"Sudah kuduga kau juga akan terpesona padanya." Suara Leo mengalihkan perhatian Arsen pada gadis itu.
"Siapa dia?" tanya Arsen penasaran. "Namanya Rose. Dia adalah mimpi basah setiap pria yang melihatnya. Tapi tak seorangpun dari pria itu yang pernah merasakan tubuhnya," jelas Leo dengan pandangan tak lepas dari Rose. Gadis itu duduk di depan meja bar dan meminum segelas tequila. Banyak pria yang berusaha mendekatinya, namun langsung mundur teratur begitu dihadiahi dengan tatapan tajam dari kedua mata indah itu. "Dasar pria-pria bodoh! Apa mereka tak mengerti kalau Rose memakai baju serba hitam, itu artinya dia baru saja membuat perhitungan dengan seseorang?" gumam Leo setelah puas memperhatikan Rose. Arsen mengerutkan keningnya, merasa semakin penasaran. "Apa maksudmu?" "Kau kemana saja, Sobat? Dia itu sudah terkenal di kalangan banyak pria. Kau tahu, dia pernah membuat koma beberapa laki-laki. Jadi jangan sampai kau berurusan dengannya, kalau tak ingin bernasib sama seperti mereka," jawab Leo dengan suara lirih.Arsen semakin mengernyitkan dahinya. Mana mungkin gadis secantik itu bisa sekejam itu? Dia bahkan terlihat rapuh, batinnya sambil mendengus. Ia tetap memberikan tatapan tajam pada Rose sambil sesekali meminum coklat panasnya. Seolah-olah sadar ada yang terus memperhatikannya dengan lekat, gadis itu menoleh pada Arsen dan memberikan tatapan dingin yang sanggup membuat siapapun merinding, kecuali Arsen tentu saja.Tatapan dingin itu tak berlangsung lama karena detik berikutnya, Rose menyunggingkan senyum menggoda seraya mengedipkan sebelah matanya. Tak bisa dipungkiri bahwa hal itu membuat jantung Arsen berdetak lebih cepat. Dengan perlahan Rose berjalan mendekati Arsen, membuat pria itu menelan ludahnya.Saat gadis itu sudah berada di sampingnya, Leo mengangkat sebelah alisnya karena melihat respon sahabatnya yang hanya terpaku seraya mendongak. Rose hanya melirik Leo sekilas, kemudian kembali menatap Arsen sambil tersenyum. “Hai, aku Rose. Bolehkah aku tahu siapa namamu, Tampan?” tanya Rose sembari memilin ujung rambutnya. Arsen hanya diam saja dan masih fokus memandangi Rose, sampai Leo menendang kakinya sambil berdehem. Ia gelagapan dan menatap Leo dengan ekspresi kebingungan. Namun Leo malah mengangkat sebelah alisnya, lantas mengedikkan kepalanya ke arah Rose yang masih berdiri di samping mereka. “Oh, hai! Apa yang kau...” Arsen menghentikan ucapannya karena Leo kembali menendang kakinya di bawah meja. Pria itu mengucapkan kata namamu tanpa suara, membuat Arsen cepat-cepat mendongak kembali. “Oh, namaku Arsen. Senang bisa berkenalan denganmu, Cantik,” lanjutnya sambil meraih tangan kanan gadis itu dan mencium punggung tangannya. Rose terkekeh geli, lalu duduk di samping mereka berdua tanpa permisi. Kedua kakinya disilangkan dan rambut yang menjuntai di dadanya disibakkan, membuat Arsen bisa melihat lehernya yang jenjang dengan jelas. “Jadi, kau sering datang ke sini?” tanya Rose sembari menatap Arsen dengan intens. Beberapa kali gadis itu sengaja menggigit bibirnya yang sudah dilapisi oleh lipstik berwarna merah marun. “Eh? Umm...yah, seperti itulah,” jawab Arsen gelagapan, kemudian tertawa dengan paksa.Otaknya benar-benar sudah tak bisa digunakan untuk berpikir jernih, karena aroma parfum gadis itu membuat darahnya