“Ka-karena kita suami istri, kita harus tidur satu ranjang!”Arsyila ingat bagaimana dirinya dengan percaya diri mengatakan itu pada Reyga. Tapi kemana perginya rasa percaya dirinya itu sekarang?! Arsyila yakin Reyga pasti memandangnya sebagai gadis yang agresif. Dan juga … tak tau malu. Kenyataannya Arsyila benar-benar serakah. Tak cukup dengan meminta Reyga berjanji tak akan meninggalkannya. Selanjutnya Arsyila meminta Reyga berbagi ranjang dengannya. Setelah berbagi ranjang, mungkin selanjutnya Arsyila akan meminta ruang di hati Reyga? Entahlah, Arsyila sendiri tak bisa menahan gejolak yang ada di hatinya. Gadis itu sungguh-sungguh tergila-gila pada suaminya.Rasa ingin memiliki, rasa ingin dicintai, rasa ingin menguasai. Perasaan semacam itu terus berkembang hingga tak terbendung. Mereka mengendap di dasar kemudian tiba-tiba muncul di permukaan dengan membabi buta. Seperti tanaman eceng gondok yang dengan cepat menyelimuti seluruh permukaan sungai. Se
Arsyila bangun dengan rasa pegal di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti dia baru saja mengikuti lomba lari berpuluh-puluh kilo meter dan lomba angkat beban puluhan kilo dalam waktu bersamaan. Sebenarnya apa yang dilakukannya kemarin sampai tubuhnya sakit semua seperti ini? Terlebih, rasa tidak nyaman pada selakangannya benar-benar mengganggunya. Arsyila menggeliat dalam selimutnya. Gadis itu masih enggan untuk membuka kedua matanya yang masih berat. Arsyila berniat untuk melanjutkan tidurnya sampai sebuah suara mengejutkannya.“Kamu sudah bangun?”Seketika kedua mata Arsyila terbuka lebar. Bola mata Arsyila rasanya hampir melompat melihat sosok Reyga yang terlihat sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dengan wajah pucat, Arsyila menatap horor suaminya. Ketika Arsyila mengingat apa yang sudah terjadi semalam, gadis itu terbengong dengan wajah yang sulit dibaca.“Kamu terlihat pucat. Apa kamu merasa sakit?” Ibu jari Reyga mengusap wajah Arsyila perlahan. Pria itu terlihat cemas. Sentuhan R
Arsyila selalu merasa senang menghabiskan waktu bersama Syakila. Apalagi semenjak penculikan yang dilakukan tuan Derin terakhir kali. Arsyila jadi over protektif pada kakaknya. Arsyila terus mengekor kemanapun Syakila pergi, kecuali saat bersama Zhou tentunya. Arsyila yakin Zhou bisa menjaga kakaknya. Yah, walaupun Arsyila seringkali memprotes Zhou karena Zhou suka memonopoli Syakila. Arsyila cemburu karena waktu yang Zhou habiskan bersama Syakila lebih banyak dari dirinya. “Kakak, padahal di taman rumah kita juga memiliki bunga. Kenapa kita harus jauh-jauh datang kemari hanya untuk melihat bunga? Lagi pula bunga ini terlihat biasa saja.” Arsyila menyentuh kelopak bunga daisy dengan telunjuknya. Semalam dia sempat berdebat dengan Syakila hanya karena masalah bunga. Beberapa hari terakhir Syakila dengan keras kepala ingin pergi ke Ossy Blossom, rumah kaca terbesar di Oswald. Arsyila tentu saja menentangnya. Usia kandungan Syakila yang sudah tua membuat Arsyila merasa was-was membawa
Senyum Arsyila merekah saat mengambil satu buket bunga lily putih yang dia temukan di depan rumahnya pagi ini. “Astaga, bahkan kakak ipar masih mengirim bunga saat hari pernikahannya!” teriak Arsyila sambil nggoyang-goyangkan buket bunga di tangannya mendapat sorakan dari orang-orang di rumahnya. “Berdoalah kau bisa mengikuti jejak kakakmu, dia sangat beruntung mendapatkan pria tampan dan sangat perhatian seperti tuan muda Reyga!” Gadis bersurai coklat itu tertawa sambil geleng-geleng kepala mendapat sahutan dari bibi Megy yang merupakan adik dari ibunya.“Bilang saja Bibi pasti iri dengan kakakku kan?” Semua orang tertawa mendengar jawaban Arsyila yang menggoda sang bibi, tak terkecuali sang bibi. Mendengar suara gaduh di ruang tamunya, nyonya Derin yang baru muncul dari biliknya keluar dengan kedua tangan memegangi keningnya. Kelelahan tergambar jelas di raut wajahnya.“Kita sangat sibuk hari ini, tidak bisakah kalian pelankan suara kalian dan berhenti main-main?!” hardik Nyonya
