Share

Pesan Mas Harto

 "Mas, apa maksud perkataan bapak tadi? memangnya kenapa dengan malam purnama?" tanyaku, saat sholat magrib ingin dimulai.

  Mas Harto berbalik menatapku sejenak. Tampan sekali suamiku ini, jika memakai pakaian sholat seperti ini.

 "Kita sholat dulu! Nanti aku jelaskan!" 

  Hanya itu yang mas Harto katakan. Lalu berbalik lagi membenarkan baju kokonya, sebelum akhirnya memulai sholat.

 Sepanjang aku melaksanakan sholat magrib berjamaah dengan mas Harto. Suasana kamar terasa pengap. Padahal kipas angin berputar kencang. Sesekali aku merasa diperhatikan. Karena itu, aku jadi tidak terlalu khusyuk menjalankan ibadah sholat. 

  Suara salam terdengar merdu dari mulut  mas Harto. Ia menoleh ke kanan lalu ke kiri. Wirid dan dzikir masih terdengar mengalun. Tapi kosentrasiku sudah terlanjur buyar. Selalu saja banyak godaan yang tak kasat mata jika aku melakukan ibadah di kamar ini. Entah kamarnya yang bermasalah, atau justru aku sendiri.

 "Sayang, kenapa melamun?" tanya mas Harto, kini sudah selesai.

 Aku terhenyak, kutatap wajah teduh mas Harto.  "Tidak apa-apa Mas. Sudah selesai?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

 Mas Harto mengangguk, lalu membereskan peralatan sholatnya. 

 Di atas tempat tidur, kini kami berdua duduk berhadapan. Cukup lama aku menunggu mas Harto memulai pembicaraan. Tapi mulutnya tak kunjung mengeluarkan sepatah katapun. Sudah kadung penasaran, terpaksa aku kembali menanyakan perihal kata-kata bapak mertuaku tadi. 

 "Mas, katanya mau cerita?" desakku.

  Nas Harto diam. Ia tampak menghela nafas berat, lalu menoleh ke arahku.

 "Apa kamu percaya, jika kuyang itu ada?" 

 Pertanyaan yang keluar dari mulut mas Harto, sukses membuatku terdiam sejenak. Namun hanya sebentar. Setelah itu, aku malah tertawa mendengarnya.

 "Mas... Mas... Apa yang aku tanya, apa di tanya. Kenapa kamu bertanya soal kuyang? Di jaman modern seperti ini, mana mungkin ada makhluk yang seperti itu Mas," sahutku, perutku sampai sakit menertawakan pertanyaan mas Harto.

 Bukannya ikut tertawa atau membenarkan kata-kataku, mas Harti justru menghembuskan nafas kasar.

 "Mas, kok diam? Aku benar kan?" tanyaku.

 "Entahlah... Kita memang hidup di jaman modern, tapi tidak semua yang kita pikirkan modern, sama dengan pemikiran orang yang masih tertinggal jauh," sahut mas Harto.

 Keningku mengkerut. Apa maksud perkataannya? Apa dia marah? Apa aku salah bicara? Aku rasa, aku memang benar. Memang sewaktu kecil, aku sering mendengar cerita tentang kuyang. Karena memang, aku lahir dan tinggal di tempat yang memang mempercayai itu. Tapi aku sama sekali belum pernah melihatnya. Jadi aku anggap, itu hanya cerita dongeng dari orang tua terdahulu untuk menakuti anak-anak.

 "Mas, kamu marah?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir ini.

 Mas Harto menggeleng. "Aku hanya minta kamu hati-hati! Meskipun kamu tidak mempercayai hal klenik seperti itu. Tapi ingat Na, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung!" 

 Setelah mengatakan itu, mas Harto bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju pintu kamar.

 "Mas, mau ke mana?" tanyaku, aku merasa tidak enak dengan mas Harto.

 "Mau masak ikan sarden. Malam ini kita tidak jadi jalan-jalan, besok saja!" sahut mas Harto, keluar dari kamar.

 Aku tak berniat menyusulnya. Lagi pula ini juga sudah malam. Mendengar kata-kata mas Harto tadi, aku jadi teringat pesan bapak, untuk tidak keluar dari kamar sampai subuh menjelang.

 Cukup lama aku menunggu, aku memutuskan memainkan gawai berkirim pesan dengan saudara-saudaraku.

