"Na, kamu di sini?" tanya ibu, ikut duduk di sampingku saat aku menunggu mas Harto di teras.
Aku terkejut dengan kehadiran ibu yang mendadak. Entah kapan ibu datang, aku sama sekali tidak mendengar derap langkah ibu. Padahal lantai rumah ini dari kayu. Aku berjalan saja terdengar, masa iya ibu tidak? "I-iya Bu, lagi nunggu mas Harto," jawabku, sedikit menggeser posisi dudukku. Melihatku bergeser, tatapan ibu berubah nyalang. Namun hanya sepersekian detik saja. Setelah itu tatapannya kembali normal. "Oh... Apa Ibu boleh tanya? Kamu hamil Na?" tanya ibu, menatap perutku lekat. Aku terdiam. Apa ibu tidak mengetahui soal kehamilanku? Perutku memang masih rata, karena usia kandungan baru saja memasuki bulan pertama. Apa mas Harto tidak menceritakan kabar bahagia ini pada ibunya? Secara ini calon cucu pertamanya, masa iya mas Harto main rahasia segala? Baru saja mulutku terbuka ingin menjawah pertanyaan ibu, mas Harto datang dan buru-buru turun dari motornya menghampiriku. "Na, kamu di sini? Sedang apa?" tanya mas Harto terlihat panik. "Aku lagi nunggu kamu Mas," jawabku, menatap mas Harto bingung. "Har, baru pulang?" tanya ibu, tersenyum manis menatap mas Harto yang baru datang. "Eh, Ibu? I-iya Bu, baru aja. Ibu tumben di luar. Ada apa Bu?" tanya mas Harto, dari raut wajahnya terlihat gugup dan tidak suka. "Ibu cuma mau duduk saja. Bapak kamu mana Har?" tanya ibu, mencari keberadaan bapak. "Lagi di pabrik, mungkin sebentar lagi pulang," jawab mas Harto singkat, padat dan jelas. Aku hanya diam menyimak perbincangan ibu dan anak di depanku. Suasana hati mas Harto sepertinya sedang tidak baik. Jadi aku memutuskan tidak ikut-ikutan. Tak lama berselang setelah kepulangan mas Harto, adzan magrib mulai terdengar. Ibu yang tadinya duduk santai di sampingku langsung berdiri, dan lalu berlari masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan sepatah katapun lagi. Aku dan mas Harto hanya saling tatap melihat keanehan ibu. "Ibu kenapa Mas?" tanyaku penasaran. Mas Harto hanya menjawab dengan pundak yang ia naik lalu turunkan. "Ayo masuk! Sudah magrib, tidak boleh duduk di luar rumah!" ajak mas Harto, menggandeng lenganku masuk. Rumah dalam keadaan sepi. Penerangan juga tidak menyala sama sekali. Sepertinya ibu sudah masuk kembali ke kamarnya tanda menyalakan lampu rumah. "Mas, nyalain lampunya dulu! Aku takut kalau gelap-gelap begini," pintaku, merapatkan tubuhku. "Iya sebentar! Kamu masuk ke kamar aja dulu, nanti aku nyusul!" titah mas Harto, mengantarkan sampai ke depan pintu kamar. Walaupun pencahayaan rumah mulai gelap, tapi aku bisa melihat jelas pintu kamar ibu. Kamar ibu dalam posisi tergembok dari luar. Begitu juga dengan kamar yang kosong itu. Sesampainya aku di kamar, aku gegas menyalakan lampu. Ruang kamar terang benderang, berbeda jauh dengan keadaan di luar. "Nin, sedang apa?" Aku berbalik menatap mas Harto yang berdiri di ambang pintu dengan senyum menyeringai. Bulu kudukku seketika saja meremang. Ada yang aneh dengan senyum mas Harto, tidak seperti biasanya. "Mas, kamu kenapa?" tanyaku, masih berdiri di dekat saklar lampu tanpa mau mendekat. Mas Harto mendekat perlahan. Seringai masih terlihat jelas di wajahnya. Merasa ada yang tidak beres, aku segera menghindar. "Mas, aku mau ke toilet dulu!" pamitku, berjalan cepat melewati mas Harto yang hanya diam. Beberapa kali aku menengok ke belakang karena takut mas Harto mengikutku. Karena tidak fokus berjalan, aku menabrak sesuatu. "Aaa...." "Kenapa kamu Yank?" tanya mas Harto, menatapku heran. Mas Harto berdiri di depanku. Seketika aku langsunh menoleh ke arah pintu kamar yang masih terbuka. Kosong... Di dalam kamar tidak terlihat mas Harto. Padahal aku sangat yakin, jika tadi mas Harto ada di sana. Tapi kenapa mas Harto sekarang ada di depanku? Apa mas Harto juga ikut ke dapur? Tapi kenapa aku tidak melihat dia berjalan mendahuluiku? Ketakutan kian menjalar. Saat mas Harto di depanku menyentuh pundakku, aku dengan cepat menepisnya dan memundurkan langkahku menjaga jarak. "Kamu kenapa Yank? Ada apa?" tanya mas Harto, mendekat mencoba menyentuh tanganku. Dalam remangnya pencahayaan, aku meneliti mas Harto dari ujung kepala sampai ujung kaki. Semuany normal, sama seperti mas Harto biasanya. Tanpa