“Nona! Nona, hei jangan takut! Aku tak berniat jahat padamu, aku hanya ingin mengembalikan barangmu yang jatuh,” seru pria itu sambil menahan serangan tangan Claire.
Suara pintu mobil dibanting dan langkah kaki berlari mendekati mereka tak didengar oleh Claire sama sekali, karena ia sibuk dengan ketakutannya sendiri. “Ada apa ini?” tanya pengemudi mobil itu. “Aku hanya ingin mengembalikan ponsel ini padanya, tapi gadis ini tiba-tiba saja lari ketakutan. Aku mengejarnya, dan dia justru semakin cepat berlari sampai aku kewalahan,” jawab pria berambut panjang itu sambil menyerahkan ponsel milik Claire. “Terima kasih. Lain kali potonglah rambutmu agar tidak membuat orang lain ketakutan ketika melihatmu. Kau boleh pergi.” Pengemudi itu menerima ponsel itu dan memegangi kedua lengan Claire. “Claire, hei! Ini aku, Arsen. Kau tak apa-apa? Jangan takut, kau aman,” kata pengemudi mobil yang ternyata adalah Arsen, setelah pria berambut panjang tadi benar-benar sudah menjauhi mereka. Claire membuka matanya dengan perlahan dan nafas masih terengah-engah. “Arsen? Bagaimana kau bisa berada di sini?” “Kau pikir aku setega itu membiarkan seorang gadis pulang sendirian di malam hari seperti ini? Sebenarnya apa yang kau pikirkan dengan membantu teman-temanmu membersihkan restoran sampai malam, hah? Aku tadi sempat kehilangan jejakmu karena kau berjalan terlalu cepat.” Arsen menarik lengan gadis itu menuju ke mobilnya dan mendorongnya masuk ke sisi penumpang. “Lain kali jangan sok baik dengan melakukan apa yang bukan tugasmu. Jadwalmu hanya sampai jam 8 malam dan kau bisa saja naik taksi, demi Tuhan!” bentak pria itu setelah masuk ke sisi pengemudi dan menjalankan mobilnya. Claire justru menangis sebagai responnya. Tubuhnya gemetar dan kedua tangannya memeluk tas kuliahnya dengan erat. Kejadian tadi masih saja membuatnya ketakutan. Pasalnya, ini bukanlah kali pertama ia mengalami hal yang seperti tadi di sepanjang hidupnya. “Claire? Hei, kau tak apa-apa? Kenapa kau masih ketakutan seperti itu?” Suara Arsen terdengar panik di sebelahnya. Gadis itu mengangguk dengan tubuh gemetar, tapi kemudian menggeleng. “Apa? Sebenarnya kau ini kenapa? Reaksimu terlihat berlebihan,” tanya Arsen semakin panik. Claire memejamkan matanya tanpa menghiraukan kepanikan dari pria itu. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya dan tersenyum pada Arsen. “Aku tak apa-apa, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bisakah kau mengantarku pulang? Aku benar-benar sudah tak sabar untuk segera berendam di air hangat sebelum tidur,” jawab Claire dengan semangat, berbeda sekali dengan beberapa detik yang lalu. Arsen membuka mulutnya, terlihat jelas pria itu begitu kaget dengan perubahan sikap Claire yang terlalu cepat. “Tapi tadi kau...” “Oh, aku melupakan sesuatu. Apartemenku ada di Southwest Madison Street nomor 710. Aku lupa dimana jalannya karena terbiasa menaiki transportasi umum,” lanjut Claire, lalu terkekeh kecil setelahnya. Arsen mengerutkan keningnya, ingin sekali bertanya lebih lanjut mengenai perubahan Claire yang terlihat tak masuk akal, namun tetap melajukan mobilnya menuju ke alamat yang tadi disebutkan oleh gadis itu. "Kau mau mampir? Tapi apartemenku kecil dan biasa-biasa saja," tawar Claire basa-basi demi kesopanan, setelah mereka sampai di depan sebuah gedung apartemen bergaya kuno. "Baiklah. Lagipula apartemenku jauh dan ini sudah hampir tengah malam," jawab Arsen dengan santai dan membuat Claire terkejut, tak menyangka