ホーム / Horor / Rahasia Ibu Mertuaku / Larangan malam purnama

共有

Larangan malam purnama

作者: Lia Scorpio
last update 最終更新日: 2023-04-04 13:06:59

 "Aku sudah cerita ke ibu. Mungkin ibu lupa. Aku juga tau kamu hamil dari ibu," ujar mas Harto, setelah mengatakan itu langsung menutup mulutnya.

 "Kenapa Mas? Keceplosan?" tanyaku, memicingkan mata.

 Mas Harto tampak salah tingkah. Ia mendekat dan menatapku lekat. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan isyarat matanya.

 "Bagaimana kalau kita menyewa rumah Yank?" 

 Tawaran mas Harto sukses membuatku terkejut.  Maksudnya apa? Aku tanya apa, ia malah menawariku pindah rumah. Memangnya apa yang salah jika diam di sini bersama kedua orang tuanya? Toh ibu bukan seperti ibu mertua pada umumnya yang cerewet atau banyak mengatur. Aku merasa betah tinggal di sini. Ibu tidak pernah memintaku membersihkan rumah. *anjuga tidak marah, kalau kerjaku hanya berada di dalam kamar seharian. Bukan karena aku malas. Aku hanya ingin mas Harto berbakti pada ibunya selagi masih ada.

 "Mas, kenapa kamu selalu mengajakku pindah rumah? Kalau kita pindah, kasihan ibu. Dia pasti kesepian kalau bapak kerja. Kita tinggal di sini saja Mas! Sedari kecil aku sudah kehilangan kedua orang tuaku. Aku besar hanya dirawat kakak-kakakku. Di sini aku bisa merasakan rasanya punya ibu, punya bapak, punya orang tua lengkap," ucapku, sudut mataku mulai berair saat mengatakan itu.

 "Aku tau apa yang kamu mau Yank. Tapi kan tidak etis saja, kalau kita selamanya tinggal di sini. Biar bagaimanapun kita sudah menikah, dan aku wajib memberikan tempat tinggal yang nyaman untuk kamu. Sekalian belajar mandiri juga," terang mas Harto, mengatakan alasannya.

 Semua yang Harto katakan memang benar. Kami sudah menikah. Dan, sudah sepantasnya tinggal di rumah sendiri, walaupun itu hanya mengontrak. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku ingin terus tetap tinggal di sini. Rasanya berat sekali.

 "Kita bicarakan ini nanti. Sekarang aku mau tanya ke kamu. Aku perhatikan, semenjak kita pindah ke rumah ini, kamu sepertinya menjaga jarak dengan ibu. Kamu lagi ada masalah sama ibu?" tanyaku, berharap mas Harto bisa menjawab rasa penasaranku.

 "Tidak! Aku dan ibu baik-baik saja. Kita tidak usah membahas masalah ibu lagi. Aku lelah, bagaimana kalau kita sholat sebentar, terus setelah itu kita keluar cari makanan?" tawar Mas Harto, sepertinya sengaja mengalihkan pembicaraan kami.

 Aku mengangguk setuju. Lagi pula, ini juga sudah memasuki waktu sholat maghrib. Dengan bergandengan tangan, kami berdua berjalan keluar kamar menuju arah dapur.

 Dari luar, saat kami melewati kamar ibu. Suara berisik terdengar samar. Jika sudah masuk waktu magrib, kebiasaan ibu pasti akan berdiam diri di dalam sana sampai pagi menjelang. Entah apa yang ibu lakukan di dalam sana.

 "Mas, suara apa itu?" tanyaku, penasaran.

 "Jangan dihiraukan! Sekarang kita ambil wudhu, setelah itu masuk kamar lagi!" titah mas Harto, menarik tanganku menjauh dari depan kamar.

 "Mas, aku mau ke kamar kecil dulu. Sudah kebelet ini," ujarku, berniat memisahkan diri.

 "Pipis di sini saja! Jangan ke kamar kecil!" sahut mas Harto, melarangku.

 Mendengar larangannya, tentu saja aku menolak. Aku tidak mungkin menunaikan hajat di ruang terbuka seperti ini. Biarpun mas Harto adalah suamiku, tetap saja aku malu. 

