjadi kekasihnya. Claire dengan senang hati menerimanya, karena ternyata gadis itu juga memil
Jantung Arsen berdegup dua kali lebih cepat dan tubuhnya terasa panas dingin. Rasa rindu yang membuncah karena sudah sebulan lebih tak bertemu, membuatnya ingin segera menarik gadis di hadapannya itu ke dalam pelukannya. Dia ingin melampiaskan segala kerinduannya yang membuat pikirannya kacau.Mendadak ia lupa bahwa beberapa jam yang lalu baru saja meminta Claire untuk menjadi kekasihnya. Pikirannya langsung teralihkan begitu Rose berdiri di hadapannya dengan tatapan mata yang mampu membuat darahnya berdesir. "Boleh aku masuk?" tanya Rose dengan senyum yang terlihat mencemooh.Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, gadis itu langsung menerobos masuk dan melihat-lihat desain interior apartemen. “Masih sama seperti sebulan yang lalu. Nyaman, terasa hangat, dan mengingatkan siapapun pada rumah,” ucapnya sambil berkacak pinggang, kemudian mendekati Arsen dan menelusuri dada pria itu dengan ujung jari jemarinya."Aku tadi melihatmu hendak membunuh pria berambut panjang itu," kata Arsen de