bahwa pria itu benar-benar menerima tawarannya."Tunggu! Aku kira kau akan menolak tawaranku. Kenapa kau malah menerimanya? Aku tadi hanya berbasa-basi saja," protes Claire, merasa kecewa dengan respon dari pria itu. Arsen hanya mengedikkan bahu tak acuh sebelum memasukkan mobilnya ke basement apartemen yang dindingnya berwarna abu-abu kusam dan terlihat tua itu. Dengan terpaksa Claire mengajak pria itu masuk ke dalam gedung apartemen dan menaiki lantai 4 dengan tangga untuk bisa sampai ke apartemennya sendiri.Begitu sampai dan mereka berdua masuk ke dalam, Arsen mengedarkan pandangannya. Barang-barang yang menghiasi apartemen itu sederhana dan berharga murah, tapi tata letak ruangannya terlihat rapi dan nyaman. Pria itu tak menyangka bahwa ia langsung merasa nyaman saat memasuki apartemen ini. "Duduklah, akan kubuatkan kau coklat panas," pamit Claire lalu menuju ke dapur yang tak jauh dari ruang tamu. Arsen bahkan bisa melihat kesibukan Claire dari sana. Beberapa menit kemudian, Claire kembali dengan dua mug coklat panas dan duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa tempat Arsen duduk. "Kau tinggal sendirian?" tanya Arsen karena dia tak mendapati siapapun di apartemen ini. "Ya, ibuku sudah meninggal dan ayahku tinggal di Moscow," jawab Claire kemudian tersenyum. "Maaf, aku tak bermaksud untuk menyinggungmu," kata Arsen tak enak. "Sudahlah tak apa-apa," jawab Claire sambil tersenyum manis.Senyum yang kini mulai sangat disukai Arsen karena mampu membuatnya ikut tersenyum. Meskipun senyuman itu terlihat sedikit berbeda dengan senyuman Claire tadi siang. Mereka kemudian berbincang mengenai banyak hal, mulai dari jurusan kuliah yang diambil, hobi, film favorit, bagaimana Arsen bisa terlambat kuliah sampai akhirnya bisa memiliki restoran sendiri, hingga hal-hal remeh lainnya.Arsen merasa bahwa Claire adalah orang yang menyenangkan dan sanggup membuat hatinya menghangat. Tingkah laku gadis itu membuatnya sadar, bahwa tak semua gadis hanya memikirkan harta dan berusaha memikat pria. Claire bersikap biasa padanya, menganggapnya layaknya teman yang menyenangkan meskipun baru hari ini mereka bertemu dan berkenalan.Tapi tetap saja, perubahan sikap Claire yang sekarang sedikit mengganggunya. Claire yang tadi siang rasanya tidak mungkin bisa seluwes dan seakrab ini berbincang dengannya, mengingat bagaimana reaksi gadis itu tadi ketika berhadapan dengan pria asing berambut panjang.Namun sebisa mungkin ia tahan rasa penasarannya itu. Bagaimanapun juga, mereka baru berkenalan hari ini. Rasanya sangat lancang dan tidak pantas jika tiba-tiba saja ia menuntut penjelasan pada gadis itu atas perubahan sikapnya. Dia bahkan bukan siapa-siapa. "Claire, bolehkah aku menginap di sini?" tanya Arsen setelah mereka terdiam cukup lama. Claire menatap Arsen dengan mata sayu dan memerah, kemudian mengangguk. Jari telunjuknya menunjuk ke arah kamar di sebelah dapur. “Kau bisa tidur di kamar itu. Ada kamar mandi di dalamnya. Maaf kalau kamarnya berantakan karena aku belum sempat membereskannya. Kalau begitu aku tidur dulu. Rasanya capek sekali. Selamat malam,” pamit Claire sambil tersenyum tipis. Arsen mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia melihat Claire beranjak dari sofa menuju ke kamarnya sendiri dengan langkah sedikit sempoyongan. Ia mulai mengikuti gadis itu dan masuk ke kamar di sebelahnya yang terlihat bersih, meskipun kelihatannya jarang atau bahkan tak pernah ditempati.Direbahkannya tubuhnya di atas ranjang bersprei coklat muda dan melihat langit-langit kamar. Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di dalam benaknya saat ini. Kalau saja tadi tak melihat kedua mata Claire yang hampir saja menutup, ia sudah memberondong gadis itu dengan semua pertanyaan yang ada di pikirannya.Tapi bukankah mereka baru saja berkenalan? Sangat tidak sopan sekali jika ia langsung menanyakan banyak hal yang bersifat pribadi. Apalagi mengenai kenapa gadis itu bisa dengan mudahnya mengijinkan lelaki asing sepertinya menginap, sedangkan ketika bertemu dengan pria berambut panjang tadi, Claire terlihat begitu ketakutan seperti memiliki phobia.Tanpa bisa dicegah, bayangan wajah Rose kembali melintas di benaknya. Senyum menggoda gadis itu tak pernah bisa hilang dari otaknya. "Rose, dimana kau sebenarnya? Apa kau tak merindukanku seperti aku merindukanmu?" gumamnya. Ingin rasanya ia keluar dari kamar ini dan masuk ke kamar Claire untuk mengobati rasa rindunya pada Rose, namun bisa-bisa nanti dia malah dikira pria mesum dan berniat jahat pada gadis itu. Ia tak yakin gadis itu akan diam saja saat ia memeluknya sembarangan. “Ini benar-benar tidak baik. Claire itu bukan Rose. Aku harus berhenti menganggap dia sebagai Rose,” gumamnya sebelum terlelap karena kelelahan, baik pada fisik maupun pikirannya.***Arsen mengerjapkan matanya berulangkali saat didengarnya suara-suara berisik di luar ruangan. Nyawanya masih belum sepenuhnya terkumpul, sehingga ia hanya menatap langit-langit kamar yang terlihat asing baginya. Matanya menelusuri setiap sisi kamar yang terlihat sederhana, mencoba mengingat-ingat sedang berada dimana ia sekarang, sampai akhirnya sadar bahwa kemarin malam ia menginap di apartemen Claire.Bergegas ia bangkit dari tempat tidur dan keluar menuju ke sumber suara berisik itu. Harum masakan yang semakin kuat menuntun langkahnya menuju ke dapur yang berukuran kecil di sebelah kamar yang ditempatinya. Terlihat sosok Claire yang sedang sibuk mengaduk-aduk masakannya di atas teflon. Arsen sengaja diam saja dan mengamati apa yang dilakukan oleh Claire. Ia merasa baru kali ini mendapati pemandangan seperti itu lagi setelah 15 tahun berlalu. Benar-benar seperti berada di rumah sendiri.Andai saja ibunya masih hidup, mungkin ia masih bisa melihat ibunya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Claire. Cepat-cepat ia mengusir kenangan pahit yang kembali hadir mengenai ibunya. "Arsen? Kau sudah bangun dari tadi?" tanya Claire dengan ekspresi kaget, saat melihat Arsen sudah bersandar di dinding sambil mengamatinya. "Yah, begitulah. Aku terbiasa langsung terbangun saat mendengar suara sekecil apapun," jawab Arsen sembari mengangkat bahu. "Sebaiknya kau mandi dulu, setelah itu sarapan. Aku akan menunggumu. Ada handuk baru di dalam kamar mandi yang sudah kusiapkan tadi," kata Claire sambil menyiapkan sarapan di atas meja makan dan menuangkan kopi ke dalam dua mug berwarna putih. Arsen menuruti perkataan Claire tanpa berkata apapun. Dia sendiri heran kenapa mau-mau saja menuruti saran dari gadis itu. Gadis yang baru ditemuinya kemarin siang di kampus secara tak sengaja, dan sempat bertingkah aneh tadi malam.Setelah selesai mandi, ia menuju ke meja makan dan mendapati Claire yang sudah menunggunya sambil tersenyum hangat. Pakaiannya sudah berganti dan penampilannya terlihat segar. Ia tertegun melihat senyum itu. Senyum yang sama seperti yang diberikan oleh ibunya saat masih hidup dulu. "Arsen? Ayo kita sarapan." Suara Claire