Setelah mendapat arahan dari Tika, sekaligus berkenalan dengan rekan kerja lainnya, Reva melakukan tugas pertamanya sebagai office girl.
Sambil membawa cangkir teh dengan nampan, Reva berjalan menuju lift. Dia memandangi sekeliling dan menyadari suasana kantor masih sepi. Belum banyak karyawan yang datang mengingat jam kantor baru dimulai pukul delapan. Mereka yang bekerja sebagai office boy maupun office girl harus datang lebih awal dari karyawan lainnya.
Beberapa menit yang lalu, Tika memberikan tugas pertama kepada Reva yang sukses membuatnya tercengang. Belum apa-apa Reva sudah diminta mengantarkan minuman untuk pimpinan tertinggi perusahaan ini. Sebagai karyawan baru, sudah pasti Reva tidak bisa menutupi rasa gugupnya. Terlebih dia sendiri belum begitu mengenal perusahaan tempatnya bekerja ini, termasuk pimpinannya.
Untung saja Tika bukan tipe karyawan yang mengutamakan senioritas. Dengan penuh kesabaran, dia memberikan pemahaman dan pengertian kepada Reva agar tidak gugup dalam bekerja.
Reva bersyukur Tika merupakan rekan kerja yang baik. Dia bersedia menolong dan membantunya apabila mendapatkan kesulitan saat bekerja nanti.
“Reva?”
Lamunan Reva buyar setelah mendengar suara familiar itu. Dia buru-buru membungkuk sopan ketika melihat Naufal sudah berdiri di hadapannya.
“Selamat pagi, Pak Naufal.”
“Selamat pagi. Kamu sudah mulai bekerja?” tanya Naufal ramah.
Reva mengangguk. “Iya, Pak. Terima kasih Bapak sudah menawarkan pekerjaan pada saya.”
“Saya hanya menjalankan tugas dari atasan saya.” Naufal terheran mendapati perubahan ekspresi wajah Reva. “Saya bekerja sebagai sekretaris CEO perusahaan ini. Beliau yang memberikan pekerjaan itu untukmu.”
“Apa?!” Reva menyadari kesalahan yang baru saja dia lakukan. “Maaf, Pak. Saya sudah berteriak terlalu keras. Saya hanya—”
“Terkejut? Tidak apa-apa.” Naufal terkekeh geli dengan sikap Reva. Terakhir kali saat dia mendatangi rumah Reva untuk menawarkan pekerjaan itu, Naufal tahu bahwa Reva memiliki kepribadian yang unik. Reva sangat ekspresif dan bersikap apa adanya dalam berinteraksi dengan orang lain.
Perhatian Naufal tertuju pada cangkir teh yang dibawa Reva. “Teh untuk Pak Azka?”
Reva mengangguk. Meski belum tahu wajahnya, Reva sudah diberitahu identitas pimpinan mereka.
“Maaf, Pak. Saya belum tahu ruangannya Pak Azka.” Reva menunduk malu. “Tadi rekan saya hanya memberitahu kalau saya harus naik ke lantai 25.”
“Lantai 25 adalah lantai tertinggi di kantor ini dan hanya ada satu ruangan saja, yaitu ruangan CEO Adinata Group, Pak Azka.”
Reva menatap takjub. “Hanya satu ruangan?”
Naufal sebenarnya ingin tertawa melihat bagaimana mata Reva mengerjap polos. Namun, dia berusaha menahan diri karena harus menjaga image di depan gadis ini.
TING!
Suara pintu lift yang terbuka menghentikan obrolan singkat mereka. Keduanya bergegas masuk ke dalam lift dan segera menuju lantai 25. Selama berada di dalam lift, tiba-tiba Reva merasa kakinya berubah seperti jelly. Dia menjadi gugup luar biasa karena sebentar lagi akan bertemu dengan pimpinan perusahaan.”
“Kamu tidak perlu gugup. Pak Azka belum tiba di kantor,” kata Naufal setelah berhasil membaca ekspresi Reva.
Reva buru-buru mengalihkan perhatiannya kepada Naufal. ‘Pak Naufal seperti bisa membaca pikiranku. Apa dia peramal?’
“Saya bukan peramal. Saya hanya membaca ekspresimu yang terlihat sangat gugup,” sahut Naufal dan sukses membuat Reva menatapnya horor.
Tawa Naufal nyaris meledak melihat ekspresi Reva yang ketakutan seperti anak kecil. Benar-benar polos dan lugu.
“Oh iya, kamu tidak perlu bersikap terlalu formal. Kamu bisa memanggil saya Kak Naufal,” ujar Naufal.
Reva terdiam sebentar, lalu menggeleng pelan. “Maaf, Pak. Saya rasa itu kurang pantas. Saya lebih nyaman memanggil Anda dengan Pak Naufal seperti sebelumnya.”
Naufal sudah menduga jawaban Reva. “Ya sudah. Semoga kamu betah bekerja di sini.”
Reva ikut tersenyum dan mengangguk penuh semangat. “Mohon bimbingannya, Pak.”
Seulas senyum mengembang di bibir Naufal. Dia senang bisa mengobrol dengan Reva.
Diam-diam Reva memperhatikan raut wajah Naufal. Kali ini, ibunya berkata benar. Jika terbiasa menanamkan pikiran positif, perasaan buruk atau curiga terhadap seseorang akan menghilang dengan sendirinya. Reva merasa nyaman saat berinteraksi dengan Tika dan Naufal. Hanya dengan Lina dan beberapa rekan sesama office girl saja yang masih kaku dengannya.
Meski begitu, Reva tidak mau ambil pusing. Dia sudah memutuskan untuk mengikuti nasihat ibunya.
***
Sebuah mobil BMW seri 7 warna hitam baru saja berhenti di depan gedung kantor Adinata Group. Sosok pria dengan perawakan tinggi dan tubuh layaknya model tampak keluar dari dalam mobil tersebut. Dia melangkah tegap memasuki gedung kantor. Kedatangannya langsung disambut hormat oleh beberapa karyawan di bagian resepsionis maupun karyawan yang tidak sengaja berpapasan dengannya di lobi.
“Selamat pagi, Pak Azka.”
Salah satunya kepala bagian perencanaan—Feby. Perempuan yang sedang berdiri di depan lift itu segera membungkuk sopan kepadanya.
“Selamat pagi, Pak.”
Tak banyak kata yang keluar dari Azka Rahardian Adinata. CEO dari Adinata Group ini hanya mengangguk singkat tanpa mengatakan apapun. Beberapa karyawan yang ikut mengantri di belakang mereka saling melirik satu sama lain. Mereka sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini di kantor. Feby selalu bersikap manis di hadapan atasan mereka yang terkenal dingin seperti Azka.
Semua orang jelas sudah tahu jika Feby tidak hanya mengagumi sosok CEO muda ini, melainkan juga menaruh hati padanya.
Tepat saat pintu lift terbuka, semua orang segera memberi jalan kepada Azka untuk memasuki lift terlebih dahulu. Namun, mereka justru dikejutkan dengan kemunculan gadis yang mengenakan seragam office girl yang baru keluar dari lift.
Yang membuat mereka terkejut adalah sikap gadis itu yang begitu cuek terhadap sekitar dan langsung pergi melewati semua orang, tak terkecuali Azka.
Suasana hening seketika menyergap sekeliling. Gadis yang belum menyadari kesalahannya itu terus saja berjalan tanpa menoleh sedikit pun.
“BERHENTI!”
Barulah ketika terdengar teriakan keras Feby, gadis itu berbalik dan menatapnya dengan mata berkedip-kedip.
“DI MANA RASA HORMAT KAMU?!”
“Maaf, Bu?” Ada raut kebingungan yang tercetak jelas di wajah gadis bermata bulat itu.
Feby memandangi gadis di depannya dengan penuh selidik. Dia mengamati dari atas kepala hingga ujung sepatu, lalu wajahnya sedikit mendekat. “Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kamu karyawan baru di sini?”
Anggukan gadis itu membuat Feby menghela napas pendek.
“Kamu—”
“Revalia Putri.”
Semua orang menoleh ke arah Azka, termasuk gadis berseragam office girl tersebut. Feby semakin kesal ketika Azka memotong kalimatnya. Tapi yang sebenarnya, dia lebih kesal lagi karena Azka tampak seperti sudah mengenal karyawan baru ini. Ada percikan api dalam hatinya.
“Bapak mengenal saya?”
Pertanyaan yang dilontarkan Reva membuat semua orang melotot. Bagaimana bisa gadis ini balik bertanya pada atasan mereka?
Semua orang hanya bisa berdoa dalam hati untuk keselamatan karyawan baru ini. Reva tidak mungkin lolos dari amukan Azka.
TO BE CONTINUED
Mata Reva perlahan terbuka setelah dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya. Dia memperhatikan sekeliling, menyadari suasana kamar dalam keadaan temaram. Untuk sesaat, Reva meringis begitu rasa sakit kembali datang. Tangannya refleks memegangi pelipis karena kepalanya berdenyut“Reva?”Suara familiar itu menyapa gendang telinga Reva. Dia menoleh. Matanya nyaris tak berkedip saat mendapati Yuni duduk di sampingnya. “Mama?”Raut wajah Yuni terlihat cemas. “Kepalamu masih sakit?”“Sedikit.” Reva terdiam sejenak, lalu menyadari keberadaan Yuni secara mengejutkan. “Kenapa Mama bisa di sini?”Yuni tersenyum tipis. Dia sudah menebak pertanyaan itu dan tidak langsung menjawabnya. Yuni justru memilih memijat lembut pelipis Reva terlebih dahulu.“Mama?” Reva semakin penasaran melihat sorot mata Yuni begitu tajam.“Mulai hari ini,” Yuni mengambil jed
Jeritan Reva dari kamar terdengar sampai kamar Azka. Dia bergegas keluar menuruni tangga menuju kamar Reva. Tanpa basa-basi, Azka membuka pintu kamar Reva dengan dorongan kasar.“Re—” Bibir Azka terkatup rapat seiring dengan matanya yang melotot. Bukan hanya pemandangan Reva yang masih memakai bathrobe, tetapi keberadaan Aris yang duduk di tepi tempat tidur. Darah Azka serasa mendidih melihat pandangan Aris terus tertuju pada penampilan Reva.“Akh!” Aris berteriak kesakitan begitu mendapat jeweran penuh kasih sayang dari Azka. “Kakak, sakit!”“Apa yang kamu lakukan di sini bocah tengik?!” semprot Azka tak melepaskan tangannya sedikit pun dari telinga Aris.“Aduh, aduh!” Aris memegangi tangan Azka. “Lepaskan tanganmu, Kak! Telingaku sakit!”“Sedang apa kamu di sini? Kamu mengintip Vava mandi, hah?!”Reva yang berdiri menghadap pintu kamar
“Pak, kita sudah sampai.”Suara dari sopir membuyarkan lamunan Azka. Dia mendekati kaca jendela mobil dan baru menyadari bahwa mobil sudah berhenti di halaman depan rumahnya. Azka melihat sopir keluar dan bergegas membukakan pintu untuknya.Kepulangan Azka disambut ramah oleh Heri. “Selamat datang, Pak.”Azka mengangguk. “Di mana Reva?”“Non Reva ada di taman belakang.” Heri terdiam sebentar sambil mengamati ekspresi wajah Azka. “Untuk makan siangnya mau disiapkan sekarang, Pak?”“Tidak usah. Aku sudah makan di luar.” Azka hendak melangkah ke taman belakang, tetapi berbalik kembali pada Heri dan menanyakan sesuatu. “Tadi saat jam makan siang, apa Reva menungguku?”“Iya, Pak.”Heri tersenyum tipis. Masih membekas dalam ingatannya wajah murung Reva ketika menikmati makan siang hanya bersama Aris. Candaan konyol yang dilempar Aris tetap tidak
Lina sedang mencuci tangannya pada wastafel yang tersedia di toilet. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara ketukan hak sepatu dari luar. Menyadari ada orang lain yang hendak masuk, Lina menoleh ke arah pintu. Ekspresinya berubah malas begitu melihat kemunculan Feby.Alis Feby bertautan setelah merasakan aura suram yang terpancar dari Lina. Namun, Feby memilih mengabaikannya dan berjalan memasuki salah satu bilik toilet. Dia enggan mengajak Lina bicara mengingat mereka adalah musuh bebuyutan di kantor. Mustahil untuk bertegur sapa di luar urusan pekerjaan.Setelah Feby memasuki salah satu bilik toilet, Lina kembali menoleh ke arah pintu. Kali ini, dia melihat Tika dan Sekar yang datang sambil membawa satu ember. Lina tersenyum menyeringai setelah memastikan isi ember tersebut.Air kotor sisa pel lantai.“Kalian siap?” tanya Lina dengan gerakan bibirnya yang tidak mengeluarkan suara. Kedua gadis itu mengangguk kompak.Lina memberi
"Terima kasih."Yuni tersenyum pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Setelahnya, dia bergegas membersihkan meja yang sebelumnya digunakan pelanggan itu. Sesaat, dia memperhatikan sekeliling. Suasana restoran tempatnya bekerja terbilang ramai mengingat sekarang adalah jam makan siang. Yuni yang notabene bekerja sebagai pelayan harus bergerak lebih gesit untuk pelanggan restoran.Kling!Lonceng berbunyi ketika pintu dibuka seseorang. Yuni yang hendak kembali ke dapur refleks berbalik dan berlari menghampiri pintu untuk menyapa pelanggan yang baru saja masuk ke restoran."Selamat datang!" Yuni membungkuk sopan sambil tersenyum ramah. Dia mendongak dan baru mengetahui bahwa pelanggan itu adalah seorang pria. Namun, setelah melihat dengan jelas wajah pria itu, senyuman seketika memudar.Tubuh Yuni membeku. Meski sudah lama tidak bertemu, dia masih bisa mengenali sosoknya. Yuni masih ingat pertemuan terakhir mereka saat
Pelayan sudah menyarankan Reva untuk beristirahat. Namun karena bosan, dia meyakinkan pada mereka bahwa kondisinya sudah baik dan ingin melihat-lihat suasana rumah Azka dan Aris.Rumah dengan gaya klasik khas Eropa itu memiliki halaman depan yang sangat luas, berhiaskan sejumlah tanaman yang membuat suasana rumah terasa asri. Pilar-pilar pada beberapa bagian rumah semakin memperkuat kesan megah dan klasik.Reva tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat menelusuri setiap sudut rumah Azka dan Aris, terutama pada halaman belakang rumah. Ada kolam renang berbentuk persegi panjang dan dikelilingi area rerumputan yang luas.Tangan Reva terentang ke atas saat angin sepoi-sepoi berembus hingga menerbangkan helaian rambutnya."Sejuk sekali!" Reva berseru gembira. Setelah puas menikmati suasana halaman belakang, dia kembali masuk ke rumah.Reva tersenyum canggung membalas sapaan beberapa pelayan yang berpapasan dengannya. Dia berhenti di dekat ruang tamu