Share

Bab 6

Claire baru saja keluar dari ruang ganti dan menaruh bajunya di loker khusus karyawan. Sudah enam bulan ia bekerja di restoran yang terletak tak jauh dari kampusnya ini, dan selama itu pula ia merasa betah bekerja di sini.

Rekan-rekan kerjanya sangat ramah, begitu pula dengan manajernya. Apalagi suasana restoran begitu nyaman, dengan interior yang mayoritas terbuat dari kayu keras berkualitas tinggi.

Setelah berdoa sejenak, ia bergegas menuju ke depan untuk melayani pengunjung restoran yang terus berdatangan.

"Claire," panggil Tuan Peterson, manajer di restoran ini.

"Ya, Tuan Peterson? Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya sambil mendekati pria berusia kira-kira 25 tahunan itu di samping ruang khusus staf.

"Layani pria yang ada di sana. Dia adalah pemilik restoran ini, jadi bersikaplah yang sopan padanya," perintah Tuan Peterson sambil menunjuk meja di bawah televisi layar datar, tepatnya di dekat jendela kaca yang menampilkan pepohonan yang daunnya sudah mulai memerah.

Claire mengangguk dan segera menuju ke meja itu. Seorang pria berambut hitam tengah duduk membelakanginya dan terlihat sibuk menatap ke luar jendela.

"Selamat sore, Tuan. Anda ingin memesan sesuatu? Silahkan melihat menunya, atau anda bisa langsung memesan menu yang menjadi favorit anda," sapa Claire dengan sopan, kemudian mengangsurkan daftar menu yang tadi dipegangnya pada pria itu.

Pria itu mendongak dan langsung menatap Claire dengan intens. Selama sesaat Claire terkejut karena dia bertemu dengan pria itu lagi, Arsen. Pria itu sendiri langsung membelalakkan kedua matanya seperti tak percaya.

“Kau bekerja di sini?” tanya Arsen yang disertai dengan kerutan di antara kedua alisnya.

Claire mengangguk sambil tersenyum, bingung harus menjawab apa lagi. “Jadi, anda ingin memesan apa?”

"Aku pesan cappucino," jawab Arsen tanpa melihat menunya dan tetap menatap Claire.

Entah kenapa tiba-tiba Claire merasa gugup dan jantungnya berdegup kencang saat mata itu tetap menatapnya dengan intens. Namun ia harus bersikap profesional karena saat ini sedang bekerja.

"Baiklah. Silahkan menunggu beberapa menit lagi, Tuan. Pesanan Anda akan segera saya antarkan," balas Claire lalu menyunggingkan senyum manisnya dan berlalu dari hadapan Arsen.

Arsen tertegun. Senyum itu, membuat jantungnya berdegup kencang dan hatinya menghangat. Ia mengernyitkan kening dan meraba dadanya yang masih bergetar.

"Ada apa ini? Kenapa aku bisa merasakan ini setelah melihat senyuman dari gadis itu? Perasaan asing apa ini?" pikirnya.

Arsen kebingungan dengan perasaan baru yang ia rasakan. Belum pernah ia merasakan perasaan itu seumur hidupnya dan ini adalah yang pertama kalinya. Ia merasa nyaman dan hatinya menghangat.

"Siapa gadis itu? Mengapa dia bisa memberiku efek seperti ini?" batinnya. "Apakah benar dia bukan Rose? Sikap mereka begitu berbeda. Apa jangan-jangan Rose sedang berpura-pura tak mengenalku? Kenapa dia seperti baru pertama kali melihatku ketika di kampus tadi?"

Saat Arsen masih berkutat dengan pikirannya, Claire datang membawakan pesanannya.

"Silahkan menikmati pesanan Anda, Tuan. Kalau ada yang ingin Anda pesan lagi, silahkan memanggil saya atau rekan saya yang lain. Permisi," pamit Claire dengan sopan dan bergegas pergi dari sana.

"Tunggu!" seru Arsen saat Claire baru berjalan tiga langkah dari mejanya.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan?" tanya Claire begitu dia kembali menghampiri Arsen.

"Duduk di sini dan temani aku," pinta Arsen sambil menatap gadis itu.

Claire terkejut dengan permintaan pria itu, namun mendadak teringat bahwa dia adalah pemilik restoran ini. Akhirnya ia menyetujui permintaan Arsen dan duduk di sampingnya.

"Panggil aku Arsen saja, tak usah terlalu formal seperti itu. Kalau boleh tahu, siapa namamu?" tanya Arsen sebelum menghirup cappucinonya.

"Nama saya Claire. Saya baru enam bulan bekerja di sini," jawab Claire gugup.

Arsen menyesap cappucinonya sambil masih mengamati Claire dengan kening berkerut. Claire? Jadi benar dia bukan Rose? Tapi kenapa wajah mereka sama persis? Bahkan bentuk bibir mereka pun sama. Hanya saja ia merasa ada yang berbeda dengan Claire. Aura kedua perempuan itu berbeda. Claire terlihat lebih kalem dan ramah, sangat berbeda dengan Rose yang begitu percaya diri dan terlihat menggoda sekaligus berbahaya.

Claire tetap terlihat cantik meski sedang mengenakan seragam pelayan. Rambutnya disanggul dan menyisakan beberapa helai di kiri dan kanan wajahnya. Bibirnya dipoles dengan lipstik berwarna merah marun.

