Home / Romansa / Rahasia Istri Yang Disakiti / Bab 3 : Pundak yang Terbebani

Share

Bab 3 : Pundak yang Terbebani

Author: qia
last update Last Updated: 2025-10-20 11:32:02

Ketukan di pintu terdengar keras, memecah kesunyian siang itu. Seeyana yang sedang menjemur pakaian terhenti, lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya langsung menegang.

Suryani.

Ibu Ravent berdiri dengan tas besar di tangan dan tatapan tajam yang langsung menyapu seisi rumah, seolah mencari kesalahan bahkan sebelum melangkah masuk.

“Kamu di rumah aja?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Iya, Bu,” jawab Seeyana pelan. “Silakan masuk.”

Suryani melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan, sepatunya diletakkan asal di dekat pintu. Ia menaruh tas di meja, lalu menepuk-nepuk debu imajiner di sofa.

“Rumah kok kayak gini?” gumamnya. “Kipas berisik, lantai kusam. Kamu ini nggak pernah bersihin, ya?”

Seeyana menunduk. “Baru tadi pagi saya pel—”

“Alasan,” potong Suryani cepat. “Perempuan itu kerjanya ngurus rumah. Masa beginian aja masih kelihatan kotor.”

Setiap kata jatuh tepat di tempat yang paling lemah. Seeyana menggenggam ujung bajunya, mencoba menahan perih yang merambat pelan.

“Ravent kerja banting tulang di luar,” lanjut Suryani, suaranya meninggi. “Kamu di rumah harusnya bikin dia nyaman. Jangan malah jadi beban.”

Beban.

Kata itu mengendap di dada Seeyana, berat dan menyakitkan. Ia ingin berkata bahwa Ravent jarang pulang, bahwa semua urusan rumah ia kerjakan sendiri, bahwa uang belanja sering tak cukup. Tapi lidahnya kelu. Ia tahu, apa pun yang ia katakan akan dianggap pembelaan kosong.

“Maaf, Bu,” katanya akhirnya.

Suryani mendengus. “Iya, iya. Jangan cuma minta maaf. Perbaiki.”

Ia melirik jam di pergelangan tangannya. “Ravent pulang jam berapa biasanya?”

“Tidak tentu, Bu.”

“Hah?” Suryani mengernyit. “Suami pulang nggak tentu, kamu diam aja?”

Seeyana mengangkat wajahnya sedikit. “Saya nggak mau bikin masalah.”

Suryani tertawa kecil, dingin. “Justru itu masalahnya. Kamu terlalu lembek. Pantas saja Ravent jadi begitu.”

Kalimat itu menamparnya telak. Seeyana menelan ludah, menunduk lagi. Ia merasa kecil, seolah keberadaannya memang salah sejak awal.

Tak lama kemudian, Suryani pamit. “Nanti aku ngomong sama Ravent. Kamu itu harus lebih tahu diri.”

Pintu tertutup. Seeyana berdiri kaku di ruang tamu. Rumah kembali sunyi, tapi kata-kata Suryani masih bergaung, mengisi setiap sudut.

***

Malam itu, Ravent pulang lebih awal dari biasanya. Jam baru menunjukkan pukul delapan ketika pintu terbuka. Seeyana yang sedang di dapur langsung menoleh, ada harap kecil yang muncul tanpa izin.

“Kamu pulang cepat,” katanya.

Ravent hanya mengangguk, melepas sepatu. “Ibu tadi ke sini?”

Seeyana terdiam sejenak. “Iya.”

“Apa yang dia bilang?”

Ia ragu, lalu menjawab jujur. “Ibu bilang… rumah kurang rapi. Katanya aku harus lebih ngerti posisi.”

Ravent menghela napas panjang, wajahnya terlihat jengkel. “Yan, kamu jangan dimasukin ke hati. Ibu memang begitu.”

“Tapi, Ven...”

“Sudah,” potong Ravent. “Kamu harus maklum. Dia cuma peduli.”

Peduli.

Seeyana menatap suaminya, berharap ada pembelaan kecil. Tapi tak ada. Ravent berjalan ke kamar, meninggalkannya berdiri dengan kalimat yang menggantung.

Ia mengikuti Ravent ke kamar, memberanikan diri bicara lagi. “Ven, aku capek.”

Ravent berhenti, menoleh. “Capek apa? Kamu di rumah.”

Kalimat itu membuat dadanya seperti diremas. “Aku capek nunggu. Capek mikir uang. Capek ngerasa salah terus.”

Ravent mengusap wajahnya kasar. “Yan, aku juga capek. Jangan seolah-olah cuma kamu yang berjuang.”

“Aku nggak pernah bilang begitu,” suara Seeyana bergetar. “Aku cuma pengin kamu di pihak aku. Sekali aja.”

Hening.

Ravent memalingkan wajah. “Aku di pihak kamu. Tapi kamu juga harus ngerti aku.”

Ia berbaring, membelakangi. Percakapan berakhir begitu saja.

Seeyana duduk di tepi ranjang, menatap punggung itu lama. Ada jarak yang tak bisa ia jangkau, meski mereka berada di tempat yang sama.

