Semua orang masih menunggu respon Azka. Mereka penasaran bagaimana reaksi Azka pada karyawan baru yang tidak mengenalinya.
“Tentu saja.” Sudut bibir Azka terangkat. “Aku mengenal semua karyawan yang bekerja di perusahaanku.”
Ada yang berbeda dari cara Azka menjawab. Sifat arogansi seorang pemimpin tetap ada, tetapi untuk pertama kalinya Azka tersenyum. Semua orang dibuat terkesima dengan senyuman Azka yang jarang mereka lihat selama berada di kantor.
Darah Feby serasa mendidih melihat Azka begitu mudah tersenyum pada office girl.
“Beliau ini CEO dari Adinata Group, Azka Rahardian Adinata.” Feby menatap tajam ke arah Reva. “Kamu seharusnya mengenali atasan kamu!”
Mendengar perkataan Feby, mata Reva membelalak lebar. Reva menyadari kesalahan yang baru saja dia lakukan.
“Maafkan saya, Pak. Maafkan saya.” Reva membungkuk beberapa kali. “Saya sudah bersikap tidak sopan pada Bapak.”
Feby tersenyum mengejek ke arah Reva. Namun, senyumannya seketika memudar begitu Azka hanya membalas Reva dengan tawa.
“Tidak apa-apa. Kamu baru bekerja di sini. Aku memakluminya.”
Semua orang saling memandang dengan penuh kebingungan. Tak terkecuali Feby.
Azka yang terkenal dingin dengan mudahnya tertawa lepas saat menanggapi karyawan baru. Apalagi karyawan baru itu hanya seorang office girl.
Reva mengerjapkan matanya beberapa kali. Cukup terkejut dengan respon yang diberikan Azka.
“Kamu boleh pergi,” titah Azka. “Aku harap kamu betah untuk bekerja di sini.”
Reva menatap sekeliling. Dia merasa ciut ketika semua orang memandanginya dengan tatapan mengintimidasi. Reva membungkuk sopan ke arah Azka sambil menyampaikan ucapan terima kasih, sebelum akhirnya sedikit berlari kembali ke pantri.
“Kalian mau naik atau tidak?”
Suara berat Azka membuyarkan lamunan semua orang. Tanpa mereka sadari, Azka sudah masuk ke dalam lift. Masih terkejut dengan pemandangan yang baru saja mereka lihat, tak ada satupun yang menjawab pertanyaan Azka. Termasuk Feby.
“Ya sudah jika tidak mau naik.” Tanpa b**a-basi, Azka menekan tombol sehingga pintu lift tertutup.
Feby terdiam di depan pintu lift. Pikirannya langsung berkelana ke mana-mana. Apalagi setelah mendengar bisikan-bisikan di sekitar yang kembali membahas tingkah aneh Azka terhadap karyawan baru tadi.
Tangan Feby mengepal kuat. Dengan langkah sedikit menghentak, dia pergi dari kerumunan orang-orang.
***
Naufal memandangi Azka dengan kerutan samar di dahi. Azka baru saja masuk ke ruangan. Ketika Naufal bermaksud meminta tandatangannya, dia justru mendapati Azka sedang tersenyum sendirian sambil memandangi dua lembar foto.
“Pak Azka?”
Berulan kali Naufal memanggil Azka, tetapi tak kunjung mendapatkan respon.
Tak punya pilihan lain, Naufal mengeluarkan dehaman pelan dan akhirnya berhasil mengalihkan perhatian pria berusia 27 tahun itu.
“Maaf, mengganggu waktu Anda, Pak,” kata Naufal sedikit menunduk.
“Tidak apa-apa.”
Naufal diam-diam mengamati gelagat Azka yang memasukkan dua lembar foto tadi ke dalam laci meja.
“Mana berkas yang harus saya tandatangani?”
Kali ini giliran Naufal yang tidak merespon.
“Naufal?”
Suara dingin dan menakutkan Azka membuat Naufal tersadar dari lamunannya. Dengan gugup, Naufal menyodorkan map kepada Azka.
“Masih ada lagi?”
Naufal menggeleng. “Sudah semua, Pak.” Dia siap berbalik, tetapi suara Azka selanjutnya membuat Naufal urung keluar dari ruangan.
“Jadi, Reva sudah mulai bekerja?”
Naufal tertegun melihat mata Azka berbinar terang. Ini sudah kesekian kali Naufal melihat antusiasme Azka saat mereka membicarakan Reva.