Arsen menelan ludahnya. Darahnya langsung berdesir. Bibir itu, bibir merah itu mengingatkannya pada pujaan hatinya, Rose. Gadis misterius yang membuatnya kacau hanya dalam semalam. Hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang telah dilakukan oleh Rose hingga ia begitu tergila-gila padanya.

Sekali lagi Arsen mengamati Claire dan ia sampai pada satu kesimpulan. Gadis itu mirip dengan Rose. Tidak, mereka benar-benar seperti saudara kembar identik. Fisik dan wajah mereka benar-benar serupa bagai pinang dibelah dua. Bahkan warna kulit dan tinggi mereka pun sama. Hanya gaya rambut, sifat, tingkah laku, dan penampilan mereka yang berbeda.

Claire terlihat lebih sederhana, apa adanya, dan tak begitu peduli dengan riasan wajah. Sedangkan Rose yang diketahuinya begitu genit, suka menggoda, berani, dan menyukai kemewahan duniawi. Wanita itu juga pandai merias wajahnya sehingga terlihat lebih cantik namun tak berlebihan. Ia mengerutkan keningnya. Lantas apa yang membuatnya mencintai Rose dan begitu tergila-gila padanya?

Ia buru-buru mengerjapkan mata dan segera beranjak dari kursinya tanpa aba-aba. Dia perlu mendinginkan kepalanya. Tiba-tiba kerinduannya pada Rose kembali hadir dan semakin memuncak. Ia ingin mengobrak-abrik setiap tempat untuk bisa menemukan Rose dan kembali merasakan semangat itu lagi.

Sementara itu, Claire hanya bisa mengangakan mulutnya saat melihat Arsen yang tiba-tiba saja meninggalkannya. Dia tak habis pikir dengan pria itu. Beberapa saat yang lalu memintanya untuk menemaninya, namun sekarang pria itu justru meninggalkannya begitu saja. Apakah ia berbuat kesalahan yang tidak ia sadari?

Tak ingin pusing dengan perkara yang bukan urusannya, Claire hanya mengangkat bahu dan melanjutkan pekerjaannya melayani pengunjung restoran yang baru masuk. Bukan urusannya jika pemilik restoran ini bersikap aneh. Dimana-mana yang namanya pemilik pastilah bisa bertindak sesuka hatinya tanpa ada yang berani melarang.

***

Setelah 7 jam bekerja di restoran yang selalu ramai pengunjung, Claire akhirnya bisa pulang. Ia terpaksa harus berjalan menuju ke apartemennya, karena transportasi umum sudah tidak beroperasi pada jam segini.

Josh tidak bisa mengantarkannya pulang malam ini, dan bukan keputusan yang bagus untuk menghentikan taksi yang beberapa kali lewat, disaat kondisi keuangannya berada dalam tahap mengkhawatirkan. Lain kali ia akan membawa sepeda seperti yang disarankan oleh Josh.

Kakinya terus melangkah menelusuri Southwest Broadway, melewati gereja dan museum, kemudian belok kanan ke kawasan yang dipenuhi oleh pepohonan tinggi. Dari sini kakinya mulai ragu untuk melangkah, dan akhirnya berhenti di depan sebuah gereja lagi.

Keningnya berkerut dalam sambil melihat ke sekelilingnya. Hanya ada pepohonan tinggi dan gedung di sebelah gereja yang terlihat sangat sepi dan menakutkan baginya. Hatinya mulai bimbang akan melangkah kemana, karena ini baru pertama kalinya ia berjalan dari tempat kerjanya ke apartemennya.

Beberapa kali ia terus menengok ke kanan dan ke kiri, berharap ada pejalan kaki seperti biasanya, namun harapannya nihil. Sambil menguatkan hati, ia memutuskan untuk melewati bangunan gereja tua itu.

Dilihatnya jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya, menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ia mengumpat pelan, teringat bagaimana tadi harus membantu teman-temannya membereskan restoran yang sangat kotor, karena pengunjung benar-benar membludak.

Langkah kaki yang terdengar cukup cepat di belakangnya membuatnya waswas sekaligus lega. Ia membalikkan badannya, berpikir bahwa itu adalah salah satu pejalan kaki yang bisa dimintainya tolong. Namun yang dilihatnya adalah seorang pria dengan jenggot tebal dan rambut panjang.

Refleks ia berbalik dan berlari secepat yang ia bisa. Adrenalinnya langsung meningkat dan jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya, berakibat pada nafasnya yang terengah-engah dan dadanya terasa sakit. Panjangnya kawasan hijau di sepanjang jalan yang dilewatinya terasa seperti hutan rimbun tak berujung.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil yang melaju ke arahnya memunculkan secercah harapan di hatinya. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan melambai-lambaikannya.

“Tolong aku! Sebelah sini, tolong aku!” teriaknya pada pengendara mobil itu yang semakin mendekat.

Namun tangannya langsung dicekal dari belakang dan tubuhnya dibalikkan dengan paksa. Ia meronta-ronta sambil memukuli pria itu dan berkali-kali berteriak meminta tolong. Pikiran-pikiran buruk terus saja menghantuinya.

Tubuhnya mulai melemah karena tadi belum makan malam. Ia sudah pasrah jika pria asing itu akhirnya berhasil berbuat jahat padanya. Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah, dan ketakutan membuat tubuhnya gemetar hebat.

Apakah ia akan berakhir di jalan yang sepi ini malam ini? Kenapa ia harus selalu berada di situasi seperti ini dimanapun dia berada?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status