 "Malu Mas, aku ke kamar kecil saja!" tolakku, berniat pergi.

 "Sudah, di sini saja! Memangnya malu kenapa? Aku kan suami kamu, masa kamu malu? Di sini tidak mungkin ada orang lain juga," ucap mas Harto, bersikeras menahanku.

 Yang dikatakan mas Harto memang ada benarnya juga. Rumah ibu berjarak cukup jauh dari tetangga lain. Di desa ini, jarak antar rumah yang satu ke yang lain memang lumayan jauh. Wajar saja ia memintaku tidak usah malu. 

 "Tidak mau Mas! Aku ke kamar kecil sebentar saja. Kamu ambil wudhu duluan saja!" Aku juga bersikeras menolaknya. 

 Tanpa mempedulikan larangan mas Harto, aku menjauh, lalu mengayunkan langkah menuju kamar kecil.

 "Uek..."

 Kakiku melangkah mundur, saat pintu kamar kecil terbuka lebar. Pencahayaan memang remang di dalam sini. Karena memang hanya menggunakan lampu minyak. Yang membuat aku ingin muntah, aku tidak tahan dengan bau kamar kecil ini.

 "Kamu kenapa Yank?" tanya mas Harto, sigap menyusulku.

 "Bau sekali Mas. Kenapa kamar kecilnya bau seperti ini? Padahal tadi pagi sudah aku bersihkan. Setiap hari dibersihkan, tapi setiap hari juga bau pesing dan anyir," sahutku, bicara sambil menutup hidungku.

 "Hem, biarkan saja! Kamu pipis di sana saja! Sekalian siram bersih-bersih, terus ambil wudhu!" titah mas Harto, dengan cepat menutup pintu kamar kecil.

 Dengan tergesa-gesa aku menunaikan hajat, lalu mengambil wudhu di dekat sumur. Malam ini suasananya terasa seram sekali.  Entah hanya perasaanku saja, atau memang menyeramkan. 

 Sejenak aku mendongak menatap langit. Cahaya bulan benar-benar terang malam ini. Bentuknya bulat sempurna. Sepertinya bulan sedang dalam bentuk terindahnya.

 "Yank, ayo cepat! Nanti keburu masuk waktu isya!" Panggil mas Harto, mengejutkanku.

 Aku gegas mendekatinya. Namun, sebelum aku mencapai mas Harto. Sempat aku berbalik ke belakang. Diantara rimbunnya batang-batang pohon bambu, sesuatu melayang cepat, menyisakan bau anyir yang sangat menyengat. Terakhir sebelum sosok itu menghilang, dapatku lihat cahaya merah melesat cepat.

 "Yank, ayo!"  Panggil mas Harto lagi.

 Kali ini ia tidak hanya memanggilku, melainkan menarik tanganku sedikit kasar menjauh dari belakang rumah.

 Sesampainya kami di dapur. Bapak sedang sibuk menyiapkan makan malam. Entah kapan bapak datang. Hanya bapak, sedangkan ibu sama sekali tidak terlihat. Aku sudah biasa dengan pemandangan ini setiap malamnya. Awal-awalnya aku memang curiga dengan kebiasan ibu. Tapi lama-lama aku sudah mulai terbiasa.

 "Pak, kapan pulang?" tanyaku, menghentikan langkah.

 "Baru aja Na. Kalian dari mana?" tanya bapak, menatap kami berdua.

 "Dari belakang Pak, ambil wudhu. Bapak tidak sholat?" tanyaku.

 Mas Harto hanya diam. Ia bahkan tidak menyapa bapaknya sendiri.

 "Nanti saja Na," jawab bapak mertuaku, tersenyum masam.

  Entah apa arti dari senyuman bapak. Aku tidak terlalu menanggapinya. Dari arah belakangku, mas Harto mengajakku untuk cepat ke kamar.

 "Pak, kami ke kamar dulu!" pamitku, berjalan lebih dulu.

 "Har, ini malam purnama. Kamu dan istrimu di kamar saja! Jangan keluar kamar sampai menjelang subuh! Kunci pintu dan jendela rapat-rapat!" titah bapak, dapat aku dengar sangat jelas.

