Share

Larangan malam purnama

 "Aku sudah cerita ke ibu. Mungkin ibu lupa. Aku juga tau kamu hamil dari ibu," ujar mas Harto, setelah mengatakan itu langsung menutup mulutnya.

 "Kenapa Mas? Keceplosan?" tanyaku, memicingkan mata.

 Mas Harto tampak salah tingkah. Ia mendekat dan menatapku lekat. Seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan isyarat matanya.

 "Bagaimana kalau kita menyewa rumah Yank?" 

 Tawaran mas Harto sukses membuatku terkejut.  Maksudnya apa? Aku tanya apa, ia malah menawariku pindah rumah. Memangnya apa yang salah jika diam di sini bersama kedua orang tuanya? Toh ibu bukan seperti ibu mertua pada umumnya yang cerewet atau banyak mengatur. Aku merasa betah tinggal di sini. Ibu tidak pernah memintaku membersihkan rumah. *anjuga tidak marah, kalau kerjaku hanya berada di dalam kamar seharian. Bukan karena aku malas. Aku hanya ingin mas Harto berbakti pada ibunya selagi masih ada.

 "Mas, kenapa kamu selalu mengajakku pindah rumah? Kalau kita pindah, kasihan ibu. Dia pasti kesepian kalau bapak kerja. Kita tinggal di sini saja Mas! Sedari kecil aku sudah kehilangan kedua orang tuaku. Aku besar hanya dirawat kakak-kakakku. Di sini aku bisa merasakan rasanya punya ibu, punya bapak, punya orang tua lengkap," ucapku, sudut mataku mulai berair saat mengatakan itu.

 "Aku tau apa yang kamu mau Yank. Tapi kan tidak etis saja, kalau kita selamanya tinggal di sini. Biar bagaimanapun kita sudah menikah, dan aku wajib memberikan tempat tinggal yang nyaman untuk kamu. Sekalian belajar mandiri juga," terang mas Harto, mengatakan alasannya.

 Semua yang Harto katakan memang benar. Kami sudah menikah. Dan, sudah sepantasnya tinggal di rumah sendiri, walaupun itu hanya mengontrak. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku ingin terus tetap tinggal di sini. Rasanya berat sekali.

 "Kita bicarakan ini nanti. Sekarang aku mau tanya ke kamu. Aku perhatikan, semenjak kita pindah ke rumah ini, kamu sepertinya menjaga jarak dengan ibu. Kamu lagi ada masalah sama ibu?" tanyaku, berharap mas Harto bisa menjawab rasa penasaranku.

 "Tidak! Aku dan ibu baik-baik saja. Kita tidak usah membahas masalah ibu lagi. Aku lelah, bagaimana kalau kita sholat sebentar, terus setelah itu kita keluar cari makanan?" tawar Mas Harto, sepertinya sengaja mengalihkan pembicaraan kami.

 Aku mengangguk setuju. Lagi pula, ini juga sudah memasuki waktu sholat maghrib. Dengan bergandengan tangan, kami berdua berjalan keluar kamar menuju arah dapur.

 Dari luar, saat kami melewati kamar ibu. Suara berisik terdengar samar. Jika sudah masuk waktu magrib, kebiasaan ibu pasti akan berdiam diri di dalam sana sampai pagi menjelang. Entah apa yang ibu lakukan di dalam sana.

 "Mas, suara apa itu?" tanyaku, penasaran.

 "Jangan dihiraukan! Sekarang kita ambil wudhu, setelah itu masuk kamar lagi!" titah mas Harto, menarik tanganku menjauh dari depan kamar.

 "Mas, aku mau ke kamar kecil dulu. Sudah kebelet ini," ujarku, berniat memisahkan diri.

 "Pipis di sini saja! Jangan ke kamar kecil!" sahut mas Harto, melarangku.

 Mendengar larangannya, tentu saja aku menolak. Aku tidak mungkin menunaikan hajat di ruang terbuka seperti ini. Biarpun mas Harto adalah suamiku, tetap saja aku malu. 

 "Malu Mas, aku ke kamar kecil saja!" tolakku, berniat pergi.

 "Sudah, di sini saja! Memangnya malu kenapa? Aku kan suami kamu, masa kamu malu? Di sini tidak mungkin ada orang lain juga," ucap mas Harto, bersikeras menahanku.