berdesir. Kedua matanya tak lepas dari apapun yang dilakukan oleh Rose, bahkan sampai gerakan bibirnya saat berbicara sekalipun. Leo mendengus melihat tingkah laku sahabatnya yang terlihat memalukan. Hal ini biasanya terjadi pada saat Arsen berhadapan dengan gadis cantik yang menarik perhatiannya, seolah-olah dunia hanyalah miliknya saja."Jadi...kau ada acara lain malam ini? Keberatan untuk menemaniku berkeliling Portland? Aku pendatang baru di sini, jadi pasti menyenangkan jika kau mau mengajakku ke tempat-tempat yang luar biasa di kota ini,” tanya Rose sambil menopang dagunya dengan tangan kiri. Lidahnya menjilat bibir bawahnya sekali dengan gerakan perlahan, membuat Arsen sedikit membelalakkan matanya. Pria itu berdehem sebentar, kemudian melirik Leo yang langsung mengangkat kedua bahunya.“Aku ada janji di tempat lain. Semoga malam kalian menyenangkan,” pamit Leo dan langsung bangkit dari kursinya. “Jadi?” tanya Rose sembari menyunggingkan senyum di bibirnya. “Umm, tentu saja. Kita akan pergi kemanapun yang kau mau,” jawab Arsen tanpa bisa menahan senyumnya. Sekarang ia justru berterima kasih pada Leo karena telah memaksanya untuk keluar dari apartemennya. Gadis misterius ini membuatnya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, disertai dengan desiran-desiran yang membuat jantungnya tak kunjung berdegup normal.Tapi apakah benar ini adalah jatuh cinta pada pandangan pertama?*** Dering ponsel yang cukup nyaring membangunkan Arsen dari tidurnya. Diliriknya jam weker di atar nakas yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Ia langsung teringat kebersamaannya dengan Rose kemarin malam, membuatnya merasa lebih hidup dan bersemangat.Gadis itu mampu membuatnya menikmati keindahan malam di musim gugur dengan caranya sendiri.Kenangan sekejap bersama gadis itu mampu mengurangi bayangan kelam yang terus membuatnya membenci musim gugur, meskipun hanya sedikit. Namun begitu, ia sadar bahwa saat ini ia kembali sendirian. Mendadak hatinya merasa kosong dan ketakutan melandanya.Entahlah, dia merasa takut tidak bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Padahal sebelumnya ia tak pernah seperti itu pada gadis manapun. Dengan langkah gontai, ia memasuki kamar mandi dan melihat bayangannya di cermin. Apa gadis itu hanya ilusi? Tapi aku masih bisa mengingat dengan jelas suara dan tawanya beberapa jam yang lalu. Semua yang dia lakukan tak pernah berhenti berputar di otakku, batinnya frustrasi. Cepat-cepat ia membersihkan tubuhnya dan keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. Diraihnya ponsel pintar di atas nakas, lalu mencari kontak Leo dan menghubunginya. "Leo, bisakah kau mencari tahu semua tentang Rose?" tanyanya langsung begitu panggilannya diangkat oleh Leo. ["Kau menghabiskan malammu dengannya?"] Suara Leo terdengar penasaran. "Yeah, dan sekarang gadis itu menghilang. Demi Tuhan, aku benar-benar menginginkan gadis itu. Tolong kau cari tahu dimana dia bagaimanapun caranya. Aku lupa menanyakan identitasnya kemarin malam, bahkan nomor teleponnya juga." Arsen berjalan menuju ke lemari pakaian dan melihat-lihat isinya. ["Cih, lupa? Alasan apa itu? Tapi hati-hati, Sobat. Kau bisa saja masuk ke dalam penangkapan,"] peringat Leo dengan nada yang terdengar serius. "Aku tak peduli, oke. Dia membuatku merasa berbeda dan lebih bersemangat dalam menjalani hidup," sahutnya sambil mengambil kemeja lengan panjang berwarna hitam, lantas mengenakannya.