 Dalam hati mulai bertanya-tanya. Apa maksud bapak mengatakan itu? Memangnya ada apa dengan malam purnama? Kenapa kami harus mengurung diri sampai subuh menjelang? Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku. Mungkin nanti aku tanyakan langsung ke mas Harto saat di kamar.

 "Baik Pak," jawab mas Harto, kemudian menyusulku.

 Saat kami berdua melewati kamar ibu. Suara bising tadi sudah tidak terdengar. Senyap dan sepi sekali. Mungkin ibu sudah tidur lebih dulu. Biasalah ibu-ibu, rasa kantuk sangat cepat mendera, apalagi jika sudah seharian berberes rumah. Pasti badan rasanya lelah sekali.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 63

     "Aduh, rasanya semakin sakit," rintih Nana, wajahnya terlihat semakin pucat. Tak mau terjadi apa-apa dengan Nana. Harto gegas menggendongnya, tanpa menanyakan lagi maksud perkataan Agung yang terkesan ambigu. Langkah kaki Harto terayun cepat, diikuti Ayu dan Agung di belakangnya. Namun, baru saja mereka berniat keluar dari rumah. Langkah mereka terhenti kala mendengar suara kepakan seperti sayap terdengar jelas dari arah belakang.  Agung yang berada paling belakang, spontan berbalik. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu mengerikan di depannya. "Re-Reina?" ucap Agung terbata-bata, melihat sosok Reina yang sudah berubah menjadi sosok  kuyang. "Kenapa dengan Reina Kak?" tanya Harto, ikut berbalik. Melihat sang anak berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Membuat Harto dan Nana hampir saja mengalami serangan jantung. Organ-organ dalam yang menjuntai disertai tetesan da

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 62

     Malam ini entah kenapa, rasanya sangat mencekam dari biasanya. Tidak hanya dikediaman Nana, di tempat tinggal Ahmad yang berbeda kota juga sama. Beberapa kali Ahmad dan Wati mencoba menghubungi Nana dan yang lainnya. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan Ahmad dan Wati. "Bagaimana ini Yank? Mas Harto, kak Nana, kak Ayu, tidak ada yang menjawab telepon kita," keluh Ahmad, ekspresi wajahnya mulai terlihat gusar.  "Sabar! Kita pikirkan lagi, bagaimana caranya menghubungi orang rumah?" sahut Wati, berpikir keras. "Kalau sampai Reina benar-benar mengambil botol kuyang itu, itu artinya mbak Nana dalam bahaya. Aroma dari wanita hamil begitu menggoda para kuyang. Dari jarak jauh saja mereka bisa menciumnya, apalagi yang satu rumah," Sambung Wati. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Tapi, kak Nana itu ibu Reina sendiri. Apa iya Reina tega melakukan itu pada kak Nana?" tanya Ahmad, meragukan kata-kata Wati. "Yank,

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 61

    Delapan bulan sudah berlalu, sikap putri kecil Nana dan Harto semakin hari terlihat semakin aneh. Seperti malam ini. Reina beberapa kali mondar mandir di depan kamar ibunya. Entah apa yang gadis kecil itu lakukan. "Sedang apa Nak?" tanya Harto, yang baru saja keluar dari kamar. Reina diam saja. Ia hanya menatap Harto dengan tatapan aneh. Sambil sesekali menengok ke dalam kamar, mencuri pandang.  Setelah kejadian malam Harto melihat cahaya melesat di depan jendela kamar dan malam penyatuannya dengan Nana. Tak lama setelah itu Nana dinyatakan hamil, dan sekarang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan. "Reina, kok diam? Kenapa?" tanya Harto lagi, membelai lembut rambut panjang putrinya. "Tidak ada apa-apa Yah. Cuma mau lihat bunda sama dedek bayi," jawab Reina, membuat kening Harto mengerut. "Dedek bayi, apa Nak? Bunda kami lagi baring, belum melahirkan juga. Kamu sudah tidak sabar mel

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 60

      "Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?"  "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan.  "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 59

     Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad.  Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b

  • Rahasia Ibu Mertuaku   Bab 58

    Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu.  "Wa-Wati?"  Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba.  Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam.  Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto.  Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status