Share

3. Teguran

Penulis: cloverqua
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-20 12:12:46

Semua orang masih menunggu respon Azka. Mereka penasaran bagaimana reaksi Azka pada karyawan baru yang tidak mengenalinya.

“Tentu saja.” Sudut bibir Azka terangkat. “Aku mengenal semua karyawan yang bekerja di perusahaanku.”

Ada yang berbeda dari cara Azka menjawab. Sifat arogansi seorang pemimpin tetap ada, tetapi untuk pertama kalinya Azka tersenyum. Semua orang dibuat terkesima dengan senyuman Azka yang jarang mereka lihat selama berada di kantor.

Darah Feby serasa mendidih melihat Azka begitu mudah tersenyum pada office girl.

“Beliau ini CEO dari Adinata Group, Azka Rahardian Adinata.” Feby menatap tajam ke arah  Reva. “Kamu seharusnya mengenali atasan kamu!”

Mendengar perkataan Feby, mata Reva membelalak lebar. Reva menyadari kesalahan yang baru saja dia lakukan.

“Maafkan saya, Pak. Maafkan saya.” Reva membungkuk beberapa kali. “Saya sudah bersikap tidak sopan pada Bapak.”

Feby tersenyum mengejek ke arah Reva. Namun, senyumannya seketika memudar begitu Azka hanya membalas Reva dengan tawa.

“Tidak apa-apa. Kamu baru bekerja di sini. Aku memakluminya.”

Semua orang saling memandang dengan penuh kebingungan. Tak terkecuali Feby.

Azka yang terkenal dingin dengan mudahnya tertawa lepas saat menanggapi karyawan baru. Apalagi karyawan baru itu hanya seorang office girl.

Reva mengerjapkan matanya beberapa kali. Cukup terkejut dengan respon yang diberikan Azka.

“Kamu boleh pergi,” titah Azka. “Aku harap kamu betah untuk bekerja di sini.”

Reva menatap sekeliling. Dia merasa ciut ketika semua orang memandanginya dengan tatapan mengintimidasi. Reva membungkuk sopan ke arah Azka sambil menyampaikan ucapan terima kasih, sebelum akhirnya sedikit berlari kembali ke pantri.

“Kalian mau naik atau tidak?”

Suara berat Azka membuyarkan lamunan semua orang. Tanpa mereka sadari, Azka sudah masuk ke dalam lift. Masih terkejut dengan pemandangan yang baru saja mereka lihat, tak ada satupun yang menjawab pertanyaan Azka. Termasuk Feby.

“Ya sudah jika tidak mau naik.” Tanpa b**a-basi, Azka menekan tombol sehingga pintu lift tertutup.

Feby terdiam di depan pintu lift. Pikirannya langsung berkelana ke mana-mana. Apalagi setelah mendengar bisikan-bisikan di sekitar yang kembali membahas tingkah aneh Azka terhadap karyawan baru tadi.

Tangan Feby mengepal kuat. Dengan langkah sedikit menghentak, dia pergi dari kerumunan orang-orang.

***

Naufal memandangi Azka dengan kerutan samar di dahi. Azka baru saja masuk ke ruangan. Ketika Naufal bermaksud meminta tandatangannya, dia justru mendapati Azka sedang tersenyum sendirian sambil memandangi dua lembar foto.

“Pak Azka?”

Berulan kali Naufal memanggil Azka, tetapi tak kunjung mendapatkan respon.

Tak punya pilihan lain, Naufal mengeluarkan dehaman pelan dan akhirnya berhasil mengalihkan perhatian pria berusia 27 tahun itu.

“Maaf, mengganggu waktu Anda, Pak,” kata Naufal sedikit menunduk.

“Tidak apa-apa.”

Naufal diam-diam mengamati gelagat Azka yang memasukkan dua lembar foto tadi ke dalam laci meja.

“Mana berkas yang harus saya tandatangani?”

Kali ini giliran Naufal yang tidak merespon.

“Naufal?”

Suara dingin dan menakutkan Azka membuat Naufal tersadar dari lamunannya. Dengan gugup, Naufal menyodorkan map kepada Azka.

“Masih ada lagi?”

Naufal menggeleng. “Sudah semua, Pak.” Dia siap berbalik, tetapi suara Azka selanjutnya membuat Naufal urung keluar dari ruangan.

“Jadi, Reva sudah mulai bekerja?”

Naufal tertegun melihat mata Azka berbinar terang. Ini sudah kesekian kali Naufal melihat antusiasme Azka saat mereka membicarakan Reva.

“Anda sudah bertemu dengannya?”

Azka mengangguk. “Kami berpapasan di lift. Dia tidak banyak berubah.”

Dahi Naufal berkerut.

“Dia masih saja bertingkah lucu.”

Lucu?

“Dan menggemaskan.”

Menggemaskan?

“Baiklah, kamu boleh keluar.”

Naufal mendengus dalam hati. ‘Sebenarnya ada hubungan apa antara Pak Azka dengan Reva?’

Dengan wajah sedikit tidak rela, Naufal membungkuk sopan lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan Azka. Namun, dia teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Azka.

“Silakan menikmati tehnya, Pak.”

Azka menautkan kedua alisnya, lalu melirik pada secangkir teh yang sudah tersaji di atas meja.

“Apa Reva yang mengantarnya ke sini?” tanya Azka dengan mata yang kembali berbinar terang dan sukses membuat Naufal tercengang.

“Iya, Pak. Reva yang mengantarnya.” Naufal mengambil jeda sejenak. “Itu adalah tugas pertama yang dia kerjakan hari ini.”

“Sungguh?” Senyuman lebar menghiasi wajah Azka. “Bagus sekali.”

Tanpa menunda lagi, Azka segera meminum teh yang dibawakan Reva. Naufal diam-diam kembali mengamati ekspresi wajah Azka yang tampak begitu senang. Padahal selama ini, ekspresi Azka terlihat biasa saja ketika meminum teh yang diantarkan office girl ataupun office boy lainnya.

Apa karena Reva yang mengantarkannya, sehingga teh tersebut terasa lebih spesial?

Naufal terlalu pusing untuk memikirkan masalah itu. Lebih baik dia menunggu sampai Azka sendiri yang menceritakan semuanya.

Sepeninggalan Naufal, Azka memutar kursinya yang kini menghadap ke arah jendela. Dia berdiri lalu berjalan mendekati jendela. Pandangan Azka tertuju pada jalanan di luar gedung yang terlihat ramai dilalui banyak kendaraan.

Bibir tipis itu melengkung sempurna. Bayangan wajah Reva saat mereka berpapasan di depan lift kembali melintas dalam kepala Azka.

“Kamu sama sekali tidak berubah.”

Tiba-tiba wajahnya berubah sendu. Di samping perasaan bahagia yang bercampur kerinduan, ada kesedihan yang terpendam dalam dirinya.

“Sayang sekali kamu tidak mengenaliku ... Reva ....”

***

Kepala tertunduk dengan kedua tangan saling bertaut. Reva tidak tahu lagi harus mengatakan apa ketika Lina tiba-tiba menyambangi pantri. Kepala bagian personalia itu menatap tajam kepada Reva yang kini tertunduk dengan tubuh sedikit gemetar di hadapannya.

“Kamu melakukan kesalahan pertama.”

Mata Reva menatap sekeliling. Beberapa rekannya menatap prihatin, termasuk Tika.

“Bagaimana bisa kamu tidak mengenali atasanmu, hah?!”

Setelah mendapat aduan dari Feby, Lina langsung mendatangi Reva. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya marah kepada Reva. Kesan pertama melihat Reva, Lina sudah menilai bahwa dia adalah sosok gadis yang polos dan lugu.

Mendengar kesaksian orang-orang yang melihat kejadian di mana Reva begitu cuek saat berjalan melewati CEO perusahaan ini, cukup menjelaskan jika Reva tidak mengenal Azka sebelumnya. Dan kecurigaannya semula adalah sebuah kesalahan.

Lina sendiri sebenarnya sedang kesal pada Feby, karena perempuan itu dengan seenaknya mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Lina, di hadapan beberapa bawahannya. Lina tidak terima dipermalukan begitu saja oleh perempuan yang sudah dicap sebagai musuh abadinya di kantor.

Tak ada yang tahu kenapa dua wanita hebat yang menjabat sebagai kepala di bagian perencanaan dan personalia itu tidak pernah akur.

“Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Reva kembali membungkuk sambil mengutarakan permintaan maaf. Tulus dari hatinya yang terdalam.

“Ini peringatan pertama.  Lain kali, jangan sampai kamu melakukan kesalahan sepele seperti ini lagi.”

“Iya, Bu. Saya janji tidak melakukan kesalahan lagi dan bekerja dengan baik,” kata Reva dengan penuh keyakinan.

Lina tersenyum. “Baik, saya pegang janji kamu.”

Reva bernapas lega. Dia bertekad akan memenuhi janjinya pada Lina untuk bekerja dengan baik. Reva tidak ingin merusak kesempatan yang sudah Lina berikan padanya.

TO BE CONTINUED

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Masa Lalu   22. Pengakuan Yuni

    Mata Reva perlahan terbuka setelah dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya. Dia memperhatikan sekeliling, menyadari suasana kamar dalam keadaan temaram. Untuk sesaat, Reva meringis begitu rasa sakit kembali datang. Tangannya refleks memegangi pelipis karena kepalanya berdenyut“Reva?”Suara familiar itu menyapa gendang telinga Reva. Dia menoleh. Matanya nyaris tak berkedip saat mendapati Yuni duduk di sampingnya. “Mama?”Raut wajah Yuni terlihat cemas. “Kepalamu masih sakit?”“Sedikit.” Reva terdiam sejenak, lalu menyadari keberadaan Yuni secara mengejutkan. “Kenapa Mama bisa di sini?”Yuni tersenyum tipis. Dia sudah menebak pertanyaan itu dan tidak langsung menjawabnya. Yuni justru memilih memijat lembut pelipis Reva terlebih dahulu.“Mama?” Reva semakin penasaran melihat sorot mata Yuni begitu tajam.“Mulai hari ini,” Yuni mengambil jed

  • Rahasia Masa Lalu   21. Dilema

    Jeritan Reva dari kamar terdengar sampai kamar Azka. Dia bergegas keluar menuruni tangga menuju kamar Reva. Tanpa basa-basi, Azka membuka pintu kamar Reva dengan dorongan kasar.“Re—” Bibir Azka terkatup rapat seiring dengan matanya yang melotot. Bukan hanya pemandangan Reva yang masih memakai bathrobe, tetapi keberadaan Aris yang duduk di tepi tempat tidur. Darah Azka serasa mendidih melihat pandangan Aris terus tertuju pada penampilan Reva.“Akh!” Aris berteriak kesakitan begitu mendapat jeweran penuh kasih sayang dari Azka. “Kakak, sakit!”“Apa yang kamu lakukan di sini bocah tengik?!” semprot Azka tak melepaskan tangannya sedikit pun dari telinga Aris.“Aduh, aduh!” Aris memegangi tangan Azka. “Lepaskan tanganmu, Kak! Telingaku sakit!”“Sedang apa kamu di sini? Kamu mengintip Vava mandi, hah?!”Reva yang berdiri menghadap pintu kamar

  • Rahasia Masa Lalu   20. Tetap Sama

    “Pak, kita sudah sampai.”Suara dari sopir membuyarkan lamunan Azka. Dia mendekati kaca jendela mobil dan baru menyadari bahwa mobil sudah berhenti di halaman depan rumahnya. Azka melihat sopir keluar dan bergegas membukakan pintu untuknya.Kepulangan Azka disambut ramah oleh Heri. “Selamat datang, Pak.”Azka mengangguk. “Di mana Reva?”“Non Reva ada di taman belakang.” Heri terdiam sebentar sambil mengamati ekspresi wajah Azka. “Untuk makan siangnya mau disiapkan sekarang, Pak?”“Tidak usah. Aku sudah makan di luar.” Azka hendak melangkah ke taman belakang, tetapi berbalik kembali pada Heri dan menanyakan sesuatu. “Tadi saat jam makan siang, apa Reva menungguku?”“Iya, Pak.”Heri tersenyum tipis. Masih membekas dalam ingatannya wajah murung Reva ketika menikmati makan siang hanya bersama Aris. Candaan konyol yang dilempar Aris tetap tidak

  • Rahasia Masa Lalu   19. Kekecewaan Azka

    Lina sedang mencuci tangannya pada wastafel yang tersedia di toilet. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara ketukan hak sepatu dari luar. Menyadari ada orang lain yang hendak masuk, Lina menoleh ke arah pintu. Ekspresinya berubah malas begitu melihat kemunculan Feby.Alis Feby bertautan setelah merasakan aura suram yang terpancar dari Lina. Namun, Feby memilih mengabaikannya dan berjalan memasuki salah satu bilik toilet. Dia enggan mengajak Lina bicara mengingat mereka adalah musuh bebuyutan di kantor. Mustahil untuk bertegur sapa di luar urusan pekerjaan.Setelah Feby memasuki salah satu bilik toilet, Lina kembali menoleh ke arah pintu. Kali ini, dia melihat Tika dan Sekar yang datang sambil membawa satu ember. Lina tersenyum menyeringai setelah memastikan isi ember tersebut.Air kotor sisa pel lantai.“Kalian siap?” tanya Lina dengan gerakan bibirnya yang tidak mengeluarkan suara. Kedua gadis itu mengangguk kompak.Lina memberi

  • Rahasia Masa Lalu   18. Tekad Aris

    "Terima kasih."Yuni tersenyum pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Setelahnya, dia bergegas membersihkan meja yang sebelumnya digunakan pelanggan itu. Sesaat, dia memperhatikan sekeliling. Suasana restoran tempatnya bekerja terbilang ramai mengingat sekarang adalah jam makan siang. Yuni yang notabene bekerja sebagai pelayan harus bergerak lebih gesit untuk pelanggan restoran.Kling!Lonceng berbunyi ketika pintu dibuka seseorang. Yuni yang hendak kembali ke dapur refleks berbalik dan berlari menghampiri pintu untuk menyapa pelanggan yang baru saja masuk ke restoran."Selamat datang!" Yuni membungkuk sopan sambil tersenyum ramah. Dia mendongak dan baru mengetahui bahwa pelanggan itu adalah seorang pria. Namun, setelah melihat dengan jelas wajah pria itu, senyuman seketika memudar.Tubuh Yuni membeku. Meski sudah lama tidak bertemu, dia masih bisa mengenali sosoknya. Yuni masih ingat pertemuan terakhir mereka saat

  • Rahasia Masa Lalu   17. Identitas Asli Yuni

    Pelayan sudah menyarankan Reva untuk beristirahat. Namun karena bosan, dia meyakinkan pada mereka bahwa kondisinya sudah baik dan ingin melihat-lihat suasana rumah Azka dan Aris.Rumah dengan gaya klasik khas Eropa itu memiliki halaman depan yang sangat luas, berhiaskan sejumlah tanaman yang membuat suasana rumah terasa asri. Pilar-pilar pada beberapa bagian rumah semakin memperkuat kesan megah dan klasik.Reva tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat menelusuri setiap sudut rumah Azka dan Aris, terutama pada halaman belakang rumah. Ada kolam renang berbentuk persegi panjang dan dikelilingi area rerumputan yang luas.Tangan Reva terentang ke atas saat angin sepoi-sepoi berembus hingga menerbangkan helaian rambutnya."Sejuk sekali!" Reva berseru gembira. Setelah puas menikmati suasana halaman belakang, dia kembali masuk ke rumah.Reva tersenyum canggung membalas sapaan beberapa pelayan yang berpapasan dengannya. Dia berhenti di dekat ruang tamu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status