[Kelihatannya kau jatuh cinta padanya. Apa dia benar-benar menyenangkan? Tidak ada tanda-tanda bahwa dia seperti yang kuceritakan kemarin?"] tanya Leo. "Tidak, dia seperti gadis pada umumnya. Hanya saja dia jauh lebih berani dan tak segan-segan menunjukkan ketertarikannya padaku. Bukankah itu menyenangkan? Kukira dia hanyalah gadis manja dan labil seperti yang lainnya, tapi ternyata aku salah," kata Arsen seraya mengenakan celana jeans. ["Hah? Serius? Bagaimana bisa? Bukankah dia..."] “Aku sendiri juga tak tahu. Tapi justru dia membuatku semakin penasaran untuk mendekatinya dan mendapatkannya. Dia benar-benar misterius,” sahut Arsen sembari berjalan menuju ke tempat tidur. [“Oke, akan kuusahakan nanti agar bisa mendapatkan informasi mengenai gadis itu. Jangan lupa ke kampus. Bukankah hari ini jadwalmu ujian skripsi? Aku mau kerja dulu. Semoga ujiannya berhasil. Sampai jumpa.”] Terdengar bunyi sambungan telepon terputus di ponselnya. Ia melempar ponsel itu ke atas ranjang, dan tanpa sengaja matanya menangkap benda kecil berwarna hitam.Dia mendekati benda itu dan mengambilnya. Sebuah anting berbentuk mawar hitam yang tadi ia temukan di kursi mobilnya. Diciumnya anting itu, menikmati aroma parfum Rose yang masih tertinggal di sana. "Aku akan menemukanmu secepatnya, Gadis Misterius," gumamnya dengan penuh tekat, lalu meletakkan anting itu di atas nakas. Ia harus segera berangkat ke kampus untuk ujian, dan setelah itu mencari keberadaan Rose. Gadis yang berhasil membuatnya tergila-gila hanya dalam semalam.Apakah ia akan berhasil menemukannya? Ataukah pertemuan mereka adalah yang pertama dan terakhir kalinya? Yang pasti ia tidak akan menyerah untuk terus mencari gadis itu entah bagaimanapun caranya.Seminggu berlalu setelah pertemuannya dengan Rose, namun Arsen tetap tak bisa melupakan gadis itu. Hampir setiap malam ia rajin mengunjungi bar langganannya atau tempat-tempat yang pernah dikunjunginya bersama Rose, namun tak kunjung mendapati keberadaannya. Leo belum juga memberikan kabar padanya sampai saat ini, dan itu membuatnya gelisah. Gadis itu seakan-akan adalah hantu yang datang dan pergi sesuka hati. Ia sempat berdoa dalam hati, semoga dipertemukan dengan Rose dimana saja gadis itu berada. Namun doanya tak terkabulkan. Mungkin ia memiliki banyak dosa, sehingga Tuhan pun enggan untuk mengabulkan doanya. Semua orang yang mengenal Arsen terkejut dan heran dengan penampilannya yang berubah kacau dan putus asa. Padahal sebelumnya pria itu selalu tampil rapi dan menarik."Ternyata kau ada di sini. Sudah dari tadi aku mencarimu di tempat-tempat biasa, tapi kau malah mendekam di apartemenmu dengan kondisi yang menyedihkan," ucap Leo begitu menemukan Arsen yang tengah memandang ko
