Dingin. Itulah yang dirasakan Arsyila saat menyentuh kulit pucat Syakila dan mencium kening sang kakak untuk terakhir kali. Dimata Arsyila saat ini Syakila seperti seperti seorang putri tidur dalam dongeng. Syakila tampak cantik dalam balutan gaun warna putih dengan senyum yang menghias wajahnya. Dia seperti sedang menunggu pangeran menciumnya dan membebaskanya dari kutukan. Tunggu sebentar! Jika ini sama seperti cerita dongeng, mungkinkah mata amber Syakila akan kembali terbuka?
“Bisakah Anda mencium kakakku?”tanya Arsyila pada Reyga yang masih setia berdiri di samping peti sang kakak. Hanya pria itu satu-satunya orang yang ada bersamanya sekarang. Meskipun tanpa menoleh ke arah Reyga, Arsyila yakin pria itu mendengar permintaannya. Tapi pria itu hanya diam saja.Arsyila tertawa pelan, mentertawakan kebodohannya. Sepertinya dirinya sudah tidak waras dengan menyuruh orang lain mencium seorang mayat. Sebuah tangan terulur di depan wajah Arsyila, membantu Arsyila bTangan Arsyila yang menggenggam bunga lily putih terlepas, bersamaan dengan suara pintu kamar yang diketuk dari luar. Gadis itu terkesiap, secara reflek berbalik menatap sumber ketukan yang mengejutkannya.“Syila, keluarlah untuk makan!”suara cemas nyonya Derin dari balik pintu terdengar. Arsyila menghela napasnya. Gadis itu segera duduk di atas ranjang Syakila saat nyonya Derin membuka pintu kamar.“Aku akan turun nanti, aku ingin sendiri sekarang,” jawab Arsyila dingin tanpa menoleh ke arah nyonya Derin. Nyonya Derin menghela napasnya, menatap Arsyila sedih. Biasanya wanita paruh baya itu akan mengomeli Arsyila, tapi mungkin mulai hari ini wanita itu tidak akan melakukannya. Tanpa mengatakan apa-apa nyonya Derin kembali menutup pintu kamar, meninggalkan Arsyila sendirian.“Tidak mungkin,” gumam Arsila mirip sebuah bisikan. Tangannya menggenggam erat seprai yang didudukinya. Mata coklat Arsyila menatap horor bunga lily yang tergeletak di bawah kakinya. Ar
Lampu kamar menyala, sosok nyonya Derin tampak berdiri di depan pintu setelah pintu kamar Syakila benar-benar terbuka. Arsyila menutup kedua matanya rapat, berusaha mungkin menenangkan jantungnya yang berdetak cepat.“Tidak ada apa-apa. Biarkan dia istirahat. Kau pasti salah dengar.” Suara tuan Derin terdengar menenangkan nyonya Derin yang gelisah.“Aku mendengar suara benda jatuh tadi,” ucap nyonya Derin hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Namun tuan Derin mencekal tangan istrinya. “Sudah malam, kita juga harus istirahat.”Nyonya Derin kembali melangkah mundur. Menurut saat tuan Derin menariknya keluar kamar. Tak lama lampu kamar kembali dimatikan, suara pintu kamar yang ditutup terdengar.Arsyila menghembuskan napasnya, sepasang matanya telah terbuka. Tadi saat melihat gagang pintu yang bergerak, Arsyila dengan cepat melompat ke ranjang. Menutupi tubuhnya dengan selimut dan kembali berpura-pura terlelap. Beruntung waktunya pas.
Ekspresi aneh yang ditunjukan kasir pria itu membuat Arsyila merasa bingung. Adakah yang salah dengan pertanyaannya? Dalam hati Arsyila bertanya-tanya. Setelah beberapa detik pria itu tersenyum, kembali memasang wajah ramahnya.“Maaf nona, sebenarnya itu bukan permen,” jawab pegawai pria itu tampak enggan. “Sudah kuduga, ini bukan permen. Lalu makanan macam apa ini?” tanya Arsyila kembali sambil membolak-balik kotak merah mungil di tangannya.“Itu … juga bukan makanan,” jawab pegawai pria itu terlihat salah tingkah. Mendengar jawaban pegawai pria, Arsyila tampak terkejut.“Lalu apa ini?” tanya Arsyila kembali mengangkat kotak merah di tangannya, mengangkatnya lebih tinggi. Lagi-lagi ekspresi aneh ditunjukkan oleh si pegawai pria. Beberapa kali bibir pria itu terbuka tertutup, terlihat sulit menjelaskan. Melihat rekannya mengalami kesulitan, seorang pegawai wanita datang. “Ada yang bisa dibantu, nona?”tanya pegawai wanita itu ramah pada
Dahi Arsyila berkerut merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti tubuhnya jatuh lalu berguling-guling hingga menyebabkan tulangnya rontok semua. Benar, kini Arsyila ingat dirinya baru saja jatuh karena sebuah batu besar, di sebuah gang menyeramkan, di tengah-tengah hujan lebat. Seketika Arsyila membuka kedua matanya. Bola matanya berputar, menatap sekitar dengan tatapan ketakutan. Apa dia telah mati dengan mengenaskan menyusul sang kakak? Langit-langit putih dan cahaya lampu yang menyilaukan jadi yang pertama menyambut Arsyila. Ini bukan surga, Arsyila tau itu. Dimana dirinya sekarang? Arsyila berusaha bangun,namun seorang wanita muda berseragam biru tua tiba-tiba muncul dan menghentikannya.“Oh, Anda sudah bangun! Berbaringlah sebentar!” Arsyila menurut saat wanita berseragam itu membantu membaringkan kembali tubuhnya. Dari penampilannya, wanita itu mirip dengan seorang perawat. Tunggu, perawat?Arsyila kembali menatap sekelilingnya. Saat
