Share

Keputusan mas Harto

 "Mas, itu kamu bukan?" tanyaku sekali lagi.

 Tak ada jawaban sedikitpun. Perlahan aku mendekat berniat menempelkan telingaku di daun pintu. Baru saja menempel, suara gebrakan pintu membuatku tersurut mundur.

 Aku terjatuh dengan bokong lebih dulu menghentak lantai.

 "Bukaa...!"

 Suara erangan terdengar nyaring, suara yang meminta pintu dibuka juga sangat besar dan berat.

 Perlahan namun pasti, pintu terbuka lebar. Di luar kamar tidak ada siapa pun. Aku merangkak maju mendekati pintu. Rasa penasaranku, membawaku pada sosok mengerikan yang bersembunyi di kegelapan.

 "Makanan...." bisik suara itu, menarik tanganku sampai aku terjatuh.

  "Aw..." rintihku, memegang kepalaku. 

 Kedua mataku terbuka lebar. Aku ada di tempat tidur. Pandanganku langsung tertuju ke arah daun pintu yang masih terkunci. 

 Syukurlah yang tadi hanya mimpi. Tapi rasanya sangay nyata sekali. Entah sejak kapan aku tertidur. Baju tidurku terasa basah. Mungkin aku terlalu ketakutan dalam mimpi, sampai aku berkeringat banya.

 Tok... Tok... Tok... 

 "Yank, buka pintunya!" 

 Suara mas Harto kembali terdengar. Mimpi menyeramkan tadi kembali berputar dalam ingatanku. Aku seperti mengulang kejadian tadi saat di mimpi. Perlahan aku turun dari tempat tidur. Berjalan pelan, hampir tida bersuara sama sekali menuju pintu.

 "Mas, itu kamu?" tanyaku pelan.

 "Iya, ini aku. Buka pintunya Yank!" sahut mas Harto.

  Dengan cepat aku membuka pintu. Berharap, jika yang ada di depan pintu memanglah mas Harto.

 "Kenapa lama sekali buka pintunya, Yank?" tanya mas Harto, melenggang masuk dengan segelas susu di tangannya.

 Aku bernafas lega melihat suamiku. Dia benar-benar mas Harto. Bukan sosok seperti dimimpiku tadi.

 Tanpa mempedulikan pertanyaan mas Harto. Aku gegas mengunci pintu kamar. Takut jika mimpi itu berubah jadi kenyataan.

 "Yank, aku dari tadi bicara sama kamu. Kamu kenapa sih?" tanya mas Harto, meletakkan gelas susu di atas nakas.

 "Aku baik-baik saja Mas. Tadi cuma mimpi buruk," sahutku, mendekat ke arah mas Harto.

 Tak ada pembicaraan lagi setelah itu. Mas Harto memintaku meminum susu itu sampai habis.

 "Itu susu untuk ibu hamil," 

 Hanya itu yang dia ucapkan, lalu menggelar sajadahnya, karena memang sudah memasuki waktu sholat isya.

  Di tempat tidur, aku hanya duduk menunggu dia selesai. Awalnya aku ingin ikut, tapi sudah terlanjur batal wudhu. Ingin berwudhu lagi, aku takut.

 Beberapa menit berlalu, mas Harto akhirnya selesai juga. Ia menoleh ke arahku, lalu berganti ke arah gelas susu yang ada di atas meja. Mimpi yang terlalu menakutkan tadi, membuat aku tidak langsung meminum susu buatan mas Harto.

  "Yank, kenapa susunya masih belum diminum?" tanya mas Harto, mengambil posisi duduk di sampingku.

 "Masih panas Mas," jawabku asal. Padahal aku tidak menyentuhnya sama sekali.

 Kedua alis mas Harto tampak saling bertaut. "Ini tadi hangat, kalau sudah lama seperti ini pasti sudah dingin,"

 Aku tersenyum menampilkan barisan gigiku. Malu sekali rasanya ketahuan berbohong. Dengan cepat, aku meraih gelas itu. 

 Namun, saat tanganku sudah terangkat ingin meminumnya. Mas Harto malah menghentikannya. 

 "Tangan kamu kenapa Yank? Merah kenapa?" tanya mas Harto, memegang pergelangan tanganku.

 Mendengar pertanyaan mas Harto, spontan aku memandang pergelangan tanganku juga. Memang merah, seperti bekas genggaman yang kuat.

