Home / Romansa / Rahasia Istri Yang Disakiti / Bab 2 : Nafas yang Berat

Share

Bab 2 : Nafas yang Berat

Author: qia
last update Last Updated: 2025-10-20 11:31:59

Pagi itu, Seeyana bangun dengan kepala berat. Matanya perih, seolah semalaman tidak benar-benar terpejam. Bayangan dua sosok di bawah payung masih melekat, datang dan pergi seperti luka yang sengaja diusik. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya—dingin. Ravent sudah pergi.

Di meja makan, seperti kebiasaan yang mulai terasa pahit, ada secarik kertas kecil.

Aku berangkat lebih pagi. Rapat.

Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tambahan kata. Hanya kalimat pendek yang terasa lebih seperti pemberitahuan daripada perhatian.

Seeyana melipat kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri lama di dapur, menatap rak yang makin jarang terisi. Beras tinggal setengah, minyak goreng hampir habis, dan telur tersisa tiga butir. Ia menarik napas, lalu mengambil buku catatan kecil. Daftar belanja hari ini kembali ia coret—lagi.

Ia membuat sarapan seadanya. Nasi putih, telur ceplok, dan sambal sisa semalam. Kursi di seberangnya kosong. Lagi.

Saat ia duduk, ponselnya bergetar. Bukan dari Ravent. Grup ibu-ibu komplek ramai membicarakan harga sembako yang naik. Seeyana membaca sekilas, lalu menutupnya. Ia tahu. Ia merasakannya setiap hari.

Ia membereskan piring, lalu duduk di lantai dapur. Dompet ia buka. Uang kertas ia ratakan di atas ubin dingin, dihitung pelan. Jumlahnya membuat dadanya kembali mengencang. Tidak cukup untuk satu bulan penuh.

Ia menatap angka itu lama, seolah berharap jumlahnya berubah jika ditatap lebih lama. Tapi kenyataan tak pernah bernegosiasi.

Siang hari, Seeyana keluar rumah menuju warung. Matahari terik, jalanan padat. Ia berjalan sambil menggenggam tas kain, berusaha mengingat apa saja yang masih bisa ditunda. Di warung, ia mengambil beras eceran, tahu, tempe, dan beberapa bumbu dasar. Saat kasir menyebutkan total harga, Seeyana terdiam sejenak sebelum menyerahkan uang.

Di jalan pulang, ia berpapasan dengan tetangga-tetangga yang mengobrol riuh. Mereka membahas suami, pekerjaan, rencana liburan kecil. Seeyana tersenyum sopan, meski dadanya terasa kosong. Tidak ada yang tahu betapa berat langkahnya hari ini.

Sampai di rumah, ia menyimpan belanjaan rapi. Keringat mengalir di pelipis, tapi ia tak langsung duduk. Cucian menunggu, lantai perlu disapu, dan makan malam harus disiapkan—meski ia tak tahu apakah Ravent akan pulang tepat waktu.

Sore menjelang ketika ponselnya bergetar. Nama Ravent muncul di layar. Jantung Seeyana berdegup cepat, ada harap kecil yang tak ingin ia akui.

“Iya, Ven?” jawabnya cepat.

“Yan,” suara Ravent terdengar terburu-buru. “Nanti aku pulang agak malam.”

Seeyana menutup mata sejenak. “Lembur lagi?”

“Iya. Jangan nunggu.”

Ia menelan ludah. “Ven… soal uang belanja”

“Yan,” potong Ravent, nada suaranya meninggi sedikit. “Nanti aja. Aku lagi rapat.”

Sambungan terputus.

Seeyana menatap layar ponsel yang gelap. Kalimatnya belum selesai. Ia berdiri lama di tengah dapur, lalu meletakkan ponsel di meja dengan tangan gemetar.

***

Malam turun. Hujan rintik kembali membasahi jalanan. Seeyana menata meja makan dengan piring sederhana. Ia memasak sup bening dan tempe goreng. Makanan hangat, seperti yang selalu ia lakukan, meski harapannya makin tipis.

Jam menunjukkan pukul sepuluh. Sup mulai mendingin.

Ketika pintu akhirnya terbuka hampir tengah malam, Seeyana sudah duduk menunggu. Ravent masuk dengan wajah lelah, jasnya basah oleh hujan. Ia menaruh tas, lalu langsung menuju kamar mandi.

“Ven,” panggil Seeyana pelan saat Ravent keluar. “Makan dulu?”

Ravent mengusap wajahnya. “Nanti aja. Aku capek.”

“Supnya masih hangat,” lanjut Seeyana, berusaha terdengar biasa. “Aku masak—”

“Aku bilang nanti, Yan,” potong Ravent, nadanya datar tapi tegas. “Kenapa sih harus sekarang?”

Seeyana terdiam. Ia menatap suaminya, mencari sisa-sisa kelembutan yang dulu selalu ada. “Aku cuma pengin kita makan bareng. Udah lama—”

“Yan,” Ravent menghela napas keras. “Kamu kenapa jadi ribet gini? Aku pulang capek, kamu malah nambah tekanan.”

Kata-kata itu menghantamnya. “Aku nggak bermaksud nambah tekanan. Aku cuma… lagi bingung. Uang belanja bulan ini kurang. Listrik, gas—”

“Terus?” Ravent menatapnya tajam. “Mau nyalahin aku? Aku kerja, Yan. Aku berusaha.”

“Aku tahu kamu kerja,” suara Seeyana bergetar. “Aku cuma butuh kamu dengerin aku sebentar.”

Hening menggantung.