“Anda sudah bertemu dengannya?”
Azka mengangguk. “Kami berpapasan di lift. Dia tidak banyak berubah.”
Dahi Naufal berkerut.
“Dia masih saja bertingkah lucu.”
Lucu?
“Dan menggemaskan.”
Menggemaskan?
“Baiklah, kamu boleh keluar.”
Naufal mendengus dalam hati. ‘Sebenarnya ada hubungan apa antara Pak Azka dengan Reva?’
Dengan wajah sedikit tidak rela, Naufal membungkuk sopan lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan Azka. Namun, dia teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Azka.
“Silakan menikmati tehnya, Pak.”
Azka menautkan kedua alisnya, lalu melirik pada secangkir teh yang sudah tersaji di atas meja.
“Apa Reva yang mengantarnya ke sini?” tanya Azka dengan mata yang kembali berbinar terang dan sukses membuat Naufal tercengang.
“Iya, Pak. Reva yang mengantarnya.” Naufal mengambil jeda sejenak. “Itu adalah tugas pertama yang dia kerjakan hari ini.”
“Sungguh?” Senyuman lebar menghiasi wajah Azka. “Bagus sekali.”
Tanpa menunda lagi, Azka segera meminum teh yang dibawakan Reva. Naufal diam-diam kembali mengamati ekspresi wajah Azka yang tampak begitu senang. Padahal selama ini, ekspresi Azka terlihat biasa saja ketika meminum teh yang diantarkan office girl ataupun office boy lainnya.
Apa karena Reva yang mengantarkannya, sehingga teh tersebut terasa lebih spesial?
Naufal terlalu pusing untuk memikirkan masalah itu. Lebih baik dia menunggu sampai Azka sendiri yang menceritakan semuanya.
Sepeninggalan Naufal, Azka memutar kursinya yang kini menghadap ke arah jendela. Dia berdiri lalu berjalan mendekati jendela. Pandangan Azka tertuju pada jalanan di luar gedung yang terlihat ramai dilalui banyak kendaraan.
Bibir tipis itu melengkung sempurna. Bayangan wajah Reva saat mereka berpapasan di depan lift kembali melintas dalam kepala Azka.
“Kamu sama sekali tidak berubah.”
Tiba-tiba wajahnya berubah sendu. Di samping perasaan bahagia yang bercampur kerinduan, ada kesedihan yang terpendam dalam dirinya.
“Sayang sekali kamu tidak mengenaliku ... Reva ....”
***
Kepala tertunduk dengan kedua tangan saling bertaut. Reva tidak tahu lagi harus mengatakan apa ketika Lina tiba-tiba menyambangi pantri. Kepala bagian personalia itu menatap tajam kepada Reva yang kini tertunduk dengan tubuh sedikit gemetar di hadapannya.
“Kamu melakukan kesalahan pertama.”
Mata Reva menatap sekeliling. Beberapa rekannya menatap prihatin, termasuk Tika.
“Bagaimana bisa kamu tidak mengenali atasanmu, hah?!”
Setelah mendapat aduan dari Feby, Lina langsung mendatangi Reva. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya marah kepada Reva. Kesan pertama melihat Reva, Lina sudah menilai bahwa dia adalah sosok gadis yang polos dan lugu.
Mendengar kesaksian orang-orang yang melihat kejadian di mana Reva begitu cuek saat berjalan melewati CEO perusahaan ini, cukup menjelaskan jika Reva tidak mengenal Azka sebelumnya. Dan kecurigaannya semula adalah sebuah kesalahan.
Lina sendiri sebenarnya sedang kesal pada Feby, karena perempuan itu dengan seenaknya mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Lina, di hadapan beberapa bawahannya. Lina tidak terima dipermalukan begitu saja oleh perempuan yang sudah dicap sebagai musuh abadinya di kantor.
Tak ada yang tahu kenapa dua wanita hebat yang menjabat sebagai kepala di bagian perencanaan dan personalia itu tidak pernah akur.
“Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Reva kembali membungkuk sambil mengutarakan permintaan maaf. Tulus dari hatinya yang terdalam.
“Ini peringatan pertama. Lain kali, jangan sampai kamu melakukan kesalahan sepele seperti ini lagi.”
“Iya, Bu. Saya janji tidak melakukan kesalahan lagi dan bekerja dengan baik,” kata Reva dengan penuh keyakinan.
Lina tersenyum. “Baik, saya pegang janji kamu.”