membuyarkan lamunannya. Dia segera duduk di hadapan Claire dan melihat sarapan di depannya. Keningnya mengernyit saat melihat sepiring nasi berwarna coklat muda. "Masakan China?" tanya Arsen sebelum menyuapkan nasi itu ke dalam mulutnya. "Umm, aku tak tahu nasi goreng ini sebenarnya berasal dari mana, tapi aku menggunakan resep dari Indonesia karena rasanya lebih gurih. Makanan dari negara itu benar-benar enak dan banyak bumbunya," jawab Claire sebelum memakan sarapannya. Arsen mengernyitkan alisnya saat merasakan nasi goreng itu di lidahnya. Sebelumnya ia pernah memakan nasi goreng di restoran China, tapi rasanya tidak selezat ini. Benar kata gadis itu, bahwa masakan Indonesia lebih enak dan gurih."Kau benar-benar pintar memasak. Apa kau memang suka memasak? Kenapa tidak memasak makanan dari negaramu saja?” tanya pria itu setelah menyelesaikan sarapannya. “Sejak aku merasakan masakan Asia untuk pertama kalinya beberapa tahun yang lalu, aku menjadi ketagihan. Setiap masakan dari berbagai negara di benua itu sudah kucicipi. Akhirnya aku tergoda untuk mencoba berbagai resep, dan lidahku sangat cocok dengan masakan dari Indonesia,” jawab Claire sebelum menyudahi sarapannya. Arsen mengangguk-angguk. “Lain kali aku akan melakukan riset mengenai masakan Asia, siapa tahu saja pengunjung restoran semakin bertambah dengan adanya menu dari benua itu.” “Ide yang bagus. Bila perlu, sajikanlah menu dari negara-negara selain Jepang, China, dan Korea. Masakan dari Asia Tenggara dan Asia Selatan tak kalah enaknya dengan masakan dari ketiga negara itu,” saran Claire sambil membereskan piring mereka. “Kau sepertinya tahu banyak mengenai Asia. Apa salah satu keluargamu ada yang berasal dari sana?” tanya Arsen penasaran. “Tidak, aku dan keluargaku berasal dari Spanyol,” jawab Claire seraya memunggungi pria itu menghadap westafel.Arsen tertegun di tempatnya. Ada satu pertanyaan yang benar-benar harus ditanyakannya saat ini juga, atau ia akan terus dihantui oleh rasa penasaran.“Claire, apa kau...punya saudara kembar?” tanyanya ragu-ragu.Pertanyaan itu membuat Claire menghentikan kegiatannya, membuat Arsen merasa waswas sekaligus semakin penasaran. Jika memang benar Claire memiliki saudara kembar, maka kesempatannya untuk bertemu kembali dengan Rose sangatlah besar. Tiba-tiba dadanya berdegup kencang. Bagaimana jika Rose sewaktu-waktu muncul di apartemen ini?“Hah? Tidak, aku tidak punya saudara kembar. Aku punya adik, tapi wajahnya tidak mirip denganku. Kenapa?” tanya Claire sambil mengelap tangannya dan berbalik menghadap Arsen.“Eh? Umm...tidak, hanya saja...” Arsen berhenti sejenak, bingung harus mengatakan apa. “Aku...aku pernah melihat ada seseorang yang hampir mirip denganmu. Tidak. Bukan hampir, melainkan sangat mirip. Namanya Rose. Dia berasal dari Belanda. Apa kau benar-benar berasal dari Spanyol?” Claire mengangkat kedua alisnya. “Ya, aku memang berasal dari negara itu. Kau yakin Rose memiliki wajah yang sangat mirip denganku? Orang Belanda dan orang Spanyol jelas memiliki ciri fisik yang jauh berbeda. Dia seharusnya berwajah seperti orang-orang Amerika berkulit putih pada umumnya, kan?"Arsen terdiam, membenarkan perkataan gadis itu. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang? Oh, tentu saja. Dia terlalu fokus pada pesona Rose yang memabukkan. Sekarang Arsen bingung harus bertanya apa lagi, karena kebingungannya semakin bertamba