 Mimpi itu? Apa itu tadi bukan mimpi? Apa semua itu nyata? Bekas merah ini aku dapat saat makhluk menyeramkan itu menarik paksa tanganku.

 "Yank, jawab! Siapa yang melakukannya? Kamu kenapa sih?" Mas Harto terus memberondongku dengan banyak pertanyaan.

 Aku tak bisa menjelaskan apapun saat ini. Bagaimana mau menjelaskan, aku saja tidak tau pasti, kenapa bisa benar-benar merah?

 "Jika aku menceritakannya, apa Mas percaya?" tanyaku.

  Sejenak mas Harto terdiam, lalu mengangguk pelan menatapku lekat.

 "Tadi aku mimpi Mas. Mimpi ditarik sosok menyeramkan di depan pintu. Dia bilang, makanan," Ceritaku.

 Mas Harto tersentak kaget. Wajahnya menegang.  "Besok kita cari rumah kontrakan, atau kembali ke rumah saudara kamu di kota!"

  Aku menatap lekat mas Harto. Kenapa dia mengambil keputusan seperti itu? Aku kan cuma cerita masalah mimpi. Kenapa sampai harus benar-benar pindah?

 "Tapi, Mas!"

 "Kali ini aku tidak menuruti kemauan kamu Yank. Keputusanku sudah bulat. Besok kita cari rumah sendiri atau kembali ke kota," ucap mas Harto tegas.

 "Tapi kenapa? Itu kan cuma mimpi Mas. Kerjaan kamu nanti bagaimana? Kalau kita kembali ke kota, kamu pasti capek bolak-balik," protesku.

 "Yank, dengarkan aku! Apapun bentuk protes dari kamu, itu semua tidak ada gunanya sekarang. Keputusanku sudah bulat. Aku bisa kerja, di manapun aku tinggal. Kita pikirkan itu nanti," sahut mas Harto, mengalihkan pandangannya.

 Aku sudah terlanjur kesal dengan keputusan sepihak mas Harto. Hanya karena perihal mimpi, dia sampai bersikap tegas seperti ini. Memangnya apa yang salah dengan mimpi? Mimpi itu hanya bunga tidur. Apapun bisa terjadi dalam mimpi.

  Tanpa bicara sepatah katapun, aku bergegas berjalan menuju lemari baju. Tas besar sudah aku keluarkan. Dengan sangat terpaksa, aku harus mengemasi barang-barang dan pakaianku. 

 "Yank, kamu marah?" tanya mas Harto mendekat.

 "Yank, tolong mengerti! Ini semua demi kebaikan kamu. Dari awal sudah aku katakan, kita mengontrak saja. Tapi kamu tidak pernah mau dan bersikeras tinggal di sini," lanjut mas Harto.

 Kesal disalahkan. Aku berbalik menatapnya tajam. "Jadi semua ini salahku? Aku yang salah Mas? Kamu yang tidak mengerti aku. Aku bukannya tidak mau tinggal sendiri. Aku hanya ingin  merasakan kasih sayang orang tua. Itu saja Mas. Dan, aku mendapatkannya di sini. Tapi hanya perkara mimpi, kamu sampai tega mengambil keputusan sepihak seperti ini! Kamu yang harusnya mengerti Mas! Kamu!"

 Hati ini sudah terlanjur marah. Padahal dia tau sendiri kisah hidupku bagaimana. Dirawat sampai sebesar ini, aku hanya mendapatkan kasih sayang dari keempat saudaraku. Di usiaku hampir empat tahun, aku sudah kehilangan kedua orang tua. Aku bahkan tidak pernah bisa mengerti, bagaimana rasanya. Ibu dan bapak mertuaku sangat baik. Mereka memperlakukanku sama seperti mereka memperlakukan mas Harto. Itu yang membuat aku betah tinggal di sini. Mereka tidak membeda-bedakan atau menganggap aku orang asing.

 Tapi percuma, sekuat apapun aku menolak. Mas Harto sudah mengambil keputusan. Besok kami harus keluar dari rumah ini. Kalau disuruh memilih, tentu saja aku memilih kembali ke rumah peninggalan orang tuaku dari pada harus mengontrak. Di sana ada banyak orang, tanpa aku harus merasa kesepian. Sedang di rumah yang baru, aku hanya sendiri menunggu  mas Harto pulang kerja.

 "Yank," Panggil mas Harto lirih. Mungkin ia merasa bersalah kali ini.

 "Aku ngantuk Mas, aku mau tidur," sahutku, berlalu begitu saja ke tempat tidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status