Ravent memalingkan wajah. “Yan, kamu di rumah. Kamu nggak tahu rasanya di luar. Jangan bikin seolah-olah aku ini gagal.”

Kalimat itu seperti palu. Seeyana menggeleng pelan. “Aku nggak pernah bilang kamu gagal.”

“Tapi caramu ngomong bikin aku ngerasa begitu,” balas Ravent cepat. “Kamu harusnya bersyukur aku masih pulang.”

Seeyana terdiam. Dadanya naik turun, napasnya pendek. Ia ingin membalas, ingin berkata bahwa bersyukur tak seharusnya berarti menelan semua luka. Tapi kata-kata itu tak keluar.

Ravent melangkah masuk ke kamar, menutup pintu dengan bunyi pelan yang terasa sangat keras di telinganya.

Seeyana duduk kembali. Sup di mangkuk kini benar-benar dingin. Ia menatapnya lama, lalu berdiri untuk membereskan meja. Tangannya gemetar saat mengangkat piring. Air mata jatuh, satu, lalu menyusul yang lain.

Larut malam, Seeyana duduk di tepi ranjang. Ravent sudah terlelap, membelakanginya. Ia menatap punggung itu dengan perasaan yang sulit ia uraikan—antara rindu, marah, dan lelah.

Ia teringat pesan dari nomor tak dikenal semalam. Ponselnya terletak di meja, layar gelap. Ia ragu untuk menyentuhnya. Takut, tapi juga penasaran. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan perempuan itu.

Pagi harinya, Seeyana bangun dengan keputusan kecil. Ia akan bicara lagi. Bukan untuk bertengkar, tapi untuk bertahan.

Saat Ravent bersiap berangkat, Seeyana berdiri di ambang pintu kamar. “Ven, nanti malam kita bisa ngobrol?”

Ravent mengancingkan kemejanya. “Ngobrol apa?”

“Semua,” jawab Seeyana jujur. “Tentang kita.”

Ravent berhenti sejenak, lalu menghela napas. “Lihat nanti. Jangan bikin masalah lagi, ya.”

Ia pergi.

Seeyana berdiri lama di sana. Kata masalah kembali terngiang. Ia bertanya-tanya sejak kapan perasaannya sendiri dianggap beban.

Ponselnya bergetar.

Nomor tak dikenal.

Kamu nggak sendirian. Tapi kalau mau tahu kebenarannya, kamu harus siap.

Seeyana menatap pesan itu dengan napas tertahan. Jarinya gemetar di atas layar. Ia tidak membalas. Belum.

Ia menutup ponsel, menatap rumah kecil itu—dinding, meja makan, kursi kosong. Nafasnya terasa makin sesak, seolah udara di rumah ini tak lagi cukup.

Dan untuk pertama kalinya, Seeyana bertanya pada dirinya sendiri:

berapa lama lagi ia bisa bertahan, sebelum benar-benar kehabisan napas?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

    Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Ponselnya bergetar.Nama Ravent muncul di layar.Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.Kamu di mana?Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.Aku aman. Aku cuma butuh waktu.Balasan datang hampir seketika.Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.Seeyana mengunci ponsel.***Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.Seeyana mengangguk. “Aku nggak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

    Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”Kata itu lagi.Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Ak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

    Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.Ia makan sendiri. Lagi.Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang leb

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 4 : Retakan Pertama

    Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.“Iya.”“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”“Aku cuma mau ka

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 3 : Pundak yang Terbebani

    Ketukan di pintu terdengar keras, memecah kesunyian siang itu. Seeyana yang sedang menjemur pakaian terhenti, lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya langsung menegang.Suryani.Ibu Ravent berdiri dengan tas besar di tangan dan tatapan tajam yang langsung menyapu seisi rumah, seolah mencari kesalahan bahkan sebelum melangkah masuk.“Kamu di rumah aja?” tanyanya tanpa basa-basi.“Iya, Bu,” jawab Seeyana pelan. “Silakan masuk.”Suryani melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan, sepatunya diletakkan asal di dekat pintu. Ia menaruh tas di meja, lalu menepuk-nepuk debu imajiner di sofa.“Rumah kok kayak gini?” gumamnya. “Kipas berisik, lantai kusam. Kamu ini nggak pernah bersihin, ya?”Seeyana menunduk. “Baru tadi pagi saya pel—”“Alasan,” potong Suryani cepat. “Perempuan itu kerjanya ngurus rumah. Masa beginian aja masih kelihatan kotor.”Setiap kata jatuh tepat di tempat yang paling lemah. Seeyana menggenggam ujung bajun

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 2 : Nafas yang Berat

    Pagi itu, Seeyana bangun dengan kepala berat. Matanya perih, seolah semalaman tidak benar-benar terpejam. Bayangan dua sosok di bawah payung masih melekat, datang dan pergi seperti luka yang sengaja diusik. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya—dingin. Ravent sudah pergi.Di meja makan, seperti kebiasaan yang mulai terasa pahit, ada secarik kertas kecil.Aku berangkat lebih pagi. Rapat.Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tambahan kata. Hanya kalimat pendek yang terasa lebih seperti pemberitahuan daripada perhatian.Seeyana melipat kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri lama di dapur, menatap rak yang makin jarang terisi. Beras tinggal setengah, minyak goreng hampir habis, dan telur tersisa tiga butir. Ia menarik napas, lalu mengambil buku catatan kecil. Daftar belanja hari ini kembali ia coret—lagi.Ia membuat sarapan seadanya. Nasi putih, telur ceplok, dan sambal sisa semalam. Kursi di seberangnya kosong. Lagi.Saat ia duduk, ponselnya bergetar. Bukan dari Ravent. Gru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status