“Kau hanya boleh daftar kuliah universitas Aston, selain itu aku tak sudi membayar uang kuliahmu!” seru nyonya Derin membuat Arsyila mengerucutkan bibirnya.“Tapi disana tidak ada jurusan tata busana. Aku sangat ingin belajar fashion, bu,” rengek Arsyila dihadiahi jitakan oleh nyonya Derin. Arsyila mengaduh, ingin mengomel namun tatapan tajam sang ibu membuat Arsyila memilih melipat bibirnya.“Jangan bertingkah! Ikuti saja jejak kakakmu. Ambil jurusan akutansi dan ikut bekerja dengan ayahmu! Itu jauh lebih menjanjikan!” “Tapi, aku—“ “Aku tidak mau lagi berdebat! Jika kau masih bicara, jangan salahkan aku jika ada panci melayang!” potong nyonya Derin yang sedang mengaduk supnya. Arsyila yang tengah duduk di kabinet dapur cepat-cepat turun sambil membungkam mulutnya. Ancaman nyonya Derin selalu ampuh untuk menutup mulut putri-putrinya saat mereka berdebat. “Aku yang akan mengurus makan malamnya. Kau pergi dan susul kakakmu! Aku menyuruhnya membeli bumbu dapur di swalayan. Tapi suda
Tuan Derin yang makan dengan tenang seketika menjatuhkan sendoknya, nafsu makannya langsung menghilang saat melihat putri tertuanya tiba-tiba muntah tepat di seberang mejanya. Nyonya Derin yang hendak duduk di samping tuan Derin kembali berdiri, kedua matanya melotot menatap Syakila. Arsyila yang berada di samping Syakila terlihat panik. Gadis itu segera berdiri memegangi tubuh Syakila yang hendak limbung setelah muntah di depan semuanya.“Astaga, Kila!” teriak nyonya Derin terburu-buru menghampiri Syakila.“Apa yang terjadi padamu?!” tanya nyonya Derin menggantikan Arsyila memegangi tubuh Syakila yang lemas.“Aku akan membersihkan semuanya!” Arsyila yang melihat bekas muntahan Syakila di lantai segera berlari ke belakang untuk mengambil ember dan kain pel.“Aku minta maaf,” sesal Syakila melihat wajah panik keluarganya. Harusnya ini jadi makan malam yang tenang di keluarganya, namun karena ulahnya sekarang makan malam mereka kacau.“Sudah, jangan meminta maaf! Aku akan memapahmu ke k
Arsyila memeluk erat bantal milik Syakila sambil membenamkan wajahnya. Sejak mengetahui perpisahannya dengan Syakila, gadis itu terus menempel pada kakaknya. Hari pernikahan Syakila tinggal tiga hari lagi. Semakin sedikit waktu yang tersisa untuk menghabiskan waktu bersama sang kakak membuat Arsyila semakin frustasi. “Aku tidak bisa hidup tanpamu, kak,” rengek Arsyila kini melompat ke arah Syakila dan menjadikannya pengganti bantal yang dia peluk sebelumnya. Syakila yang sudah terbiasa dengan tingkah manja Arsyila hanya tersenyum. Satu tangannya membelai rambut coklat Arsyila lembut.“Apa kau sudah memutuskan ingin kuliah dimana?” tanya Syakila membuat Arsyila melepaskan pelukannya. Gadis itu mengerucutkan bibirnya, mengundang tawa renyah dari bibir Syakila.“Kurasa aku tidak punya pilihan lain selain universitas Aston. Aku akan ambil jurusan akutansi, sama seperti kakak,” jawab Arsyila lesu.“Bukankah kau pernah bilang sangat ingin belajar fashion? Apa kau sudah menyerah?”“Ya, aku
Arsyila menggeliat dalam tidurnya. Sudah lima malam Arsyila tidak menggunakan kasur di kamarnya. Gadis itu memilih tidur bersama Syakila di kamar sang kakak. Awalnya Syakila menolaknya, tapi karena Arsyila yang memaksa akhirnya mereka memutuskan tidur sambil berdesakan di atas kasur sempit Syakila. Begitu pula malam ini, Arsyila tidur sambil mendekap erat Syakila karena ini adalah malam terakhir sebelum Arsyila berpisah dengan sang kakak. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Arsyila tak pernah terbangun di tengah malam selama tertidur di kamar Syakila. Namun malam ini sesuatu mengusik tidurnya. Samar-samar Arsyila mendengar suara isakan. Awalnya Arsyila mengabaikannya, namun lama-lama suara isak tangis itu semakin terdengar jelas. Mata coklat Arsyila terbuka. Menoleh, menatap rambut hitam Syakila yang sedang tidur memunggunginya. Meski dalam gelap Arsyila masih bisa melihatnya. Suara isak tangis itu kembali terdengar, bersamaan dengan punggung Syakila yang mulai terguncang. Syakil