Reva bernapas lega. Dia bertekad akan memenuhi janjinya pada Lina untuk bekerja dengan baik. Reva tidak ingin merusak kesempatan yang sudah Lina berikan padanya.
TO BE CONTINUED
Lina mengalihkan perhatian pada karyawan yang lain. “Kalian boleh kembali bekerja. Jangan lupa untuk mengawasi dan mengajari junior kalian ini. Kesalahan sepele yang dilakukan salah satu karyawan bisa mencoreng semuanya. Mengerti?”“Mengerti, Bu!”Begitu Lina meninggalkan pantri, Tika dan karyawan lainnya menghela napas lega. Tak terkecuali Reva yang langsung terduduk lemas di kursinya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Tika sedikit khawatir ketika mendapati wajah Reva sedikit pucat.Reva mengangguk. Dia menerima segelas air minum yang diberikan karyawan lainnya.“Terima kasih,” ucap Reva tulus. Dia merasa bersyukur. Rekan kerjanya selain Tika tidak seperti yang dia bayangkan. Sebagai junior, dia mendapat sambutan yang cukup baik. Awalnya, mereka sedikit heran dengan bergabungnya Reva sebagai office girl yang baru. Namun, secara perlahan interaksi mereka mulai mencair. Mereka tidak lagi kaku seperti pagi t
“Pak ... Pak Azka?”Mata Reva membulat sempurna. Bibirnya bergetar saat memanggil sosok pria yang duduk di depannya. Yang menjadi pusat perhatian Reva adalah wajah Azka yang basah karena terkena semburan air minumnya.Tak ada respon yang keluar dari Azka. Dia masih mematung di tempat dengan mata berkedip-kedip. Sepertinya cukup kaget dengan hadiah air gratis yang baru saja diberikan Reva padanya.Sret!Reva berdiri dari kursi lalu berulang kali membungkukkan badan kepada Azka sambil merapalkan kata-kata maaf.“Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Reva penuh penyesalan. Dia menggigit bibir bawahnya karena tak mendapatkan tanggapan apapun dari Azka. Tanpa menengok ke belakang, tangan Reva menyambar kain yang ada di atas meja pantri, lalu berinisiatif mengusap wajah basah Azka dengan kain tersebut.“YA AMPUN!” Reva memekik histeris ketika menyadari kain yang dia ambil untuk mengusap wajah
Melihat wajah syok Reva, bibir Azka berkedut menahan tawa.“Tenang saja. Ini bukan hukuman yang berat.” Azka melangkah maju mendekati Reva. Gadis itu justru melangkah mundur sampai tubuhnya terhimpit pada meja dapur.Reva bisa merasakan hawa panas di sekitarnya saat wajah Azka sangat dekat dengan wajahnya.“Terserah waktunya kapan. Tapi—” Bibir Azka melengkung sempurna, “—aku ingin mencicipi bekal makan siang buatanmu.”“Maaf?”“Itu hukumanmu.” Azka terkekeh pelan melihat wajah kebingungan Reva. “Aku ingin kamu membuat bekal makan siang untukku.”Belum sempat Reva bertanya, Azka sudah berjalan ke arah pintu. Pria itu bersiap keluar meninggalkan pantri.“Tidak harus besok. Kamu bebas menyerahkan bekal makan siang itu kapan saja,” lanjut Azka sebelum menghilang dari balik pintu pantri.Reva masih berdiri mematung di tempatnya, dengan t
Feby tidak menjawab panggilan Naufal. Dia justru menggeram tertahan dan menatap kesal pada Azka yang begitu memperhatikan Reva. Pikiran Feby terlalu dipenuhi kemarahan terhadap Reva, sampai tidak menyadari Azka sudah berjalan menghampirinya.“Di mana sopan santun kamu, Feby?!”Feby terkesiap kaget mendengar bentakan Azka.“Kamu seharusnya mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk ke ruangan saya!”Tubuh Feby membeku. Dia terkejut melihat ekspresi marah Azka sedikit berbeda dari biasanya. Jauh lebih menyeramkan.“Sa-Saya minta maaf, Pak.”Azka berdecak kesal. “Minta maaf sama Reva. Kamu sudah membuat keningnya terluka.”“Apa?!” Nada bicara Feby meninggi. Dia tidak terima disuruh minta maaf pada Reva. Spontan saja, Feby melempar tatapan tajam menusuknya kepada Reva.Rupanya Reva menyadari tatapan mata Feby. Dia langsung menunduk ketakutan.“Pak Azka, ini salah
“Lina, kamu tidak penasaran?”Lina menoleh dan sedikit bingung dengan pertanyaan Naufal. “Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”“Hubungan antara Pak Azka sama Reva. Asal kamu tahu, sebelumnya Pak Azka yang menyuruhku datang ke rumah Reva dan menawarkan pekerjaan sebagai office girl padanya,” ungkap Naufal. “Sejak saat itu, aku benar-benar penasaran dengan hubungan mereka.”Lina terkejut atas pengakuan Naufal. “Sejujurnya, aku juga penasaran. Tapi, aku tidak mau ikut campur. Itu urusan Pak Azka,” sahutnya. Lina terdiam sejenak, lalu tertawa.“Daripada memikirkan hubungan Pak Azka dan Reva, aku lebih penasaran bagaimana ekspresi Feby saat meminta maaf pada Reva.” Tawa Lina semakin keras. “Pasti lucu sekali.”Naufal tidak habis pikir interaksi Lina dan Feby seperti kucing dan anjing. Setiap kali bertemu pasti ada saja pertengkaran yang melibatkan mereka.