“Terimakasih,” ucap Arsyila menerima sebungkus roti gandum dari pria yang baru saja Arsyila robek kemejanya. Sepertinya Arsyila memiliki bakat alami untuk mempermalukan diri. Setelah merobek kemeja seorang pria, perutnya dengan tak tau malu meraung meminta jatah makan. Karena itulah sekarang dirinya berakhir di sini, di teras sebuah toko roti yang letaknya tepat di sebelah klinik tempat pria itu membawa Arsyila.Hujan sudah berhenti ketika Arsyila keluar. Matahari tidak terlihat, dan langit masih terlihat suram. Arsyila memperbaiki posisi duduknya dengan tidak nyaman, kemudian melirik pria itu diam-diam. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Merasa malu sekaligus penasaran. Arsyila belum tau siapa sebenarnya pria yang duduk di sebelahnya, namun Arsyila sudah banyak sekali mempermalukan dirinya dan membuat pria itu kerepotan. Sungguh, Arsyila ingin menghanyutkan wajahnya sekarang. Sadar akan tatapan Arsyila, pria itu menoleh, membuat Arsyila cepat-cepat mengalihkan ta
“Foto yang mana?” Jantung Arsyila mulai berdebar saat pria itu memberinya tatapan tajam. Dengan susah payah Arsyila menelan ludahnya. Sebenarnya Arsyila belum terlalu yakin jika pria dalam foto yang ia temukan adalah pria yang saat ini ada di depannya. Tapi melihat reaksi pria itu, sepertinya mereka memang orang yang sama. Ditambah, tato di lengan mereka benar-benar serupa.“Aku akan menunjukkan foto itu. Tapi kau harus jawab dulu semua pertanyaanku,” ucap Arsyila memberanikan diri. Pria itu diam. Untuk beberapa saat Arsyila merasa gelisah. Takut pria itu kembali mengabaikannya dan benar-benar pergi seperti sebelumnya.“Aku tidak berbohong! Foto itu, aku membawanya sekarang!”tegas Arsyila berusaha meyakinkan pria itu. Dengan terburu tangan Arsyila menurunkan tas hitamnya, namun belum sempat membuka tasnya, pria itu bicara.“Namaku Zhou, Zhou Alderic. Aku teman kuliah kakakmu,” ucap pria terdengar lebih bersahabat. Pria itu mulai membuka topi dan maskernya
“Sakit,”cicit Arsyila saat nyonya Derin meneteskan obat merah di lutut Asyila yang terluka. Setengah jam yang lalu Arsyila sampai di rumahnya. Tentu dengan penampilannya yang terlihat begitu menyedihkan, menyulut mulut nyonya Derin untuk mengomelinya. Kini Arsyila sudah berada di kamarnya. Gadis itu sudah makan dan berganti pakaian. Nyonya Derin yang menatap Arsyila merasa sedikit lega. Nyonya Derin takut Arsyila berlarut-larut dalam kesedihan mengingat seberapa terpukulnya Arsyila di hari pemakaman Syakila. Sekarang mata coklat Arsyila terlihat lebih hidup, meski tak bisa menyembunyikan kesedihan yang dideritanya.Kepergian Syakila memang suatu hal yang paling menakutkan di hidup Arsyila. Arsyila merasa sangat sedih dan putus asa. Mungkin Arsyila bisa saja mati bunuh diri menyusul kakaknya sekarang. Tapi menyadari kematian Syakila adalah kematian yang disengaja, Arsyila bertekad untuk mencari tau alasan dari kematian Syakila. Alasan Syakila mengakhiri hidupnya. Untuk itu t
“Ayah?”tatapan Arsyila jatuh pada sosok tuan Derin yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka. Nyonya Derin yang sebelumnya dengan serius mendengarkan Arsyila kini mengalihkan perhatiannya pada sang suami. Tuan Derin yang terpanggil mulai membuka pintu kamar Arsyila lebih lebar dan masuk ke dalam. Tangannya terlihat membawa sebuah bungkusan.“Maaf mengganggu perbincangan kalian,” ucap tuan Derin menyadari kedatangannya ada di waktu yang kurang tepat.“Ah, tidak. Ayah ada perlu denganku?”tanya Arsyila penasaran. Tuan Derin adalah tipikal orang yang hanya bicara untuk sesuatu yang penting saja. Karena itulah pasti ada sesuatu yang penting hingga membawa ayahnya datang ke kamarnya.“Ini.” Arsyila bingung saat tuan Derin menyerahkan bungkusan yang dibawanya. “Tadi teman sekolahmu datang mengantarkan itu. Dia mengatakan kau harus pakai itu di hari kelulusan.” Arsyila menatap bungkusan di tangannya. Dengan penasaran tangannya ber