 Yang dikatakan mas Harto memang ada benarnya juga. Rumah ibu berjarak cukup jauh dari tetangga lain. Di desa ini, jarak antar rumah yang satu ke yang lain memang lumayan jauh. Wajar saja ia memintaku tidak usah malu. 

 "Tidak mau Mas! Aku ke kamar kecil sebentar saja. Kamu ambil wudhu duluan saja!" Aku juga bersikeras menolaknya. 

 Tanpa mempedulikan larangan mas Harto, aku menjauh, lalu mengayunkan langkah menuju kamar kecil.

 "Uek..."

 Kakiku melangkah mundur, saat pintu kamar kecil terbuka lebar. Pencahayaan memang remang di dalam sini. Karena memang hanya menggunakan lampu minyak. Yang membuat aku ingin muntah, aku tidak tahan dengan bau kamar kecil ini.

 "Kamu kenapa Yank?" tanya mas Harto, sigap menyusulku.

 "Bau sekali Mas. Kenapa kamar kecilnya bau seperti ini? Padahal tadi pagi sudah aku bersihkan. Setiap hari dibersihkan, tapi setiap hari juga bau pesing dan anyir," sahutku, bicara sambil menutup hidungku.

 "Hem, biarkan saja! Kamu pipis di sana saja! Sekalian siram bersih-bersih, terus ambil wudhu!" titah mas Harto, dengan cepat menutup pintu kamar kecil.

 Dengan tergesa-gesa aku menunaikan hajat, lalu mengambil wudhu di dekat sumur. Malam ini suasananya terasa seram sekali.  Entah hanya perasaanku saja, atau memang menyeramkan. 

 Sejenak aku mendongak menatap langit. Cahaya bulan benar-benar terang malam ini. Bentuknya bulat sempurna. Sepertinya bulan sedang dalam bentuk terindahnya.

 "Yank, ayo cepat! Nanti keburu masuk waktu isya!" Panggil mas Harto, mengejutkanku.

 Aku gegas mendekatinya. Namun, sebelum aku mencapai mas Harto. Sempat aku berbalik ke belakang. Diantara rimbunnya batang-batang pohon bambu, sesuatu melayang cepat, menyisakan bau anyir yang sangat menyengat. Terakhir sebelum sosok itu menghilang, dapatku lihat cahaya merah melesat cepat.

 "Yank, ayo!"  Panggil mas Harto lagi.

 Kali ini ia tidak hanya memanggilku, melainkan menarik tanganku sedikit kasar menjauh dari belakang rumah.

 Sesampainya kami di dapur. Bapak sedang sibuk menyiapkan makan malam. Entah kapan bapak datang. Hanya bapak, sedangkan ibu sama sekali tidak terlihat. Aku sudah biasa dengan pemandangan ini setiap malamnya. Awal-awalnya aku memang curiga dengan kebiasan ibu. Tapi lama-lama aku sudah mulai terbiasa.

 "Pak, kapan pulang?" tanyaku, menghentikan langkah.

 "Baru aja Na. Kalian dari mana?" tanya bapak, menatap kami berdua.

 "Dari belakang Pak, ambil wudhu. Bapak tidak sholat?" tanyaku.

 Mas Harto hanya diam. Ia bahkan tidak menyapa bapaknya sendiri.

 "Nanti saja Na," jawab bapak mertuaku, tersenyum masam.

  Entah apa arti dari senyuman bapak. Aku tidak terlalu menanggapinya. Dari arah belakangku, mas Harto mengajakku untuk cepat ke kamar.

 "Pak, kami ke kamar dulu!" pamitku, berjalan lebih dulu.

 "Har, ini malam purnama. Kamu dan istrimu di kamar saja! Jangan keluar kamar sampai menjelang subuh! Kunci pintu dan jendela rapat-rapat!" titah bapak, dapat aku dengar sangat jelas.

 Dalam hati mulai bertanya-tanya. Apa maksud bapak mengatakan itu? Memangnya ada apa dengan malam purnama? Kenapa kami harus mengurung diri sampai subuh menjelang? Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku. Mungkin nanti aku tanyakan langsung ke mas Harto saat di kamar.

 "Baik Pak," jawab mas Harto, kemudian menyusulku.

 Saat kami berdua melewati kamar ibu. Suara bising tadi sudah tidak terdengar. Senyap dan sepi sekali. Mungkin ibu sudah tidur lebih dulu. Biasalah ibu-ibu, rasa kantuk sangat cepat mendera, apalagi jika sudah seharian berberes rumah. Pasti badan rasanya lelah sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status