Share

Bab 6

Rahasia Majikanku

#6

Di perjalanan pulang, mataku tertuju pada sebuah bangunan berwarna cokelat. Sepertinya orang-orang yang ada di dalam bangunan itu sangat tepat untukku meminta pertolongan.

"Minggir, Pak."

Sedikit terlewat dari bangunan itu karena angkutan umum yang kunaiki jalannya terlalu kencang. Sang sopir sedikit menyeringai saat kuserahkan beberapa lembar uang seribuan. Terang saja ia marah. Aku meminta turun secara tiba-tiba.

Sedikit perasaan canggung, kulangkahkan kaki menuju meja informasi. Seorang lelaki berseragam cokelat muda itu tersenyum padaku dan mempersilakan untuk duduk. Dingin. Entah karena ruangan ini berpendingin, entah telapak tanganku memang dingin. Entahlah. Kakiku seakan mati rasa.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?"

Lelaki itu memanggilku nona. Mungkin karena tubuhku yang kecil mungil dan tinggi badan satu meter setengah saja tak sampai. Andai ia tahu, aku ini seorang ibu dengan anak dua, ia pasti akan memanggilku nyonya.

"Saya ... saya mau melaporkan tindak kekerasan," gagapku karena tak pasti dengan apa yang akan kulaporkan.

"Apa anda mengalami tindak kekerasan?" tanya lelaki yang di bajunya tersemat tanda jasa.

"Bukan ... bukan, Pak."

"Lalu, siapa?"

"Anak majikan tempat saya bekerja."

"Apa anda punya bukti?"

Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku nekat memasuki tempat berlandaskan hukum ini tanpa satu pun bukti yang ada di tangan? Kepala ini tiba-tiba jadi gatal. Antara malu dan bingung, tak tahu cara meyakinkan lelaki yang ada di depan. Aku pun berdiri seraya meminta maaf karena telah menyita sedikit waktu kerjanya.

"Tidak ada, Pak."

"Kalau begitu, kumpulkan bukti dahulu."

"Maaf, Pak. Saya sudah mengganggu."

"Tidak apa-apa, Nona. Itu sudah kewajiban saya melayani anda. Tapi sebaiknya anda membawa bukti video atau gambar korban kekerasan yang anda laporkan agar kami bisa segera menindaklanjuti."

"Terima kasih, Pak. Saya pamit dulu."

Aku terkekeh saat keluar dari bangunan yang tak pernah kusambangi seumur hidup. Suami dicuri orang saja, aku hanya bisa menangis. Sekarang berani-beraninya memasuki kantor hukum ini dalam keadaan tanpa pengalaman. Otak ini berpikir keras bagaimana cara memberikan bukti. Video dan gambar tentu saja harus diambil dengan kamera. Ponsel saja butut, kamera pun tak punya. Ponselku yang ada kamera telah dibawa pergi oleh Harry--mantan suami yang sekarang mungkin sedang jalan-jalan sore bersama istri barunya.

***

"Harry! Buka pintunya!"

Demi apa aku mendatangi rumah mantan suami yang jelas-jelas telah bahagia bersama perempuan lain pilihannya. Tentu saja demi meminta ponsel android-ku kembali. Tak ada jalan lain, hanya itu yang ada di dalam benakku saat ini.

"Nur Khaya?" ucap lelaki bertubuh kurus itu saat membuka pintu. Ia paling suka menyebut nama lengkapku saat bertemu setelah bercerai. Aku benar-benar merasa seperti orang lain. Seolah kami tak pernah satu ranjang.

"Jangan sebut nama lengkapku."

"Lantas, aku harus memanggilmu apa? Nur Sentosa?"

Dahulu aku selalu menyematkan nama belakang Harry di semua akun media sosial yang kupunya. Semenjak hatinya telah dimiliki oleh orang lain, semua nama akun media sosialku kuganti menjadi Nur saja. Sudah lama juga akun-akun itu tak kubuka. Apalagi sekarang aku hanya menggunakan ponsel tulalit.