bisa berkata-kata lagi, aku langsung menghambur memeluknya. Air mata tak aku pedulikan lagi. Aku menangis dengan tubuh bergetar dalam pelukan suamiku. "Sayang, kamu kenapa sih? Kenapa malah menangis? Bukannya tadi aku bilang di kamar aja? Kenapa malah keluar?" Mas Harto memberondongku dengan banyak pertanyaan. Tapi tak ada satu pertanyaan pun yang aku jawab. "Yasudah, kita ke kamar dulu!" ajak mas Harto, menggandengku ke kamar. Sesampainya di kamar, kami berdua memilih duduk di atas tempat tidur. Meskipun rumah mertuaku terbuat dari kayu dan bukan bangunan beton. Rumah yang terkesan sederhana ini, nyatanya memiliki perabot yang lengkap di dalamnya. Termasuk kamar yang aku tempati ini. Tempat tidur yang besar, televisi besar, meja rias, sofa empuk dan dua buah lemari besar. Yang aku tafsir harga dari keseluruhan puluhan juta. "Kamu kenapa? ayo cerita!" ucap mas Harto, berkata lembut sambil memandang wajahku. Pandangan kami beradu. Meskipun mataku masih dipenuhi air sisa air mata. Aku dapat melihat jelas gurat kekhawatiran mas Harto dari wajahnya. "Tadi kamu di mana Mas? Kenapa kamu tiba-tiba ada di dapur? Bukannya tadi ada di kamar?" tanyaku, menghentikan tangisku. Kening mas Harto saling bertaut. Ada keraguan di wajahnya saat mendengar pertanyaanku. "Dari tadi Mas di dapur. Bukannya tadi kamu minta nyalakan lampu, jadi Mas keliling rumah," bantah mas Harto. Aku terdiam mencerna semua kata-kata mas Harto. Jika tadi bukan dia, lalu siapa? "Yank, kenapa diam? kamu kenapa? Memangnya apa yang kamu lihat di kamar?" tanya mas Hardi, menggoyang lenganku pelan. "Tadi aku lihat kamu di kamar, tapi ternyata kamu ada di dapur. Mungkin aku hanya kelelahan. Lupakan saja Mas!" sahutku, tidak ingin memikirkan yang aneh-aneh. Lahir dan besar di kota, membuat aku merasa tidak terlalu percaya dengan hal berbau mistis. Apalagi di jaman yang modern seperti ini. Mana mungkin masih ada hal yang seperti itu. "Mas, tadi ibu tanya ke aku. Kamu tidak bilang kalau aku hamil?" tanyaku, melihat mas Harto diam. Wajahnya menegang, ia menoleh menatapku dalam. "Ibu tanya itu ke kamu? Terus kamu jawab apa?" Aku yang bertanya malah mas Harto yang balik bertanya. Lama-lama sikap mas Harto semakin aneh jika membahas soal ibunya. "Aku tidak jawab apa-apa. Kamu kan tadi keburu datang, jadi aku belum sempat mengiyakan. Memangnya ibu belum tau?" Aku mengulangi pertanyaanku tadi."Aduh, rasanya semakin sakit," rintih Nana, wajahnya terlihat semakin pucat. Tak mau terjadi apa-apa dengan Nana. Harto gegas menggendongnya, tanpa menanyakan lagi maksud perkataan Agung yang terkesan ambigu. Langkah kaki Harto terayun cepat, diikuti Ayu dan Agung di belakangnya. Namun, baru saja mereka berniat keluar dari rumah. Langkah mereka terhenti kala mendengar suara kepakan seperti sayap terdengar jelas dari arah belakang. Agung yang berada paling belakang, spontan berbalik. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu mengerikan di depannya. "Re-Reina?" ucap Agung terbata-bata, melihat sosok Reina yang sudah berubah menjadi sosok kuyang. "Kenapa dengan Reina Kak?" tanya Harto, ikut berbalik. Melihat sang anak berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Membuat Harto dan Nana hampir saja mengalami serangan jantung. Organ-organ dalam yang menjuntai disertai tetesan da
Malam ini entah kenapa, rasanya sangat mencekam dari biasanya. Tidak hanya dikediaman Nana, di tempat tinggal Ahmad yang berbeda kota juga sama. Beberapa kali Ahmad dan Wati mencoba menghubungi Nana dan yang lainnya. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan Ahmad dan Wati. "Bagaimana ini Yank? Mas Harto, kak Nana, kak Ayu, tidak ada yang menjawab telepon kita," keluh Ahmad, ekspresi wajahnya mulai terlihat gusar. "Sabar! Kita pikirkan lagi, bagaimana caranya menghubungi orang rumah?" sahut Wati, berpikir keras. "Kalau sampai Reina benar-benar mengambil botol kuyang itu, itu artinya mbak Nana dalam bahaya. Aroma dari wanita hamil begitu menggoda para kuyang. Dari jarak jauh saja mereka bisa menciumnya, apalagi yang satu rumah," Sambung Wati. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Tapi, kak Nana itu ibu Reina sendiri. Apa iya Reina tega melakukan itu pada kak Nana?" tanya Ahmad, meragukan kata-kata Wati. "Yank,