Claire baru saja keluar dari ruang ganti dan menaruh bajunya di loker khusus karyawan. Sudah enam bulan ia bekerja di restoran yang terletak tak jauh dari kampusnya ini, dan selama itu pula ia merasa betah bekerja di sini. Rekan-rekan kerjanya sangat ramah, begitu pula dengan manajernya. Apalagi suasana restoran begitu nyaman, dengan interior yang mayoritas terbuat dari kayu keras berkualitas tinggi. Setelah berdoa sejenak, ia bergegas menuju ke depan untuk melayani pengunjung restoran yang terus berdatangan."Claire," panggil Tuan Peterson, manajer di restoran ini."Ya, Tuan Peterson? Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya sambil mendekati pria berusia kira-kira 25 tahunan itu di samping ruang khusus staf."Layani pria yang ada di sana. Dia adalah pemilik restoran ini, jadi bersikaplah yang sopan padanya," perintah Tuan Peterson sambil menunjuk meja di bawah televisi layar datar, tepatnya di dekat jendela kaca yang menampilkan pepohonan yang daunnya sudah mulai memerah.Claire men
“Nona! Nona, hei jangan takut! Aku tak berniat jahat padamu, aku hanya ingin mengembalikan barangmu yang jatuh,” seru pria itu sambil menahan serangan tangan Claire.Suara pintu mobil dibanting dan langkah kaki berlari mendekati mereka tak didengar oleh Claire sama sekali, karena ia sibuk dengan ketakutannya sendiri.“Ada apa ini?” tanya pengemudi mobil itu.“Aku hanya ingin mengembalikan ponsel ini padanya, tapi gadis ini tiba-tiba saja lari ketakutan. Aku mengejarnya, dan dia justru semakin cepat berlari sampai aku kewalahan,” jawab pria berambut panjang itu sambil menyerahkan ponsel milik Claire.“Terima kasih. Lain kali potonglah rambutmu agar tidak membuat orang lain ketakutan ketika melihatmu. Kau boleh pergi.” Pengemudi itu menerima ponsel itu dan memegangi kedua lengan Claire.“Claire, hei! Ini aku, Arsen. Kau tak apa-apa? Jangan takut, kau aman,” kata pengemudi mobil yang ternyata adalah Arsen, setelah pria berambut panjang tadi benar-benar sudah menjauhi mereka.Claire
“Hah? Tidak, aku tidak punya saudara kembar. Aku punya adik, tapi wajahnya tidak mirip denganku. Kenapa?” tanya Claire sambil mengelap tangannya dan berbalik menghadap Arsen.“Eh? Umm...tidak, hanya saja...” Arsen berhenti sejenak, bingung harus mengatakan apa. “Aku...aku pernah melihat ada seseorang yang hampir mirip denganmu. Tidak. Bukan hampir, melainkan sangat mirip. Namanya Rose. Dia berasal dari Belanda. Apa kau benar-benar berasal dari Spanyol?” Claire mengangkat kedua alisnya. “Ya, aku memang berasal dari negara itu. Kau yakin Rose memiliki wajah yang sangat mirip denganku? Orang Belanda dan orang Spanyol jelas memiliki ciri fisik yang jauh berbeda. Dia seharusnya berwajah seperti orang-orang Amerika berkulit putih pada umumnya, kan?"Arsen terdiam, membenarkan perkataan gadis itu. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Oh, tentu saja. Dia terlalu fokus pada pesona Rose yang memabukkan. Sekarang Arsen bingung harus bertanya apa lagi, karena kebingungannya semakin bertamba
"Kau suka?" tanya Arsen begitu mereka sampai di tempat tujuan. "Suka sekali, Arsen. Tak kusangka ada tempat yang seindah ini," jawab Claire setengah berteriak saking kagumnya dengan tempat itu, Portland Japanese Garden. Claire langsung berlari ke tengah-tengah taman bernuansa Jepang itu dengan senyum merekah. Berbagai jenis tanaman bonsai dan pohon-pohon perdu membuat nuansa Jepangnya begitu terasa. Apalagi daun-daun dari setiap tanaman sudah mulai berubah ke dalam warna yang tak disangkanya begitu indah. Beberapa pohon masih berwarna hijau, namun banyak yang daunnya sudah berubah warna. Ada pohon yang keseluruhan daunnya berwarna merah marun, kuning, oranye, biru, bahkan ada bonsai yang hanya tinggal rantingnya saja dan berwarna ungu. "Ya Tuhan, tempat ini benar-benar seperti surga!" Claire menuju ke sebuah kolam yang dikelilingi oleh pohon dengan daun berwarna-warni. “Arsen, lihat ada air terjun mini! Hei, ada ikannnya juga! Astaga, tempat ini benar-benar membuatku merasa bah