Harry Sentosa namanya. Namun kami tak pernah merasakan hidup yang damai sentosa semenjak menikah. Selalu saja ada masalah yang menimpa. Mungkin itulah yang membuatnya mencari pelarian di luar sana. Hingga kutangkap basah ia bersama perempuan selingkuhannya.

"Sayang, siapa yang datang?"

Hatiku serasa diremas-remas saat mendengar suara di dalam sana memanggilnya dengan sebutan sayang. Meski kami telah berpisah, rasa sakit itu tetap ada. Sakit karena telah dikhianati. Sakit karena tak bisa mempertahankan keutuhan keluarga.

"Nur Khaya, sayang," jawab Harry seraya menggaruk kepala.

Perempuan berambut ikal itu berdiri di samping Harry yang sedari tadi tak mempersilakanku masuk. Bagai pengemis dan peminta-minta, mereka hanya menyambutku di depan pintu.

"Nur? Ada perlu apa kau kemari?" tanya perempuan pencuri suamiku itu.

"Aku ingin meminta ponselku kembali, Stres."

"Theresia. Namaku Theresia. Bukan Stres."

"Kau lebih pantas kupanggil Stres. Kalau otakmu sehat, mungkin kau takkan jatuh cinta pada lelaki yang telah beristri."

"Nur!"

"Sudah, sudah, cukup! Kalian kekanakan sekali," ujar Harry melerai. Ia menarik lengan Theresia dan mendorongnya ke dalam agar tak berhadapan denganku. Harry merogoh kantong celana. Ia mengeluarkan ponsel milikku yang ia bawa empat bulan yang lalu. "Kau mau membawa ponsel ini bersamamu?" tanyanya dengan tatapan aneh.

"Tentu saja. Aku membutuhkan benda itu saat ini."

"Tak ada lagi kenanganmu yang bisa kupandang setiap waktu, Nur."

"Kau sudah memiliki perempuan itu, bukan? Untuk apa lagi kenanganku? Kurasa semuanya telah usai."

"Tapi aku masih menyayangimu, Nur."

Harry membuat mataku berembun. Kata sayang yang ia ucapkan membuat luka di  dadaku terasa semakin dalam. Sekarang ini di antara kami telah terbentang jurang. Meski di lubuk hati ini kuakui masih ada rasa yang sama, rasa benci ini mengalahkan segalanya. Kurasa.

"Hanya sayang? Lalu perempuan itu mendapat cinta, begitu?"

"Jangan bicara seperti itu. Kau tahu kan, Nur? Kau pasti sudah mendengar desas-desus bahwa Theresia itu mandul. Lima bulan kami bersama, belum juga ada tanda-tanda," ucap Harry pelan.

"Kau menyesal?"

"Ya, begitulah."

Menyesal katanya menikahi Theresia setelah ia mengetahui kekurangan perempuan itu. Dahulu ia bersikukuh memilihnya daripada aku. Ia rela kehilangan dua orang anak demi perempuan yang tak mampu memberikannya anak.

"Jahat sekali kau sebagai lelaki."

"Aku merindukanmu, Nur. Aku rindu anak-anak."

"Persetan dengan rindumu. Di mana kau berada saat kami butuh? Di mana kau menginap saat hujan badai meniup atap rumah yang bocor? Kami bersusah payah memperbaiki atap agar tetap bisa berteduh. Kau di mana saat itu?"

Harry menyumpal mulutku dengan telapak tangannya. Ia melirik ke dalam. Mungkin takut perempuan itu akan mendengar. Lelaki yang semakin kurus semenjak berpisah denganku itu menatap penuh harap. "Ayo kita rujuk kembali, Nur."

"Apa?"

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kenzo Nova Yandi
hanya terbawa nafsu aja..gx liat k depan ny
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status