Delapan bulan sudah berlalu, sikap putri kecil Nana dan Harto semakin hari terlihat semakin aneh. Seperti malam ini. Reina beberapa kali mondar mandir di depan kamar ibunya. Entah apa yang gadis kecil itu lakukan. "Sedang apa Nak?" tanya Harto, yang baru saja keluar dari kamar. Reina diam saja. Ia hanya menatap Harto dengan tatapan aneh. Sambil sesekali menengok ke dalam kamar, mencuri pandang. Setelah kejadian malam Harto melihat cahaya melesat di depan jendela kamar dan malam penyatuannya dengan Nana. Tak lama setelah itu Nana dinyatakan hamil, dan sekarang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan. "Reina, kok diam? Kenapa?" tanya Harto lagi, membelai lembut rambut panjang putrinya. "Tidak ada apa-apa Yah. Cuma mau lihat bunda sama dedek bayi," jawab Reina, membuat kening Harto mengerut. "Dedek bayi, apa Nak? Bunda kami lagi baring, belum melahirkan juga. Kamu sudah tidak sabar mel
"Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?" "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan. "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a
Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad. Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b
Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu. "Wa-Wati?" Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba. Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam. Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto. Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya
"Di mana Wati, Mas?" tanya Nana. "Wati... Dia pergi Yank," jawab Arman, menunduk sedih. "Pergi? Kenapa?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Nana. "Ceritanya panjang Kak. Intinya dia marah, saat kami bertiga menuduhnya kuyang yang sedang dikejar warga," sahut Ahmad. "Ya Allah, kasihan Wati. Tapi, apa kalian yakin jika kuyang itu bukan dia?" tanya Ayu. Ketiganya mengangguk serempak. "Bukannya kalian berdua juga melihatnya? Kalian pasti tau, jika kuyang itu bukanlah Wati," ujar Agung. "Kami memang melihatnya. Tapi, saat itu wajahnya menyeramkan. Kami mana tau, kalau itu Wati atau bukan," sahut Nana. "Benar juga. Saat itu rupa Wati bukan rupa manusia. Wajar saja kalau mereka tidak mengenalinya. Tapi, kuyang itu memang bukan Wati," sahut Harto. --- Beberapa minggu setelah kejadian itu, keadaan kampung mulai kembali aman. Tak ada lagi berita
Di perjalanan pulang, tidak sengaja ketiganya bertemu dengan rombongan warga yang tadi mengejar sosok kuyang yang mengganggu proses melahirkan salah satu anak warga. "Gimana, Pak? Apa kuyangnya sudah ketemu?" tanya Agung, basa-basi. "Belum Mas, kuyangnya cepat sekali terbang. Tidak tau pergi ke mana atau mungkin mencari mangsa baru lagi," jawab salah seorang warga. "Mas Agung dan yang lainnya ini dari mana? Bukannya tadi kami mengejarnya ke arah lahan kosong itu? Kenapa kalian dari sana? Memangnya ada kuyang di sana?" tanya bapak yang putrinya diganggu kuyang tadi. Wajah ketiganya mulai menegang, tapi sebisa mungkin ketiganya bersikap biasa saja. Mereka tidak mau, jika perubahan ekspresi mereka menimbulkan kecurigaan para warga lainnya. "Eh, itu Pak. Tadi kami juga ikut ke lahan itu. Tapi, Ahmad bilang lapar mau beli makanan di kedai yang ada di ujung jalan sana. Jadi kami bertiga ke sana, tapi saat sampai,
Setelah memastikan posisi tubuh tanpa kepala itu berdiri dengan benar. Ahmad gegas menyusul Harto dan Agung yang sudah lebih dulu bersembunyi. Sosok kepala terbang itu melesat cepat memasuki bagian belakang kedai. Cahaya merah terlihat jelas. Harto dan yang lainnya, hanya bisa menutup mulut dan hidung mereka saat melihat kepala Wati mengitari tubuhnya. Bau anyir menyeruak memenuhi isi ruangan. Organ-organ yang menggantung dengan darah yang terus menerus menetes, membuat isi perut ketiganya terasa seperti diaduk-aduk. Sekuat tenaga Harto dan dua iparnya menahan mual. Waktu seakan berjalan lambat sekali. Bunyi kepakan telinga yang terdengar seperti sayap, akhirnya tidak terdengar lagi. Kepala Wati akhirnya menyatu dengan tubuhnya. Sesekali Wati menggerakkan kepalanya, membenarkan posisi yang pas. "Aneh, bukannya tadi sebelum pergi tubuhku ada di belakang pintu? Kenapa sekarang ada di sini?" gumam Wati, merasa bingung.