"Kau suka?" tanya Arsen begitu mereka sampai di tempat tujuan. "Suka sekali, Arsen. Tak kusangka ada tempat yang seindah ini," jawab Claire setengah berteriak saking kagumnya dengan tempat itu, Portland Japanese Garden. Claire langsung berlari ke tengah-tengah taman bernuansa Jepang itu dengan senyum merekah. Berbagai jenis tanaman bonsai dan pohon-pohon perdu membuat nuansa Jepangnya begitu terasa. Apalagi daun-daun dari setiap tanaman sudah mulai berubah ke dalam warna yang tak disangkanya begitu indah. Beberapa pohon masih berwarna hijau, namun banyak yang daunnya sudah berubah warna. Ada pohon yang keseluruhan daunnya berwarna merah marun, kuning, oranye, biru, bahkan ada bonsai yang hanya tinggal rantingnya saja dan berwarna ungu. "Ya Tuhan, tempat ini benar-benar seperti surga!" Claire menuju ke sebuah kolam yang dikelilingi oleh pohon dengan daun berwarna-warni. “Arsen, lihat ada air terjun mini! Hei, ada ikannnya juga! Astaga, tempat ini benar-benar membuatku merasa bah
Sudah sebulan Arsen dan Claire semakin dekat, hingga akhirnya mereka menyadari perasaan masing-masing. Mereka menyadari bahwa mereka saling mencintai. Arsen berubah menjadi pribadi yang ceria dan selalu tersenyum, sehingga membuat orang-orang di sekitarnya keheranan. Banyak yang menerka-nerka apa yang terjadi pada pria itu sehingga bisa berubah drastis, karena sebelumnya Arsen suka marah-marah tak jelas atau murung sepanjang hari. Pria itu tak mempedulikan pendapat mereka karena baginya perasaannya terhadap Claire lebih penting. Tak akan dibiarkannya siapapun menyakiti Claire, karena gadis itu begitu penting baginya. Berkat gadis itu, ia bisa menjalani hidup dengan lebih berwarna. Rasa bencinya pada sang ayah pun mulai berkurang, meskipun terkadang masih ada rasa tak terima dengan perbuatan pria itu di masa lalu.Satu jam yang lalu, ia menyatakan cintanya pada Claire dan memintanya untuk menjadi kekasihnya. Claire dengan senang hati menerimanya, karena ternyata gadis itu juga memil
Jantung Arsen berdegup dua kali lebih cepat dan tubuhnya terasa panas dingin. Rasa rindu yang membuncah karena sudah sebulan lebih tak bertemu, membuatnya ingin segera menarik gadis di hadapannya itu ke dalam pelukannya. Dia ingin melampiaskan segala kerinduannya yang membuat pikirannya kacau.Mendadak ia lupa bahwa beberapa jam yang lalu baru saja meminta Claire untuk menjadi kekasihnya. Pikirannya langsung teralihkan begitu Rose berdiri di hadapannya dengan tatapan mata yang mampu membuat darahnya berdesir. "Boleh aku masuk?" tanya Rose dengan senyum yang terlihat mencemooh.Tanpa menunggu jawaban dari Arsen, gadis itu langsung menerobos masuk dan melihat-lihat desain interior apartemen. “Masih sama seperti sebulan yang lalu. Nyaman, terasa hangat, dan mengingatkan siapapun pada rumah,” ucapnya sambil berkacak pinggang, kemudian mendekati Arsen dan menelusuri dada pria itu dengan ujung jari jemarinya."Aku tadi melihatmu hendak membunuh pria berambut panjang itu," kata Arsen de
Claire membelalakkan matanya saat melihat siapa orang itu. Emily. Kenapa ia tidak mengingat gadis itu sebelumnya? Gadis yang sempat bertahan cukup lama dengan Arsen, sebelum pria itu meminta Claire untuk menjadi kekasihnya. Setidaknya itulah yang ia dengar dari teman-temannya dan juga Josh. Seharusnya ia memastikan terlebih dulu hubungan Arsen dengan kekasihnya, bukan malah menerima permintaan pria itu hanya karena juga merasakan hal yang sama."Emily....lepaskan....aku." Claire hampir kehabisan nafas. Tangannya berusaha melepaskan cengkeraman tangan Emily dari lehernya, namun tak bisa. Dia terlalu lemah untuk melawan gadis itu, atau mungkin Emily yang terlalu kuat."Jauhi Arsen atau kau akan merasakan akibatnya," desis Emily sambil mempererat cengkeraman tangannya.Wajah Claire memerah dan hampir tak sadarkan diri, kalau saja tak ada orang lain yang menjauhkan gadis itu darinya. Claire langsung terbatuk-batuk dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, sambil memegangi lehernya yan