Sudah sebulan Arsen dan Claire semakin dekat, hingga akhirnya mereka menyadari perasaan masing-masing. Mereka menyadari bahwa mereka saling mencintai. Arsen berubah menjadi pribadi yang ceria dan selalu tersenyum, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya keheranan. Banyak yang menerka-nerka apa yang terjadi pada pria itu sehingga bisa berubah drastis, karena sebelumnya Arsen suka marah-marah tak jelas atau murung sepanjang hari. Pria itu tak mempedulikan pendapat mereka karena baginya perasaannya terhadap Claire lebih penting. Tak akan dibiarkannya siapapun menyakiti Claire, karena gadis itu begitu penting baginya. Berkat gadis itu, ia bisa menjalani hidup dengan lebih berwarna. Rasa bencinya pada sang ayah pun mulai berkurang, meskipun terkadang masih ada rasa tak terima dengan perbuatan pria itu di masa lalu.Satu jam yang lalu, ia menyatakan cintanya pada Claire dan memintanya untuk menjadi kekasihnya. Claire dengan senang hati menerimanya, karena ternyata gadis itu juga memil
Jantung Arsen berdegup dua kali lebih cepat dan tubuhnya terasa panas dingin. Rasa rindu yang membuncah karena sudah sebulan lebih tak bertemu, membuatnya ingin segera menarik gadis di hadapannya itu ke dalam pelukannya. Dia ingin melampiaskan segala kerinduannya yang membuat pikirannya kacau.Mendadak ia lupa bahwa beberapa jam yang lalu baru saja meminta Claire untuk menjadi kekasihnya. Pikirannya langsung teralihkan begitu Rose berdiri di hadapannya dengan tatapan mata yang mampu membuat darahnya berdesir. "Boleh aku masuk?" tanya Rose dengan senyum yang terlihat mencemooh.Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, gadis itu langsung menerobos masuk dan melihat-lihat desain interior apartemen. “Masih sama seperti sebulan yang lalu. Nyaman, terasa hangat, dan mengingatkan siapapun pada rumah,” ucapnya sambil berkacak pinggang, kemudian mendekati Arsen dan menelusuri dada pria itu dengan ujung jari jemarinya."Aku tadi melihatmu hendak membunuh pria berambut panjang itu," kata Arsen de
Claire membelalakkan matanya saat melihat siapa orang itu. Emily. Kenapa ia tidak mengingat gadis itu sebelumnya? Gadis yang sempat bertahan cukup lama dengan Arsen, sebelum pria itu meminta Claire untuk menjadi kekasihnya. Setidaknya itulah yang ia dengar dari teman-temannya dan juga Josh. Seharusnya ia memastikan terlebih dulu hubungan Arsen dengan kekasihnya, bukan malah menerima permintaan pria itu hanya karena juga merasakan hal yang sama."Emily....lepaskan....aku." Claire hampir kehabisan nafas. Tangannya berusaha melepaskan cengkeraman tangan Emily dari lehernya, namun tak bisa. Dia terlalu lemah untuk melawan gadis itu, atau mungkin Emily yang terlalu kuat."Jauhi Arsen atau kau akan merasakan akibatnya," desis Emily sambil mempererat cengkeraman tangannya.Wajah Claire memerah dan hampir tak sadarkan diri, kalau saja tak ada orang lain yang menjauhkan gadis itu darinya. Claire langsung terbatuk-batuk dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, sambil memegangi lehernya yan