“Apa?!” Lilia menatap Arya dengan sepasang matanya yang berair. “Ayah mau menjadikan aku sebagai alat penebus utang?!”
“Dengan begitu kamu akan sedikit berguna, ‘kan?” balas Arya dengan tawa puas. Pria dengan tato di lehernya itu tampak memindai Lilia selama beberapa saat sebelum ia kembali memandang ayah angkatnya. “Akan aku bawa dulu dia, biar Madam yang menentukannya nanti. Ingat, urusan kita belum selesai!” “Lepas!” teriak Lilia saat pria itu merenggut lengannya dengan kasar dan memaksanya bangkit dari posisinya. Lilia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tenaganya seolah terkuras habis untuk bertahan dari serangan Arya beberapa saat yang lalu. Ia pontang-panting diseret keluar dari kamar, langkah kakinya terseok. Telapaknya terasa dingin menapaki lantai dengan tanpa alas. Air mata dan permohonannya diabaikan. Ia melihat sebuah mobil jeep warna hitam yang ada di halaman, yang entah akan membawanya ke mana setelah ini. “Masuk!” titah si pria bertato tersebut, mendorong Lilia tanpa perasaan. Tak ada lagi sisa tenaga yang dimilikinya, matanya tertutup saat mobil melaju meninggalkan halaman rumahnya. Ia jatuh pingsan. *** Bahu Lilia terasa dingin, udara di sekitarnya seolah mengiris kulit sehingga itu membuatnya perlahan membuka mata. Pandangannya mengedar, mencoba mengenali tempat asing ini. Ia meraba tubuhnya dan menjumpai dirinya hanya berbalut pakaian minim yang menutupi sebagian kecil tubuhnya. ‘A-aku di mana?’ tanyanya dalam hati. “Sudah bangun?” tanya sebuah suara yang datang dari samping kanan. Saat Lilia menoleh, ia melihat seorang wanita berambut panjang yang duduk di sofa dengan kaki menyilang. Jari wanita itu menjepit sebatang rokok yang asapnya mengepul di udara. “A-Anda siapa?” tanya Lilia. “Panggil saja aku ‘Madam Savannah’,” jawabnya. “Mulai hari ini kamu harus melayani pelanggan yang datang dan—” “Pelanggan?” Lilia memandang Madam Savannah, bibirnya gemetar saat wanita itu mengangguk dan memperdengarkan tawanya. “Iya, pelanggan,” jawabnya. “Aku rasa kamu tidak cukup bodoh untuk tahu pelanggan seperti apa. Pria yang datang untuk—” “Tidak!” potong Lilia tak peduli akan apa yang ia katakan. “Aku tidak mau. Aku bukan wanita seperti itu!” Tawa wanita itu justru semakin nyaring mendengar Lilia. “Apa boleh buat?” tanggapnya. “Kamu tidak bisa menolak. Keberadaanmu di sini saja masih belum cukup membuat Arya membayar utang-utangnya. Dan lagi—” Wanita itu mematikan rokoknya pada asbak keramik yang ada di atas meja. “Wanita yang diserahkan padaku artinya sudah menjadi milikku. Mereka harus tunduk, dan sebaiknya kamu sadar kalau kamu menjadi pelunas utang, kamu sudah tidak memiliki masa depan. Nikmati saja hidupmu.” Senyum Madam Savannah meremehkan Lilia. Saat ia bangun, Lilia dengan cepat memohon. “Akan aku lakukan apapun asalkan aku tidak menjadi wanita bayaran,” ucapnya dengan suara bergetar. “Keluarkan aku dari sini. B-bagaimana kalau aku lunasi pelan-pelan utang ayahku juga?” “Dan kamu pikir aku akan percaya?” balas wanita itu, ia mendorong kepala Lilia seraya berujar, “Lakukan saja tugasmu dengan baik, dan buat pelanggan puas.” “Keluarkan aku dari sini! Aku tidak mau!” seru Lilia putus asa. Ketakutan merundungnya hingga ke ujung kaki. “Mereka sudah membayar di awal padaku, ambil saja tipsnya!” ujar wanita itu tak peduli, lalu menghilang di balik pintu yang tertutup dari luar. Lilia berusaha mengejarnya, tapi tak membuahkan hasil. Ia memutar kenop. Ia tarik dan ia dorong, tetapi hasilnya nihil. Bukan hanya pintunya saja, tetapi juga jendela yang ada di dalam ruangan itu. Semuanya terkunci rapat, tidak ada celah. Memenjarakannya di dalam tempat ini. Lilia yang berdiri di dekat ranjang berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut yang ia gapai dari atas ranjang saat melihat pintu yang terbuka dari luar. Ada yang datang. Lilia bisa memastikan bahwa itu adalah seorang pria hidung belang yang disebutkan oleh Madam Savannah. Suara langkah kakinya lebih dulu terdengar saat Lilia belum bisa melihat wajahnya seperti apa. Cahaya temaram mengungkungnya dalam ketakutan yang besar. Bayangan gelap yang ia benci itu hadir di dalam pikirannya. Seakan melemahkan jiwanya, ingatan kelam tentang tangan besar pria yang berusaha menjamahnya itu tiba-tiba saja menguat. Perutnya membeku saat langkah pria itu semakin dekat dengannya. Wangi musk yang tidak asing menyapa indera pembau Lilia. Ia satu langkah mundur saat akhirnya bisa melihat dengan jelas seperti apa wujud pria yang memasuki kamar ini. ‘William?!’ jerit Lilia dalam hati. Pria bertubuh tinggi menjulang dengan wangi musk itu adalah dirinya. Rahang tegas dan wajah rupawannya yang seolah menyimpan rahasia itu adalah William Quist! Lilia merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya kala benaknya dipenuhi oleh banyak tanya, ‘Kenapa dia ada di sini?’ Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Langkah William berhenti tepat di hadapannya. Pria itu merendahkan tinggi tubuhnya untuk mensejajarkan pandangan. Senyumnya yang tipis lambat laun terukir. “Kita bertemu lagi, Lilia.”terima kasih sudah membaca yaaa ❤️ pastikan kalian udah memasukkan buku ini ke pustaka karena akan update setiap hari, 🤗 TYSM ILYTTMAB 🌝🪄
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuar
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba