Kepala Lilia terasa pening saat ia menengadahkan wajah untuk menatap sejenak langit muram siang ini.
Ia meriang sejak kemarin tetapi masih memaksakan diri untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Sudah sekitar lebih dari dua minggu pasca ia meninggalkan rumah William. Ia diterima menjadi seorang guru tambahan di sebuah taman kanak-kanak. Meski dulu ia menjadi pelayan di rumah keluarga Roseanne—rumah keluarga Ivana—tetapi ia diizinkan untuk tetap melanjutkan pendidikan. Berkat itu jugalah ia memiliki bekal untuk menata ulang hidupnya. Menapaki lantai pucat di sepanjang lorong yang mengantarnya tiba di depan sebuah jendela besar ruang ICU, sebuah rasa takut memburunya. “Ada apa ini?” tanyanya dalam kebingungan. Ia melihat kepanikan yang terjadi di dalam sana, seorang dokter dan beberapa perawat yang mengerumuni ranjang tempat di mana seorang wanita terbaring tak berdaya. “Ibu ….” sebutnya lirih. “Tidak—” Hatinya terasa hancur melihat ibunya—Alya—yang tubuhnya terguncang saat dokter meletakkan alat kejut jantung di dada wanita paruh baya itu. Ketegangan memenjarakan napasnya untuk beberapa menit hingga berangsur memudar saat sepertinya keadaan Alya kembali stabil. Lilia melihat pintu ruang ICU yang terbuka dan ia segera bertanya pada dokter, “Apa yang terjadi pada Ibu saya, Dokter?” “Hal yang sedikit kurang baik,” jawab beliau. “Apakah Anda sudah mengurus soal operasi transplantasi hati untuk pasien?” Mendengarnya membuat Lilia meremas jari-jari tangannya hingga terasa kebas. “B-belum,” jawabnya. “Saya sarankan untuk segera menyelesaikannya, Bu Lilia,” kata beliau. “Karena jika terus ditunda, kami tidak bisa lagi menjamin keselamatannya.” Bibirnya seketika terbungkam, ia tertunduk saat dokter beranjak pergi dari hadapannya. Menyisakan dirinya yang berdiri dalam hening dan terombang-ambing dalam kebimbangan. ‘Harus bagaimana caraku mendapatkan uang?’ tanyanya dalam hati. Ia belum mendapatkan gaji dari mengajar, sekalipun sudah … itu masih sangat jauh dari nilai fantastis untuk menutup semua biaya operasi transplantasi hati sang ibu. ‘Kalau sebelumnya aku bisa mengadu pada Nona Ivana, sekarang tidak lagi,’ batinnya. Lilia tak memiliki tujuan atau pun pandangan, meski sempat terbesit di pikirannya ia bisa menemui Nicholas dan meminta bantuan darinya … ia tepis jauh-jauh pikiran itu! ‘Kalau aku lakukan itu, artinya aku sama saja dengan membenarkan apa yang dituduhkan oleh William bahwa aku hanya mementingkan uang.’ “Aku pulang dulu, Bu,” ucap Lilia mengulum senyum getir. “Aku pasti akan menemukan cara untuk bisa menyelamatkan Ibu.” Lilia pergi meninggalkan jendela besar ruang ICU itu dengan putus asa. Langkah membawanya pergi dari rumah sakit hingga tiba di rumahnya. Saat ia melewati pintu masuk, Lilia menyadari ada orang lain di dalam. Suaranya terdengar dari salah satu kamar yang pintunya terbuka. Lilia mendekat dan menjumpai ayah angkatnya—Arya—yang tengah mengobrak-abrik isi lemari. Pria paruh baya itu diketahuinya tidak pernah pulang sejak ibunya jatuh sakit, dan sore ini Lilia menjumpainya ada di dalam rumah dan membuat kekacauan? Apa maunya? “Apa yang Ayah lakukan?” tanya Lilia dengan suara yang serak. “Mencari sertifikat rumah,” jawabnya tanpa beban. “Kamu tahu di mana ibumu menyimpannya?” Ia sekilas menoleh pada Lilia seraya terus menarik pakaian dari dalam lemari hingga semua bagiannya berserakan. “Untuk apa sertifikat rumah?” “Mau aku berikan pada penagih utang,” jawabnya. “Mereka akan datang dan menagih uang yang aku pinjam, Lia. Bantu aku mencarinya!” Rahang Lilia menggertak penuh amarah. Napasnya seakan terperangkap di dalam dada saat ia mendengar alasan ketidaktenangan ayah angkatnya itu. “Apa Ayah tidak sadar kalau Ayah itu sangat egois?!” seru Lilia. Kemarahan menyeruak dari caranya berucap dan itu membuat Arya berhenti melakukan apapun dan memilih untuk memandangnya. “Bicara apa kamu?!” “Ayah tidak pernah peduli dengan bagaimana keadaan Ibu,” sahutnya. “Ayah tidak peduli apakah Ibu sakit atau hampir mati. Yang Ayah pedulikan hanya diri ayah sendiri.” “Anak kurang aj—” “Apakah yang aku katakan salah?” desak Lilia. “Uang yang Ayah pinjam itu harusnya untuk berobat Ibu, bukan untuk kesenangan Ayah sendiri dengan berjudi atau main gila dengan wanita lain! Ibu sedang sakit, Ayah! Tolong mengertilah!” Plak! Tepat saat Lilia berhenti bicara, ia merasakan nyeri pada pipi sebelah kirinya. Tubuhnya limbung menerima hantaman tangan Arya yang melayang hingga rahang kecil itu seakan remuk. “Lancang kamu, Lilia!” hardiknya tajam. “Apa hakmu menceramahiku seperti itu, hah?!” tudingnya dengan wajah memerah karena marah. “Ingat baik-baik, kamu itu hanya anak angkat! Kamu aku besarkan tidak untuk kurang ajar begini! Kamu harusnya menjadi anak yang berbakti! Mengerti kamu?!” “AKH!” Lilia berteriak kesakitan saat telapak besar pria itu mendorongnya. Kepalanya membentur kaki meja yang berada tak jauh darinya, mengakibatkan benda-benda yang ada di atasnya jatuh berhamburan dan pecah di lantai. Dengung asing menyakiti telinganya sedetik setelah benturan itu terjadi. Lilia mengangkat wajahnya yang sudah penuh air mata. Ia hendak membalas Arya tetapi sayangnya pria itu lebih kuat. Ayah angkatnya itu lebih dulu menepisnya. Ia meringkuk melindungi kepalanya saat ia melihat Arya membawa sebuah tongkat panjang yang digunakannya untuk menyakiti Lilia. Pukulan itu bertubi-tubi menghujani lengan, bahu atau bahkan punggungnya. “Arya, aku tahu kamu di dalam! Keluar sekarang juga!” Jika suara berat seseorang tak terdengar dari luar, Lilia pasti akan mati di tangan besi pria ini! Arya tampak ketakutan saat beberapa pria datang memasuki rumah dan menemukannya di dalam kamar. “Kamu sudah janji membayarnya hari ini!” ucap pria dengan tato di lehernya. “Lunasi sekarang atau besok kamu ditemukan di tepi jalan dengan keadaan tidak bernyawa!” ancamnya. “Aku—aku—” Arya terlihat bingung untuk menjawab atau menata kata. Lilia yang bersimpuh di lantai dan menahan sekujur tubuhnya yang remuk terkejut saat ayah angkatnya itu mengatakan, “Bawa saja dia!” tunjuknya pada Lilia. “Kalian bisa menyerahkannya pada Madam sebagai ganti karena aku tidak bisa membayar utang!” ….jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan ☺️ sampai jumpa besok lagi ya akak semua 🦩🌸 maaf 1 bab dulu update nya yah, TYSM ILYTTMAB 🌝
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuar
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba