Share

3. Teguran

Semua orang masih menunggu respon Azka. Mereka penasaran bagaimana reaksi Azka pada karyawan baru yang tidak mengenalinya.

“Tentu saja.” Sudut bibir Azka terangkat. “Aku mengenal semua karyawan yang bekerja di perusahaanku.”

Ada yang berbeda dari cara Azka menjawab. Sifat arogansi seorang pemimpin tetap ada, tetapi untuk pertama kalinya Azka tersenyum. Semua orang dibuat terkesima dengan senyuman Azka yang jarang mereka lihat selama berada di kantor.

Darah Feby serasa mendidih melihat Azka begitu mudah tersenyum pada office girl.

“Beliau ini CEO dari Adinata Group, Azka Rahardian Adinata.” Feby menatap tajam ke arah  Reva. “Kamu seharusnya mengenali atasan kamu!”

Mendengar perkataan Feby, mata Reva membelalak lebar. Reva menyadari kesalahan yang baru saja dia lakukan.

“Maafkan saya, Pak. Maafkan saya.” Reva membungkuk beberapa kali. “Saya sudah bersikap tidak sopan pada Bapak.”

Feby tersenyum mengejek ke arah Reva. Namun, senyumannya seketika memudar begitu Azka hanya membalas Reva dengan tawa.

“Tidak apa-apa. Kamu baru bekerja di sini. Aku memakluminya.”

Semua orang saling memandang dengan penuh kebingungan. Tak terkecuali Feby.

Azka yang terkenal dingin dengan mudahnya tertawa lepas saat menanggapi karyawan baru. Apalagi karyawan baru itu hanya seorang office girl.

Reva mengerjapkan matanya beberapa kali. Cukup terkejut dengan respon yang diberikan Azka.

“Kamu boleh pergi,” titah Azka. “Aku harap kamu betah untuk bekerja di sini.”

Reva menatap sekeliling. Dia merasa ciut ketika semua orang memandanginya dengan tatapan mengintimidasi. Reva membungkuk sopan ke arah Azka sambil menyampaikan ucapan terima kasih, sebelum akhirnya sedikit berlari kembali ke pantri.

“Kalian mau naik atau tidak?”

Suara berat Azka membuyarkan lamunan semua orang. Tanpa mereka sadari, Azka sudah masuk ke dalam lift. Masih terkejut dengan pemandangan yang baru saja mereka lihat, tak ada satupun yang menjawab pertanyaan Azka. Termasuk Feby.

“Ya sudah jika tidak mau naik.” Tanpa b**a-basi, Azka menekan tombol sehingga pintu lift tertutup.

Feby terdiam di depan pintu lift. Pikirannya langsung berkelana ke mana-mana. Apalagi setelah mendengar bisikan-bisikan di sekitar yang kembali membahas tingkah aneh Azka terhadap karyawan baru tadi.

Tangan Feby mengepal kuat. Dengan langkah sedikit menghentak, dia pergi dari kerumunan orang-orang.

***

Naufal memandangi Azka dengan kerutan samar di dahi. Azka baru saja masuk ke ruangan. Ketika Naufal bermaksud meminta tandatangannya, dia justru mendapati Azka sedang tersenyum sendirian sambil memandangi dua lembar foto.

“Pak Azka?”

Berulan kali Naufal memanggil Azka, tetapi tak kunjung mendapatkan respon.

Tak punya pilihan lain, Naufal mengeluarkan dehaman pelan dan akhirnya berhasil mengalihkan perhatian pria berusia 27 tahun itu.

“Maaf, mengganggu waktu Anda, Pak,” kata Naufal sedikit menunduk.

“Tidak apa-apa.”

Naufal diam-diam mengamati gelagat Azka yang memasukkan dua lembar foto tadi ke dalam laci meja.

“Mana berkas yang harus saya tandatangani?”

Kali ini giliran Naufal yang tidak merespon.

“Naufal?”

Suara dingin dan menakutkan Azka membuat Naufal tersadar dari lamunannya. Dengan gugup, Naufal menyodorkan map kepada Azka.

“Masih ada lagi?”

Naufal menggeleng. “Sudah semua, Pak.” Dia siap berbalik, tetapi suara Azka selanjutnya membuat Naufal urung keluar dari ruangan.

“Jadi, Reva sudah mulai bekerja?”

Naufal tertegun melihat mata Azka berbinar terang. Ini sudah kesekian kali Naufal melihat antusiasme Azka saat mereka membicarakan Reva.

“Anda sudah bertemu dengannya?”