***

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Suryani beberapa kali menelepon, selalu dengan nada menyalahkan. Ravent tetap sibuk, pulang larut, dan semakin jarang berbicara. Seeyana menjalani rutinitasnya dengan kepala tertunduk, seolah berharap waktu bisa berjalan lebih cepat.

Suatu sore, hujan turun deras. Seeyana duduk di beranda, memandangi jalan yang basah. Pikirannya melayang, mengingat pesan-pesan dari nomor tak dikenal yang tak lagi muncul, tapi tetap menghantui.

Ia menggenggam ponsel, lalu meletakkannya lagi. Ia tak tahu harus berharap atau takut.

Dari balik pagar, seorang pria berhenti. Victor.

Ia mengenakan jaket tipis, rambutnya sedikit basah. “Hujannya deras,” katanya ramah.

“Iya,” jawab Seeyana singkat.

Victor menatapnya sejenak, lalu berkata hati-hati, “Kamu kelihatan pucat. Nggak apa-apa?”

Pertanyaan sederhana itu hampir membuat pertahanannya runtuh. Seeyana menunduk, menarik napas. “Nggak apa-apa.”

Victor tidak memaksa. “Kalau butuh bantuan, bilang saja.”

Ia pamit, meninggalkan Seeyana dengan perasaan asing di dadanya. Perhatian kecil itu terasa seperti sesuatu yang sudah lama ia lupakan dianggap ada.

Malamnya, Ravent pulang larut lagi. Seeyana sudah tidak menunggu di ruang tamu. Ia duduk di kamar, memeluk lutut. Saat Ravent masuk, ia bahkan tak menoleh.

“Yan,” panggil Ravent pelan.

Ia mengangkat wajah. “Apa?”

“Kamu kenapa?”

Pertanyaan itu datang terlambat. Seeyana menatapnya lama, mencari ketulusan. “Aku cuma capek, Ven. Pundakku rasanya nggak pernah kosong.”

Ravent terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Tidur saja. Besok juga baik-baik saja.”

Seeyana tersenyum pahit. Ia tahu, besok tidak akan berbeda.

Lampu dimatikan. Dalam gelap, air mata jatuh tanpa suara. Ia menyadari satu hal yang makin jelas bukan hanya suaminya yang menjauh, tapi dirinya sendiri yang perlahan kehilangan tempat berpijak.

Dan di rumah yang seharusnya menjadi tempat bernaung, ia justru belajar bagaimana rasanya berdiri sendirian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

    Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Ponselnya bergetar.Nama Ravent muncul di layar.Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.Kamu di mana?Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.Aku aman. Aku cuma butuh waktu.Balasan datang hampir seketika.Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.Seeyana mengunci ponsel.***Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.Seeyana mengangguk. “Aku nggak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

    Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”Kata itu lagi.Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Ak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

    Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.Ia makan sendiri. Lagi.Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang leb

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 4 : Retakan Pertama

    Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.“Iya.”“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”“Aku cuma mau ka

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 3 : Pundak yang Terbebani

    Ketukan di pintu terdengar keras, memecah kesunyian siang itu. Seeyana yang sedang menjemur pakaian terhenti, lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya langsung menegang.Suryani.Ibu Ravent berdiri dengan tas besar di tangan dan tatapan tajam yang langsung menyapu seisi rumah, seolah mencari kesalahan bahkan sebelum melangkah masuk.“Kamu di rumah aja?” tanyanya tanpa basa-basi.“Iya, Bu,” jawab Seeyana pelan. “Silakan masuk.”Suryani melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan, sepatunya diletakkan asal di dekat pintu. Ia menaruh tas di meja, lalu menepuk-nepuk debu imajiner di sofa.“Rumah kok kayak gini?” gumamnya. “Kipas berisik, lantai kusam. Kamu ini nggak pernah bersihin, ya?”Seeyana menunduk. “Baru tadi pagi saya pel—”“Alasan,” potong Suryani cepat. “Perempuan itu kerjanya ngurus rumah. Masa beginian aja masih kelihatan kotor.”Setiap kata jatuh tepat di tempat yang paling lemah. Seeyana menggenggam ujung bajun

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 2 : Nafas yang Berat

    Pagi itu, Seeyana bangun dengan kepala berat. Matanya perih, seolah semalaman tidak benar-benar terpejam. Bayangan dua sosok di bawah payung masih melekat, datang dan pergi seperti luka yang sengaja diusik. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya—dingin. Ravent sudah pergi.Di meja makan, seperti kebiasaan yang mulai terasa pahit, ada secarik kertas kecil.Aku berangkat lebih pagi. Rapat.Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tambahan kata. Hanya kalimat pendek yang terasa lebih seperti pemberitahuan daripada perhatian.Seeyana melipat kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri lama di dapur, menatap rak yang makin jarang terisi. Beras tinggal setengah, minyak goreng hampir habis, dan telur tersisa tiga butir. Ia menarik napas, lalu mengambil buku catatan kecil. Daftar belanja hari ini kembali ia coret—lagi.Ia membuat sarapan seadanya. Nasi putih, telur ceplok, dan sambal sisa semalam. Kursi di seberangnya kosong. Lagi.Saat ia duduk, ponselnya bergetar. Bukan dari Ravent. Gru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status