Terlalu larut dalam pekerjaannya, Azka tidak sadar bahwa sekarang sudah waktunya jam pulang kantor. Dia sempat melirik sekilas jam digital di atas meja, kemudian mematikan layar komputer. Azka berdiri sambil mengambil jas formalnya yang tersampir di kursi.Ketika Azka sedang memakai jas, pintu ruangannya terbuka.“Anda mau pulang sekarang, Pak?”Azka hanya menjawab dengan anggukan pelan. Melihat wajah lelahnya, Naufal enggan bertanya lebih lanjut. Dia langsung memberi jalan pada Azka dan mengikutinya dari belakang.Suasana kantor sudah mulai sepi. Hanya tersisa petugas keamanan yang masih berkeliling, juga beberapa karyawan yang terpaksa lembur karena pekerjaan mereka.TING!Tepat saat pintu lift terbuka, Azka dikejutkan dengan keberadaan Reva yang masih mengenakan seragam office girl. Gadis itu terlihat membawa nampan dengan beberapa cup mie instan di atasnya.Reva spontan membungkuk begitu melihat Azka d
Begitu Azka memberitahu Aris, dia sudah memperkirakan reaksi adiknya tersebut. Mata Aris membelalak, disusul mulutnya yang menganga lebar.“Kamu ... sudah menemukannya?” tanya Aris tak percaya.Azka mengangguk. “Sudah beberapa hari dia bekerja di perusahaan kita sebagai office girl,” lanjutnya.“Benarkah?” Aris berteriak kaget. “Kakak, kenapa kamu tidak memberitahu kalau sudah menemukan keberadaan Kak Reva?”Azka hanya menanggapi dengan cengiran khasnya.“Kamu curang, Kak! Aku juga sangat merindukan Kak Reva,” protes Aris kecewa.Menanggapi reaksi adiknya, Azka hanya tersenyum tipis. Sorot matanya perlahan berubah sendu. “Meski kamu bertemu dengannya, dia tidak akan mengenalimu.”“Apa maksudmu?” Aris bertanya karena tidak mengerti ucapan Azka.Kepala Azka tertunduk. “Dia ... tidak mengenaliku. Ris.”Dahi Aris mengernyit heran.
Seminggu berlalu sejak Reva bekerja di Adinata Group. Dia mulai menikmati pekerjaannya dan menyukai suasana kantor. Reva berhasil menghilangkan kecanggungan dengan karyawan lain seperti saat pertama kali bekerja. Dia juga mengakrabkan diri dengan rekan kerjanya, terutama Tika dan Sekar.Reva senang memiliki teman baru seperti Tika dan Sekar. Mereka selalu membantu dan membimbingnya saat bekerja. Sesekali mereka akan menggoda Reva soal Azka.Bicara soal Azka, Reva masih belum bisa menghilangkan kegugupannya tiap kali berhadapan dengan pria itu. Debaran jantung Reva semakin ke sini semakin kencang, bahkan saat dia hanya melihat Azka dari kejauhan.“Itu namanya cinta, Reva. Kamu pasti sudah jatuh cinta pada Pak Azka.”Ada kalanya Reva menyesal karena sudah menceritakan masalah itu kepada Tika dan Sekar. Mereka justru semakin bersemangat mendukungnya bersama Azka.“Aku tidak mengerti apa yang mereka pikirkan. Pak Azka