Azka mengangguk. “Kami berpapasan di lift. Dia tidak banyak berubah.”

Dahi Naufal berkerut.

“Dia masih saja bertingkah lucu.”

Lucu?

“Dan menggemaskan.”

Menggemaskan?

“Baiklah, kamu boleh keluar.”

Naufal mendengus dalam hati. ‘Sebenarnya ada hubungan apa antara Pak Azka dengan Reva?’

Dengan wajah sedikit tidak rela, Naufal membungkuk sopan lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan Azka. Namun, dia teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Azka.

“Silakan menikmati tehnya, Pak.”

Azka menautkan kedua alisnya, lalu melirik pada secangkir teh yang sudah tersaji di atas meja.

“Apa Reva yang mengantarnya ke sini?” tanya Azka dengan mata yang kembali berbinar terang dan sukses membuat Naufal tercengang.

“Iya, Pak. Reva yang mengantarnya.” Naufal mengambil jeda sejenak. “Itu adalah tugas pertama yang dia kerjakan hari ini.”

“Sungguh?” Senyuman lebar menghiasi wajah Azka. “Bagus sekali.”

Tanpa menunda lagi, Azka segera meminum teh yang dibawakan Reva. Naufal diam-diam kembali mengamati ekspresi wajah Azka yang tampak begitu senang. Padahal selama ini, ekspresi Azka terlihat biasa saja ketika meminum teh yang diantarkan office girl ataupun office boy lainnya.

Apa karena Reva yang mengantarkannya, sehingga teh tersebut terasa lebih spesial?

Naufal terlalu pusing untuk memikirkan masalah itu. Lebih baik dia menunggu sampai Azka sendiri yang menceritakan semuanya.

Sepeninggalan Naufal, Azka memutar kursinya yang kini menghadap ke arah jendela. Dia berdiri lalu berjalan mendekati jendela. Pandangan Azka tertuju pada jalanan di luar gedung yang terlihat ramai dilalui banyak kendaraan.

Bibir tipis itu melengkung sempurna. Bayangan wajah Reva saat mereka berpapasan di depan lift kembali melintas dalam kepala Azka.

“Kamu sama sekali tidak berubah.”

Tiba-tiba wajahnya berubah sendu. Di samping perasaan bahagia yang bercampur kerinduan, ada kesedihan yang terpendam dalam dirinya.

“Sayang sekali kamu tidak mengenaliku ... Reva ....”

***

Kepala tertunduk dengan kedua tangan saling bertaut. Reva tidak tahu lagi harus mengatakan apa ketika Lina tiba-tiba menyambangi pantri. Kepala bagian personalia itu menatap tajam kepada Reva yang kini tertunduk dengan tubuh sedikit gemetar di hadapannya.

“Kamu melakukan kesalahan pertama.”

Mata Reva menatap sekeliling. Beberapa rekannya menatap prihatin, termasuk Tika.

“Bagaimana bisa kamu tidak mengenali atasanmu, hah?!”

Setelah mendapat aduan dari Feby, Lina langsung mendatangi Reva. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya marah kepada Reva. Kesan pertama melihat Reva, Lina sudah menilai bahwa dia adalah sosok gadis yang polos dan lugu.

Mendengar kesaksian orang-orang yang melihat kejadian di mana Reva begitu cuek saat berjalan melewati CEO perusahaan ini, cukup menjelaskan jika Reva tidak mengenal Azka sebelumnya. Dan kecurigaannya semula adalah sebuah kesalahan.

Lina sendiri sebenarnya sedang kesal pada Feby, karena perempuan itu dengan seenaknya mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Lina, di hadapan beberapa bawahannya. Lina tidak terima dipermalukan begitu saja oleh perempuan yang sudah dicap sebagai musuh abadinya di kantor.

Tak ada yang tahu kenapa dua wanita hebat yang menjabat sebagai kepala di bagian perencanaan dan personalia itu tidak pernah akur.

“Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Reva kembali membungkuk sambil mengutarakan permintaan maaf. Tulus dari hatinya yang terdalam.

“Ini peringatan pertama.  Lain kali, jangan sampai kamu melakukan kesalahan sepele seperti ini lagi.”

“Iya, Bu. Saya janji tidak melakukan kesalahan lagi dan bekerja dengan baik,” kata Reva dengan penuh keyakinan.

Lina tersenyum. “Baik, saya pegang janji kamu.”

Reva bernapas lega. Dia bertekad akan memenuhi janjinya pada Lina untuk bekerja dengan baik. Reva tidak ingin merusak kesempatan yang sudah Lina berikan padanya.

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status