 "Yank, ayo makan!" ajak mas Harto, entah kapan masuk. Mungkin karena aku terlalu asyik sendiri.

 Aku hanya diam, menelisik mas Harto dari atas sampai bawah. Bayangan tentang kejadian tadi masih teringat. Tentang sosok yang menyerupai mas Harto.

 "Yank, kenapa diam? ayo!" ucap mas Harto, melambaikan telapak tangannya di depan wajahku.

  "Eh, iya Mas," Aku tersentak kaget saking seriusnya mengamati.

 Di lantai kamar, mas Harto menggelar karpet kecil. Ini juga yang jadi pikiranku. Selama aku tinggal di rumah ini, kami selalu saja makan di dalam kamar. Kami tidak pernah makan bersama di luar dengan bapak dan ibu. Padahal saat di rumahku, kami berlima bersaudara selalu makan bersama, itu juga tidak di kamar, melainkan ruang makan atau ruang televisi.

 "Mas, kenapa kita tidak makan sama bapak dan ibu?" tanyaku, berharap mas Harto menjawab rasa penasaranku.

 "Ibu tidak makan malam. Kalau bapak, kan tadi kamu lihat bapak sedang mau makan?" jawab mas Harto. 

  Jawabannya tidak memuaskan sama sekali. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Tapi aku memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaanku. Perutku sudah berbunyi, ingin segera minta diisi.

Kami berdua makan dalam hening. Hanya suara denting sendok yang saling beradu. Entah kenapa, aku mempercepat makanku. Ingin sekali rasanya cepat selesai.  Suasana malam ini benar-benar menakutkan. Hawa dingin malam masuk melalui celah-celah terpal plastik. Terasa menusuk tulang.

 "Setelah ini kita tidur Yank!" ucap mas Harto, membereskan bekas sisa makan dan bersiap membawanya ke dapur.

 "Mas, aku ikut kamu!" ucapku, merasa takut sendirian di kamar.

 Walau aku bukan tipe wanita yang penakut dan mempercayai hal mistis. Tapi malam ini, sepertinya keberanianku terkikis.

 "Di kamar saja! Kunci pintunya dari dalam! kalau aku datang, aku akan mengetuk pintu tiga kali dan memanggil kamu dengan sebutan biasanya. Kalau suara ketukan tidak seperti yang aku katakan, jangan pernah dibuka!" 

 Usai mengatakan itu, mas Harto keluar kamar. Dengan cepat aku mengunci pintu kamar. Aku tidak sempat bertanya lebih. Tidak biasanya mas Harto seperti ini. Biasanya hanya memintaku mengunci pintu kamar, tanpa mengatakan yang lain.

  Di atas tempat tidur, aku duduk dengan perasaan was-was. Pesan yang ditinggalkan mas Harto, semakin membuat aku ketakutan. Lamunanku buyar, kala mendengar ketukan pintu kamar.

 Jantungku berdetak cepat, seakan sedang berpacu dengan waktu. Aku tidak segera membuka pintu. Aku menunggu suara ketukan pintu itu lagi. Tapi cukup lama aku menunggu, ketukan pintu tak kunjung terdengar.

 "Nin, kamu di dalam? Ini Ibu," 

 Suara dari balik pintu membuat semua bulu halus di tubuhku berdiri. Aku menggigil ketakutan. Apalagi suara ibu tidak terdengar seperti biasanya. Kali ini terdengar seperti suara bisikan. Walaupun bisikannya pelan, tapi aku dapat mendengarnya jelas.

 Aku tidak akan membuka pintu kamar. Sekalipun ibu yang mengetuknya. Mas Harto pasti akan marah besar jika aku membuka pintu selain dirinya yang mengetuk.

 "Niiinaa..."

 Suara panggilan kembali terdengar. Suara ibu, persis seperti suara di film horor. Panggilannya terdengar mengalun lembut, tapi sangat mengerikan.

  Ya Allah, aku takut... Air mata ini hampir saja keluar menahan takut yang entah kapan hilangnya.

 Tok... Tok... Tok...

 "Sayang, buka pintunya!" 

 Itu suara mas Harto. Dengan cepat aku turun dari tempat tidur dan berdiri di depan pintu.

 "Mas, itu kamu kan?" tanyaku, suaraku sudah sangat bergetar dengan tubuh yang mengeluarkan keringat banyak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status