Arsen mengetuk pintu apartemen Claire, namun tak ada yang merespon. Berkali-kali ia mengetuk pintu dan memanggil nama Claire, namun hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba Arsen merasa cemas. Segera ia merogoh saku celana jeansnya dan meraih ponselnya. Ditelponnya nomor ponsel Claire, namun tak juga diangkat. Saat hendak beranjak dari depan pintu apartemen Claire, tiba-tiba saja ia mendengar suara teriakan seseorang yang berasal dari dalam.Jantung Arsen langsung berdegup tak karuan. Dia tahu betul suara milik siapa itu. Suara seseorang yang sangat dicintainya. Dengan panik dia mencoba membuka pintu itu dan ternyata tidak dikunci. Bergegas ia berlari menuju ke kamar Claire dan seketika itu juga matanya membelalak ngeri. Di depannya, Claire tengah tergeletak tak berdaya di atas lantai yang dingin dengan beberapa luka di tubuhnya. Kesadaran gadis itu mulai menipis. Arsen merasa jantungnya seperti diremas dengan kuat saat itu juga. Ia berteriak dan berlari menghampiri tubuh Claire. Namun seb
"Gadis jal*ng ini, sudah memukuliku dengan tiang lampu itu,” ucap Claire seraya mengedikkan kepalanya pada tiang lampu yang tergeletak di dekat sofa. “Jadi, sedikit luka bukan masalah yang besar, bukan?” lanjutnya sambil menekan mata pisau itu pada leher Emily, membuat gadis itu menjerit ketakutan dan meminta tolong pada kedua laki-laki itu.“Claire! Claire, dengarkan aku. Kau bukanlah monster. Kau adalah gadis yang baik hati dan sangat mencintai ibumu. Kau tidak ingin ibumu bersedih jika melihatmu seperti ini, kan? Bagaimana dengan ayahmu? Bukankah kau merindukan ayahmu? Ayolah, letakkan pisau itu dan biarkan Emily pergi dari sini,” bujuk Arsen dengan mata tetap waspada dan sedikit demi sedikit mendekati Claire. Ia memberi tanda pada Josh untuk mengikutinya dan segera merebut Emily.Claire tertawa terbahak-bahak dengan pisau semakin menekan leher Emily, membuat cairan merah itu mengalir dari sana dan isakan gadis pirang itu semakin keras. “Kau tahu, sebenarnya aku bukanlah Claire.
Meskipun parkiran rumah sakit memang sudah sepi, namun Arsen tetap menoleh ke sekitarnya untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang akan mendengarnya berbicara dengan seseorang yang kini menelponnya. Beberapa saat yang lalu setelah keluar dari kamar rawat Claire, ia langsung mengirimkan pesan pada teman SMA nya yang berprofesi sebagai seorang hacker untuk meminta bantuan. Mencari tahu segala sesuatu mengenai Claire tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan internet, karena informasinya sering tidak akurat dan kebanyakan berisi hoax. Apalagi jika yang menulis berita itu membenci Claire. "Halo, Fred. Kau sudah mendapatkan semua informasi mengenai gadis itu?"Hanya terdengar hening di seberang telepon, membuat Arsen kembali mengecek gawainya. Keningnya berkerut ketika mendapati bahwa telepon itu masih tersambung. "Fred? Halo? Kau masih di situ?"[Kau yakin ingin mencari tahu mengenai gadis itu?] Hening beberapa saat. "Tentu saja. Untuk apa aku mendadak menghubungimu jika tidak benar-